Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

II.9. KONSEP-KONSEP KEADILAN
oleh Abdurrahman Wahid
 
Tidak dapat dipungkiri, al-Qur'an meningkatkan  sisi  keadilan
dalam   kehidupan   manusia,   baik   secara  kolektif  maupun
individual.  Karenanya,  dengan  mudah  kita  lalu  dihinggapi
semacam  rasa  cepat  puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim
dengan  temuan  yang  mudah  diperoleh  secara  gamblang  itu.
Sebagai  hasil  lanjutan  dari rasa puas diri itu, lalu muncul
idealisme atas al-Qur'an sebagai sumber pemikiran paling  baik
tentang  keadilan.  Kebetulan  persepsi  semacam  itu  sejalan
dengan doktrin keimanan Islam sendiri  tentang  Allah  sebagai
Tuhan  Yang  Maha  Adil.  Bukankah  kalau Allah sebagai sumber
keadilan itu sendiri, lalu sudah  sepantasnya  al-Qur'an  yang
menjadi   firmanNya   (kalamu   'l-Lah)  juga  menjadi  sumber
pemikiran tentang keadilan?
 
Cara berfikir  induktif  seperti  itu  memang  memuaskan  bagi
mereka  yang  biasa  berpikir sederhana tentang kehidupan, dan
cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks  dan
rumit.  Mengapakah  kita  harus  sulit-sulit mencari pemikiran
dengan kompleksitas sangat tinggi tentang  keadilan?  Bukankah
lebih  baik  apa  yang  ada  itu  saja segera diwujudkan dalam
kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi
yang  lebih  jauh  hanya  akan  menimbulkan  kesulitan belaka?
"Kecenderungan praktis" tersebut,  memang  sudah  kuat  terasa
dalam  wawasan  teologis  kaum skolastik (mutakallimin) Muslim
sejak delapan abad terakhir ini.
 
Argumentasi seperti itu memang tampak menarik  sepintas  lalu.
Dalam  kecenderungan  segera  melihat  hasil penerapan wawasan
Islam tentang keadilan dalam hidup nyata. Apalagi  dewasa  ini
justru    bangsa-bangsa    Muslim   sedang   dilanda   masalah
ketidakadilan  dalam  ukuran  sangat  massif.  Demikian  juga,
persaingan  ketat  antara  Islam  sebagai sebuah paham tentang
kehidupan, terlepas  dari  hakikatnya  sebagai  ideologi  atau
bukan,  dan  paham-paham  besar  lain  di  dunia ini, terutama
ideologi-ideologi   besar   seperti   Sosialisme,   Komunisme,
Nasionalisme  dan Liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan
serba praktis seperti itu adalah sebuah  pelarian  yang  tidak
akan  menyelesaikan  masalah. Reduksi sebuah kerumitan menjadi
masalah  yang  disederhanakan,  justru  akan  menambah   parah
keadaan.  Kaum  Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari
pemecahan yang  hakiki  dan  berdayaguna  penuh  untuk  jangka
panjang,  dan  merasa  puas  dengan "pemecahan" sementara yang
tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang.
 
Ketika Marxisme dihadapkan kepada  masalah  penjagaan  hak-hak
perolehan  warga  masyarakat,  dan dihadapkan demikian kuatnya
wewenang  masyarakat  untuk   memiliki   alat-alat   produksi,
pembahasan  masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan
menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktis
yang  menyederhanakan  masalah. Memang berdayaguna besar dalam
jangka   pendek,   terbukti    dengan    kemauan    mendirikan
negara-negara   Komunis   dalam  kurun  waktu  enam  dasawarsa
terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu  ternyata
membawa  hasil  buruk,  terbukti dengan "di bongkar pasangnya"
Komunisme dewasa ini oleh  para  pemimpin  mereka  sendiri  di
mana-mana.  Rendahnya  produktivitas individual sebagai akibat
langsung dari hilangnya kebebasan individual warga  masyarakat
yang  sudah  berwatak  kronis,  akhirnya  memaksa parta-partai
Komunis untuk melakukan perombakan total  seperti  diakibatkan
oleh  perestroika  dan  glasnost  di Uni Soviet beberapa waktu
lalu.
 
Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk
juga  meninjau  masalah  keadilan dalam pandangan Islam secara
lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada persoalan, bahkan yang
paling  rumit  sekalipun,  haruslah  diangkat ke permukaan dan
selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan
wawasan   kemasyarakatan   Islam  yang  lebih  relevan  dengan
perkembangan kehidupan umat manusia  di  masa-masa  mendatang.
Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh paham
yang dikembangkan Islam, juga  akan  dihadapkan  kepada  nasib
yang  sama  dengan  yang  menentang Komunisme, jika tidak dari
sekarang dirumuskan pengembangannya secara  baik  dan  tuntas,
bukankah hanya melalui jalan pintas belaka.
 
Pembahasan  berikut  akan  mencoba mengenal (itemize) beberapa
aspek yang harus dijawab oleh Islam tentang  wawasan  keadilan
sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an. Pertama-tama akan dicoba
untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian  dicoba  pula  untuk
menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang
dihadapi umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas
hal-hal  pokok  dan  sosok kasar dari apa yang harus dilakukan
selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati.
 
PENGERTIAN KEADILAN
 
Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda  bagi  kata
atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata
yang digunakan untuk menampilkan sisi  atau  wawasan  keadilan
juga  tidak  selalu  berasal  dari  akar  kata 'adl. Kata-kata
sinonim seperti qisth,  hukm  dan  sebagainya  digunakan  oleh
al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam
berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja  kehilangan  kaitannya
yang  langsung  dengan  sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).
 
Kalau dikatagorikan, ada beberapa  pengertian  yang  berkaitan
dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu
sesuatu  yang  benar,  sikap  yang  tidak  memihak,  penjagaan
hak-hak   seseorang   dan  cara  yang  tepat  dalam  mengambil
keputusan  ("Hendaknya  kalian   menghukumi   atau   mengambil
keputusan   atas   dasar   keadilan").   Secara   keseluruhan,
pengertian-pengertian di atas  terkait  langsung  dengan  sisi
keadilan,  yaitu  sebagai  penjabaran  bentuk-bentuk  keadilan
dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl
dengan  wawasan  atau  sisi keadilan secara langsung itu saja,
sudah  tampak  dengan  jelas  betapa  porsi  "warna  keadilan"
mendapat  tempat  dalam  al-Qur'an,  sehingga dapat dimengerti
sikap  kelompok  Mu'tazilah  dan  Syi'ah   untuk   menempatkan
keadilan  ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama
al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.
 
Kesimpulan  di  atas  juga  diperkuat  dengan  pengertian  dan
dorongan  al-Qur'an  agar  manusia  memenuhi  janji, tugas dan
amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita,  lemah  dan
kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama
warga  masyarakat,  jujur  dalam  bersikap,  dan   seterusnya.
Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum
Muslim  itu  menunjukkan  orientasi  yang  sangat  kuat   akar
keadilan  dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan itu
tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro  dari  kehidupan
warga  masyarakat  secara  perorangan,  melainkan juga lingkup
makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya
dituntut  bagi  kaum  Muslim  saja  tetapi  juga  mereka  yang
beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi  sikap  adil  dalam
urusan-urusan  mereka  belaka,  melainkan juga dalam kebebasan
mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan  ajaran
agama masing-masing.
 
Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara
wawasan  atau  sisi  keadilan  oleh  al-Qur'an  dengan   upaya
peningkatan  kesejahteraan  dan  peningkatan taraf hidup warga
masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya
dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin,
janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami  perceraian.
Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan
sebagai  pengejawantahan  keadilan.  Orientasi  sekian  banyak
"wajah  keadilan"  dalam  wujud  konkrit itu ada yang berwatak
karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial,  dan
dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural.
 
Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an
itu adalah sifatnya  sebagai  perintah  agama,  bukan  sekedar
sebagai  acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya
merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian  akan
diperhitungkan  dalam  amal  perbuatan  seorang Muslim di hari
perhitungan (yaum al-hisab) kelak.  Dengan  demikian,  wawasan
keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu
yang  ideologis,  sebagaimana  terbukti  dari  revolusi   yang
dibawakan  Ayatullah  Khomeini  di  Iran.  Sudah  tentu dengan
segenap bahaya-bahaya  yang  ditimbulkannya,  karena  ternyata
dalam  sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani
yang mengingkari keadilan itu
 
Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal  ini,
bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur'an
ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak  reflektif.  Ini
mungkin  karena  "warna"  dari bentuk konkrit wawasan keadilan
itu  adalah  "warna"  hukum  agama,  sesuatu  yang  katakanlah
legal-formalistik.
 
PERMASALAHAN
 
Mengingat  sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik
dalam al-Qur'an itu, secara langsung kita dapat melihat adanya
dua buah persoalan utama yaitu keterbatasan visi yang dimiliki
wawasan keadilan itu sendiri,  dan  bentuk  penuangannya  yang
terasa    "sangat   berbalasan"   (talionis,   kompensatoris).
Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa kalau suatu
bentuk  tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban
berbuat  adil,  walaupun  dalam  sisi-sisi  yang  lain  justru
wawasan  keadilan  itu  dilanggar.  Dapat  dikemukakan sebagai
contoh, umpamanya, seorang suami telah "bertindak  adil"  jika
"berbuat  adil"  dengan menjaga ketepatan bagian menggilir dan
memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa mempersoalkan
apakah  memiliki  dua  orang  isteri itu sendiri adalah sebuah
tindakan  yang  adil.  Dengan  demikian,  pemenuhan   tuntutan
keadilan  yang  seharusnya  berwajah utuh, lalu menjadi sangat
parsial dan tergantung  kepada  pelaksanaan  di  satu  sisinya
belaka.
 
Warna  kompensatoris  dari  wawasan  keadilan  yang  dibawakan
al-Qur'an itu juga terlihat dalam sederhananya  perumusan  apa
yang  dinamakan  keadilan  itu sendiri. Wanita yang diceraikan
dalam keadaan  hamil  berhak  memperoleh  santunan  hingga  ia
melahirkan   anak   yang  dikandungnya,  cukup  dengan  jumlah
tertentu berupa uang atau bahan makanan. Sangat  terasa  watak
berbalasan  dari  "pemenuhan  keadilan" yang berbentuk seperti
ini, karena ada "pertukaran jasa" antara mengandung anak (bagi
suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri).
 
Dari  pengamatan  akan  kedua  hal di atas lalu menjadi jelas,
bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan dalam pandangan
al-Qur'an   itu  masih  memerlukan  pengembangan  lebih  jauh,
apalagi jika dikaitkan  dengan  perkembangan  wawasa  keadilan
dalam kehidupan itu sendiri.
 
Sampai  sejauh  manakah  dapat  dikembangkan wawasan demokrasi
yang utuh bila dipandang  dari  sudut  wawasan  keadilan  yang
dimiliki  al-Qur'an  itu?  Dapatkah  kepada kelompok demokrasi
yang utuh bila dipandang  dari  sudut  wawasan  keadilan  yang
dimiliki  al-Qur'an  itu?  Dapatkah  kepada kelompok minoritas
agama diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan?
Dapatkah   wawasan   keadilan  itu  menampung  kebutuhan  akan
persamaan derajat agama  dikesampingkan  oleh  kebutuhan  akan
hukum  yang  mencerminkan  kebutuhan  akan persamaan perlakuan
hukum secara mutlak bagi  semua  warga  negara  tanpa  melihat
asal-usul   agama,   etnis,  bahasa  dan  budayanya?  Dapatkah
dikembangkan sikap untuk  membatasi  hak  milik  pribadi  demi
meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya
demokrasi  ekonomi?  Deretan  pertanyaan   fundamental,   yang
jawaban-jawabannya akan menentukan mampukah atau tidak wawasan
keadilan yang terkandung dalam  al-Qur'an  memenuhi  kebutuhan
sebuah masyarakat modern di masa datang.
 
Diperlukan    kajian-kajian    lebih   lanjut   tentang   peta
permasalahan seperti dikemukakan di atas, namun  jelas  sekali
bahwa  visi keadilan yang ada dalam al-Qur'an dewasa ini harus
direntang  sedemikian   jauh,   kalau   diinginkan   relevansi
berjangka  panjang dari wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya
lalu menjadi  rumit  dan  memerlukan  refleksi  filosofis,  di
samping    kejujuran    intelektual    yang    tinggi    untuk
merampungkannya secara kolektif.  Masalahnya,  masih  punyakah
umat  Islam  kejujuran  intelektual  seperti  itu, atau memang
sudah  tercebur  semuanya  dalam  pelarian   sloganistik   dan
"kerangka  operasionalisasi"  serba terbatas, sebagai pelarian
yang manis?
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team