| |
|
VI.50. HAK MILIK DAN KETIMPANGAN SOSIAL (4/8) Telaah Sejarah dan Kerasulan Oleh Masdar F. Mas'udi Memang harus tetap diakui, pendekatan pasivisme keagamaan ini bukan tidak punya keprihatinan atas kemiskinan sebagai derita kehidupan. Akan tetapi, sekali lagi karena bagi mereka kemiskinan terjadi karena takdir Tuhan, dan oleh sebab itu harus diterima dengan segala kepasipan, maka apa yang mereka lakukan terhadap persoalan itu cukup sederhana: Beri orang-orang miskin santunan; berupa makanan, pakaian, uang atau lainnya. Suatu treatment yang benar-benar bersifat formalistis dan karitatif; semata-mata menuruti perintah ajaran untuk meringankan beban orang miskin. Tidak pernah jadi pemikiran mereka, apakah dengan santunan itu si miskin bisa mengentaskan diri dari derita kemiskinannya. Bagi mereka, itulah urusan Tuhan: Jika dikehendaki, seketika ia bisa kaya raya. Tapi jika tidak, usaha apa pun yang dilakukan manusia, kemiskinan tetap menimpanya. Menyusul pendekatan pasivisme-religious adalah pendekatan sekularisme-kapitalis. Apabila pendekatan pertama mengatakan kemiskinan merupakan urusan Tuhan, pendekatan kedua mengatakan, seperti halnya persoalan hidup lainnya, kemiskinan pun merupakan persoalan manusia. Kalau mau dan tahu jalannya, manusia bisa mengatasinya, dengan kekuatan sendiri. Tuhan tidak punya urusan dengan soal-soal seperti ini. Hanya, yang menjadi persoalan mereka, apakah memang perlu kemiskinan itu diatasi? Bertolak dari pendirian segala sesuatu kemiliki kegunaan (fungsi)-nya sendiri bagi tertib kehidupan, pendekatan kedua berpendapat, kemiskinan tidak boleh ditiadakan. Membiarkan kemiskinan yang 'keterlaluan' memang tidak bijaksana, akan tetapi melenyapkannya juga bisa berbahaya. Oleh sebab itu yang penting bukan mengatasi kemiskinan, melainkan mengendalikannya agar tidak sampai merusak tatanan. [9] Mengemban bias kalangan kaya, penganut paham ini memandang kemiskinan sepenuhnya terjadi atas kesalahan atau kekurangan yang ada pada diri orang-orang miskin itu sendiri. Yaitu, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat pribadi yang lazim dimiliki oleh teman-temannya yang kaya. Misalnya: keuletan mencari duit, gemar menabung, jeli melihat kesempatan usaha, keterampilan berwiraswasta, dan sebagainya. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib si miskin, jika dianggap perlu, adalah pendidikan sebagai upaya pengembangan sumberdaya untuk menanamkan sifat-sifat tersebut pada diri pribadi orang-orang miskin. Kemiskinan adalah suatu fenomena yang berskala perorangan, dan karena itu harus didekati juga dalam skala perorangan. Realitas sosio-struktural, di mana orang-orang kaya dan kalangan mapan lainnya menyandarkan kepentingannya, tidak ada sangkut paut apa pun dengan masalah kemiskinan. Sementara itu mempersiapkan orang miskin menjadi berpotensi kaya -dengan strategi pendidikan- memerlukan modal yang tidak sedikit. Untuk pendidikan perlu banyak sarana dan prasarana yang tidak murah. Sesudah pendidikan modal usaha juga harus disediakan. Artinya, bahwa program memecahkan kemiskinan, pada ujungnya bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh masyarakat miskin itu sendiri, tapi oleh orang-orang kaya juga. Dengan demikian, usaha mengatasi kemiskinan, menurut teori ini, akan selalu ditunggangi oleh kepentingan pihak kaya dalam mempertahankan kekayaannya di satu pihak dan melanggengkan ketergantungan si miskin kepada mereka di lain pihak. Apa yang dilakukan negara-negara kapitalis terkemuka kepada negara-negara dunia ketiga belakangan ini memperlihatkan dengan jelas skenario tadi. Meski begitu, paradigma sekular-kapitalisme ini bukan tidak punya daya tarik. Buat banyak orang yang gampang silau dengan kekayaan dan (karena itu) kurang mau berpikir sedikit lebih kritis, daya tarik itu terletak pada tercapainya tingkat kemakmuran material dalam masyarakat yang sejak lama menerapkan konsep kapitalisme secara seksama. Misalnya Amerika, Jepang dan beberapa negara di Eropa Barat. Seperti diketahui, tingkat pendapatan per kapita di negara-negara ini memang yang tertinggi di antara semua negara lainnya. Akan tetapi apabila kita lihat lebih teliti dan dalam perspektif sosial yang lebih luas, akan segera terasa bahwa paradigma sekular-kapitalisme ini tetap merupakan musuh keadilan yang wajib diperangi, karena beberapa bukti. Pertama, di lingkup masyarakat yang menerapkan konsep itu sendiri, ketimpangan sosial antara golongan kaya dan yang miskin cenderung semakin tajam. [10] Bahkan lebih tajam dibanding yang terjadi di kalangan masyarakat lain yang tidak menerapkannya. Kedua, apabila jumlah orang miskin di lingkungan masyarakat kapitalis yang kaya raya bisa diperkecil, hal itu sebenarnya terjadi atas biaya kemiskinan masyarakat bangsa-bangsa lain yang masuk dalam jaringan dan perangkapnya. [11] Proses globalisasi ekonomi yang kini tengah terjadi, pada hakikatnya adalah momentum besar bagi kekuatan kapitalis untuk memperluas jaringan dan perangkapnya tadi. Tidak kalah mendasar dari keberatan-keberatan tadi adalah yang berkaitan dengan pandangan kemanusiaan dari teori sekular-kapitalisme itu sendiri. Dengan menjunjung tinggi kebebasan individu untuk meraih kebahagiaan setinggi-tingginya, kedengarannya paradigma kapitalisme sangat manusiawi dan sejalan dengan misi universal agama-agama. Akan tetapi, karena apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dalam slogan itu, sesuai iman sekularitisnya, adalah kebahagiaan duniawi, maka yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat penganut paham ini adalah jaminan bahwa dukungan bagi setiap orang untuk mengumbar nafsu ketamakan dan kerakusannya; suatu masyarakat yang dalam al-Qur'an dilukiskan sebagai "masyarakat yang selalu berdaya upaya untuk menghimpun kekayaan sebanyak-banyaknya karena mengira kekayaan itulah yang bakal menjamin kelangsungan hidupnya" (QS al-Lumazah: 2-3). Dan untuk itu dukungan bukan saja diberikan oleh sistem politik dan ekonomi, tetapi juga oleh sistem budaya, keilmuan, dan juga agama. Sementara itu, semua orang tahu bahwa obyek ketamakan dan kerakusan kapitalistik ini adalah sumberdaya alam yang terbatas persediaannya; sumberdaya alam yang tidak bakal memuaskan hawa nafsu setiap orang yang memujanya. Oleh sebab itu dari masyarakat penganut paham sekular-kapitalistis ini akan selalu disaksikan - dan semua kita kini telah menyaksikan - sikap dan tingkah laku keras kepala mereka dalam meriskir dua hal yang sangat berbahaya, bukan saja bagi moralitas keadilan tapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia itu sendiri secara keseluruhan. Yakni, pertama adalah derita kesengsaraan orang-orang yang kalah dan terlempar dalam menghadapi kerakusan mereka; dan kedua eksploitasi gila-gilaan atas kekayaan alam yang dapat mengancam daya tahan dan keselamatannya. [l2] Memang, kepada kita sering dipertontonkan sikap iba mereka melihat bumi yang terus diperkosa dan melihat orang-orang kalah yang semakin tak berdaya. Berbagai aksi karitas untuk melindungi kekayaan alam berupa flora maupun fauna di satu pihak, dan berbagai uluran tangan kedermawanan untuk negara-negara miskin yang menderita kelaparan atau musibah bencana alam di pihak lain, memperlihatkan dengan mencolok sikap iba dari mereka. Akan tetapi, sangat boleh jadi semuanya itu hanya tipu muslihat untuk menina-bobokkan orang-orang yang tidak waspada. Buktinya, begitu mereka didesak untuk mengubah tata kehidupan (ekonomi dan politik, terutama), dengan mana kelestarian bumi manusia dan orang-orang yang kalah (umumnya di dunia ketiga) bisa dilindungi secara struktural, tanpa pikir panjang hati dan mulut mereka segera menyatakan penolakannya. Jalan buntu yang terjadi dalam berbagai perundingan Utara-Selatan dan perundingan global lainnya mengenai kedua hal tersebut merupakan bukti nyata atas sikap dasar penganut paradigma sekular-kapitalisme ini. Selanjutnya yang ketiga adalah pendekatan materialisme-komunis. Sebagai antitesis terhadap pendekatan pertama dan kedua, pendirian dasar dari pendekatan ketiga ini adalah bahwa kemiskinan bisa diatasi, dan harus diatasi, bukan oleh Tuhan atau oleh belas kasih orang kaya, melainkan oleh orang-orang miskin itu sendiri. Terhadap kedua pendekatan tersebut pertama, pendekatan ketiga menuduh mereka sebagai sama-sama telah meninabobokkan golongan miskin untuk menuntut hak-haknya yang terampas dari tangan golongan kaya. Bedanya, pendekatan pertama (pasivisme-religius), meninabobokkan kaum miskin, dengan janji-janji sorganya. Pendekatan kedua (sekular-kapitalisme), menina-bobokkan orang miskin dengan trik-trik karitas gaya sinterklasnya. Pada level individual pendekatan ketiga diaktualisasikan, antara lain, melalui aksi ala Robin Hood dengan mengambil kembali hak-hak material miskin dari tangan orang-orang kaya secara paksa. Dalam Islam, sejauh aksi sepihak itu dilakukan sebagai penyelesaian darurat oleh orang yang benar-benar terpepet, secara relatif bisa dipahami. "Al-darurat-u tubih-u 'l-mahdhurat - Keterpepetan yang sangat dapat membolehkan yang semula dilarang"; dan "al-masyaqqat-u tajlib-u 'l-taisir - Kesengsaraan bisa membuka keringanan". Pernah suatu ketika, beberapa budak milik Hathib bin Abi Balta'ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan menyembelihnya. Menerima pengaduan, Umar bin Khattab r.a. tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpepet untuk mengisi perut karena ditelantarkan oleh majikannya. Umar yang khalifat benar-benar marah. Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan. [13] Pada level kolektif, penclekatan ketiga yang komunistis ini diaktualisir secara besar-besaran dan penuh kedengkian melalui perjuangan politik berskala massif. Di Indonesia, hal itu pernah terjadi, ketika awal tahun, 60-an sejumlah petani yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI) secara sepihak mengkapling tanah ladang atau sawah milik orang-orang kaya di desanya. Memang, diantara semua sistem sosial modern yang ada, komunisme patut memperoleh pujian sebagai yang paling lantang menyuarakan kepentingan orang-orang yang tidak punya. Dan kalau kita mau jujur, pesan moral setiap agama ketuhanan memang begitu adanya atau bahkan lebih. Akan tetapi karena cacat mendasar pada akidah (filosofi) maupun syari'ah (kerangka institusional)-nya, komunisme pun gagal dan patut digagalkan. Cacat akidah, terletak pada pandangannya terhadap hakikat manusia sebagai tidak lebih dari fenomena material belaka. Suatu pandangan kemanusiaan yang menurut kisah kejadian diintrodusir pertama kali oleh tokoh antagonis yang bernama Iblis. Dalam percakapannya dengan Tuhan, Iblis pernah menyatakan pandangannya tentang manusia sebagai makhluk yang tercipta hanya dari tanah liat. [14] Hakikat manusia sebagai ruh yang memiliki persambungan transendental dengan Tuhan, diingkarinya. Karuan saja, konsepsi keadilan manusiawi yang ditawarkan oleh pandangan kemanusiaan madzhab ini menjadi begitu naif. Konsep keadilan yang sebenarnya sangat sublim, diredusir sedemikian rupa menjadi hanya terbatas pada aspek ekonomi dengan pengertian kesamarataan hak-hak materi. Mereka mengira bahwa hanya dengan terpenuhinya kebutuhan materi, sempurna sudah semua cita-cita hidup manusia. Pada level syari'at (pelembagaan)-nya, kenaifan mereka lebih kentara lagi. Meskipun selalu berangkat dari klaim kepentingan rakyat kecil, kaum proletar, akan tetapi apa yang diperbuat oleh komunisme sebagai sistem sosial dan politik tidak lain adalah pemancangan secara paksa dominasi segelintir orang yang berkuasa atas mayoritas rakyat yang tidak berdaya - atau sengaja dibikin tidak berdaya. Atas nama kepentingan kaum miskin, elite penguasa mengklaim kewenangan yang haram dibantah. Akibatnya, harga kemanusiaan (human dignity) sebagai makhluk moral dan spiritual dinistakannya samasekali. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan, sebagai prasyarat mutlak bagi aktualisasi hakikat kemanusiaan yang ruhani, dianggap absurd. Maka, meskipun kesenjangan ekonomi di negara komunis relatif lebih terjembatani, dibanding di negeri-negeri lain yang menganut pendekatan pasivisme-religius dan sekular-kapitalisme, akan tetapi kesenjangan di bidang non-ekonomi, sangatlah lebar. Di sana hanya segelintir orang memiliki kebebasan berbicara dan berpendapat, sementara mayoritas yang sangat besar hampir-hampir tidak mengenalnya samasekali. KEKAYAAN MATERI: SISI PANDANGAN ISLAM Berpijak pada kodratnya sebagai ajaran keruhanian, berkali-kali Islam menegaskan bahwa realitas kebendaan, bagaimanapun, merupakan realitas yang terendah, dan kesadaran kebendaan juga kesadaran yang terendah. Kata-kata al-dunya, yang digunakan al-Qur'an untuk menunjuk realitas kebendaan itu sendiri, secara harfiyah artinya adalah rendah. Namun demikian, dunia kebendaan yang rendah itu bukan tidak punya fungsi dalam keseluruhan misinya. Justru dalam pergumulan dengan dan dalam hal-hal material kebendaan itulah manusia ditempa (diuji al-Qur'an) oleh Tuhan apakah ia berhasil memenuhi perannya sebagai khalifah di muka bumi. Maka, dibanding ajaran keruhanian lainnya, dalam hal kebendaan ini, Islam begitu terbuka. Sikap berpantang terhadap hal-hal duniawi tidak pernah memperoleh rekomendasi yang menggembirakan dari ajaran Islam. Apalagi jika sampai membawa risiko penyiksaan terhadap diri sendiri. [15] -------------------------------------------- (bersambung 5/8) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |