| |
|
V.31. PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA (1/2) Sebagai Pendidikan Tentang Kesucian serta Tanggung Jawab Pribadi dan Kemasyarakatan oleh Nurcholish Madjid Dari berbagai ibadah dalam Islam, puasa di bulan Ramadhan barangkali merupakan ibadat wajib yang paling mendalam bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman selama sebulan dengan berbagai kegiatan yang menyertainya seperti berbuka, tarawih dan makan sahur senantiasa membentuk unsur kenangan yang mendalam akan masa kanak-kanak di hati seorang Muslim. Maka ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk jiwa keagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim menampilkan corak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, dengan beberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya. Maka kekhasan bangsa kita dalam menyambut dan menjalani ibadah puasa Ramadhan telah pula menjadi perhatian orang Muslim Arab di akhir abad yang lalu. Seorang sarjana bernama Riyadl menyebutkan bahwa di Jawa (yang dicampuradukkan olehnya sebagai bagian dari India) para pemeluk Islam mempunyai cara yang khas dalam menyambut dan menjalani ibadah puasa. Mereka itu, kata Prof. Riyadl. pergi ke masjid beramai-ramai di saat tenggelam matahari untuk shalat Maghrib dan berbuka puasa, kemudian melakukan shalat 'isya dan tarawih diteruskan dengan membaca al-Qur'an (tadarrus) setiap malam satu juz' sehingga mereka dapat menghatamkan Kitab Suci itu pada suatu malam di bulan suci. Dan dalam berbuka puasa mereka makan bersama suatu jenis makanan nasional yang menyerupai tha'miyyah (sejenis kue) pada kita, tetapi terbuat dari kacang polong dan bukannya dari kacang buncis. [1] Dari penuturan sederhana itu maka tidak terlalu salah jika kita kaum Muslim Indonesia mempunyai kesan yang amat khas tentang bulan Ramadhan, agaknya lebih dari kaum Muslim di negeri-negeri lain. Bulan Ramadhan merupakan bulan keagamaan dengan intensitas yang tinggi, yang bakal meninggalkan kesan mendalam pada mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadhan pada bangsa kita tercermin juga dalam suasana Hari Raya Lebaran atau 'Idul-Fitri yang khas Indonesia. Maka sudah tentu akan baik sekali jika kita memahami berbagai hikmah ibadah puasa yang kita jalankan selama bulan itu. PUASA DI ANTARA BERBAGAI UMAT Sebelum kita membicarakan hikmah ibadah yang khas ini, ada baiknya kita menyempatkan diri menengok sejenak ke masa lalu, guna memperoleh sedikit bahan perbandingan tentang bagaimana puasa itu dijalankan oleh berbagai golongan manusia. Firman Allah berkenaan dengan kewajiban kaum beriman menjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya kewajiban serupa atas manusia sebelum mereka: "Wahai sekalian orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas mereka sebelum kami, agar kamu bertaqwa." [2] Ini menunjukkan adanya ibadat puasa pada umat-umat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Menurut para ahli, puasa merupakan salah satu bentuk ibadat yang paling mula-mula serta yang paling luas tersebar di kalangan umat manusia. Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu tempat ke tempat yang lain. Bentuk puasa yang umum selalu berupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta dari pemenuhan kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanan diri dari bekerja, malah dari berbicara. Puasa berupa penahanan diri dari berbicara dituturkan dalam al-Qur'an pernah dijalankan oleh Maryam, ibunda Nabi Isa al-Masih. Karena terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan keji (sebab ia telah melahirkan seorang putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untuk melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapun juga. Firman Allah berkenaan dengan hal ini: ... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam), serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm) kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak akan berbicara kepada siapapun jua. [3] Jadi pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran jasmani dan ruhani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya, khususnya dari kebutuhan yang menyenangkan. Pengingkaran jasmani dari kebutuhannya, yaitu makan dan minum, dapat beraneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri dari makan dan minum itu secara mutlak (artinya, semua bentuk makanan dan minuman dihindari, tanpa kecuali), sejak dari fajar sampai terbenam matahari. Tetapi ada umat lain yang berpuasa dengan menghindari beberapa jenis makanan atau minuman tertentu saja. Konon kaum Sabean (al-Shabi'un) dan para pengikut Manu (al-Manuwiyyun), yaitu kelompok-kelompok keagamaan di Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia dan Persia, adalah umat-umat yang menjalankan puasa dengan menghindari jenis tertentu makanan dan minuman itu. Demikian pula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen Timur di Asia Barat dan Mesir. Dari segi waktu pun terdapat keanekaragaman dalam amalan berpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagian siang, atau seluruh siang, atau siang dan malam sekaligus. Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya untuk malam hari. Karena itu sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasa perlu meneranghan hikmah puasa siang hari saja seperti yang dijalankan oleh kaum Muslim. Maka al-Jurjawi, misalnya, memandang bahwa puasa di siang hari adalah yang lebih utama daripada di malam hari, karena lebih berat. Ini dikaitkan dengan ketentuan, menurut sebuah Hadist Nabi, bahwa "Ibadat yang paling utama ialah yang paling mengigit (ahmaz yakni, paling berat)", dan bahwa "Sebaik-baik amalan ialah yang paling menggigit." [4] Nampak bahwa ibadah puasa memang sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitu latihan keruhanian, sehingga semakin berat semakin baik dan utama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan raga orang yang melakukannya. Berkenaan dengan puasa di bulan Ramadhan, disebutkan oleh al-Jurjawi bahwa sebagian ahli tafsir Yahudi dan Kristen, namun kemudian mereka tinggalkan. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali barangkali untuk orang-orang Yahudi dan Kristen Arab di Jazirah Arabia karena terpengaruh atau meneruskan adat kebiasaan setempat. Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu banyak dilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnya suku Quraisy. Dan memang banyak amalan yang disyari'atkan dalam Islam telah pula disyari'atkan kepada umat-umat sebelumnya, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah tersebut di atas, sebagaimana juga jelas bahwa Islam mengukuhkan sebagian ibadat sebelum Islam, seperti beberapa amalan tertentu dalam haji, setelah semuanya itu dibersihkan dari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tawhid. [5] Berdasarkan itu semua dapat dikatakan bahwa puasa merupakan salah satu mata rantai yang menunjukkan segi kesinambungan atau kontinuitas agama-agama. Dalam hal Islam, puasa menjadi salah satu bukti bahwa agama itu merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari agama-agama Allah yang telah diturunkan kepada umat-umat sebelumnya. Segi kesinambungan atau kontinuitas Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakan hal yang dengan sangat kukuh dijelaskan dalam Kitab Suci, yaitu dalam perspektif bahwa peran Nabi Muhammad saw ialah tidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi dan Rasul sebelumnya sepanjang sejarah: Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan) kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah Kami berikan Kitab Zabur. Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa. Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman, agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha Bijaksana. Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan (sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi. [6] PUASA, KESUCIAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya firman Tuhan (dalam bentuk Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala." [7] Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan bahwa puasa itu ... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya (Ma'bududu, yakni,Tuhan-NM). Orang itu meninggalkan segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat puasa.[8] Jadi salah satu hakikat ibadah puasa ialah sifatnya yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah dibedakan oleh, misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada sendirian. Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Tuhan yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap segala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah) itu bersama kamu dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala sesuatu yang kamu perbuat." [9] "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah Wajah Allah." [10] "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri." [11] "Ketahuilah olehmu sekalian bahwa Allah menyekat antara seseorang dan hatinya sendiri..." [12] Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik Islam (Salaf) yang hidup sekitar tujuh abad yang lalu, yaitu Ibn Qayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751 H). Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh pemikir Islam di Zaman Modern dari Mesir. Dalam uraiannya tentang hikmah puasa, antara lain ia katakan: Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'i (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak, padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih. Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia. Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan - (publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan Yang Maha Agung itu untuk melanggar larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman, dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan. Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka, dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar. [13] -------------------------------------------- (bersambung 2/2) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |