Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH                (6/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme
 
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
Pada madrasah Nizhamiyah, Ibn al-Qusyayry al-Syafi'i  memegang
kekuasaan.  Ia  selalu  mengecam  Ahmad  ibn  Hanbal  dan para
pengikutnya sebagai penganut antropomorfisme.  Dengan  bantuan
penguasa ia menyerang pemimpin Hanbaly, Abd al-Khaliq ibn Isa.
Pengikut  al-Qusyayry  menutup  pintu-pintu   pasar   madrasah
Nizhamiyah.  Lalu,  terjadilah  pertumpahan darah antara kedua
golongan. Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil  kedua  belah
pihak dan meminta supaya mereka berdamai. Al-Qusyayry berkata:
"Perdamaian macam apa yang harus ada diantara kami? Perdamaian
terjadi  di  antara  orang  yang  memperebutkan kekuasaan atau
kerajaan. Sedangkan kaum ini menganggap kami  kafir  dan  kami
menganggap  orang-orang  yang aqidahnya tidak sama dengan kami
juga kafir. Maka perdamaian macam apa  yang  bisa  berlaku  di
antara kami."
 
PENUTUPAN PINTU IJTIHAD
 
Walau  ada  pembagian  ijtihad yang bermacam-macam, kita dapat
mengelompokkan dua macam ijtihad: ijtihad muthlaq dan  ijtihad
fi   al-madzhab.   Pada   ijtihad  muthlaq,  seorang  mujtahid
mengembangkan   metode   ijtihadnya   secara    mandiri    dan
mengeluarkan hukum-hukum berdasarkan metodenya itu. Yang dapat
melakukan  ijtihad  jenis  ini   disebut   mujtahid   mustaqil
(mujtahid  independen). Menurut para pengikut madzhab Syafi'iy
dan kebanyakan Hanafi, ijtihad mustaqil sudah tertutup.  Namun
sebaliknya  menurut kebanyakan Hanbaly, setiap zaman tak boleh
kosong dari mujtahid mustaqil. Sementara itu  menurut  Maliky,
meski  pada  tiap  zaman boleh saja tak ada mujtahid mustaqil,
tapi tak boleh tidak harus ada mujtahid fi al-madzhab.
 
Demikian catatan Abu Zahrah tentang tertutupnya pintu ijtihad.
Namun  kenyataannya,  di  zaman kemandegan pintu ijtihad, yang
ditutup adalah ijtihad muthlaq. Adapun ijtihad fi  al-madzhab,
terus  berkembang.  Di  sini  mujtahid  berpegang  pada metode
ijtihad  imam  mazhabnya,   tapi   boleh   saja   menghasilkan
kesimpulan  furu'iyyah yang berbeda dari imam mazhabnya. Dalam
hal ini, ia tentu saja masih menggunakan fatwa imam  mazhabnya
sebagai  rujukan.  Karena  itu,  ia disebut mujtahid muntasib,
mungkin karena ia berijtihad dengan  metode  yang  sama  untuk
menjawab masalah-masalah yang belum dipecahkan imam mazhabnya;
atau menafsirkan yang  mujmal  menjelaskan  yang  mubham  dari
ucapan  imam,  atau  mentarjih (memilih yang terkuat) pendapat
imam yang bermacam-macam itu.
 
Sebenarnya, penutupan  pintu  ijtihad  pada  saat  ini,  lebih
ditujukan  pada  ijtihad  muthlaq.  Walau tak diketahui secara
pasti sejak kapan, penutupan pintu ijtihad terjadi karena  ada
anggapan  bahwa  tidak  ada  ulama  yang  memenuhi persyaratan
seperti keempat imam itu. Sebalikaya, menurut Abu  Zahrah,  di
kalangan   Syi'ah   tidak  pernah  dikenal  tertutupnya  pintu
ijtihad.  Sayyid  Rasyid  Ridha,  mengikuti   gurunya   Syaikh
Muhammad  Abduh,  mengecam  penutupan  pintu ijtihad yang mana
pun: "Kita tidak menemukan  manfaat  apa  pun  dari  penutupan
pintu    ijtihad".    Bahayanya    banyak   --berakibat   pada
terbengkalainya  akal,  terputusnya  pengembangan   ilmu   dan
terhalangnya  kemajuan  pemikiran.  Kaum  Muslim mundur karena
meninggalkan ijtihad sehingga mereka menjadi seperti yang kita
lihat sekarang ini.
 
SEBAB-SEBAB STAGNASI
 
Dr.  Muhammad  Farouq  al-Nabhan  menyebut tiga sebab stagnasi
pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor politik, campur tangan
penguasa  dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama
dalam menghadapi umara.
 
Untuk  yang  pertama,  kita  ingin  menegaskan  kembali  bahwa
madzhab  berkembang  karena dukungan politik. Maka ketika satu
madzhab  memperoleh  kekuasaan,  pemikiran  yang  bertentangan
dengan  madzhab  itu  ditindas.  Jika kita membaca kitab-kitab
sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang  yang
berbeda  madzhab  atau  berganti  madzhab  menghadapi berbagai
cobaan.  Lebih-lebih  bila  berbeda  pendapat  dengan  madzhab
penguasa.
 
Untuk  sebab  kedua,  telah  ditunjukkan  bagaimana para ulama
berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh  penguasa.  Qadhi
tidak   ingin   mengambil   risiko   berbeda  pendapat  dengan
madzhabnya,  karena  ia  dapat  dikucilkan  oleh   masyarakat,
didiskreditkan  ulama  dan diadukan pada penguasa. Karena itu,
yang paling aman adalah mengikuti pendapat  para  imam  mazhab
yang  sudah  dibukukan.  Di sini harus dicatat: dalam sejarah,
para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan  pendapat
dari  pada mengembanghannya. Di samping itu, posisi ulama yang
lemah memperkuat fanatisme madzhab.  Ulama  sangat  bergantung
kepada  umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan
status quo, demi "ketertiban dan keamanan".
 
Dalam  posisi  seperti  itu,  kalau  pun   ulama   berijtihad,
ijtthadnya  hanyalah  dalam  rangka memberikan legitimasi pada
kebijakan penguasa. Contoh  terakhir  adalah  pernyataan  para
ulama  Rabithah  yang  mendukung  kehadiran tentara Amerika di
Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari  sebelum  Saddam  menyerbu
Kuwait,  para  ulama  dari  70  negara  Islam menyatakan bahwa
Saddam  sebagai  mujahid  Islam  yang  taat  pada  Allah   dan
al-Qur'an.  Setelah  invasi,  para  ulama yang sama menyatakan
Saddam  sebagai  bughat  dan  pemimpin  dhalim.  Bukankah  ini
ijtihad  dan  setiap  ijtihad  selalu  mendapat  pahala?  Bila
ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar dua.
 
Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan
kemandegan.   Yaitu   terpecahnya   kekuasaan   Islam  menjadi
negara-negara kecil hingga umat disibukkan  dengan  eksistensi
politik;  terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat
mereka belajar; menyebarnya ulama  mutathaffilin  (ulama  yang
memberi  fatwa  berdasarkan  petunjuk  Bapak); dan menyebarnya
penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama.
 
5. FIQH DITELAAH KEMBALI: FIQH KAUM PEMBARU
 
"Yahya memberitakan kepadaku dari Malik dari  Ibn  Syihab.  Ia
ditanya  tentang menyusui orang dewasa. Ia berkata: 'Urwah bin
Zub air mengabarkan kepadaku bahwa Hudzaifah  bin  'Utbah  bin
Rabi'ah   --salah   seorang   sahabat   Nabi  saw.  yang  ikut
menyaksikan perang  Badar--  telah  mengangkat  Salim  sebagai
anaknya.  Sehingga  ia  disebut  Salim  mawla  Abu  Hudzaifah,
sebagaimana  Rasulullah  saw.  mengangkat  Zaid  ibn  Haritsah
sebagai  anak. Abu Hudzaifah menikahkan Salim --yang dipandang
sebagai  anaknya  itu--  dengan  anak   saudara   perempuannya
Fathimah  bint  al-Walid  bin 'Utbah bin Rabi'ah. Waktu itu ia
termasuk wanita muhajirat yang awal  dan  gadis  Quraysy  yang
utama.  Ketika  Allah  menurunkan ayat dalam Kitab-Nya tentang
Zaid ibn Haritsah --panggillah mereka dengan nama  bapak-bapak
mereka.  Itu  lebih  adil  di  sisi  Allah.  Jika  kamu  tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka  mereka  adalah  saudaramu
dalam agama dan mawla-mawla kamu --maka dikembalikanlah setiap
orang  di  antara  mereka  itu  kepada  bapaknya.  Bila  tidak
diketahui bapaknya, dikembalikan kepada mawlanya. Sahlan binti
Suhail --istri  Hudzaifah  dari  Bani  Amir--  datang  menemui
Rasulullah  saw. dan berkata: "Ya Rasul Allah, kami menganggap
anak kepada Salim. Ia sering masuk ke rumahku  dan  aku  dalam
keadaan  fudhul  (memakai  busana  rumah  yang  tidak  menutup
aurat). Kami hanya mempunyai  rumah  satu,  bagaimana  menurut
Anda?  Rasulullah saw. berkata kepadanya: "Susukanlah dia lima
kali  susuan  sehingga  ia  menjadi  muhrim  dengan  susunya".
Setelah  itu  ia  memandangnya  sebagai  anak  susuan.  Aisyah
mengambil cara ini bila ada  laki-laki  yang  ingin  masuk  ke
rumahnya  Ia  menyuruh saudaranya, Umu Kultsum binti Abu Bakar
al-Shiddik dan anak-anak perempuan saudaranya untuk menyusukan
laki-laki  yang  ingin masuk ke rumahnya. Istri-istri Nabi saw
yang lain menolak untuk mengizinkan laki-laki masuk  ke  rumah
dengan susuan seperti itu. (Malik, Al-Muwatha 2: 115-116)
 
Contoh lain: "Seorang A'raby meminum minuman 'Umar. (Ia mabuk)
dan 'Umar menetapkan hukum cambuk baginya.  Orang  A'raby  itu
berkata:  Aku  minum  dari minumanmu. 'Umar meminta minumannya
itu, lalu mencampurkan air ke dalamnya,  kemudian  meminumnya.
Ia berkata: Siapa yang ragu untuk meminumnya, campurkan air ke
dalamnya. Ibrahim al-Nakhti meriwayatkan hadits yang sama dari
'Umar  dan  berkata:  'Umar meminumnya setelah mencambuk orang
A'raby itu. (Al-Jashash, Ahkam al-Qur'an 2:565).
 
Dua peristiwa di atas diambil dari  kitab-kitab  yang  menjadi
rujukan   dalam   menjawab   masalah-masalah   fiqhiyah.  Dari
peristiwa yang pertama para faqih menyimpulkan beberapa hukum:
(1)  Batas  susuan  yang  menyebabkan  seorang  haram dinikahi
adalah lima kali susuan; (2) Tidak boleh laki-laki yang  bukan
muhrim   memasuki   rumah   seorang  perempuan,  kecuali  bila
laki-laki itu saudara sepesusuan;  (3)  Dianjurkan  menyusukan
orang yang sudah dewasa supaya ia halal masuk ke rumah seorang
perempuan.
 
Kesimpulan  terakhir  ini  telah  disepakati  fuqaha.   Mereka
mempersoalkan  cara menyusukan itu. Bagaimana mungkin Nabi saw
menghalalkan sesuatu dengan  tindakan  yang  haram?  (Bukankah
bersentuhan  dengan  perempuan  yang  bukan  muhrim itu haram,
apalagi menyusu  kepadanya?).  Mungkinkah  ini  hanya  fiqhnya
'Aisyah.  Bukankah  istri-istri Nabi saw yang lain menolaknya?
Bukankah pada kitab hadits  yang  sama  Umar  ibn  Khatab  dan
Abdullah  ibn Mas'ud hanya membenarkan susuan pada waktu kecil
saja?
 
Peristiwa yang kedua dijadikan dalil  oleh  sebagian  pengikut
madzhab  Hanafi  untuk  menghalalkan  minuman keras (khususnya
Nabi)  bila   dicampur   dengan   air.   Tentu   saja   fuqaha
mazhab-mazhab yang lain menolaknya. Dengan merujuk pada hadits
yang mengharamkan minuman keras --baik sedikit  maupun  banyak
mereka   telah   membenarkan  halalnya  minuman  keras  karena
dicampur air. Yang kemudian menjadi persoalan adalah  tindakan
'Umar.  Apakah  perilaku  'Umar  dapat  dijadikan  model dalam
pengambilan kesimpulan hukum?  Apakah  pendapat  para  sahabat
dapat  dijadikan hujjah dalam agama? Apakah tindakan 'Umar itu
suatu preseden bolehnya meninggalkan nash-nash  syari'at  bila
kondisi berubah?
 
Pertanyaan-pertanyaan   tersebut   merupakan   problema   yang
dihadapi para pembaru Islam  ketika  mereka  menelaah  kembali
fiqh  yang  ada.  Yang  dipersoalkan  bukan  hanya  penafsiran
nash-nash tetapi  juga  metode  pengambilan  keputusan.  Dalam
istilah  fiqh,  yang  harus  ditinjau  bukan  saja  al-adillat
al-syar'iyat,  tetapi  juga  ushul  al-fiqh.   Dari   fenomena
tersebut,  ternyata  "Kembali  kepada al-Qur'an dan al-Sunnah"
tidak segampang seperti yang dibayangkan.
 
Slogan yang  di  Indonesia  didengungkan  kaum  modernis  ini,
sebetulnya hanyalah salah satu aliran peninjauan kembali fiqh,
setelah orang merasa  perlu  membuka  kembali  pintu  ijtihad.
Aliran tersebut sebenarnya adalah skripturalisme, yaitu aliran
yang berpegang kepada teks-teks syari'at secara  kaku.  Arkoun
menyebut  aliran  ini  logosentrisme yang ia gambarkan sebagai
berikut:
 
Di samping aliran ini ada aliran yang sangat menekankan  rasio
(akal)., yaitu liberalisme. Aliran ini tak lagi terikat dengan
bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya,  makna  hakiki
dari  teks.  Makna ini dianggap sebagai ruh ajaran Islam, tema
umum Islam, maqashid syar'iyah dan sebagainya.  Skripturalisme
dan liberalisme keduanya berusaha mendobrak kebekuan pemikiran
Islam; sekaligus  merupakan  fiqh  baru  yang  dapat  menjawab
masalah-masalah  baru  akibat  perubahan  masyarakat. Berbagai
upaya rekonstroksi fiqh di dunia Islam sekarang ini  berangkat
dari  kedua  aliran tersebut. Karena itu, dalam upaya menelaah
kembali fiqh, kita harus memulai dengan menyorot kedua  aliran
ini secara kritis dibahas skriptularisme.
 
LATAR BELAKANG SKRIPTURALISME
 
Seperti  diketahui  dalam  fiqh  tabi'in, ada dua aliran besar
dalam fiqh Islam: ahl al-Ra'y dan ahl al-Hadits. Yang  pertama
menekankan  rasio  dalam  pengambilan  keputusan.  Yang  kedua
berdasarkan  fiqh  pada  hadits  walaupun  lemah  dan  menolak
penggunaan  rasio. Mazhab-mazhab fiqh terletak di antara kedua
ekstrim itu. Yang  paling  dekat  dengan  ahl  al-ra'y  adalah
madzhab  Hanafi;  dan  yang  paling dekat dengan ahl al-hadits
adalah mazhab Hanbali.
 
Imam Ahmad ibn Hanbal, yang mengumpulkan ribuan  hadits  dalam
musnadnya, memang lebih terkenal sebagai ahli hadits dari pada
ahli fiqh. Ibn Qutaybah memasukkan Ahmad di antara muhadditsin
dan  Ibn  Jarir  al-Thabari  menolak  Ahmad sebagai ahli fiqh.
Semuanya  terjadi  karena  Ahmad  mendasarkan  mazhabnya  pada
hadits  Rasulullah  saw (meski lemah), fatwa para sahabat, dan
menolak qiyas kecuali dalam  keadaan  terpaksa.  Jadi  fiqhnya
selalu merujuk pada nash-nash al-Qur'an atau hadits.
 
Karena  itu,  tugas  ahli  fiqh  hanyalah  mencari  nash  yang
relevan.  Pada  Ibn  Hazm,  dan  terutama  sekali  pada   Daud
al-Zhahiri, kesetiaan pada teks sangat ekstrem. Mereka menolak
ta'wil dan  menerima  hadits  secara  harfiyah.  Ibn  Taymiyah
memperkuat gerakan anti rasionalisme ini dengan menolak setiap
penggunaan logika dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus
menolak  praktek-praktek  yang  tidak  ada dasarnya dalam teks
al-Qur'an dan hadits. The Encyclopedia of Islam  menyebut  Ibn
Taymiyah sebagai the bitter enemy of innovations.
 
Paham  Ibn  Taymiyah  dihidupkan kembali oleh Muhammad ibn Abd
al-Wahab lima abad kemudian. Seperti Ibn Taymiyah, ia  mencela
kaum  mutakallim,  filsuf  dan sufi. Dalam kalimat W.C. Smith,
Muhammad ibn Abd al-Wahab menolak "the corruption  and  laxity
of  the  contemporary  decline, the introvert warmth and other
wordly pety of the mystic way,  ...the  alien  intellectualism
not only of philosophy but also theology" (Smith, 1968:42).
 
Raja  Malik ibn Abd al-Aziz, ketika menyampaikan khutbahnya di
Makkah tahun 1355, berkata:  "Madzhab  kami  mengikuti  dalil,
bila  ada;  bila  tidak  ada, dan yang ada hanya ijtihad, kami
mengikuti ijtihad  Ahmad  ibn  Hanbal:  (Mughniyah,  1987:95).
Paham  ini,  yang  kemudian  menjadi  paham  resmi Arab Saudi,
mempengaruhi  banyak  aliran  pembaharuan  di  seluruh  dunia.
Mereka  melihat  masa  Salaf sebagai model, dan kembali kepada
al-Qur'an  dan  hadits  sebagai   satu-satunya   jalan   untuk
memecahkan segala persoalan Islam.
 
-------------------------------------------- (bersambung 7/10)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team