| |
|
III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (2/2) oleh Masdar F. Mas'udi Mu'tazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mata ditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnya sendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhan harus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk dan harus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dan sebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harus bertindak yang terbaik bagi manusia. Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggungjawab itu, pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan dirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikan Tuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio atau nalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yang mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalam menentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa 'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa pun juga, diluar diri manusia sendiri. Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliran pemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkan otoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yang oleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhan doktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu? Tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengan tesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnya Mu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesama makhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang dapat mendikte manusia. Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut erat kaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan" yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secara harfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barang baru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya. Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi baru karena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih) Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisit tersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an). Sifat-sifat atau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memiliki perbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan itu qadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifat yang dikenakan kepadaNya, adalah hadits. Dengan menarik postulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salah satu sifat-Nya (al-kalam) yang hadits dengan demikian juga berkapasitas hadits, maka diciptakan (makhluq). TIGA KRITIK Adalah al-Asy'ari (w. 330 H/942 M), menurut catatan sejarah yang pertama kali menyatakan kekecewaannya terhadap konsep teologi Mu'tazilah yang rasionalistik itu. Konon, pada suatu ketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya, al-Jubba'iy, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka pada zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang sama-sama masuk sorga karena imannya. Tapi, sesuai dengan keadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang mati dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibanding kedudukan si anak. Mengapa harus begitu? Tanya Asy'ari. Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si anak belum, jawab Jubbaiy. Kenapa harus terjadi si anak tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikan seperti temannya yang dewasa? Kejar Asy'ari. Tuhan tahu, jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia durhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk manusia, kilah Jubbaiy. Kalau begitu, kejar Asy'ari lebih lanjut, bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalam neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketika masih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka? Yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiy kehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy, Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung argumentasinya. Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah) dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan menurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga dengan logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada di atas batas-batas manusia tadi. Kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepada Mu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnya sebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harus diterima semua pihak. Sesungguhnyalah kritik ini tidak saja mengena pada Mu'tazilah, tapi juga pada semua aliran teologi yang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanya bedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenaran tunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedang lawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itu melalui huruf-huruf naqal. Yang tersebut terakhir ini dengan sangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yang mengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855 M). Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarah pemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yang benar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lain sebagai kafir, syirk, murtad dan sejenisnya hanya lantaran pendapat yang berbeda. Untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindak lanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yang merisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya. Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telah melancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerima doktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapa saja yang mencoba menolaknya. Tragedi teologis ini dikenal dengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahan yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya. Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnya Mu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang digelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi umat pada umumnya. (Kritik ini pun mengena pada aliran teologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa). Seperti telah disinggung di atas, salah satu prinsip ajaran yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan" suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu, terutama jika diingat praktek kesewenang-wenangan yang dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis) yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian. Dan dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan dengan rejim yang berkuasa untuk melakukan tindak sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya. TAWARAN ALTERNATIF Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" seperti tersebut di atas, maka bagi saya, sistem pemikiran teologis atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah. (Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya "teologi populis," atau "teologi kerakyatan"). Sehingga kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini." Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan (seperti Mu'tazilah maupun lawan-lawannya) yang mengabdi kepada kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu kita kembangkan ini. Tapi kalau dialektika teologi yang mengabdi doktrin itu berwatak retorik (dialektika yang terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu doktrin dengan doktrin yang lain), maka dialektika teologi baru itu bersifat empiris (dialektika yang terjadi dari proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan pesan-pesan universal). Dilihat dari sudut muaranya, beda antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis. Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat terbuka. Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis, sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang selama ini seperti cenderung terpisah. -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |