| |
|
V.30. SHALAT (2/2) Oleh Nurcholish Madjid Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan metafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak. Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak, sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final (al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia; Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah Maha Lembut, Maha Teliti." [21] Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah, yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah") kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat kita. MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM) Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri, khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri. Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga. Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen" akan sia-sia belaka. Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung (pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama? Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan nasib orang miskin. Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya peringatan dalam firman itu. Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah. Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya. Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan. Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata. Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25] Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26] Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya, dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan keluhuran kebaikan-Nya. Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya. Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh amat disayangkan! [27] Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat. Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan: Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya Kecuali golongan yang beruntung (kanan) Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya, tentang nasib orang-orang yang berdosa: "Apa yang membawa kamu ke neraka?" Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang shalat, Dan tidak pula kami pernah memberi makan orang-orang melarat Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena Dan kami dustakan adanya hari pembalasan Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28] Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya, juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari pembalasan (akhirat). Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita-- ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat, sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan komitmen sosial yang meluas. CATATAN 1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS. al-Mu'minun 23:1-2). 2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf, Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9. 3. Ibid.,hal. 13 4. Ibid., hal. 24 5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan (yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS. al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia "menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83). 6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari "wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah). (Lihat QS. al-An'am/6:161-162). 7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254. 8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab, "Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau." 9. QS. al-Hadid 57:4 10. QS. Thaha 20:14. 11. QS. al-Baqarah/2:156. 12. QS. al-A'raf/7:65. 13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali 'Imran/3:137. 14. QS. al-Nisa'/4:103. 15. QS. al-Baqarah/2:238. 16. QS. al-Insyirah/94:7-8. 17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam, yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode). 18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97. 19. QS. al-Ikhlash/112:4. 20. QS. al-Syura/42:11. 21. QS. al-An'am/6: 102-3. 22. QS. al-Ankabut/29:45. 23. QS. al-Ma'un/107:1-~. 24. QS. al-Ankabut/29:45. 25. QS. al-Ma'arij/70:19-22. 26. QS. al-Ma'un/107: 27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968 M). h. 55-57. 28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47. -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |