| |
|
VI.44. ISLAM DI INDONESIA DAN POTENSINYA (1/2) SEBAGAI SUMBER SUBSTANSIASI IDEOLOGI DAN ETOS NASIONAL Oleh Nurcholish Madjid Setiap bangsa mempunyai etos atau suasana kejiwaan yang menjadi kerakteristik utama bangsa itu. Maka dengan sendirinya juga Bangsa Indonesia. Etos itu kemudian dinyatakan dalam berbagai bentuk perwujudkan seperti jati diri, kepribadian, ideologi dan seterusnya. Perwujudannya dalam bentuk perumusan formal yang sistematik menghasilkan ideologi, khususnya di zaman modern ini. Berkenaan dengan bangsa kita, Pancasila dapat dipandang sebagai perwujudan etos nasional kita dalam bentuk perumusan formal itu, sehingga sudah sangat lazim dan semestinya bahwa Pancasila disebut sebagai ideologi nasional. Tetapi Pancasila adalah sebuah ideologi modern. Hal itu tidak saja karena ia diwujudkan dalam zaman modern, tapi juga lebih-lebih lagi karena ia ditampilkan oleh seorang atau sekelompok orang dengan wawasan modern, yaitu para bapak pendiri Republik Indonesia, dan dimaksudkan untuk memberi landasan filosofis bersama (common philosophycal ground) sebuah masyarakat plural yang modern, yaitu Masyarakat Indonesia. Sebagai produk pikiran modern, Pancasila adalah sebuah ideologi yang dinamis, tidak statis, dan memang harus dipandang demikian. Watak dinamis Pancasila itu membuatnya sebagai ideologi terbuka. Presiden Soeharto pernah menegaskan sifat Pancasila sebagai ideologi terbuka itu pada beberapa kesempatan, secara lain pada Kongres dan Seminar Nasional Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS) di Ujungpandang, 15 Desember 1986. Dalam hal perumusan formalnya, Pancasila tidak perlu lagi dipersoalkan. Demikian pula kedudukan konstitusionalnya sebagai dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam pluralitas Indonesia, juga merupakan hal yang final (untuk meminjam ungkapan. Kiai Haji Ahmad Shiddiq, Ra'is Amm Nahdlat al-'Ulama). Namun dari segi pengembangan prinsip-prinsipnya sehingga menjadi aktual dan relevan bagi masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang, Pancasila tidak bisa lain kecuali mesti dipahami dan dipandang sebagai ideologi terbuka yang dinamis. Oleh karena itu tidak mungkin ia dibiarkan mendapat tafsiran sekali jadi untuk selama-lamanya (once for all). Pancasila juga tidak mengizinkan adanya badan tunggal yang memonopoli hak untuk menafsirkannya, yang monopoli di, dalam contoh-contoh masyarakat totaliter seperti negara komunis (yang kini sedang runtuh itu) selalu menjadi sumber manipulasi ideologis dan menjadi agen yang siap setiap saat memberi pembenaran kepada praktek kekuasaan sewenang-wenang dan zalim. Otoriterianisme dalam sejarah selalu dimulai oleh seseorang atau sekelompok orang yang mengaku sebagai pemegang kewenangan tunggal di suatu bidang yang menguasai kehidupan orang banyak, khususnya bidang ideologi politik. Kemestian logis akibat deretan argumen itu ialah bahwa masyarakat dengan keanekaragamannya harus diberi kebebasan mengambil bagian aktif dalam usaha-usaha menjabarkan nilai-nilai ideologi nasional itu dan mengaktualkannya dalam kehidupan masyarakat. Setiap usaha menghalanginya akan menjadi sumber malapetaka, tidak saja bagi negara dan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk, tetapi juga bagi ideologi nasional itu sendiri sebagai titik tolak pengembangan pola hidup bersama. ISLAM DI INDONESIA Sudah menjadi bagian dari retorika di negeri kita ini bahwa Islam adalah agama mayoritas. Retorika itu malah menyebutkan angka 90 sebagai persentasi kaum Muslim dari seluruh penduduk negeri, tanpa pernah dipersoalkan dari mana asal-usul angka itu selain perkiraan dan kesan. Karena itu kuatnya efek retorika itu maka ketika sensus menunjukkan angka kaum Muslim Indonesia kurang (sedikit) dari 90 persen, timbullah berbagai tafsiran terhadap kehidupan keagamaan masyarakat kita, baik berdasarkan fakta maupun fiksi. Walaupun begitu, Islam memang merupakan agama bagian terbesar bangsa kita, apapun makna penganutan mereka terhadap agama itu dan betapapun beranekanya tingkat intensitas penganutan itu dari kelompok ke kelompok dan dari daerah ke daerah. Namun kenyataan sederhana ini saja kiranya sudah cukup memberi alasan keabsahan bagi pembicaraan tentang Islam di negeri kita dan perannya dalam substansiasi ideologi nasional, tanpa eksklusifisme, dan tidak dalam semangat kesewenangan suatu kelompok besar. Tetapi sebelum melangkah lebih jauh dalam pembicaraan tentang pokok persoalan ini, dirasa ada manfaatnya menelaah sejenak keadaan Islam di Indonesia. Telaah yang benar-benar komprehensif tentu tidak mungkin, sehingga yang bisa dilakukan di sini ialah sekedar mengemukakan beberapa masalah menonjol atau high lights yang dianggap relevan. Di antara berbagai ekspedisi militer Islam, termasuk yang amat gemilang ialah ekspedisi guna membebaskan (fat'h) Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis) serta Lembah Sungai Indus (Anak Benua India sebelah Utara), kedua-duanya terjadi pada tahun 711, di masa pemerintahan Khalifah Umawi al-Walid ibn 'Abd al-Malik (pembangun kembali Masjid al-Aqsha yang masih ada sampai sekarang). Sekitar 100 tahun setelah itu Pulau Jawa menyaksikan kesibukan luar biasa, yaitu pembangunan tempat suci dan monumen keagamaan Budhisme yang amat megah, Borobudur. Dan sekitar seabad lagi setelah itu kesibukan luar biasa terjadi lagi, berhubung dengan pembangunan tempat suci dan monumen keagamaan Hinduisme yang juga sangat mengesankan, Lara Jonggrang (Prambanan). Kemudian tepat empat ratus setelah pembebasan Iberia dan Hindustan itu, yaitu pada tahun 1111, seorang pemikir besar Islam, al-Ghazali, wafat. Lintasan sejarah ini lebih-lebih lagi menarik, mengingat bahwa nama al-Ghazali sering disebut-sebut dalam kaitannya dengan anti klimaks peradaban Islam. Dan tentu lebih menarik lagi untuk diketahui bahwa ketika al-Ghazali sibuk dengan polemik-polemiknya tentang filsafat, boleh dikatakan kepulauan Nusantara sebagai keseluruhan belum mengenal Islam. Jika kita ambil Pulau Jawa sebagai misal, maka kita dapatkan bahwa al-Ghazali hidup beberapa dasawarsa sebelum tampilnya Raja Jayabaya dari Kediri. Memang tidak adil untuk begitu saja menilai, apalagi menuduh, seorang tokoh yang amat berjasa seperti al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran Islam. Tetapi kenyataannya ialah bahwa setelah abad ke-12 itu, peradaban Islam, khususnya yang berada dalam lingkungan budaya Arab, memang menunjukkan garis menurun. (Sedangkan di luar lingkungan Arab, khususnya dalam lingkungan budaya Persi, peradaban Islam itu masih menunjukkan vitalitasnya dan perkembangan lebih lanjut yang cukup menakjubkan, terbukti kelak dalam tampilnya tiga kemaharajaan mesiu -gunpowder kingdoms- Mogul di India, Safawi di Persia dan Utsmani atau Ottoman di Turki). Lebih menarik lagi ialah bahwa ketika sedang giat-giatnya dilakukan usaha pembebasan India Selatan oleh kekuasaan Islam dari India Utara serta pada saat-saat permulaan perkembangan Turki Utsmani, kawasan Nusantara masih menyaksikan bangkitnya kekuasaan Hindu yang hebat, yaitu Majapahit (tepatnya tahun 1293). Seperti kita ketahui, banyak dari unsur-unsur mitologi Majapahit itu yang masih bertahan (atau dipertahankan) dalam masyarakat Indonesia modern. Beberapa kenyataan historis itu dipaparkan di sini untuk menunjukkan betapa perkenalan Nusantara secara keseluruhan (artinya, terkecuali daerah-daerah tertentu seperti Aceh, misalnya) kepada Agama dan Peradaban Islam itu relatif belum lama. Di banding dengan India Utara, perkenalan Nusantara kepada Islam adalah sekitar tujuh atau delapan abad lebih kemudian. Ini berdasarkan pendapat banyak ahli bahwa Islam mulai hadir secara efektif di Nusantara, khususnya di Semenanjung Melayu Selatan dan di kota-kota pantai pulau-pulau besar, pada akhir abad 15, mengikuti perpindahan Raja Malaka ke agama Islam pada awal abad itu. Di beberapa tempat, kehadiran Islam itu mendorong terjadinya perubahan pola kekuasaan dan melahirkan kesatuan-kesatuan politik Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan. Agama Islam juga membawa berbagai pandangan baru yang revolusioner untuk masa itu. Dapat disebutkan dua hal yang ama penting di sini. Pertama ialah sifat Islam sebagai agama egaliter radikal, yang antara lain berakibat kepada penyudahan sistem kasta dalam masyarakat Hindu Nusantara dan penghentian praktek sati (keharusan seorang janda untuk terjun ke dalam api yang sedang membakar jenazah suaminya --yang akhir-akhir ini, sungguh ironis, dicoba dihidupkan kembali oleh kaum Hindu fundamentalis di India). Kedua, Agama Islam dengan kesadaran hukumnya yang amat kuat (kesadaran Syari'iah dalam makna sekundernya) telah melengkapi penduduk Nusantara, khususnya para pedagang, dengan sistem hukum yang berjangkauan internasional, yang mampu mendukung kegiatan perdagangan dalam konteks ekonomi global yang saat itu sedang berada dalam kekuasaan Islam. Tetapi kekuasaan politik Islam di Nusantara tidak pernah bisa mencapai kebesaran dan kehebatan kekuasaan politik Buddhisme Sriwijaya dan Hinduisme Majapahit. Apalagi tidak lama setelah Islam mulai hadir di Nusantara ini bangsa-bangsa Barat pun mulai juga berdatangan. Mula-mula agaknya mereka hanya bermaksud mengambangkan perdagangan sebagai kelanjutan dorongan Merkantilisme Eropa setelah perkenalan mereka dengan Dunia Islam. Tetapi kemudian ternyata mereka tidak cukup hanya dengan perdagangan, dan mulailah praktek-praktek penjajahan dan imperialisme. Itu semua dengan sendirinya mendapatkan perlawanan sengit dari bangsa-bangsa Nusantara. Maka kehadiran Islam terjadi tepat pada waktunya, karena agama itu mampu dan dibutuhkan untuk melengkapi penduduk Nusantara dengan ideologi yang segar dan tegar untuk menghadapi dan melawan bangsa-bangsa Barat itu (sebanding dengan Marxisme sebagai kelengkapan ideologis bangsa-bangsa terjajah dalam melawan para penjajah mereka pada abad 20 ini). Oleh karena sementara ahli melihat kehadiran bangsa-bangsa Barat di Nusantara merupakan mixed blessing bagi Islam: di satu pihak, karena fungsinya sebagai kelengkapan ideologis yang sedang diperlukan oleh penduduk Nusantara menghadapi bangsa-bangsa Barat itu sendiri, maka kehadiran kaum penjarah itu justru mempercepat penyebaran Agama Islam ke hampir seluruh pelosok; tetapi, di pihak lain, justru kesibukan menghadapi dan melawan kaum penjarah dari Barat itu --biarpun dengan menggunakan bendera Islam-- membuat persepsi sebagian besar penduduk Nusantara kepada Agama Islam menjadi bersifat sangat politis (yaitu dalam fungsinya sebagai ideologi politik), dan persepsi mereka kepadanya sebagai agama an sich yang amat mendalam menjadi banyak tertunda. Ini menyebabkan adanya kesan yang umum dipunyai para pengamat bahwa Islam di Nusantara itu lemah dari segi pemahaman dan penghayatan para pemeluknya terhadap ajaran agama itu, bahkan ketimbang, misalnya, pemahaman dan penghayatan para pemeluk agama itu di India pada saat-saat kelemahannya. Dalam masalah keislaman ini, India memang menyediakan bahan perbandingan yang menarik bagi Indonesia. Sementara di India, baik sebagai negeri merdeka sekarang ini (dengan nama resmi Bharat) maupun sebagai Anak benua yang meliputi juga Pakistan dan Bangladesh ("British India"), para pemeluk Islam selamanya merupakan golongan minoritas, namun agama Islam telah secara amat jauh mempengaruhi pola-pola budaya penduduk, biarpun mereka yang Hindu. [1] Kuatnya penetrasi budaya Islam di Anak benua tercermin dalam jumlah bangunan-bangunan Islam yang megah, yang kini menjadi obyek turisme India modern, sementara kuil-kuil Hindu-Buddha tidak memiliki daya tarik sekuat bangunan-bangunan Islam itu. Dan lemahnya penyerapan budaya Islam di Indonesia tercermin dalam masih tetap pentingnya fungsi bangunan-bangunan megah Hindu-Budha sebagai obyek turisme Indonesia modern, sementara bangunan-bangunan Islam sendiri hampir tidak berarti. [2] Sudah tentu semua kenyataan tersebut itu, ditambah dengan banyak kenyataan lain yang tidak mungkin dijabarkan seluruhnya di sini, mempunyai akibat-akibat yang cukup jauh. Salah satunya ialah bahwa sementara Indonesia merupakan kesatuan bangsa Muslim terbesar di muka bumi, namun kontribusi kultural dan, lebih-lebih lagi, intelektualnya sangat jauh di bawah proporsinya. Dalam bidang intelektual itu boleh dikata Indonesia hanya menjadi konsumen untuk produk-produk Anak benua ke barat. Ini dengan mudah dapat dilihat dalam kuantitas komparatif kepustakaan ilmiah Islam di Indonesia dan di negeri-negeri lain, untuk tidak menyebut kualitas komparatifnya (misalnya dari segi orisinalitas suatu kontribusi intelektual). Berdasarkan hal itu semua maka kiranya cukup beralasan suatu pandangan bahwa Islam di Indonesia sesungguhnya masih dalam tahap perkembangan dan pembentukannya, dan masih sedang menyiapkan masa depannya secara sangat menentukan. Sesungguhnya pula bahwa Umat Islam Indonesia sekarang ini betul-betul baru pada tahap permulaan mengecap hasil perjuangan mereka sendiri selama berabad-abad melawan dan menghalau penjajah. Telah dikemukakan di atas fungsi Islam di Nusantara sebagai kelengkapan ideologis menghadapi penjarah yang datang dari Barat. Tradisi dan sejarah panjang semangat perlawanan terhadap para penjarah Barat itu secara alami membuat kaum Muslim sebagai yang paling berkepentingan terhadap kemerdekaan. Ini dinyatakan secara simbolik dalam sikap Kiai Mohammad Hasyim Asy'ari (sebagai Ra'is Akbar Masyumi sebelum malapetaka perpecahannya) yang atas nama para 'ulama, seluruh Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa membela dan mempertahankan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 adalah perang suci di jalan Allah dan tewas di dalamnya adalah kesyahidan (syahadah). Fatwa inilah yang sangat membantu membuat peristiwa 10 November di Surabaya begitu heroik, yang kemudian ditetapkan Hari Pahlawan negara kita. -------------------------------------------- (bersambung 2/2) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |