| |
|
VI.52. SKISME DALAM ISLAM SEBUAH TELAAH ULANG (3/3) oleh Jalaluddin Rakhmat Apa yang dimaksud "air"? Kata mazhab Hanafi, air itu termasuk air mutlak (H2O), juga air mudhaf (seperti air jeruk, air teh). Kata mazhab yang lain, air mutlak saja. "Debu" meliputi pasir dan tanah, kata Syafi'i; tanah saja, kata Hambali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam, kata Maliki; tanah, pasir, dan batuan, kata Hanafi dan Hambali; sebagian wajah oleh Ja'fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah, 1960). Dalam bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash yang berkenaan dengan qadha dan qadar; sehingga kita mengenal Jabbariyah dan Qadariyah. Perbedaan ini akan makin melebar, ketika kita memasuki pengkajian-pengkajian Islam yang lebih operasional seperti epistimologi Islam, teologi Islam, dan sebagainya. SEBAB-SEBAB YANG BERKENAAN DENGAN SUNNAH Masalah-masalah yang berkenaan dengan sunnah lebih musykil lagi. Kemusykilan pertama terjadi ketika kita mengambil pelajaran dari hadits: apakah yang diberitakan hadits itu Sunnah atau bukan. Manakah yang sunnah, mengampuni para tawanan (seperti yang dilakukan Rasulullah saw. pada Fath Makkah) atau membunuhnya (seperti yang dilakukan Nabi pada perang Khandaq). Jamaat Tabligh berpendapat makan di bawah, menjilati jari setelah makan, dan menggunakan siwak adalah sunnah; umat Islam yang lainnya tidak beranggapan begitu. Kemusykilan kedua adalah sampai atau tidak sampainya hadits. Hadits dilaporkan oleh para sahabat, yang mempunyai lingkup pengalaman yang berlainan bersama Rasulullah saw. Ada yang menyertai Nabi hampir setiap saat, dan ada yang berjumpa dengan Nabi sesaat saja. Umar melaporkan bahwa mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya. Karena itu, ia mencambuki orang yang menangisi mayat. 'Aisyah menolak hadits 'Umar ini. Ketika Ibnu Umar melaporkan lagi hadits dari ayahnya, 'Aisyah berkata, "Semoga Allah meyayangi Abu Abd al-Rahman (yakni, Ibn Umar). Ia mendengar sesuatu tetapi tidak menghafalnya. Pernah lewat jenazah Yahudi di depan Rasulullah saw. Mereka menangisi jenazah itu. Nabi berkata, kalian menangis, padahal ia sedang disiksa." [5] SEBAB-SEBAB BERKENAAN DENGAN PERBEDAAN KAIDAH USHUL FIQH Apabila ada rangkaian kalimat majemuk, lalu di ujunguya ada kata yang mengecualikan (istitsna), kemana pengecualian itu berlaku? Kepada semua kalimat atau kepada kalimat yang terakhir. Yang pertama dipilih oleh Syafi'i, Maliki, Hambali. Yang terakhir diambil oleh Hanafi. Ayat yang berkenaan dengan tuduhan berzinah (QS. 24:4) mengandung tiga kalimah: (1) "Deralah mereka 80 deraan," (2) "Jangan terima kesaksian mereka selama-lamanya," dan (3) "Mereka itulah orang-orang fasik." Istitsna datang sesudah kalimat-kalimat itu. Apakah deraan harus dihilangkan bila orang taubat, apakah kesaksian penuduh dapat diterima bila orang itu telah bertaubat? Semua mazhah --selain Hanafi-- memilih rnenjawab "ya" untuk pertanyaan-pertanyaan di atas. Inilah salah satu contoh perbedaan penggunaan kaidah Ushul Fiqh. Di samping itu, terdapat juga beberapa metode ijtihad yang tidak disepakati. Misalnya, istishlah, qiyas, istihsan, qaul shahabat, dan sebagainya. APA YANG HARUS DILAKUKAN? Saya ingin mengakhiri makalah ini dengan menuliskan kembali apa yang saya sampaikan pada tempat lain (Rahmat, 1986: 99-103). 1. Sepakat pada yang qath'i, siap berbeda pada yang dzhann-i: Kita dapat membagi hukum-hukum fiqh ke dalam dua bagian besar. Pertama, berkenaan dengan pokok-pokok akidah, dan muamalah yang disetujui bersama, apa pun mazhabnya. Kedua, bertalian dengan cabang-cabang (furu') dari pokok-pokok di atas yang memungkinkan terjadinya perbedaan. Seorang tidak dikatakan Muslim lagi bila berbeda pada bagian fiqh yang pertama. Adalah kenyataan yang menakjubkan walaupun sering lolos dari perhatian kita bahwa dalam bagian pertama seluruh mazhab mencapai kesepakatan. Dalam hal akidah --semuanya percaya kepada Allah yang Esa, Muhammad Rasulullah, dan Hari Kebangkitan. Tentang shalat, tidak ada perbedaan antara Ahl al-Sunnah dan Syi'ah dalam hal bilangan rakaat, jumlah ruku' dan sujud, jumlah shalat wajib, dan bagian-bagian shalat yang penting lainnya. Perbedaan mulai terjadi pada rincian dari pokok-pokok itu. Semua sepakat shalat dimulai dengan takbir, mereka berbeda dalam cara mengangkat tangan dalam takbir. Kita akan segera menemukan bahwa bagian pertama berdasarkan dalil-dalil qath'i dan bagian kedua berdasarkan dalil-dalil dzanni. Pada bagian yang kedua sepatutnya kita saling menghargai dan menggunakan perbedaan pendapat untuk pengembangan wawasan tentang Islam. 2. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip silaturahim: Bila terjadi perbedaan paham atau penafsiran pada hal-hal yang dzanni, kita harus menguji perbedaan paham itu lewat ukuran-ukuran naqli dan aqli. Dengan ukuran naqli, saya maksudkan, mencari dalil-dalil yang paling kuat lewat kritik hadits (yang secara konvensional telah disepakati oleh ulama ahli hadits) dan ilmu-ilmu al-Qur'an (kalau berkenaan dengan penafsiran al-Qur'an). Ukuran aqli --yang saya definisikan sebagai metode dialektik untuk menguji konsistensi logis suatu proposisi-- hanya boleh dilakukan setelah pengujian naqli. Misalnya, bila dalil-dalil yang dipergunakan sama-sama kuat. Ini cara untuk menghindarkan "terburu-buru" menangkap ruh dari suatu nash. Orang yang menganggap bahwa setiap orang berhak ijtihad dan menafsirkan al-Qur'an karena ruh ajaran Islam itu egalitarian, terjebak dalam keterburu--buruan. Mencurigai hadits-hadits tentang wasiat Nabi kepada keluarganya, betapapun banyak dan sahihnya, sebagai pertentangan dengan prinsip egalitarian al-Qur'an [6] adalah mendahulukan kritik 'aqli daripada kritik naqli. Demikian pula halnya dengan keberatan sementara orang terhadap hadits-hadits tentang Imam Mahdi, misalnya. Memilih pendapat yang paling kuat inilah tarjih. Tetapi betapapun kuatnya, pendapat itu tetap dzhanni. Di tengah-tengah umat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh tidak merusak keutuhan umat atau tidak mendatangkan mudharat. Ini saya sebut prinsip shilaturrahim. Ibnu Mas'ud berpendapat shalat Dzuhur dan 'Ashar di Mina harus di qashar. Ketika Utsman shalat empat rakaat, Ibnu Mas'ud shalat juga empat rakaat. Ketika ditegur ia menjawab, "Perselisihan itu semua jelek" -(al-khilaf syarr kullah). Ibnu Umar shalat empat rakaat, tetapi mengulang lagi shalatnya di rumah (para ulama menyebutnya ihtiyath). Ali yakin ia paling berhak menjadi khalifah, tetapi ia menahan diri karena memikirkan kemaslahatan umat. Imam Syafi'i tidak membaca qunut pada shalat Shubuh karena menghormati makam Abu Hanifah yang tidak jauh dari situ. Di Indonesia, banyak paham timbul --barangkali setelah melakukan taryih. Sayang sekali, keyakinan kita terhadap paham kita terlalu tinggi sehingga kita cenderung eksklusivistis dan meninggalkan prinsip silaturrahim. Akibatnya, kita cenderung menerima informasi hanya lewat sumber-sumber yang kita setujui dan menutup diri dari informasi yang datang dari sumber lain. Ini mempertebal ketergantungan kepada paham fiqh kita. Dan seterusnya sehingga terbentuk lingkaran setan yang tidak berujung. 3. Ijtihad bagi Ulama dan taqlid bagi orang awam: Membedakan mana yang qath'i dan dzanni, mengkritik hadits, melakukan tarjih bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan setiap orang. Al-Qur'an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan, "Katakan, apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidakkah kalian pikirkan itu?" (QS. al-Ra'd:16); "Tidak sama orang buta dan orang yang melihat. Tidak sama kegelapan dan cahaya" (QS. Fathir:19); "Katakan, apakah sama orang vang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan" (QS. al-Zumar:9) "Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan" (QS. Al-Mujadilah: 11). Mengizinkan setiap orang berijtihad --tanpa mempedulikan perbedaan mereka dalam pengetahuan agama-- dapat menimbulkan chaos. Seperti sangat beragamnya kemampuan dan pengetahuan orang, seperti itu pula beragamnya perbedaan pendapat. Ilmu mengurangi perbedaan, karena ilmu meletakkan konvensi-konvensi yang disetujui bersama, di samping membuat kendala-kendala yang berbentuk kriteria. "Berijtihad" tanpa ilmu berarti membuang seluruh konvensi dan kriteria, dan ini berarti anarkhi. Salah satu penyebab perpecahan ialah pendekatan parsial yang pada gilirannya disebabkan kekurangan pengetahuan. Ijtihad sebetulnya secara inheren melibatkan banyak ilmu. Bukan ijtihad bila dilakukan tanpa ilmu. Ijtihad memerlukan pengetahuan yang komprehensif tentang Islam; dan ini berarti, hanya sekelompok kecil orang yang dapat melakukannya. CATATAN 1) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, al-Turmidzi al-Hakim, al-Thabrani, al-Bazzar. Berbagai matan hadits ini dan penjelasannya dapat dibaca pada Al-Sayyid Murtadha al-Askari, Khamsun wa Mi-ah Shahabi Mukhtalaq, Beirut: Dar al-Turats al-Islami, 1974. 2) Al-Sayyid Murtadha al-'Askari menulis studi perbandingan antara Sunnah dan Syi'ah dalam Ma'alim al-Madrasatain (Teheran: Al-Bi'tsah, 1406). Ia menyebut Ahl al Sunnah sebagai madrasah al-khilafah dan Syi'ah sebagai madrasah al-imamah. 3) Hadits tentang dua belas imam ini diriwayatkan juga dalam kitab-kitab shahih di kalangan Ahl al-Sunnah. Lihat Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah; Musnad Ahmad 5:89, Shahih al-Turmudzi 2: 35: Mustadrak al-Shakihain 4: 501; Kanz al-Ummal 6: 201. 4) Mayoritas penduduk Kufah adalah orang Yaman dari Arab Selatan. Orang-orang Yaman adalah para pendukung Syi'ah. Karena mereka berasal dari kerajaan Saba, mereka kemudian dikenal sebagai Sabaiyyah. Begitu banyaknya Sabaiyyah yang mendukung Syi'ah, sehingga Syi'ah sering disebut sebagai Sabaiyyah. 5) Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Jana-iz. Hadits-hadits yang melaporkan bolehnya menangisi mayat cukup banyak. Nabi menangisi putranya (Ibrahim), pamannya (Hamzah), dan ibunya (Aminah). Dalam sunan al-Nasai dan Al-Turmudzi ada bab yang berjudul: Bab bolehnya menangisi mayit. 6) Padahal dalam banyak ayat al-Qur'an, prinsip pewarisan kepemimpinan pada keturunan atau keluarga nabi-nabi sering ditegaskan. Lihat 3:33; 2:124; 14:37; 19:58; 4:54; 20:30; 6:84; 27:16; 19:6. Kita tidak bermaksud menunjukkan bahwa pendapat wasiat Nabi pada Ali adalah satu-satunya paham yang benar. Kita hanya ingin menunjukkan bahwa prinsip egalitarian hendaknya ditafsirkan dengan merujuk pada dalil-dalil yang sahih. DAFTAR PUSTAKA Abu Zuhrah, 1987, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi. Al-Askari, S. Murtadha, 1406, Ma'alim at-Madrasatain, Teheran: Bittsah. Al-Hasan, Muhammad, 1396, Dalail al-Shidq; Mobtadiyah: Dar al-Mu'alim Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1986, Al-fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Al-Mughniyah, Jawad, 1405, Al-Syi'ah wa al-Hakimun, Beirut: Dar al-Jawad. -------------, 1982, Al-fiqh 'ala al-Madzahib al-Khaumsah, tidak diketahui penerbitnya. Al-Yahfufi, Musthafa. 1405, "Ulu al-Amr 'inda Madzahib al-Islamiyah," dalam Al-Maqalat wa al-Dirasat. Teheran: Wizarat al-Irsyad al-Islamiyah. Durant, Will, 1950, The story of Civilization, Vol.IV, New York: Simon and Schuster. -------------, 1953, The story of Civilization, Vol.V. New York: Simon and Schuster. Goldziher, I. 1967-1972. Muhammedanische Studien, Terjemahan Inggris oleh S.M. Stern dan C.R. Barber, Muslim Studies, London. Jafri, S.H.M., 1976, The Origins and Early Development of Shi'a Islam. Beirut: American University. Nicholson, RA. 1956, A Literary History of The Arabs, Cambridge. Rahmat, J., 1986, "Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur'an dan Sejarah" dalam Haidar Bagir (ed.). Satu Islam, Sebuah Dilemma, Bandung: Mizan. Shadr, S. Baqr, 1982, Baths Hawl al-Wilayah, Teheran: Maktabah al-Najah. Tabatabai, Husayn, Tanpa Tahun, Shi'a, Tidak diketahui penerbitnya. Thabari, Ibn Jarir, 1979, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Fikr. Wellhausen, Julius, 1927, The Arab Kingdom and Its Fall, Trans. M. Weir. Calcutta. -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |