| |
|
VI.21. SEJARAH AWAL PENYUSUNAN (1/3) DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM oleh Nurcholish Madjid Dalam bidang fiqh seperti juga dalam bidang-bidang yang lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat Nabi dan masa tampilnya imam-imam madzhab. Di satu pihak masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian yang lebih mengarah pada spesialisasi. Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan para Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan masa Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut" yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf (Klasik). Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru sifat transisional masa ini ditandai berbagai gejala kekacauan pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu antara lain menjadi sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadits atau penuturan dan cerita tentang Nabi dan para sahabat. Melukiskan keadaan yang ruwet itu Musthafa al-Siba'i mengetengahkan keterangan di bawah ini. Tahun empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara kemurnian Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya Sunnah itu serta digunakannya sebagai alat melayani berbagai kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya setelah perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah menjadi peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh dendam terhadap 'Ali dan Mu'awiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri sebelumnya merupakan pendukung 'Ali yang bersemangat. Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah habis masa kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl al-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat pada Dinasti Umayyah. Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai. Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'an dan Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka. Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka, setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap al-Qur'an karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya. Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang dituju para pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan bahwa yang pertama melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah -dengan perbedaan berbagai kelompok mereka- sebagaimana dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah, "Ketahuilah bahwa pangkal kebohongan dalam hadits-hadits tentang keunggulan (tokoh-tokoh) muncul dari arah kaum Syi'ah..." Tapi kemudian diimbangi orang-orang bodoh dari kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. [1] Dihadapkan keruwetan itu, para Tabi'in -dengan dipimpin tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan kesarjanaan- mencoba melakukan sesuatu yang amat berat namun kemudian membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan Hukum Islam melalui fiqh atau "proses pemahaman" yang sistimatis. WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal menetap di Madinah Nabi saw. melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu. Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar, perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya. Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum, sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu. Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab: al-Da'irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu. Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya yang telah terjadi pada masa tabi'in itu ialah semacam pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat, khususnya masyarakat Madinah. Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam yang lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap perkembangan yang terjadi. Berkenaan dengan hal ini al-Sayyid Sabiq menjelaskan, ...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan secara sepenuhnya terperinci, dengan dijelaskan oleh nash-nash yang bersangkutan; maka tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang berkembang menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berbagai kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah), urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar, agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua zaman dan agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.[2] Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat (shalih li kull zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat menarik mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq, Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci itu. Penetapan hukum keagamaan murni, seperti hukum-hukum ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan suatu ijtihad yang disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak keluar dari lingkaran tugas menyampaikan (tabligh) dan menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia (Nabi) berbicara atas kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (QS. al-Najm/53:34). Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi bersifat kehakiman, politik dan perang, maka Rasul saw. diperintahkan bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi pernah mempunyai suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi pada waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna berbagai nash yang tidak jelas bagi mereka. Mereka juga mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang nash-nash itu, sehingga Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman mereka itu, dan kadang-kadang beliau menerangkan letak kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3] (bersambung 2/3) -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |