|
|
|
|
|
VI.51. SKISME DALAM ISLAM (4/4)
Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini
Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam
oleh Nurcholish Madjid
Keperluan kepada bahan rujukan dari masa lalu (preseden) untuk
menetapkan hukum lambat-laun tumbuh manjadi kesadaran tentang
otoritas tradisi (sunnah) yang sah (valid). Maka perhatian
kepada cerita, anekdot, dan penuturan tentang para tokoh masa
lalu itu, khususnya tentang Nabi sendiri dan para Sahabat,
tapi juga tentang tokoh-tokoh generasi ketiga umat Islam,
menjadi semakin besar. Ini semua kelak disistematisasi dan
dikritik, untuk selanjutnya dikodifikasi, oleh para sarjana
hadits seperti al-Bukhari, Muslim, dll.
Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan untuk mencatat
hadits telah terjadi sejak masa sangat awal sejarah Islam,
rupanya malah sejak masa nabi sendiri. Tapi sejarah mencatat
bahwa dorongan paling kuat ke arah sana itu dimulai oleh
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (ibn Marwan) yang dikenal
sebagai Umar II (memerintah 717-720) karena mengingatkan orang
kepada Khalifah Umar ibn al-Khaththab.
Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang sudah
ada pada kaum Marwani atau Umawi, khususnya sejak kekhalifahan
Abd al-Malik ibn Marwan. Dorongan yang amat kuat untuk
menyudahi berbagai fitnah yang telah meninggalkan kesan-kesan
penuh trauma itu telah mengharuskan kaum Marwani atau Umawi
untuk menunjukkan sikap-sikap yang lebih akomodatif dan
kompromistis. Dalam rangka ini, tindakan terpenting ialah
mengakui Ali sebagai khalifah yang sah, pada urutan keempat
(artinya, Utsman, anggota-anggota klan mereka, tetap lebih
unggul daripada Ali, namun Ali lebih unggul daripada
Mu'awiyah, juga anggota klan mereka tapi menjadi musuh Ali).
Dengan begitu kaum Marwani atau Umawi meletakkan landasan
dialog intern Islam yang meliputi semua, yang di situ setiap
kelompok memperoleh kehormatannya, sedikit atau pun banyak.
Tradisi ini berkembang dan tumbuh kuat, dan menjadi dasar
faham yang kini merupakan anutan terbesar kaum Muslim di
dunia, yaitu faham yang menggabungkan antara ideologi Jama'ah
(persatuan dan kesatuan) dan ideologi Sunnah (faham yang
memandang otoritas masa lalu dan tradisi yang sah sebagai
bahan rujukan), maka disebut Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah,
biasa disingkat dengan Ahl al-Sunnah, lebih singkat lagi,
golongan Sunni.
PENUTUP
Dikarenakan terbatasaya ruang dan sifat pembahasan, yang dapat
dikemukakan di atas hanyalah masalah-masalah mendasar tentang
faham-faham pecahan dini Islam, yaitu Khawarij, Syi'ah dan
Sunnah. Masing-masing pecahan itu sesungguhnya pecah lagi ke
dalam berbagai kelompok, kemudian dibarengi atau disusul oleh
munculnya berbagai pecahan yang lain lagi.
Uraian di atas, meskipun jauh dari sempurna dan lengkap,
diharap dapat memberi gambaran (dan kesadaran) betapa
relatifnya pangkal skisme dalam Islam (karena berakar dalam
pertikaian sosial-politik yang sama sekali tidak mungkin lepas
dari konteks ruang dan waktu dalam pengertian yang
seluas-luasnya). Maka dengan jelas dapat dilihat betapa
absurd-nya memutlakkan kebenaran suatu aliran paham dalam
agama (Islam). Juga bisa dilihat, betapa problematisnya
kekhalifahan dan kedudukan seorang khalifah, lebih-lebih lagi
jika kita perhitungkan pandangan semua kelompok mengenai
masalah kekhalifahan itu. (Patut diperhatikan, betapa kaum
Syi'ah cenderung hanya mengakui Ali, kaum Khawarij hanya Abu
Bakr dan Umar, kaum Umawi lama hanya Abu Bakr, Umar, Utsman,
plus Mu'awiyah, kaum Marwani atau Umawi, sama dengan golongan
Sunni, mengakui semuanya namun dengan mengunggulkan Utsman
atas Ali dan Ali atas Mu'awiyah. Dan setiap kelompok itu,
dengan sendirinya, mempunyai sistem dan teori pembenaran bagi
pandangan masing-masing, tidak jarang dinyatakan dalam
gaya-gaya absolutistik dan "pasti benar").
Maka kesimpulannya, mungkin yang diperlukan sekarang ialah
mengembangkan dasar fikiran nonsektarianisme, dan melihat
sektarianisme sebagai jenis kemusyrikan, sesuai dengan
peringatan, "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik,
yaitu mereka yang memecah belah agama mereka kemudian menjadi
bersekte-sekte, setiap golongan membanggakan apa yang ada pada
mereka" (yakni, antara lain, mengaku benar sendiri). [17]
Sebenarnya semangat non-sektarianisme inilah salah satu
pandangan dasar Islam yang dibawa Nabi, karena mengambil
pelajaran dari pengalaman agama-agama sebelumnya, sebagai
tercermin dalam peringatan yang lain, "Sesungguhnya mereka
yang memecah belah agama mereka kemudian menjadi
bersekte-sekte, engkau (Muhammad) tidak sedikit pun termasuk
mereka." [18] Semangat non-sektarianis itulah salah satu makna
yang dimaksud bahwa agama Tawhid Nabi Ibrahim adalah hanif,
yakni, sebagai jawab kecenderungan alami manusia untuk memihak
yang baik dan benar: "Maka ikutilah olehmu semua agama
Ibrahim, secara hanif." [19] Agaknya kita semua ditantang
untuk memerangi sektarianisme yang kini masih menggejala.
CATATAN
1. QS. al-Mu'minun/23:51-52.
2. QS. al-Baqarah/2:213.
3. QS. Hud/11:118-119.
4. QS. Yunus/10:19..tb5.tb5
5. A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and Commentary
(Jeddah: Dar al Qibla, 1403 H), h. 488, catatan 1407.
6. Sabda Nabi yang terbaca, Ikhtilaf ummati rahmah (Perbedaan
pendapat ummatku adalah rahmat). Cukup ironis bahwa justru
hadits ini pun diperselisihkan, baik dari kesahihan sanadnya
maupun dari segi lafalnya yang lebih persis. Lafal lain
terbaca, misalnya, Ikhtilaf al-a'immah rahmah li al-ummah
(Perbedaan pendapat para imam adalah rahmat untuk ummat). Tapi
betapa pun diperselisihkan hadits itu nampaknya banyak
dipercayai para ahli. Rasyid Ridla, misalnya, memberi
pengantar dengan semangat hadits itu untuk penerbitan risalah
Ibn Taymiyyah, Khilaf al-Ummah fi al-Ibadat wa Madzhab Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah (Perselisihan umat dalam ibadat dan
Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah), (Cairo: Mathba'at
al-Manar, 1326 H.).
7. QS. al-Ma'idah 5:51.
8. Mungkin bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penghindaran
dari kenyataan pahit dalam sejarah Islam, salah satu unsur
dalam faham Sunni ialah semacam konsensus untuk tidak
membicarakan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang menyangkut
peperangan dan perebutan posisi politik yang terjadi antara
para Sahabat Nabi sekitar seperempat abad sesudah wafat
beliau. Terdapat pandangan bahwa kalangan "awam" sebaiknya
tidak membicarakan hal itu. (Lihat, misalnya, H. Muhammad
Shalih ibn Umar Samarani, Tarjamah Sabil al-Abid ala Jawharat
al-Tauhid [tanpa data penerbitan], hh.241-242).
9. Banyak bahan rujuknya dari literatur klasik untuk
pembahasan sekitar perkembangan dini sejarah Islam yang
menyangkut fitnah besar ini. Salah satunya ialah Tarikh
at-Thabari yang terkenal, yang meskipun ditulis di bawah
bayangan kuat idiologi Sunni namun sampai batas yang cukup
jauh tidak kehilangan sifat ilmiahnya. Tapi uraian berikut
hanyak dibuat dengan bersandar kepada kepada Marshall G.S.
Hodgson, The Venture of Islam, tiga jilid (Chicago, The
University of Chicago Press, 1974), jil. 1, passim.
10. Bukan saja samasekali tidak ada perbedaan antara al-Qur'an
pada kaum Sunni dan al-Qur'an pada kaum Syi'i. Bahkan
al-Qur'an kaum Syi'i pun ditulis dengan mengikuti ejaan atau
rasm Utsmani, baik yang diterbitkan pada masa pemerintahan
Syah Reza Pahlewi maupun yang diterbitkan pada masa
pemerintahan Islam revolusioner (Khumaini). Yang pertama
diwakili oleh mushaf terbitan Mu'assasat Intisyarat Amir
Kabir, Teheran, 1343 H./1965 M. (Meskipun tidak disebutkan
dalam pengantar atau lainnya bahwa mushaf itu ditulis dengan
ejaan Utsmani, namun kenyataannya ia persis sama dengan mushaf
ejaan Utsmani). Yang kedua diwakili oleh mushaf terbitan
Mu'assasat Intisyarat Shabirin, Teheran, 1405 Hijri qamari
(lunar) atau 1363 Hijri Syamsi (solar). Dalam kata penutup
terbitan mushaf ini (h. 983) ditegaskan oleh penerbit bahwa
mushaf itu menggunakan ejaan yang paling asli dan paling
aktual, yang dikenal dcngall "rasm al-mushaf" atau "rasm
Utsmani." Bahkan qira'at atau bacaannya disebutkan, seperti
pada mushaf- mushaf Sunni, sebagai berasal dari riwayat Hafsh
dari Ashim, "yang dari jalur lain dari Imam Ali ibn Abi
Thalib."
11. Perdebatan itu terekam dalam karya seorang murid Imam Abu
Hanifah, Abu Ya'quh Yusuf, Kitab al-Kharaj.
12. QS. al-Baqarah 2:207.
13. Karena hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan de
facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut "Tahun Persatuan"
('Am al Jama'ah). (Lihat, al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek,
Tarikh al-Tasri al-Islami, [Beirut, Dar al-Fikr, 1387 H/1967],
h. 110, juga h. 87). Dan kemudian konsep Jama'ah itu
dikembangkan sebagai idiologi.
14. Sangat menarik sebagai bahan studi lebih mendalam
mempelajari berbagai polemik sekitar Ali dan Mu'awiyah ini.
Misalnya, Ibn Taymiyyah, salah seorang pemikir Sunni mazhab
Hanbali yang sangat polemis terhadap golongan Syi'ah,
mengatakan, "Perilaku Mu'awiyah terhadap rakyatnya adalah
termasuk sebaik-baik perilaku para penguasa, dan rakyatnya
mencintainya. Padahal telah mantap dalam al-Shahihayn
(Bukhari-Muslim) dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda,
'Sebaik-baik para pemimpinmu ialah yang kamu cinta kepada
mereka dan mereka cinta kepada kamu dan berdo'a untuk
kebaikanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu ialah yang kamu
benci kepada mereka dan mereka benci kepadamu, serta kamu
mengutuk mereka dan mereka mengutuk kamu." (Minhaj al-Sunnah,
jil. 3, h. 189). Sebaliknya tentang Ali, Ibn Taymiyyah masih
sempat mencatat demikian, "... Dan tatkala dia (Ali) melamar
anak perempuan Abu Jahl, beliau (Nabi) bersabda, Bani
al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan anak
perempuan mereka kepada Ali. Dan sungguh aku tidak akan
mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sekali lagi
tidak akan mengizinkan! Kecuali jika anak Abu Thalib itu
menceraikan anak perempuanku (Fathimah) dan kemudian kawin
dengan anak perempuan mereka. Demi Allah, tidak akan berkumpul
menjadi satu anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan
musuh Allah pada satu orang lelaki.'" (ibid., h. 194). Jadi
dalam kutipan pertama Ibn Taymiyyah ingin mengesankan bahwa
Mu'awiyah bertingkah laku sesuai dengan Sunnah, dan dalam
kutipan kedua ia mau memperlihatkan betapa Ali pernah membuat
hal yang menyakiti hati Nabi.
15. Perlu diingat bahwa meskipun al-Qur'an telah dipersatukan
kodifikasinya oleh Utsman namun orang masih mengalami
kesulitan untuk memastikan pembacaannya, kecuali mereka yang
benar-benar mengenal bahasa Arab karena dibesarkan sebagai
orang Arab. Sedangkan mereka yang tidak demikian keadaannya
akan terbentur kepada sistem huruf Arab, sama dengan
huruf-hurut Semitik yang lain, yang hanya mengenal konsonan,
tanpa huruf hidup. Sebagai contoh tulisan Arab tingkat awal
itu berikut ini adalah (foto) kopi surat Rasulullah kepada
al-Mundzir ibn Sawi, yang diturun oleh Dr. Muhammad Hamidullah
dengan izin majalah orientalisme Jerman, Zeltschrift der
Deutschen Morgenlandischen dalam Majmu'at al-Watsa'iq
al-Siyasiyyah li al-Ahd al-Nabawi wa Khilaafat al-Rasyidah
(Beirut: Dar al-Irsyad. 1389 H/1969), dokumen No. 57 (antara
hh. 114 dan 115):
Tulisan seperti di masa Rasulullah itulah yang juga digunakan
untuk kodifikasi al-Qur'an oleh Utsman dan menghasilkan mushaf
rasmUtsmani. Perhatikan bahwa untuk perkembangan tulisan Arab
saat itu, kesulitan masih harus ditambah dengan tidak adanya
perbedaan simbol untuk cukup banyak bunyi, seperti untuk
bunyi-bunyi ba', ta', tsa nun dan ya', dan antara bunyi-bunyi
jim, ha' dan kha', antara dal dan dzal, antara ra' dan za'
antara sin dan syin, antara shad dan dlal, antara tha' dan
dha', antara 'ayn dan ghayn, akhirnya, antara fa' dan qaf.
Maka penambahan beberapa diakritik, seperti satu, dua, tiga
titik, di bawah dan di atas oleh al-Hajjaj merupakan fase amat
penting dalam sejarah metode penulisan al-Qur'an.
16. Perkataan Arab "fiqh" sendiri berarti "faham" (dalam makna
"mengerti"). Penggunaan perkataan "fiqh" sebenarnya merujuk
kepada beberapa firman Allah, antara lain, "Kami (Tuhan) telah
merinci berbagai ayat untuk kaum yang mengerti" (ber-fiqh)
(QS. al-An'am 6:98), dan. "... Maka hendaklah dari setiap
golongan ada satu kelompok orang yang pergi (mencurahkan
perhatian) untuk memahami agama secara mendalam (ber-tafaqquh)
..." (QS. al-Tawbah/9:122. Jadi yang dimaksudkan dengan
perkataan fiqh dalam firman-firman itu pendalaman ajaran
keagamaan secara menyeluruh. Tapi karena dominasi dan
supremasi persoalan penataan kembali masyarakat saat-saat dini
sejarah Islam, khususnya pada masa dinasti Marwani itu (antara
lain karena urgensi mengatasi dan menyudahi fitnah yang
berkelarutan), maka segi hukum dari agama juga amat dominan
dan supreme, sehingga pengetahuan mengenai masalah-masalah
hukum pun dianggap fiqh par excellence. Keadaan serupa itu
bertahan hampir sepanjang sejarah Islam sesudah masa Marwani,
sampai sekarang. Ini tercermin dalam bagaimana sebagian besar
kaum Muslim mempersepsi agamanya sebagai terutama sistem
hukum.
17. QS. al-Rum/30:32.
18. QS. al-An'am/6:169.
19. QS. Ali 'Imran/3:95. Bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad
adalah juga agama Ibrahim ditegaskan dalam cukup banyak
ayat-ayat suci, antara lain, "Katakan Muhammad, 'Sesungguhnya
aku diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus,
yaitu agama yang teguh (konsisten), agama (Nabi) Ibrahim yang
hanif ." (QS. al-An'am/6:161).
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |