| |
|
VI.50. HAK-HAK INDIVIDU DAN SOSIAL DI INDONESIA (2/4) Oleh Mochtar Pabottinggi Daftar praktek ekaploitasi penjajahan di Indonesia terlalu panjang dan terlalu menyakitkan untuk diulang-ulang. Toh menyertai Soedjatmoko tetap perlu diingat bahwa, "Tanpa lebih mengenal ciri-ciri ekonomi kolonial sulit bagi kita untuk menghadapi persoalan-persoalan struktural dan sosial di dalam pembangunan kita". Pergerakan-pergerakan kemerdekaan kita yang paling representatif semuanya tak lain adalah respon terhadap struktur ekonomi dan politik kolonial Belanda. Itulah "ibu kandung" dari seluruh gagasan cemerlang dari para Bapak Bangsa kita. Pancasila tak lain dari kristalisasi dari respon bersejarah itu. Maka pada hakikatnya, Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah suatu ambang atau jendela lewat mana seluruh pengalaman eksploitasi terhadap dirinya selalu bisa terpampang dan terekam kembali seketika. Dengan kata lain, pada Pancasila bertemu dan leburlah dikotomi antara partikularitas dan universalitas itu. Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah partikularitas dan universalitas sekaligus. Ia adalah antitesa terhadap pengalaman kolonialisme cum feodalisme yang sangat panjang. Rasa keadilan, pandangan tentang hak-hak individu dan sosial bangsa Indonesia otomatis terikat pada antitesa serta kenangan kolektif akan tesa yang berada di baliknya. Bangsa Indonesia selamanya peka terhadap setiap keadaan yang dapat mengingatkan mereka akan kenangan pahit itu. Katakanlah ada obsesi di situ. Obsesi tentu saja bisa buruk, namun bagaimana pun kenangan kolektif itu adalah sesuatu yang sah. Kita memang harus berusaha menghindari dampak negatif dari suatu obsesi, namun kenangan pahit akan eksploitasi puncak yang dialami oleh leluhur kita bertaut erat dengan jatidiri bangsa kita. Keabsahan kenangan kolektif tersebut lebih perlu ditekankan lagi mengingat kuatnya kecenderungan ke arah berulangnya proses sejarah yang mau tak mau akan mengingatkan mayoritas bangsa ini pada pengalaman pahit leluhur mereka. Konglomerasi yang menimbulkan banyak suara kekhawatiran sejak beberapa tahun lalu sesungguhnya sulit diingkari sebagai perwujudan pola berpadunya kekuatan-kekuatan ekonomi yang sangat mirip dengan pola yang berlaku pada zaman penjajahan, yakni ketika pemerintah dan kalangan swasta Belanda bekerjasama demikian erat dengan golongan priyayi (birokrasi Pribumi) dan pengusaha Cina dalam melakukan eksploitasi besar-besaran atas rakyat dan tanah negeri kita. Tentu perlu diukur lebih jauh apakah identifikasi ini masih punya dasar sekarang. Tapi sebelum kita sampai pada suatu jawaban pasti atasnya, kekhawatiran khalayak ramai di atas tetap perlu diindahkan. Tiadanya kesadaran melihat Pancasila sebagai suatu universalitas yang partikular cenderung membuat orang menyepelekannya atau menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak bisa jalan (not workable) atau tidak relevan lagi dalam era pembangunan ini. Ada saja rumusan-rumusan pemikiran, tentu secara tidak langsung dan tidak berterang-terangan, yang ujung-ujungnya akan berarti bahwa Pancasila hanya sekedar utopia. Tidak sedikit kasus menyangkut protes dan keresahan orang-orang kecil di tanah air yang mestinya dikaitkan dengan keniscayaan sejarah (historical imperative) dari Pancasila anehnya justru dicap anti-Pancasila. Usaha Romo Mangun yang secara sangat menyentuh hati menunjukkan solidaritas kepada para petani Kedung Ombo yang menolak meninggalkan tanahnya sama sekali tidak dilihat dalam konteks ideal Pancasila. Begitu juga dengan usaha tokoh-tokoh LSM yang mengungkapkan kasus itu di gelanggang internasional. Mereka justru dipandang sebagai pengacau, sok pahlawan, atau tidak nasionalis. Suatu sebutan yang juga keliru sebab esensi nasionalisme Indonesia tak lain dari egalitarianisme. Tidak diindahkannya keniscayaan sejarah itu juga tercermin pada bagaimana tantangan terhadap, gejala konglomerasi dikatakan sebagai ekspresi kecemburuan sosial . Tak ada yang lebih keliru dan agresif daripada penamaan seperti itu. Kalangan yang memandang dengan cemas gejal a konglomerasi ini sesungguhnya bertolak dari persepsi tentang semakin dikukuhkannya kesenjangan-kesenjangan ekonomi yang berlaku di zaman kolonial, yang justru hendak dibalikkan dengan pendirian Republik kita. Harus segera disadari bahwa luasnya tantangan terhadap gejala konglomerasi bukanlah akibat kecemburuan sosial, melainkan berakar kuat pada sejarah berdirinya bangsa ini. Ada citra ideal yang terlanggar di situ. Sebutan kecemburuan sosial bisa dipakai untuk menyerang rasa keadilan histroris bangsa kita untuk kemudian membatalkannya secara tidak sepatutnya. Itu adalah psikologisasi dan pembalikan privilese yang sangat mendasar. Kata "cemburu" mempunyai konotasi buruk pada orang yang dihinggapinya. Merekalah yang jadi "terdakwa" bukan konglomerasinya. Dalam konteks sebutan itu yang salah bukan yang dicemburui, melainkan yang cemburu. Di situ lenyaplah rasa atau prinsip keadilan historis yang sah. Kata "kecemburuan sosial" sesungguhuya bertolak dari obsesi tentang pertumbuhan serta keterbelakangan ekonomi kita. Tentu obsesi ini lahir dari suatu kecemasan yang sah. Tapi sisi sebaliknya yang bahkan lebih sah lagi justru dilupakan. Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa juga menandai Nusantara katakanlah dari tahun 1930 hingga 1940. Tapi bukankah dengan tandas dan sah kita menolak pertumbuhan ekonomi luar biasa yang other-centered seperti itu? Penyingkapan agresivitas dan pembalikan privilese ini menjadi jelas jika kita menukar sebutan tersebut dengan mengembalikan kata kesenjangan sosial. Pada ungkapan ini terkandung keabsahan historis, yakni sejauh itu menyangkut eksistensi dan ideal Republik kita. Beda dengan kata "kecemberuan sosial" di mana yang salah ialah mereka yang cemburu, yang salah pada kata "kesenjangan sosial" adalah mereka yang hendak mempertahankan dan meneruskan kesenjangan itu. Pada kata "kecemburuan sosial" tidak ada keabsahan historis. Sebaliknya dengan kata "kesenjangan sosial." Pergerakan kemerdekaan yang penuh pengorbanan dilakukan, kemerdekaan diproklamasikan, dan sebelumnya falsafah negara dirumuskan dan undang-undang dasar disusun oleh para Bapak Bangsa kita justru menghilangkan kesenjangan itu agar manusia Indonesia dapat melangkah maju secara berharkat guna menyongsong masa depan yang penuh kebahagiaan. Dari keabsahan historis itulah terkandung unsur hak pada mayoritas bangsa-bangsa kita yang berada di sisi malang dari proses pembangunan, yakni hak agar kesenjangan itu -ekonomis dan politis- ditiadakan oleh Pemerintah atas dukungan rakyat. Unsur keabsahan atau hak historis itulah yang dinafikan pada sebutan "kecemburuan sosial" mengandung makna pengingkaran berat atas ideal tertinggi kita. Soal istilah, sebutan atau ungkapan ini kita bicarakan dengan penuh kesungguhan mengingat bahwa belum pernah dalam sejarah bangsa kita pertandingan ideologis memasuki babak segenting sekarang. Pertandingan antara kaum komunis dan Islam di masa Sarekat Islam, pertandingan antara kaum kebangsaan dan Islam di masa Demokrasi Parlementer, dan pertandingan antara unsur-unsur Nasakom di masa Demokrasi Terpimpin, termasuk antara PKI dengan Angkatan Darat, pada umumnya barulah pertentangan ideologis. Tak satu pun kontestan ideologis di dalamnya yang memiliki basis ekonomi yang cukup kuat untuk merealisasikan ideologinya. Apa yang berlaku sekarang sudah lain sama sekali. Yang sedang kita hadapi bersama ialah suatu pertandingan ideologis di mana sebagian kontestan memilki penguasaan yang cukup atas teknologi dan keahlian mutakhir, mempunyai jaringan nasional dan internasional, serta menguasai aset ekonomi yang nyata dan masif. Pertandingan ini adalah suatu pertandingan yang akan sangat jauh dan besar dampaknya. Dalam waktu singkat bisa terjadi transformasi besarbesaran dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Bersamanya akan terjadi perubahan-perubahan penting dalam hak-hak individu dan sosial. Itulah sebabnya mengapa semakin perlu kita mengawasi kata-kata yang berseliweran dalam media massa, sebab di situlah pertandingan yang sebenarnya sekarang berlangsung, bukan dalam DPR, juga antara partai-partai politik. Sasaran pertandingan di media massa itu adalah persuasi langsung kepada rakyat. Dari persuasi kita akan beranjak kepada policy. Dari policy kita pun memasuki transformasi besar-besaran pada segenap bidang kehidupan. Transformasi besar-besaran ini adalah sesuatu yang einmalig. Maka kita harus pandai-pandai mengarahkan dari sekarang. Kita semua memang menginginkan adanya suatu transformasi besar di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan, tapi itu demi sebesar-sebesarnya kemajuan dan kebahagiaan buat mayoritas bangsa kita. Adalah tugas kita bersama untuk menyoroti kata-kata, jargon atau bukan, yang sifatnya menipu dan mengelabui, terutama jika kata-kata itu laris di pasaran. Singkatnya, kita semua perlu berhati-hati dengan agresi diskursus yang masuk ke dalam benak kita sebagai sesuatu yang innocent tapi yang selanjutnya berfungsi merusak dasar-dasar mulia yang telah disepakati bersama. Kata-kata adalah gerilya, pasukan bertopeng yang tak hentinya menyerbu. Untuk itulah Michel Foucault mengingatkan bahwa, "We must conceive discourse as a violence we do to things..." Maka perlu ditegaskan kembali bahwa Pancasila lahir dari rangkaian utuh dan panjang dari suatu peristiwa yang sangat nyata dan historis. Ia tidak turun atau diturunkan begitu saja dari langit. Jika sekarang falsafah negara kita ini dilihat sebagian orang sebagai tak lebih dari suatu wishful thinking, itu karena sejarah kembali berulang. Pola kolonial khas yang dialami bangsa kita (kolonialisme-cum-feodalisme) berlaku lagi katakanlah selama lima belas tahun pertama usia Orde Baru. Yang begitu kuat itu berulang. Akibatnya Pancasila pun tampak tidak lagi nyata, dan tidak lagi historis. Tapi pengulangan sejarah di atas tidak dengan sendirinya membatalkan keabsahan rasa keadilan historis yang hidup pada bangsa Indonesia. Sebabnya ialah karena rasa keadilan itu bukan hanya berakar dalam pada sejarah kita sebagai suatu bangsa, melainkan juga lantaran ia encoded. Ia resmi kita nobatkan jadi Weltanschauung yang mendasari konstitusi kita. Tidaklah mengherankan jika tiap pihak yang hendak berpraktek menyimpang dari pertama-tama harus mencari dalih-dalih pembenaran yang tidak secara langsung menolak pandangan hidup yang sekaligus merupakan falsafah negara kita itu. Disadari atau tidak, pihak-pihak tersebut telah melakukan rekayasa ideologis yang sedikit demi sedikit menggerogoti falsafah negara itu seringkali atas nama falsafah itu sendiri, hingga pada akhirnya nanti kita semua akan terperanjat bahwa ternyata dasar pokok (raison d'etre) dari kelahiran bangsa ini sudah lama terkubur. -------------------------------------------- (bersambung 3/4) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |