Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH               (10/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme
 
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
CATATAN
 
 1.Riwayat ini dihimpun berdasarkan hadits Bukhari,
   Muslim, al-Nasai, Ahmad Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hajar
   al-Asqalani. Lihat: Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah
   al-Salafiyah.
   
 2.Fath al-Bari, 1:457
 
 3.Ibn Hajar mendefinisikan sahahat sebagai "orang yang
   berjumpa dengan Nabi saw., beriman kepadanya dan
   meninggal dalam Islam. Mereka yang termasuk jumpa ini
   orang yang lama bergaul dengan Nabi atau yang sebentar,
   yang berperang besertanya atau tidak, yang melihatnya
   tetapi tidak menghadiri majelisnya, atau yang tidak
   melihatnya seperti orang buta", al-Ishahah fi Tamyiz
   al-Shahabah, 1:10
   
 4.Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Beirut,
   Dar al-Fikr, hal. 250.
   
 5.Abu Ishaq al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul
   al-Syari'at, Mathba'ah al-Maktabah al-Tijariyah, tanpa
   tahun, tanpa kota, 4:74. Al-Syatibi mengutip ayat-ayat
   al-Qur'an dan hadits-hadits untuk menunjang pendapatnya,
   Muhammad Taqiy al-hakim mengkritik kelemahan argumentasi
   al-Syatibi secara rinci. Pembaca yang tertarik dapat
   melihat M.T Al-Hakim Al-Ushul al-'Ammah fi al-Fiqh
   al-Muqaran, Beirut, Dar al-Andalus, 1974:133-143.
   
 6.Lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa, Mesir: Mustafa
   Muhammad, tanpa tahun, 1:135. Pada halaman yang sama,
   al-Ghazali menolak semua pendapat itu dan berkata,
   "Siapa saja yang mungkin salah atau lupa dan tidak tegas
   'ishmahnya tidak boleh pembicaraannya menjadi hujjah.
   Bagaimana mungkin berhujjah dengan ucapan mereka dengan
   kemungkinan mereka salah. Bagaimana mungkin menetapkan
   ishmah mereka tanpa hujjah yang mutawatir? Bagaimana
   dapat dibayangkan adanya 'ishmah, padahal mereka boleh
   ikhtilaf? Mungkinkah dua orang ma'shum ikhtilaf?
   Bagaimana mungkin, padahal sahabat sepakat bolehnya
   bertentangan dengan sahabat yang lain? Abu Bakar dan
   Umar tidak mengingkari orang yang berbeda ijtihadnya
   dengan mereka; bahkan mereka mewajibkan --dalam masalah
   ijtihad-- agar setiap mujtahid mengikuti ijtihadnya
   masing-masing."
   
 7.Taqdimah al-Ma'rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil,
   Heiderabad, 1371, hal. 7-9. Mengenai 'Udul-nya sahabat,
   Ibn Hajar berkata, "Sepakat semua Ahl Sunnah bahwa
   sahabat seluruhnya 'udul, tak ada yang menentang hal ini
   kecuali orang-orang bid'ah yang menyirnpang" (Al-Ishabah
   1:9; Ibn Hajar mengemukakan dalil-dalil tentang
   'udul-nya sahabat secara rinci dalam kitab ini juga).
   Ibn Al-Atsir dalam Usud al-Ghabah fi Ma'rifat
   al-Shahabah, 1:3, menulis, "Sahabat sama seperti perawi
   hadits yang lain kecuali satu hal --pada mereka tidak
   berlaku jarh dan ta'dil, sebab mereka semna 'udul, tidak
   dikenai celaan." Begitu "sucinya" para sahabat itu
   sehingga Abu Zar'ah menulis, "Siapa yang mengkritik
   salah seorang di antara sahabat Rasulullah saw,
   ketahuilah bahwa dia itu zindiq (atheis)." Lihat
   Al-Ishabah 1:10. Kecuali untuk sahabat yang masuk Islam
   sesudah Bai'at al-Ridwan (sambil mereka pun tidak boleh
   disebut kecuali kebaikan), menurut Ibn Hazm, "Seluruh
   sahabat itu mukmin yang saleh; semuanya mati dalam iman,
   petunjuk, dan kebajikan; semuanya masuk surga; tidak
   seorangpun masuk neraka." (Saya kutip lagi dari Muhammad
   'Ajal al-Khatib, Al-Sunnah qabl al-Tadwin, Kairo,
   Maktabah Wahdah, 1963, hal. 395-396).
   
 8.Muhammad Ibrahim Jannati, "Ra'y Gera'i Dar Ijtihad",
   dalam Kayhan-e Andisheh NO. 9. Diterjemahkan ke dalam
   bahasa Inggris oleh Mahliqa Qara'i, "Ijtihad and the
   Practise of Ra'y", dalam Al-Tawhid, vol. V NO. 2, 1408;
   hal. 57-58.
   
 9.Shahih al-Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa'i, 5:148; Sunan
   al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22; lihat juga Shahih Muslim,
   1:349.
   
10.Kupasan tentang perdebatan ini; lihat Ibn Qayyim, Zad
   al-Ma'ad 1:177-225.
   
11.Abu Dawud 2:242; Shahih Muslim 2:52; Al-Baihaqi dalam
   Sunan al-Kubra 8:318; Kanz al-Ummal 3:102.
   
12.Shahih Muslim 1:574; Musnad Ahmad 1:314; Sunan
   al-Baihaqi 7:336; al-hakim 2:196; al-Dar al-Mantsur
   1:279.
   
13.Abu Dawud 2:227; Ibn Majah 2:227, al-Hakim dalam
   al-Mubarak 2:59 dan 4:389; al-Baihaqi dalam Sunan
   al-Kubra 8:264; Taysir al-Wushul 2:5; Fath al-Bari
   12:101; Umdat al-Qari 11:151; Irsayad al-Sari 10:9.
   Bukhari meriwayatkan hadits ini tetapi dengan tidak
   lengkap, pada Kitab Al-Muharibin.
   
14.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 252.
   
15.Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad: wa Mada Hajatina ilaih
   fi Hadza al-Ashar, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,
   tanpa tahun, hal. 32-33.
   
16.Tafsir Ibn Katsir 4:194; Tafsir al-Darr al-Mantsur
   6:74; Kanz al-Ummal 1:185.
   
17.Asbab al-Ikhtilaf bain Aimmah al-Madzahib
   al-Islamiyah", dalam Hawl al-Wahdah al-Islamiyah,
   Teheran: Sepahar, 1404, hal. 227-228.
   
18.Ibn Qayyim al-Jawziyyah, "I'lam al-Muqi'in, Mesir:
   Mathba'ah Sa'adah, tt 1:63-64.
   
19.Al-Syatibi, "Al-'Itisham. Saya kutip lagi dari Abu
   Zahrah. Tarikh al-Madzahib, hal. 255.
   
20.Di antara ayat-ayat yang menunjukkan keharusan
   mengikuti ahli bait adalah Al-Maidah 55 (Menurut banyak
   ahli tafsir, turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib),
   Al-Ahzab 33 (tentang 'ishmah ahli bait), Al-Syura 23
   (tentang keharusan mencintai ahli waris). Di antara
   hadist-hadits tentang hal yang sama adalah hadits
   Tsaqalain: Aku tinggalkan bagimu dua hal, yang jika kamu
   berpegang teguh, kamu tidak akan sesat selama-lamanya
   Kitab Allah den Ahli Baitku (hadits-hadits yang semakna
   dengan ini diriwayatkan oleh Shaih Muslim dalam Kitab
   Fadhail al-Shahabat", Musnad Ahmad 4:366, Al-Baihaqi
   2:148, Shahih al-Turmudzi 2:308, Mustadrak al-Shahihain
   3:109, Kanz al-'Umal 1:47 dan lain-lain). dan hadits:
   "Ahli baitku adalah tempat yang aman dari ikhtilaf bagi
   umatku" (Mustadrak al-Shahihain 3:348), bukan tempatnya
   di sini menuliskan semua riwayat yang dijadikan dalil
   oleh kelompok pertama. Gubahan syair dari Al-Amini
   al-Inhaqi dari Syiria, dalam Limadza Ikhtartu Madzhab
   Ahl  al-Bait, menyimpulkan dalil-dalil itu.
   
21.Lihat Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad, hal. 39-40.
   
22.Shaih al-Bukhari, "Kitab al-'Ilam", 1:22. Lihat juga
   Shahih Bukhari, "Kitab al-Jihad", dan Kitab al-Jizyah",
   Shahih Muslim Bab "Tark al-Wasyiyyah" Musnad Ahmad,
   hadits NO. 1935. Thabaqat ibn Sa'ad 2:244, Tarikh
   Thabari 3:193.
   
23.Tadzkirat al-Huffazh, 1:5; Kanz al-'Ummal, 1:174.
   
24.Tadzkirat al-Huffazh, tarjamah Abu Bakr, 1:2-3.
   
25.Al-Thabaqat al-Kubra, 11:257; Tarikh al-Khulafa, 138.
   
26.Al-Thabaqat al-Kubra, 7:188.
   
27.Tadzkirat al-Huffadz, 1:7, tarjamah 'Umar
   
28.Al-Thabaqat al-Kubra, 7:447.
   
29.Lihat "Kontroversi sekitar Ijtihad 'Umar r.a", dalam
   Iqbal Abdurrauf Saimima, ed., Polemik Reaktualisasi
   Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal. 50.
   
30.Al-Jawharah al-Nayyirah; dikutip lagi dari al-Nash wa
   al-Ijtihad, Qum Abu Mujtaba, 10404 H; hal. 44. Riwayat
   pelarangan bagian muallaf, lihat Tafsir al-Manar 10:297;
   Al-Durr al-Mantsur 3:252.
   
31.Tarikh al-Thabari 3:234; Tarikh Ibn Katsir 6:319;
   Al-Kamil ibn al-Katsir 2:146, Il-Ishabah 2:322.
   
32.Kitab al-Kharraj 24-25; Sunan al-nasai 2:179; Tafsir
   al-Thabari 10:6; Ahkam al-Qur'an dari Al-Jahshash 3:60
   62; Sunan al-Baihaqi 6:342-343.
   
33.Al-Muwaththa', 2:10; al-Baihaqi 7:164; Ahkam
   al-Qur'an dari Al-Jahshash 2:168; Al-Muhalla' 9:622;
   Tafsir al-Zamahsyari 1:359; Tafsir al-Qurthubi 6:117;
   Taisir al-Khazim 1:356; Al-Durr al-Mautsir 2:136; Tafsir
   al-Syawkani 1:418.
   
34.Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa'
   1:282 dari Urwah: Rasulullah shalat dua rakaat di Mina
   pada shalat-shalat yang empat rakaat. Abu Bakar shalat
   di Mina dua rakaat. Umar shalat di Mina dua rakaat.
   Usman mula-mula shalat dua rakaat, tetapi kemudian
   meng-itmam-kannya. Lihat juga Shahih al-Bukhari 2:154,
   Sunan al-Muslim 2:260, Musnad Ahmad 2:148 Sunan
   al-Baihaqi 3:126.
   
36.Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Turmudzi 1:68,
   Sunan Abu Dawud 1:171; Sunan Ibnu Majah 1:348; Sunan
   al-Nasai 3:100, Kitab al-Umm 1:173, Sunan al-Baihaqi
   1:429, 3:192, 205.
   
37.Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Muslim 1:349;
   Musnad Ahmad 1:61,95; Sunan al-Nasai 5:148, 152; Sunan
   al-Baihaqi 1:472; Mustadrak al-hakim 1:472; Tasyir
   al-Wushul 1:282.
   
37.Shahih Muslim 1:142; Shahih al-Bukhari 1:109.
   
38.Ibn Hazm dalam Al-Muhalla 5:227; juga Al-Baladzuri
   dalam al-Anshab 5:26.
   
39.Ibn Hajar, Fath al-Bari 2:361; lihat Al-Syawkani
   dalam Al-Awthar 3:374. Ibn Hajar memberikan komentar.
   "Utsman melihat kemaslahatan jamaah supaya dapat
   mengejar shalat, sedangkan Marwan supaya orang
   mendengarkan khutbahnya."
   
40.Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung:
   Pustaka, 1983, hal. 26 menulis: Kami telah menyatakan
   (1) bahwa sunnah dari kaum muslim di masa lampau secara
   konsepsional dan kurang lebih secara garis besarnya
   berhubungan erat dengan sunnah Nabi dan pendapat yang
   menyatakan bahwa praktek-praktek muslim di masa lampau
   terpisah dari konsep sunnah Nabi adalah salah sekali;
   (2) bahwa meskipun demikian, kandungan yang khusus dan
   aktual dari sunnah kaum muslim di masa lampau tersebut
   sebagian besarnya adalah produk dari kaum muslim
   sendiri; (3) bahwa unsur kreatif dari kandungan ini
   adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi
   menjadi ijma' berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah
   nabi yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang sangat
   bersifat spesifik; (4) bahwa kandungan sunnah atau
   sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati
   secara bersama adalah identik dengan ijma'.
   
41.Syibli Nu'mani, Umar Yang Agung, Bandung: Pustaka,
   1404, hal. 532.
   
42.Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Dar
   Al-Fikr Al-Araby, tt., hal. 267.
   
43.Shahih Bukhari, "Bab Ghazwat Al-Hudaibiyah," Kitab
   Al-Maghazi, hadits ke 4170; Fath al-bari 7:449-450;
   2:401.
   
44.Shahih Bukhari, "Bab I: Al-Hawah", Kitab Al-Riqaq.
   Lihat Fath al-Bari, 11:463-476; Shahih Muslim, "Bab
   Itsbat", Kitab Al-Fadhail.
   
45.Syarh Al-Muwaththa', 1:221; Tanwir Al-Hawalik,
   1:93-94.
   
46.Al-Imam Al-Syafi'i, Al-Umm, 1:208.
   
47.Jami' Bayan Al-'Ilm, 2:244; lihat juga Dhuha
   Al-Islam, 1:365; Turmudzi 3:302.
   
48.Jami'Bayan Al-' Ilm, 2:244.
   
49.Ansab Al-Asyraf, 2:180. Lihat juga Sunan al-Baihaqi
   2:68; Kanz al-'Ummal, 8:143.
   
50.Catatan kaki pada hamisy kitab Sunan Al-Nasai, 5:263.
   
51.Tafsir Al-Nisabury, pada hamisy kitab Tafsir Al
   Thabari, 1:79.
   
52.Lihat Ali Al-Hamady, Al-Sujud 'ala al-A'rdh, Dar Al
   Tarqib, 1978, hal. 14. Kitab ini menunjukkan,
   berdasarkan hadit-hadits yang diriwayatkan Ahl Sunnah
   bahwa disamping Rasulullah saw., sahabat-sahabat seperti
   Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud,
   Jabir bin Abdillah dan lain-lain melarang sujud selain
   di atas tanah. Tidak mungkin kita menurunkan semua
   hadits itu di sini Cukuplah kita kutip hadits Muslim
   dari Khabab bin Al-Arat, "Kami mengeluoh kepada
   Rasulullah tentang udara yang sangat panas sehingga
   tanah menjadi sangat panas pada dahi-dahi kami. Tetapi,
   Nabi saw. tidak mengizinkan kami (sujud selain di atas
   tanah). Ibn Al-Atsir, ketika menjelaskan hadits ini,
   dalam Al-Nihayah, berkata, "Para fuqaha menyebut
   peristiwa ini berkenaan dengan sujud. Waktu itu para
   sahabat meletakkan ujung baju mereka dilarang ketika
   akan sujud untuk menghindarkan panas yang sangat; tetapi
   mereka dilarang berbuat begitu. Ketika mereka mengadukan
   apa yang mereka alami, Nabi saw. mengizinkan mereka
   sujud di atas pakaian mereka itu.
   
53.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, hal.
   257.
   
54.Shahih Al-Bukhari, 3:124, "Bab Walladzi Qala li
   Walidaihi", Fath Al-Bari, 10:197-198. Lihat juga
   biografi Al-Haban bin Al-'Ash pada Al-'Isti'ab, Usud
   Al-Ghabab, Al-Ishabah, Mustadrak Al-Hakim, 4:481, Tarikh
   Ibn Katsir, 8:889; lihat juga biografi Abdurrahman bin
   Abi Bakr dalam Ibn Asakir, Tarikh Dimasq.
   
55.Tafsir Al-Thabari, 19:72-75; Ibn Katsir, Al-Bidayah
   wa Al-Nihayah, 3:40.
   
56.Ibn Katsir, ibid., 7:214
   
57.Kata Al-Dzhabi dalam Tadzkirat Al-Huffadz, 698-701.
   
58.Shahih Muslim, bab "Man La Ha'arahun Naby", Kitab
   Al-Birr wa Al-Shilah.
   
59.Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Beirut, Dar Ihya' Al-Turats
   Al-'Arabiy, juz I.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team