Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

RITUALISME ISLAM DAN ETIKA SOSIAL                        (1/2)
Syu'bah Asa
 
Di saat-saat pelaksanaan ibadah haji di Makkah memasuki bagian
akhir,  selepas  upacara tahullul, seorang anggota jamaah dari
Jakarta, orang Betawi, berkata  kepada  kenalannya:  "Ji,  ane
lihat  ibadah haji ente di sini rada-rada aneh. Ente pegi haji
kerjanya malah  nulung  orang  melulu.  Bukannya  memperbanyak
ibadah.  Paling  pas-pasan  ibadah  ente.  Bagaimana pegi haji
malah nulungin orang. Yang kesasar, yang pake ambulan.  Ibadah
dong,  selagi  di  sini.  Masak nulung orang. Kalau mau nulung
orang di Jakarta juga banyak."
 
Barangkali tidak begitu  sering  dijumpai  percakapan  spontan
yang  bisa  dengan begitu pas menggambarkan persepsi seseorang
mengenai agamanya, atau pengertiannya mengenai 'ibadah'  dalam
Islam.  Contoh  ini benar-benar terjadi dan aktual. Dan, lebih
penting, ini bukan kasus perseorangan. "Berani bertaruh," sang
haji  Betawi ini mewakili gelombang besar muslimin kita, tanpa
harus berasal dari Jakarta.
 
Ini tentu saja masalah lama: apa yang dimaksud dengan  ibadah.
Sejak  A.A.  Navis  menulis  cerita pendek Robohnya Surau Kami
yang terkenal, yang menceritakan seorang penjaga langgar  yang
kerjanya   hanya   sembahyang   dan  zikir  dan  puasa  sambil
melepaskan tanggung jawab duniawi, sampai  surau  itu  sendiri
roboh  sedang si kakek malah "dimarahi Tuhan" di alam akhirat,
atau sejak Achdiat Kartamihardja  menulis  roman  Atheis  yang
menampilkan   dunia   sempit  seorang  pengikut  tarekat  yang
akhirnya  harus  tumbang  oleh  terpaan  "faham-faham  global"
seperti  humanisme dan atheisme yang melanda kalangan tertentu
di Tanah Air di sekitar masa Revolusi Kemerdekaan, orang sudah
berbicara  mengenai  luasan  agama atau, khususnya, pengertian
ibadah dalam agama. Bahkan di tahun 1941  Anwar  Rasjid  sudah
menulis  sajak  Akhirat  dalam  Dunia,  yang  isinya  tak lain
penyebaran   faham   tajdidi    seperti    yang    dilontarkan
Muhammadiyah,  yang  waktu  itu  tentunya  belum dikenal semua
lapisan seperti sekarang, khususnya tentang pengertian  ibadah
yang  mencakup  dari  sembahyang  sampai "memperdebatkan ihwal
beras sebutir" atau "membela kehormatan  Tanah  Air",  seperti
dikatakan sejak itu. Tidak adakah kemajuan sejak masa itu?
 
Tentu  saja  ada.  Dan  tentu  saja,  seperti  yang kita lihat
popularitas   hadits-hadits   atau   ayat-ayat    yang    bisa
berkonotasikan  keluasan  pengertian  ibadah ("semua perbuatan
tergantung~ada niat", misalnya, yang menjadi  begitu  populer)
sudah  sampai  ke  tingkat  dijadikannya  ayat atau hadits itu
sebagai pemanis dalam pidato, seperti  misalnya  bila  seorang
pejabat  ingin mengumumkan bahwa dirinya menganggap tugas yang
baru diembannya sebagai "ibadah".
 
Hanya saja, disamping tentu popularisasi itu tidak atau  belum
di  semua  kalangan,  intensitas  atau  kadar  keibadahan  itu
sendiri, seperti yang terdapat  pada  kesadaran  para  muslim,
tidaklah  sama  antara yang terdapat pada laku ritual (seperti
pada ibadah mahdhah, bagi banyak orang), terasa lebih nges dan
sreg  dibanding "ibadah umum" yang mungkin disangka dimasukkan
ke dalam kesadaran sebagai hasil idealisasi, atau  "rekayasa",
atau  penyesuaian  dengan  yang  "modern".  Haji  Betawi dalam
contoh pertama  tadi  belum  tentu  orang  yang  belum  pernah
mendengar  dakwah  "ibadah  sosial",  bisa saja ia hanya orang
yang tidak mantap pada yang  sebuah  itu.  Dan  sebab-sebabnya
bisa lebih jauh dibicarakan di bawah.
 
Yang menjadi soal juga, berbeda dengan di masa ketika si kakek
penjaga surau (dalam Robohnya  Surau  Kami)  harus  disadarkan
akan  tanggung  jawab  duniawinya, agar tidak melulu "mengurus
akhirat", orang sekarang bahkan kadang-kadang harus diingatkan
agar  dalam  pelaksanaan  "tanggung  jawab duniawi" itu mereka
tidak  lupa  akhirat.  Sebab  yang  barangkali  umum   terjadi
sekarang  ini ialah justru penunaian tugas-tugas keduniaan dan
keakhiratan yang "seimbang, tetapi tidak  berhubungan".  Dalil
yang  populer  sehubungan  dengan  ini ialah "Bekerjalah untuk
duniamu seakan-akan engkau hidup abadi, dan  bekerjalah  untuk
akhiratmu  seakan-akan  engkau mati esok pagi". Dalam gambaran
yang agak  diekstrimkan,  seakan-akan  inilah  yang  diajarkan
kepada  kaum muslimin: bekerja luar biasa keras untuk menumpuk
harta dunia, tanpa mengingat kiri-kanan atau halal-haram,  dan
beribadah  (ritual) kepada Tuhan untuk menumpuk harta akhirat,
tanpa mengingat kesenangan dunia.  Ucapan  Abdullah  ibn  Umar
yang  umumnya  disangka hadis Nabi itu, yang sama populer tapi
rasanya banyak  dianggap  lebih  applicable  dibanding  hadits
"Segala   perbuatan   tergantung  niat",  memang  tidak  hanya
memotong hidup ini menjadi dua bagian,  tapi  juga  menjadikan
dua bagian itu tidak saling berhubungan.
 
Dan  lahirlah sekularis-sekularis sejati, yang dalam kehidupan
keagamaan adalah ritualis-ritualis sejati. Ini adalah  sesuatu
yang  sejalan  dengan  (meskipun  bukan  satu-satunya penyebab
dari) kenyataan tentang seorang kiai, yang  tentu  saja  tidak
pernah  tinggal  salat  dan  puasa,  yang  tiba-tiba diketahui
terlibat korupsi, sementara kita  tidak  bisa  percaya  (sebab
memang  bukti-bukti  menunjukkan  sebaliknya)  bahwa kehidupan
keagamaannya bersifat pura-pura  atau  munafik.  Atau  tentang
orang-orang  yang hidup dalam kultur santri yang sangat salih,
tetapi  yang  dalam  dunia  politik,  misalnya,  bisa  memakai
cara-cara yang tidak mengenal fatsoen.
 
Pada  tingkat  itu sekularitas mereka sudah menyentuh tindakan
yang dalam agama dikenai penilaian 'dzalim', seberapapun  para
pelaku  itu menaruh takaran pada pengertian kezaliman itu. Dan
ini bisa berskala pribadi dan  bisa  berluasan  sosial.  Dalam
lingkup  terakhir  itu,  pada  gilirannya orang melihat betapa
agama, yang mungkin dinilai mencapai tingkat perkembangan yang
mengesankan  dari segi dakwah, ternyata tidak mengubah apa-apa
sehubungan dengan akhlak sosial yang dewasa ini banyak dinilai
bukan  semakin  baik,  malahan  sebaliknya. Betapa berduyunnya
orang  ke  masjid-masjid,  bukannya  tempat-tempat  salat   di
kantor-kantor,  ramainya  pengajian-pengajian,  justru  tampak
berjalan bergandengan tangan dengan kenyataan semakin kukuhnya
budaya  sogok  dan suap serta banyaknya pengaduan (dari mereka
yang mampu mengaku) dari  orang-orang  yang  mengaku  terampas
haknya  lewat  berbagai cara. Tidak adakah, mestinya, pengaruh
ajaran agama pada  etika  sosial?  Atau  adakah  sesuatu  yang
hilang?
 
Jawaban   yang   lazim   biasanya   akan   menyebutkan  adanya
faktor-faktor luar dan faktor-faktor dalam  sebagai  penyebab.
Dengan  kata  lain,  agama  atau  pengajaran  agama tidak bisa
disalahkan   secara   sendirian.   Tetapi   percobaan   dengar
menempatkan  lebih  dahulu  apa  yang  kita  rumuskan  sebagai
ritualisme dalam posisi tertuduh akan  bisa  diteruskan  untuk
berusaha  melihat komponen-komponen pemahaman agama yang mana,
kalau ada, yang  mungkin  melahirkan  sikap  keagamaan  dengan
tingkat  dikotomi antara aspek-aspek keduniaan dan keakhiratan
yang melumpuhkan kekuatan moral agama itu sendiri.
 
"Teori keseimbangan" yang tersebut tadi, antara amal keduniaan
dan  amal  ukhrawi,  seperti yang diajarkan "hadits" Ibn Umar,
sebenarnya baru menampakkan dampaknya yang merusak, katakanlah
demikian,  setelah  ia beroperasi bersama "teori keseimbangan"
yang lain, yakni keseimbangan antara  dosa  dan  pahala,  lalu
menumbuhkan  identifikasi  aspek  amal  keduniaan  itu sebagai
ajang potensial bagi dosa (yang mungkin "ditolerir") dan aspek
amal   ukhrawi  sebagai  ajang  pahala.  Dan  memang  terdapat
hadits-hadits, bahkan ayat, tentang keseimbangan  jenis  kedua
itu.
 
Seorang  anak  Islam, paling tidak menurut jenis konvensional,
sering diajar untuk membiasakan menghitung  amal  perbuatannya
sehari-hari:   berapa  ia  berbuat  kebaikan,  dan  berapa  ia
terlanjur berbuat buruk --tentu saja dengan harapan esok  hari
yang  buruk  itu akan makin sedikit. Hasibu qabla an tuhasabu,
kata  'Umar  Ibn  al-Khath-thab.   "Hitung-hitunglah   sendiri
sebelum  kamu  dihitung-hitung".  Dalam  nafas pendidikan juga
kiranya hadits Nabi ini disabdakan: "Bertakwalah kepada  Allah
di  manapun  engkau  berada,  ikutilah  perbuatan buruk dengan
perbuatan yang baik, maka ia (yang baik) akan  menghapuskannya
(yang buruk), dan pergaulilah manusia dengan budi yang bagus".
Juga dalam penggambaran  kebesaran  salat  yang  diperintahkan
untuk  dilakukan,  antara  lain,  bila  ayat  QS.  11:114  ini
dikumandangkan: "Dirikanlah sembahyang pada dua belahan  siang
dan  awal malam; sungguh perbuatan baik itu mengusir perbuatan
buruk. Ini pemberian ingat untuk mereka yang suka mengingat".
 
Ada terasa kesejukkan. Ada suatu  kebesaran.  Dan  memang  ada
sesuatu  hiburan,  suatu  optimisme, akan rahmat dan kemurahan
Tuhan bahkan bagi yang terlanjur  berbuat  buruk.  Barangsiapa
terlanjur   berbuat   buruk,   ada  kesempatan  baginya  untuk
--disamping bertaubat-- mengimbanginya dengan  kebaikan,  agar
timbangan  baik-buruknya  tetap  menunjukkan surplus bagi amal
baik.  Berlebih-lebihan  untuk  menganggap  ayat  dan   hadits
seperti  di  atas  itu  potensial  bagi  perilaku  muslim yang
mungkin mentolerir perbuatan  dosa  dengan  imbangan,  seperti
yang sudah tersebut?
 
Tidak  --bila kita tidak mengingat bahwa sebenarnya ada ajaran
tentang ruh perbuatan. Bahwa perbuatan  baik,  menurut  ajaran
Nabi,  diberi  nilai  (pahala)  10  sampai 70 sampai 700 kali,
sementara perbuatan dosa hanya bernilai satu, sebenarnya tidak
hanya   menunjukkan   kemurahan   Allah,   tetapi  juga,  atau
lebih-lebih perbedaan watak antara  perbuatan  baik  dan  yang
buruk. Sementara untuk masalah kemurahan Allah kita cukup bisa
memandang faktor taubat, yang memang bisa menunjukkan keluasan
yang  tidak  terbatas,  untuk masalah perbuatan baik kita bisa
mengingat faktor qabul,  penerimaan  dari  Allah,  yang  tidak
terdapat pada faktor ikhlas. Mungkinlah seseorang berbuat baik
dengan begitu hebat, tapi bila tak ada ruh perbuatan itu,  tak
ada  ikhlas  untuk memungkinkan qabul, perbuatan itu tertolak.
Atau hanya diterima 10%-nya, atau mungkin malah hanya  1%-nya.
Jadi,  yang  10%  atau  1%  itulah  yang  bisa (tidak selalu!)
dilipatkan 10 X atau  lebih.  Sementara  itu  perbuatan  buruk
(kecuali  yang dilakukan di bawah paksaan, atau mutlak di luar
kesadaran), yang tak dikenai syarat qabul, tak harus dilakukan
dengan  ikhlas, tetap mendapat nilai 100. Logikanya, kemudian:
bagaimana mungkin perbuatan baik akan begitu  saja  dipercaya,
secara  "eksak", menutup perbuatan buruk sebelumnya, sementara
yang buruk itu sudah pasti diterima  sedang  yang  baik  belum
tentu? Bagaimana pula perbuatan baik itu akan diterima bila ia
datang dari seseorang yang memang sengaja  berbuat  jahat  dan
kemudian   berbuat   baik   untuk   mengimbanginya,  sementara
perbuatan baik yang diterima, yang dilakukan sesudah perbuatan
buruk,  adalah justru yang diperbuat sebagai pernyataan taubat
yang tulus? (lihat QS. 4:17-18).
 
Tapi masalahnya memang lebih gampang membedakan  amal  ukhrawi
dari  amal  duniawi,  lalu meletakkan pada yang pertama hampir
seluruh hidup keagamaan. Di situ, berbeda  dengan  dalam  amal
duniawi,  orang  merasa  tak  boleh salah. Di situlah terletak
pahala demi  pahala  --dalam  shalat,  puasa,  dzikir,  wirid,
khataman  al-Qur'an--  yang  mereka  yakini sebagai jauh lebih
tinggi dari pahala amal-amal duniawi.
 
Dan "segudang" hadits, secara tidak  menguntungkan,  mendukung
keyakinan   itu.  Ini  adalah  hadits-hadits  mengenai  pahala
berbagai laku ritual, pahala yang  umumnya  luar  biasa  besar
untuk  laku yang bahkan sangat mudah. Ihya Ghazali, yang tentu
laku yang tentu  representatif  sebagai  pemberi  pola  amalan
gelombang   besar  muslimin  (lihat  misalnya  kitabul  Adzkar
wad-Da'wat dan Kitab  Tartibil  Aurad),  hanyalah  salah  satu
tempat bisa didapatkannya hadits-hadits yang sebagian besarnya
hadits-hadits "kelas dua" ini. Bahkan hadits-hadits yang jelas
dhaif  --yang oleh sebagian muslimin memang tetap saja dipakai
sepanjang hanya berhubungan dengan fadhailul a'mal,  amal-amal
tambahan.  Tetapi  bahwa  Bukhari  dan  Muslim  pun  mempunyai
hadits-hadits pahala ritual  yang  luar  biasa  besar  (dengan
menyingkirkan   lebih   dahulu   beberapa  keberatan  terhadap
metodologi  kedua   peneliti   hadits   terbesar   itu)   bisa
menjelaskan  kuatnya  posisi  ibadah ritual itu dalam bangunan
kehidupan keagamaan kaum muslimin kebanyakan. Misalnya  hadits
Bukhari-Muslim  yang  ini: "Barangsiapa, mengacapkan: La ilaha
illa 'l-Lah-u wahdahu la syarika lahu lahu al-mulk-u wa  lah-u
'l-hamd-u  wa hua 'ala kull-i syai-in qadir setiap hari 100 x,
baginya padanan (pahala membebaskan) 100 budak, dan dituliskan
untuknya  (pahala)  100  kebajikan, dan dihapuskan daripadanya
(dosa) 100 kejahatan.  Kalimat  itu  pun  merupakan  penjagaan
baginya  terhadap  syaitan  pada  harinya itu hingga sore, dan
tidak seorang pun bisa mendapat lebih dari  yang  dia  peroleh
kecuali  orang  yang mengamalkan kalimat itu lebih banyak dari
dia".
 
--------------------------------------------  (bersambung 2/2)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team