Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

I.1. PERSOALAN PENAFSIRAN METAFORIS ATAS FAKTA-FAKTA TEKSTUAL
oleh M. Quraish Shihab                                   (2/2)
 
Kita  tak  mempermasalahkan  walaupun  seandainya   kita   tak
sependapat  dengan  orang-orang  yang  memahami  kata "matilah
kamu"  dan  "Allah  menghidupkan  mereka"   dalam   pengertian
"kematian semangat jihad mereka" kemudian "kehidupan" semangat
jihad tersebut sehingga  kembali  ke  kampung  halaman  mereka
untuk mengusir orang yang selama itu menganiaya mereka.
 
Ketiga,  Sementara  penganut-penganut  aliran Rasional dinilai
sementara ahli melakukan ta'wil dengan menitik beratkan  tolok
ukurnya pada akal mereka dan kalau pun menggunakan argumentasi
kebahasaan, maka yang digunakan  adalah  riwayat-riwayat  yang
sangat  lemah  atau  dibuat-buat.  Mereka  juga dinilai sangat
memperluas penggunaan metafora  dengan  menggunakan  pemahaman
tamsil atau perumpamaan bagi ayat-ayat al-Qur'an.
 
Muhammad Abduh (w. 1906 M) dinilai sebagai salah seorang tokoh
penganut aliran ini. Ayat-ayat yang menguraikan kisah kejadian
Adam  as. pada surah al-Baqarah 30 dan seterusnya, difahaminya
atas dasar tamsil, (11) sehingga tak  ada  dialog  sebagaimana
tersurat,  tetapi  penyampaian  Tuhan  kepada malaikat tentang
rencana-Nya menciptakan  khalifah  di  bumi,  adalah  pertanda
kesiapan   bumi   untuk  menyambut  satu  makhluk  yang  dapat
mengolahnya sehingga tercapai kesempurnaan hidup di dunia.
 
Pertanyaan malaikat kepada Tuhan tentang khalifah  yang  dapat
merusak dan menumpahkan darah, dipahami Abduh sebagai gambaran
tentang potensi dalam diri manusia untuk melakukan  kejahatan.
Pengajaran  Tuhan kepada Adam tentang nama benda-benda, adalah
gambaran tentang potensi manusia mengetahui serta mengolah dan
mengambil  manfaat segala yang terdapat di bumi ini. Pemaparan
pertanyaan kepada malaikat dan ketakmampuan  mereka  menjawab,
menunjukkan  keterbatasan  hukum-hukum alam. Sujudnya Malaikat
kepada  Adam,  menunjukkan  kemampuan   manusia   memanfaatkan
hukum-hukum alam. Keengganan Iblis sujud, menandakan kelemahan
manusia  dan  ketakmampuannya  menghilangkan   bisikan-bisikan
negatif yang mengantar kepada perselisihan, perpecahan, agresi
dan permusuhan di muka bumi ini.
 
Abduh ketika menguraikan tentang "malaikat," mengemukakan  dua
pendapat. Pertama, bahwa malaikat merupakan makhluk ghaib yang
tak dapat diketahui hakikatnya namun harus dipercaya wujudnya.
Sedang  pendapat  yang kedua, adalah bahwa "malaikat merupakan
makhluk-makhluk Allah yang bertugas dalam  pekerjaan-pekerjaan
tertentu,   seperti   menumbuhkan  tumbuh-tumbuhan  memelihara
manusia dan sebagainya." Hal ini menurut Abduh, adalah isyarat
yang  lebih jelas dari satu redaksi tentang satu ciri tertentu
bahwa  pertumbuhan  dalam  tumbuh-tumbuhan  terjadi  tak  lain
kecuali  dengan adanya Ruh yang dihembuskan Allah Swt ke dalam
benihnya, sehingga dengan demikian terjadilah  kehidupan  bagi
tumbuhan  tersebut.  Demikian  pula  halnya dengan manusia dan
binatang. Yang  demikian  itu  menurut  Abduh  dinamai,  dalam
istilah agama dengan "malaikat."
 
Selanjutnya  Abduh menulis, "Bagi mereka yang tak mengindahkan
penamaan yang ditetapkan agama, hal  tersebut  mereka  namakan
natural  power  karena mereka tak mengenal dalam kehidupan ini
kecuali apa yang tampak dan atau yang  tampak  bekasnya  dalam
alam nyata. Satu hal yang pasti, kata Abduh selanjutnya, bahwa
hakikat setiap ciptaan terdapat sesuatu  yang  menjadi  sumber
ketergantungannya  serta  sistem  wujudnya.  Hal ini tak dapat
diingkari siapa pun yang berakal walau pun mereka tak  beriman
atau mengingkari bahwa hal tersebut dinamai malaikat, demikian
pula sebaliknya hal tersebut tak diingkari oleh seseorang yang
beriman  walaupun  ia  mengingkari  penamaan  tersebut  dengan
"natural power" atau hukum alam.
 
Muhammad  Abduh  menambahkan,  dirasakan  oleh   mereka   yang
mengamati  dirinya,  atau  membanding-bandingkan  pikiran  dan
kehendaknya yang mempunyai dua  sisi  baik  dan  buruk,  bahwa
dalam   batinnya  terjadi  pergolakan,  seakan-akan  apa  yang
terlintas dalam pikirannya itu sedang diajukan ke suatu sidang
Majelis   Permusyawaratan  yang  ini  menerima  dan  yang  itu
menolak, yang ini berkata "Kerjakanlah" dan yang itu "Jangan,"
demikian  halnya  sehingga  pada akhirnya menanglah salah satu
pilihan. Proses  demikian  yang  terdapat  dalam  jiwa  setiap
manusia,  tak mustahil dinamai Allah atau dinamai penyebab hal
tersebut sebagai "malaikat."
 
Demikian  antara  lain  penta'wilan  yang  dilakukan  Muhammad
Abduh, yang kemudian diikuti oleh tak sedikit dari ulama-ulama
sesudah masa beliau.
 
Kita   dapat   memahami   motivasi    Muhammad    Abduh    dan
penganut-penganut    alirannya    dalam    menggunakan    akal
seluas-luasnya ketika memahami  teks-teks  keagamaan  sehingga
merasionalkan  ajaran-ajaran agama sambil mempersempit sedapat
mungkin wilayah ghaib, namun hal  ini  bila  diturutkan  tanpa
batas  yang  jelas,  dapat mengantar pada pengingkaran hal-hal
yang bersifat supra-rasional, sebagaimana  ditemukan  kemudian
dalam perkembangan pemikiran selanjutnya.
 
Menggunakan   akal   sebagai  tolok  ukur  satu-satunya  dalam
memahami     teks-teks     keagamaan     khususnya     tentang
peristiwa-peristiwa  alam,  sejarah  kemanusiaan  dan  hal-hal
ghaib  berarti  menggunakan  sesuatu  yang  terbatas  terhadap
perbuatan-perbuatan  Tuhan  (zat  yang tak terbatas itu). Tapi
tentunya ini bukan pula  berarti  kita  menerima  begitu  saja
penafsiran-penafsiran yang tak logis. Tidak demikian! Apa yang
dikemukakan di atas hanya berarti  bahwa  bila  suatu  redaksi
sudah  cukup jelas serta penafsirannya tak bertentangan dengan
akal, walaupun belum dipahaminya, maka  redaksi  tersebut  tak
harus dita'wilkan lagi dengan memaksakan suatu penafsiran yang
dianggap  logis  sehingga  dipahami  akal.  Karena  kalau  hal
tersebut   harus   dipaksakan   maka   tak   jarang  ditemukan
pemahaman-pemahaman  yang  tak   hanya   bertentangan   dengan
kaidah-kaidah   kebahasaan  tetapi  juga  bertentangan  dengan
hakikat keagamaan.
 
Ahmad Musthafa al-Maraghi salah seorang penganut aliran  Abduh
menulis  dalam  tafsirnya menyangkut ayat 10 surah Saba', "Dan
sesungguhnya Kami telah anugerahkan kepada Daud  karunia  dari
Kami.   (Kami   berfirman)   Hai   gunung-gunung  bertasbihlah
berulang-ulang  bersama  Daud."   Al-Maraghi   menulis   bahwa
pengertian  ayat  tersebut adalah bahwa "gunung mengantar Daud
bertasbih  mensucikan  Allah,  dengan  jalan  pandangan   yang
diarahkan    Daud    kepada   keajaiban   tersebut   berfungsi
mengingatkan sebagaimana seseorang  mengingatkan  yang  lain."
(12)
 
Pendapat  di  atas  dinilai sementara ulama tak sejalan dengan
teks ayat di mana  yang  diperintahkan  adalah  gunung-gunung,
bukannya  Daud.  Dan  yang  lebih  penting lagi bahwa Mufassir
al-Maraghi telah  berusaha  memahami  hakikat  tasbih  gunung,
sedang  terdapat ayat yang lain yang menegaskan bahwa: "Langit
yang tujuh, bumi dan semua  yang  ada  di  dalammya  bertasbih
kepada   Allah   dan   tak  sesuatu  pun  melainkan  bertasbih
memujiNya, tapi kamu sekalian tak mengetahui (hakikat)  tasbih
mereka.  Sesungguhnya  Dia  adalah  Maha  Penyantun  lagi Maha
Pengampun"  (QS.  al-Isra'  44).  Jika  apa  yang  digambarkan
tentang  pendapat al-Maragi di atas tak disetujui, tetap harus
diakni bahwa pendapat tersebut dari sisi  kebahasaan  memiliki
alasan-alasannya.
 
Penta'wilan yang parah adalah  yang  semata-mata  mengandalkan
penalaran  akal  seseorang  dengan  mengabaikan  pertimbangan-
pertimbangan kebahasaan. Dr. (medis) Mustafa  Mahmud  memahami
larangan  Tuhan  pada  Adam dan Hawa "mendekati pohon" sebagai
larangan mengadakan "hubungan sexual."  Bukti  yang  dijadikan
dasar pertimbangannya adalah,
 
Pertama, Ketika mereka (Adam dan Hawa)  telah  memakan  (buah)
pohon  tersebut  (mengadakan hubungan sex) mereka tanpa busana
dan berusaha menutupi auratnya dengan daun-daun surga,  ketika
itu  mereka merasa malu. Perasaan malu akibat terlihatnya alat
kelamin  hanya  dialami  oleh  mereka  yang  telah  mengadakan
hubungan  sexual.  Terbukti bahwa anak kecil tak merasakan hal
tersebut, berbeda dengan orang dewasa yang merasa malu,  walau
sekedar menyebutnya.
 
Kedua,  Redaksi  Firman  Allah  sebelum mereka mendekati pohon
tersebut adalah dalam  bentuk  dual  ("Janganlah  kamu  berdua
mendekati  pohon  ini,"  QS.  al-Baqarah:  35), tetapi setelah
mereka mendekatinya  (memakan  buah  terlarang)  redaksi  ayat
berbentuk  plural  atau  jama' "Turunlah kamu, sebahagian kamu
menjadi musuh bagi yang lain" (Q.S. al-Baqarah: 36).  Hal  ini
menunjukkan  bahwa ketika itu mereka yang tadinya hanya berdua
(Adam dan Hawa) kini telah menjadi lebih dari dua orang dengan
adanya  janin  yang  dikandung  oleh Hawa setelah hubungan sex
tersebut. (13)
 
Apa yang dikemukakan di atas hemat  kita  bertentangan  dengan
teks   ayat-ayat  al-Qur'an  serta  kaidah-kaidah  kebahasaan.
Pertama, ayat  al-Qur'an  menggambarkan  bahwa  keadaan  tanpa
busana  terjadi  setelah  atau  akibat dari memakan buah pohon
terlarang bukan sebelumnya, sebagaimana dipahami oleh  Mustafa
Mahmud.  Kedua,  Kosakata  "pohon"  dita'wilkan  atau dipahami
secara metaforis tanpa ada argumentasi pendukung, dan  anehnya
"daun-daun surga" difahami secara hakiki. Ketiga, Di sisi lain
bahasa Arab tak menganggap  wujud  janin  sebagai  wujud  yang
penuh,  karena  itu  wanita hamil akan tetap diperlakukan oleh
bahasa sebagai wujud tunggal, tak  sebagaimana  dipahami  oleh
dr.   Mustafa   Mahmud.   Contoh   yang  dikemukakan  di  atas
menunjukkan  betapa  pemahaman  ayat-ayat  al-Qur'an,  apalagi
penta'wilan  ayat-ayatnya, membutuhkan, di samping nalar, juga
penguasaan bahasa Arab.
 
CATATAN
 
1. Harimurti  Kridalaksana,   Kamus   linguistik,   Gramedia,
   Jakarta 1983, h. 106.
   
2. Muhammad  Husen al-Zahaby, al-Tafsir Wa 'l-Mufassirun, Dar
   al-Kutub al-Haditsah, Cairo, 1963, Jilid 1, h. 18.
   
3. Syarid Al-Radhy, Talkhis al-Bayan,  diedit  oleh  Muhammad
   Abdulghani Hasan, Al-Halaby, Mesir, 1955, h. 11.
   
4. Lihat  al-Jahiz  dalam  al-Hayawan, diedit oleh Abdussalam
   Harun, Cairo, 1364 H., Jilid.II, h. 128.
   
5. Muhammad  Rajab  al-Bayyumy,  Dr.,   Khathawat   al-Tafsir
   Al-Bayany, Majma' al-Buhuts, Cairo, 1971, hl. 92.
   
6. Syarif AlRadhy, Op. Cit. hal. 56.
   
7. Al  Sayuthi,  al-Itqan, Al-Azhar, Cairo, 1318 H. Jilid 11,
   h. 36.
   
8. Abu Zahrah, Ibnu Hazem Hayatuha Wa Ashruhu,  Dar  Al-Fikr,
   Cairo, tp. th. h. 226.
   
9. Ibid.
   
10. Lihat  Abu  Ishaq  al-Syathiby,  al-Muwafaqat, diedit oleh
   Abdullah Darraz, Dar al-Ma'rifah, Beirut, 1971, Jilid 111,  h.
   99.
   
11. Tentang  pendapat-pendapat Abduh lihat lebih jauh Muhammad
   Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, Percetakan al-Manar, Cairo
   1367 H. Jilid 1, h.261 dst.
   
12. Ahmad  Musthafa  al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy, al-Halaby,
   Cairo 1964 M. Juz 22, h. 64.
   
13. Lihat  lebih  jauh  Abdul   Muta'al   Muhammad   al-Jabri,
   Syathahat Musthafa Mahmud, Dar al-Itisham, Cairo, 1967, h. 119
   dst.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team