Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III.8. ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
Menurut para sufi, manusia adalah  mahluk  Allah  yang  paling
sempurna  di  dinia  ini.  Hal  ini,  seperti  yang  dikatakan
Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah  Allah
di  bumi  yang  dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga
karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat  kenyataan)
asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.
 
Allah  menjadikan  Adam  (manusia)  sesuai  dengan  citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim,  kemudian  Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:
 
Maka  apabila  Aku  telah  menyempurnakan  kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)
 
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas
atau  kendaraan  bagi  rohani  dalam  melakukan  aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir  yang  diciptakan
dari  unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.
 
Karena itu, pembahasan tentang jasad  tidak  banyak  dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati  nurani  atau  jantung
(al-qalb).
 
RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)
 
Banyak  ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah  dan  memerintah  dan  menggunakan
jasad  sebagai  alatnya.  Sedangkan  jasad  berasal  dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi.  Tetapi  para  ahli
sufi  membedakan  ruh  dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula.  Ia  selalu  dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
 
Karena  ruh  bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia  tetap  suci.  Ruh  di
dalam  diri  manusia  berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber  akhlak  yang  mulia  dan
terpuji,  maka  lain  halaya  dengan  jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn  Sina  dan  al-Ghazali  membagi
jiwa   pada:   jiwa   nabati  (tumbuh-tumbuhan),  jiwa  hewani
(binatang) dan jiwa insani.
 
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal  bagi  benda  alami  yang
organis  dari  segi  makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani,  disamping  memiliki  daya  makan  untuk  tumbuh   dan
melahirkan,  juga  memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil  dan  daya  merasa,  sedangkan  jiwa  insani   mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).
 
Daya    jiwa    yang    berfikir   (al-nafs-al-nathiqah   atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf  dan  sufi,
yang  merupakan  hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia  dapat  mengetahui  hal-hal  yang  umum  dan  yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.
 
Karena  pada  diri  manusia  tidak  hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa  nabati  dan  hewani,  maka  jiwa
(nafs)  manusia  mejadi  pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang  tercela  pada  manusia.  Itulah  sebabnya  jiwa  manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
 
Apabila  jiwa  menyerah  dan  patuh  pada  kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan,  yang  memang  pada  jiwa  itu
sendiri  ada  sifat  kebinatangan,  maka  ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa  yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)
 
Apabila  jiwa  selalu  dapat menentang dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia  yang  melakukan  keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya,  "Dan  Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).
 
Tetapi  apabila  jiwa  dapat  terhindar dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang  tenang  (al-nafs
al-muthmainnah).  Dalam  hal  ini  Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa  puas  lagi
diridhoi,  dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)
 
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu  jiwa  yang  telah
menjadi  tumpukan  sifat-sifat  yang  tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan  jiwa  yang
telah  mencapai  tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.
 
Jiwa  muthmainnah  adalah  jiwa yang selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai  sumber  moral  mulia  dan
terpuji,  dan  ia  hanya  mempunyai  satu  sifat,  yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen.  Allah
sampaikan,    "Demi    jiwa   serta   kesempurnaannya,   Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan."  (QS.91:7-8).
Artinya,  dalam  jiwa  terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
 
AKAL
 
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut  nous  atau  logos  atau
intelek  (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati"  adalah  daya  jiwa
(nafs  nathiqah).  Daya  jiwa  berpikir  yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada   disebut   rasa  (dzauq).  Karena  itu  ada  dua  sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan  akal  (ma'rifat  aqliyah)  dan
pengetahuan   hati  (ma'rifat  qalbiyah).  Kalau  para  filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih  mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).
 
Menurut  para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan
tertinggi  --akal  perolehan  (akal   mustafad)--   ia   dapat
mengetahui  kebahagiaan  dan berusaha memperolehnya. Akal yang
demikian  akan  menjadikan  jiwanya  kekal  dalam  kebahagiaan
(sorga).  Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa  yang
demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).
 
Adapun   akal   yang   tidak   sempurna   dan  tidak  mengenal
kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang  demikian  akan
hancur.  Sedangkan  menurut  para  filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan  manusia  menurut  para  filsuf   terletak   pada
kesempurnaan  pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh
kebahagiaan  yang  tertinggi,  yaitu  ketika  akan  sampai  ke
tingkat akal perolehan.
 
HATI SUKMA (QALB)
 
Hati  atau  sukma  terjemahan  dari  kata  bahasa  Arab  qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat  dari  qalb  adalah  jantung,
bukan  hati  atau  sukma.  Tetapi,  dalam  pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah  biasa.  Hati  adalah
segumpal  daging  yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian  ini  bukanlah  objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya  bisa  lebih  luas,  misalnya  hati  binatang,
bahkan bangkainya.
 
Adapun  yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada  pada  hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut  dengan   rasa   (dzauq),   yang   memperoleh   sumber
pengetahuan  hati  (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi  tidak  dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).
 
Dari  uraian  di  atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia  itu
jiwa  yang  berfikir  (nafs  insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan  manusia.  Bagi  para
filsuf,  kesempurnaan  manusia  diperoleh  melalui pengetahuan
akal  (ma'rifat  aqliyah),   sedangkan   para   sufi   melalui
pengetahuan  hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.
 
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah  sebagai  wadah
atau  sumber  ma'rifat  --suatu  alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah  bersih
dari  pencemaran  hawa  nafsu  dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta  menggantikan  moral  yang  tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu  ladunni  (ilmu  Allah)
yang  memancarkan  sinarnya  dalam  hati,  sehingga  ia  dapat
menjadi  Sumber  atau  wadah  ma'rifat,  dan   akan   mencapai
pengenalan  Allah  Dengan  demikian,  poros  jalan  sufi ialah
moralitas.
 
Latihan-latihan ruhaniah yang  sesuai  dengan  tabiat  terpuji
adalah  sebagai  kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh  luar
hanya  akan  membuat  hilangnya  kehidupan  di dunia ini saja,
sementara  penyakit  hati  nurani   akan   membuat   hilangnya
kehidupan  yang  abadi.  Hati  nurani  ini tidak terlepas dari
penyakit,  yang  kalau  dibiarkan   justru   akan   membuatnya
berkembang  banyak  dan  akan  berubah  menjadi  hati dhulmani
--hati yang kotor.
 
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan  oleh
hasil  perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya,  "Sesungguhnya
beruntunglah  orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).
 
Hati nurani  bagaikan  cermin,  sementara  pengetahuan  adalah
pantulan  gambar  realitas  yang  terdapat  di  dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa  nafsunya  yang  tumbuh.
Sementara  ketaatan  kepada  Allah  serta  keterpalingan  dari
tuntutan hawa nafsu itulah  yang  justru  membuat  hati-nurani
bersih  dan  cemerlang  serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.
 
Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada
dada  seseorang,  tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis  terhadap
dunia,   menghindarkan   diri   dari  hal-hal  yang  berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani  dari  berbagai  pesonanya,
dan  menerima  Allah  segenap  hati.  Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
 
Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai  keterkaitan  dengan
nafs  atau  jiwa  nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa  nafsunya.  Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy,
Kairo, 1983.
 
Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin
al-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983.
 
Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906.
 
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H.
 
------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo,
1327 H.
 
------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo.
 
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1978.
 
Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team