| |
|
II.5. KONSEP-KONSEP TEOLOGIS oleh Djohan Effendi Perkataan teologi tidak berasal dari khazanah dan tradisi agama Islam. Ia istilah yang diambil dari agama lain, yaitu dari khazanah dan tradisi Gereja Kristiani. Hal ini tidaklah dimaksudkan untuk menolak pemakaian kata teologi itu. Sebab pemungutan suatu istilah dari khazanah dan tradisi agama lain tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, apalagi jika istilah tersebut bisa memperkaya khazanah dan membantu mensistematisasikan pemahaman kita tentang Islam. Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of Religion and Religions berarti "ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali diperluas mencakup keseluruhan bidang agama." Dalam pengertian ini agaknya perkataan teologi lebih tepat dipadankan dengan istilah fiqih, dan bukan hanya dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Istilah fiqih di sini bukan dimaksudkan ilmu fiqih sebagaimana kita pahami selama ini, melainkan istilah fiqih seperti yang pernah digunakan sebelum ilmu fiqih lahir. Imam Abu Hanifah, Bapak ilmu fiqih, menulis buku al-fiqh-u 'l-akbar yang isinya bukan tentang ilmu fiqih, tapi justru tentang aqidah yang menjadi obyek bahasan ilmu kalam atau tauhid. Boleh jadi, ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini dalam kerangka pemikiran Imam Abu Hanifah adalah al-fiqh-u 'l-ashghar. Sebab, keduanya baik ilmu kalam atau ilmu tauhid maupun ilmu fiqih pada dasarnya adalah fiqih atau pemahaman yang tersistematisasikan. Yang pertama, menyangkut bidang ushuliyah (tentang yang prinsip atau yang pokok), sedangkan yang kedua meyangkut bidang furu'iyah (detail atau cabang). Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam telah menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana dipergunakan Imam Abu Hanifah. Dengan menyinggung masalah ini, hanya ingin dikatakan bahwa pemakaian istilah teologi mempunyai alasan cukup kuat, sebab ia membantu kita memahami Islam secara lebih utuh dan lebih terpadu. Pijakan tulisan ini tentang teologi al-Qur'an. Kita tentu sepakat bahwa ide sentral dalam teologi al-Qur'an adalah ide tauhid. Pertanyaan yang perlu kita munculkan, bagaimana sebaiknya kita memahami dan kemudian menghayati ide tauhid itu dalam kehidupan kita sebagai muslim? Dalam pengalaman kita --sekurang-kurangnya sebagian dari kita-- mengenal atau pernah diberi pelajaran ilmu tauhid. Biasanya, dalam mempelajari ilmu tersebut, pertama-tama kita diperkenalkan dengan apa yang disebut sebagai "hukum akal." Hal ini bisa kita baca dalam buku-buku ilmu tauhid, dari yang sangat tradisional hingga yang termasuk modern seperti buku Risalah Tawhid karya Muhammad Abduh, misalnya. Melalui kategori-kategori yang dirumuskan sebagai hukum akal itu, yakni: wajib, mustahil dan harus, kita diajak memahami tentang konsep ketuhanan dan kenabian. Maka kita pun mengetahui sifat-sifat Tuhan dan Nabi-nabi, baik yang dikategorikan sebagai sifat-sifat yang wajib, sifat-sifat yang mustahil maupun sifat-sifat yang harus. Masalah-masalah lain seperti kepercayaan tentang malaikat, kitab-kitab wahyu, hari akhirat maupun qadla dan qadar, adalah kelanjutan atau pelengkap dari kepercayaan terhadap Tuhan dan Kenabian tersebut. Pembahasan tentang dan di sekitar hal-hal inilah yang selama ini disebut sebagai ilmu tauhid. Jelas sekali pembahasan tentang teologi sebagaimana terdapat dalam ilmu tauhid sangat intelektualistik sifatnya. Lebih-lebih kalau kita memasuki pembahasan yang lebih rumit, terutama ketika membicarakan sifat-sifat Tuhan, yang selama ini dikenal sebagai "sifat dua puluh." Dalam membahas sifat dua puluh itu, muncul berbagai konsep seperti sifat nafsiyah, Salbiyah, ma'ani dan sifat ma'nawiyah. Juga dikemukakan pembahasan tentang kaitan atau ta'alluq sifat-sifat Tuhan dengan alam ini, dan muncullah konsep-konsep tentang ta'alluq ma'iyah, ta'alluq ta'tsir, ta'alluq hukmiyah, ta'alluq bi 'l-quwwah, ta'alluq shuluhi qadim, ta'allaq tanjizi qadim, ta'alluq tanjizi hadits. Kebanyakan dari kita tentu tidak akrab dengan istilah-istilah atau konsep -konsep tersebut. Dengan mengemukakan hal itu ingin diturunkkan betapa jauhnya teologi yang dibahas dalam buku-buku ilmu tauhid dengan dunia praktis, dengan problematika kemanusiaan. Teologi semacam itu adalah teologi yang steril dan mandul. Ia tidak mempunyai relevansi dengan realitas kehidupan kita. Teologi semacam itu tidaklah membuahkan elan vital (gairah hidup). Ia tidak melahirkan innerforce (kekuatan batin), moral maupun spiritual, yang membuat kita bergairah dalam aksi untuk membebaskan diri kita dan masyarakat sekitar kita dari segala bentuk kemusyrikan. BENTUK-BENTUK KEMUSYRIKAN Dalam memahami ide tauhid, ada baiknya bila kita memahami apa-apa yang oleh al-Qur'an dianggap sebagai syirik atau kemusyrikan. Al-Qur'an mengemukakan dua ciri utama dari kemusyrikan, yakni, pertama, menganggap Tuhan mempunyai syarik atau sekutu, dan kedua, menganggap Tuhan mempunyai andad atau saingan. Kedua ciri utama itu wujud dalam berbagai bentuk manifestasi. Kalau kita mendengar perkataan syirik atau kemusyrikan yang segera terbayang dalam angan-angan kita biasanya penyembahan berhala, seperti dilakukan para penganut agama-agama "pagan." Dan memang al-Qur'an sendiri menyinggung bahkan mengecam orang-orang yang menjadikan berhala sebagai ilah atau sesembahan (QS. 6:74; 7:138; 21:52). Selain berhala al-Qur'an juga mengemukakan hal-hal lain yang bisa dijadikan obyek sesembahan selain Tuhan, misalnya penyembahan benda-benda langit seperti matahari, bulan dan bintang (QS. 41:37) atau benda-benda mati lainnya (QS. 4:117). Juga disinggung adanya penyembahan makhluk halus seperti jin (QS. 6:101) atau tokoh-tokoh yang dipertuhan atau dianggap mempunyai unsur-unsur ketuhanan (QS. 4:171; 5:116; 6:102; 19:82-92; 16:57; 17:40 dan 37:49). Berkenaan dengan penyembahan berhala, benda-benda langit atau benda-benda mati lainnya, atau penyembahan makhluk halus atau manusia yang dipertuhan, kiranya dari segi keberagamaan kita sebagai muslim, bukanlah persoalan yang masih memerlukan perhatian lebih banyak. Masalahnya sangat jelas dan karena itu menghindarinya pun sangat mudah. Akan tetapi masalah kemusyrikan tidak berhenti sampai di situ saja. Al-Qur'an masih mengemukakan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah kemusyrikan, yang lebih halus sifatnya, terutama berkaitan dengan ciri kemusyrikan yang menempatkan adanya andad atau saingan terhadap Tuhan, bukan dalam bentuk penyembahan melainkan dalam bentuk kecintaan (QS. 2:165). Dalam kategori ini bisa dimasukkan juga sikap ketaatan yang sama sekali tanpa reserve terhadap ulama (QS. 9:31) atau sikap fanatisme golongan, aliran atau juga organisasi yang berlebih-lebihan (QS. 23:52-53; 30:31-32). Hal-hal lain yang oleh al-Qur'an dijadikan contoh sebagai saingan Tuhan dalam kaitannya dengan kecintaan kita adalah keluarga dan kerabat dekat kita, kekayaan, usaha atau bussiness kita, dan rumah-rumah mewah kita (QS. 9:24). Selain itu masih ada satu hal lagi yang oleh al-Qur'an disebutkan sebagai "sesuatu yang bisa menjadi ilah atau sesembahan kita," yaitu hawa nafsu kita sendiri (QS.25:43). Berbagai bentuk manifestasi kemusyrikan tersebut, sebagaimana dikemakakan al-Qur'an, menunjukkan bahwa masalah kemusyrikan bukanlah sesuatu yang sederhana, karena itu usaha kita menjadi orang yang benar-benar bertauhid bukanlah masalah yang mudah. KESERAKAHAN DAN KETIDAKPEDULIAN SOSIAL Berangkat dari berbagai bentuk manifestasi kemusyrikan yang disebutkan al-Qur'an di atas, kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa teologi al-Qur'an tidak sekedar terbatas pada aspek kepercayaan saja. Ia sangat terkait dengan hal-hal yang sangat praktis. Kebertauhidan tidak hanya menyangkut kepercayaan kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi juga menyangkut pandangan dan sikap kita terhadap manusia, benda dan lembaga. Hubungan manusia dengan benda, baik pandangan maupun sikapnya, mendapat sorotan yang sangat tajam dalam al-Qur'an. Khususnya berkaitan dengan kekayaan. Hal ini menarik dan perlu untuk dikaji lebih jauh. Suatu hal yang sangat menggoda untuk direnungkan adalah, justru pada surat-surat atau ayat-ayat yang diwahyukan di masa-masa permulaan kenabian Muhammad saw tidak terdapat kecaman terhadap penyembahan berhala. Yang ada malah kecaman terhadap keserakahan dan ketidakpedulian sosial. Untuk memperjelas hal ini ada baiknya bila lebih dahulu dikemukakan tentang periodisasi turunnya al-Qur'an. Seperti kita ketahui masa turunnya al-Qur'an dibagi dalam dua priode: periode Mekkah (610-622 M.) dan periode Madinah (622-632 M.). Periode Mekkah sendiri juga dibagi dalam tiga tahap, tahap Mekkah awal (610-615 M.), tahap Mekkah pertengahan (616-617) dan tahap Mekkah akhir (618-622 M.). Pada masa periode Mekkah awal terdapat 48 surah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Di sini hanya diambil 12 surah paling awal saja, yakni: (1) Surah al-'Alaq, (2) Surah al-Mudatstsir, (3) Surah al-Lahab, (4) Surah al-Quraysy, (5) Surah al-Kawtsar, (6) Surah al-Humazah, (7) Surah al-Ma'un, (8) Surah al-Takatsur, (9) Surah al-Fil, (10) Surah al-Layli, (11) Surah al-Balad, dan (12) Surah al-Insyirah. Sengaja hanya diambil 12 surah di atas, sebab surah yang ke-13 adalah Surah al-Dhuha. Beberapa mufassir menceriterakan bahwa Surah al-Dhuha turun sesudah Nabi mengalami masa jeda di mana wahyu terhenti beberapa lama. Karena itu ke-12 surah di atas turun atau diwahyukan kepada Nabi pada masa-masa sangat awal dari kenabian, atau dari sejarah Islam. Ke-12 surah tersebut sama sekali tidak menyinggung masalah penyembahan berhala. Enam surah di antaranya justru menyinggung masalah keserakahan terhadap kekayaan dan ketidakpedulian terhadap orang-orang yang menderita. Dalam Surah al-Lahab, yang turun dalam urutan ke-3, disinggung bahwa harta kekayaan dan usaha seseorang sama sekali tidak akan menyelamatkannya dari hukuman di Hari Akhirat. Tidak berguna baginya kekayaannya, dan apa yang dikerjakannya! Akan dibakar ia dalam api menyala Surah al-Humazah, yang turun dalam urutan ke-6, dengan keras mengingatkan akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah menumpuk-numpuk kekayaan dan menganggap kekayaannya itu bisa mengabadikannya. Celaka amat si pengumpat si pemfitnah. Yang menumpuk-numpuk harta kekayaan dan menghitung-hitungnya. Ia menyangka harta kekayaannya bisa mengekalkannya. Dalam surah yang turun berikutnya, Surah al-Ma'un, orang-orang yang tidak mempedulikan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dikualifikasikan sebagai orang-orang yang membohongkan agama. Tahukah engkau orang yang membohongkan agama Itulah dia yang mengusir anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang-orang miskin. Surah berikutnya yang turun dalam urutan ke-8, Surah al-Takatsur, memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang asyik berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan. Kalian menjadi lalai karena perlombaan mencari kemegahan dan kekayaan. Hingga kalian masuk ke pekuburan. Dalam Surah al-Layli yang diwahyukan dalam urutan ke-10 diberikan kabar baik terhadap mereka yang suka memberi dan sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil. Maka siapa yang suka memberi dan bertaqwa. Dan membenarkan nilai kebaikan Kami akan memudahkan baginya jalan kebahagiaan. Dan siapa yang kikir dan menyombongkan kekayaan. Dan mendustakan nilai kebaikan Kami akan mudahkan baginya jalan kesengsaraan. Dan tiada berguna baginya kekayaannya ketika ia binasa. Yang terakhir Surah al-Balad yang diwahyukan dalam urutan ke-11, menyinggung keengganan manusia memberikan bantuan kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Dan Kami tunjuki ia dua jalan. Tapi tak mau ia menempuh jalan mendaki. Tahukah engkau jalan mendaki itu. Memerdekakan budak sahaya. Atau memberi makanan di masa kelaparan. Pada anak yatim yang punya tali kekerabatan. Atau orang papa yang terlunta-lunta. Pesan-pesan al-Qur'an di atas, yang diwahyukan justru di masa yang sangat awal dari kenabian, sangat jelas dan sama sekali tidak memerlukan penafsiran. Ia memperlihatkan betapa, dalam al-Qur'an masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial mempunyai perspektif teologis. Ia tidak sekedar masalah etik dan moral. Ia langsung menyangkut kebertauhidan kita. REFORMASI SOSIAL Kalau kita renungkan mengapa masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial mendapat sorotan tajam pada masa yang sangat awal dari kenabian Muhammad, mungkin kita bisa menarik kesimpulan bahwa Risalah Nabi kita terutama untuk mengadakan reformasi sosial. Hal ini bisa kita kaitkan dengan penegasan al-Qur'an yang mengatakan bahwa Muhammmad diutus tidak lain kecuali dalam rangka membawa rahmat bagi seluruh alam (QS. 21:107). Dengan perkataan lain, misi utama Nabi Muhammad saw adalah membantu manusia mewujudkan tata kehidupan yang disemangati nilai-nilai rahmah. Anjuran Nabi agar kita selalu memulai kegiatan dan kerja kita dengan ucapan "Bismillahirrahmanirrahim" (bism-i 'l-Lah-i 'l-rahman-i 'l-rahim), memberikan suatu isyarat kepada kita agar kita menjadikan diri kita sebagai perwujudan dari nilai-nilai rahmah itu bagi sesama makhluk Tuhan. Dengan perkataan lain apapun profesi kita, motivasi dan orientasi kita tidak boleh bergeser dari ide untuk menciptakan --atau setidak-tidaknya menjadi bagian dari proses menciptakan-- suatu tata kehidupan yang dilandasi nilai-nilai rahmah itu. Pertanyaan yang mungkin timbul, bagaimana kaitan antara sorotan tajam terhadap kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial dengan cita-cita tentang reformasi sosial yang dilandasi semangat mewujudkan kehidupan yang penuh rahmah itu? Kaitannya sangat jelas, bahwa keserakahan dan ketidakpedulian sosial adalah yang menimbulkan suatu kehidupan yang tidak disemangati nilai-nilai rahmah. Karena itu reformasi sosial mestilah ditandai, pertama-tama oleh distribusi kekayaan yang adil. Itulah prioritas utama yang digumuli Nabi dalam usaha mewujudkan reformasi sosial. -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |