| |
|
III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (2/3) IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH oleh Nurcholish Madjid IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITS DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH Allah juga mengingatkan Nabi bahwa masa mendatang lebih penting daripada masa sekarang. Dalam terjemah kontemporernya, Allah mengingatkan Nabi bahwa perjuangan jangka panjang, yang strategis lebih penting daripada pengalaman jangka pendek, yang taktis. Oleh karena itu hendaknya Nabi tidak putus asa atau kecil hati oleh pengalaman kekecewaan jangka pendek. Sebab, perjuangan besar selalu memerlukan waktu untuk mencapai hasil dan semakin besar nilai suatu perjuangan maka semakin panjang pula dimensi waktu yang diperlukannya. Dan dalam jangka panjang itulah, selama perjuangan diteruskan dengan penuh kesabaran dan harapan, Allah menjanjikan untuk memberi kemenangan yang bakal membuat beliau puas dan lega. (Janji Tuhan ini kelak ternyata terbukti dan terlaksana, berupa kemenangan demi kemenangan yang diraih Nabi setelah hijrah ke Madinah, dan beliau pun wafat memenuhi panggilan menghadap Allah dalam keadaan menang dan sukses luar biasa). Serentak dengan itu semua Allah juga mengingatkan akan masa lampau Nabi yang penuh kesusahan seperti keadaan beliau yang yatim-piatu, bingung tentang apa yang hendak dilakukan, dan miskin, dan bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya pada beliau dengan memberi kemampuan mengatasi kesusahan itu semua. Dan berdasarkan latar belakang itu maka Allah berpesan agar Nabi janganlah sampai menghardik anak-yatim, atau membentak peminta-minta, dan selalu ingat dengan penuh syukur akan nikmat karunia Tuhan. Berkenaan dengan surat al-Syarh, para ahli mengatakan bahwa wahyu itu turun kepada Nabi masih dalam kaitannya dengan surat al-Dluha, bahkan merupakan kelanjutannya. Dalam surat ini Allah menegaskan bagaimana Dia telah membuat Nabi sebagai seorang yang lapang dada (munsyarih al-shadr), dan membuat semua beban terasa ringan bagi beliau. Juga diingatkan bahwa Allah telah membuat terhormat nama Nabi dan dijunjung tinggi, berkat perjuangan beliau dan kebajikan yang ditegakkannya. Lalu Allah menegaskan bahwa setiap kesulitan tentu akan membawa kemudahan; bahwa amal usaha tentu mengandung kesulitan, namun hasil perjuangan itu di kemudian hari tentu akan membawa kebahagiaan. Maka dari itu setiap kesempatan harus digunakan untuk kerja keras, sambil senantiasa mengarahkan diri kepada Allah, dengan penuh harapan kepadaNya. Jadi, seperti telah diutarakan, dari kedua surat pendek yang banyak dibaca dalam shalat itu dapat disimpulkan gambaran dinamika kepribadian Nabi berhubung dengan pengalaman hidup perjuangan beliau. Jika kita renungkan lebih mendalam gambaran itu, maka sesungguhnya dinamika pengalaman hidup Nabi tersebut adalah universal, dalam arti dapat terjadi dan dialami oleh siapa saja dari kalangan manusia yang mempunyai tekad atau komitmen pada cita-cita luhur. Oleh karena itu sikap-sikap yang telah ditunjukkan oleh Nabi sebagaimana tersimpul dari kedua surat pendek itu akan melengkapi kaum beriman dengan contoh nyata dalam menghadapi problema kehidupan. Dari situ kita paham sebuah sunnah Nabi, dan dari situ pula kita mengerti suatu aspek makna firman Allah bahwa pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kaum beriman. Akhlak serta kepribadian yang menjadi sunnah Nabi, yang dapat disimpulkan dari kedua surat itu adalah kurang lebih demikian: 1.Sikap senantiasa berpengharapan kepada Allah 2.Sadar akan perjuangan jangka panjang, 3.Yakin akan kemenangan akhir 4.Ingat akan latar belakang diri di masa lalu dan bagaimana semua kesulitan teratasi 5.Rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang kurang beruntung 6.Senantiasa bersyukur pada Allah atas segala nikmat karunia-Nya, 7.Bersikap lapang dada 8.Memikul beban tanggungjawab dengan penuh kerelaan 9.Tidak kecil hati karena kesulitan, sebab yakin akan masa datang yang lebih baik 10.Menggunakan setiap waktu luang untuk kerja-kerja produktif 11.Tetap berorientasi kepada Allah, asal dan tuduan semua yang Firman Allah yang memberi gambaran dinamika kepribadian Nabi sebagai uswah hasanah dalam al-Qur'an cukup banyak. Pengkajian terhadap firman-firman itu akan memberi gambaran yang utuh tentang siapa Nabi dan bagaimana garis besar sepak terjang beliau dalam hidup beliau baik sebagai pribadi maupun sebagai Utusan Ilahi. Kita dapat mendekteksi dinamika kepribadian Nabi itu dari firman-frman yang ditunjukkan khusus kepada Nabi, seperti diindikasikan oleh penggunaan kata pengganti nama "engkau" dalam suatu format dialog antara Tuhan dan Utusan-Nya. Jadi sunnah Nabi, khususnya segi-segi yang dinamik dan mendasar, dapat lebih banyak diketahui dari Kitab Suci daripada dari kumpulan kitab hadits. Meskipun banyak laporan dalam kitab-kitab hadits yang juga memberi gambaran tentang tingkah laku atau kepribadian Nabi, namun umumnya bersifat ad hoc terkait erat dengan tuntutan khusus ruang dan waktu. Sedangkan yang ada dalam al-Qur'an, sekalipun dituturkan dalam kaitan dengan ruang dan waktu atau pengalaman khusus Nabi, namun ajaran moral di balik cerita selalu bersifat dinamik sehingga dapat dengan mudah diangkat pada tingkat generalitas yang tinggi, dengan demikian bernilai universal. Karena itu sunnah Nabi sebenarnya tidak terbatas hanya pada hadits, meskipun hadits (yang sahih) memang termasuk sunnah. PERGESERAN PENGERTIAN SUNNAH KE HADITS Di atas telah dikemukakan adanya kelompok-kelompok kaum muslim yang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulan hadits. Mereka sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karena ingkar pada sunnah Nabi adalah mustahil bagi seorang muslim. Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan "Ingkar Hadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr. Mushthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat dan mantan dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, serta seorang tokoh pembina gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria, golongan Ingkar Hadits itu terdapat di mana-mana dalam dunia Islam, dari dahulu sampai sekarang. Sangat menarik jalan pikiran seorang tokoh yang ingkar hadits itu di zaman modern, yang disebutkan oleh al-Siba'i sebagai contoh, dan yang dinilainya banyak membuka pintu bagi orang lain sesudahnya untuk juga bersikap ingkar pada hadits. Tanpa menyebut namanya secara jelas, al-Siba'i mengutip tokoh itu yang pandangannya pernah dimuat oleh majalah al-Manar pimipinan Sayyid Muhammad Rashyid Ridla. Tokoh itu sendiri, menurut Mushthafa al-Siba'i, adalah seorang muslim yang bergairah, yang telah tampil membela Islam dengan cara yang mengagumkan. Tapi pandangannya yang menolak otoritas hadits telah menimbulkan heboh di kalangan para ulama al-Azhar. Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yang menolak hadits ialah bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, dan bahwa Kitab Suci merupakan satu-satunya sumber penetapan syari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya. Sedangkan sunnah (yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalam keabsahannya sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadi penambahan-penambahan padanya, dan karena adanya banyak kontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya. Mereka mendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut: 1.Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun yang Kami abaikan dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am 6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah mencakup seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi ada peran bagi sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum dan membuat syari'ah. 2.Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan, sebagaimana difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar telah menurunkan pelajaran, dan sesungguhnyalah Kami yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan tidak menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk ke dalamnya penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya hadits termasuk sumber penetapan syari'ah, tentulah Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya dari kemungkinan penyelewengan dan perubahan sebagaimana Dia telah memelihara Kitab Suci-Nya. 3.Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw., bahkan secara otentik diceritakan bahwa beliau melarang membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di zaman al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para sahabat Nabi serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn Muhammad, al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak suka pada usaha membukukannya. Pembukuan hadits baru dimulai pada akhir abad pertama, dan selesai pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad ketiga. Ini adalah jangka waktu yang cukup panjang untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan teks-teks hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan sunnah pada tingkat dugaan (martabat al-dhann) belaka, sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan hukum syar'i, karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak sedikit pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm 52:28). 4.Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda "Sesungguhnya hadits akan memancarkan dari diriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku; dan apapun yang sampai kepadamu dan menyalahi al-Qur'an, ia tidak berasal dariku." [1] Dalam kutipan al-Siba'i tentang argumen orang yang ingkar pada hadits itu disebutkan bahwa pembukaan hadits dimulai pada akhir abad pertama Hijri, dan rampung pada pertengahan abad ketiga. Mungkin yang dimaksudkan ialah adanya dorongan pembukuan hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah. Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang 'Umar II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa, al-Rasyidun, sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib. 'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din al-Zuhri (w. 124 H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi yang hidup di kalangan penduduk Madinah, Kota Nabi, karena keyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan kelanjutan langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari "tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri. Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi Jama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar II melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn 'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah Ibn Mas'ud. Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serba inklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi" atau "sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga merupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah" Nabi. Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi penduduk Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukaan "tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya, "sunnah" itu akan memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang persatuan seluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup. Berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelak disebut sebagai paham "sunnah dan jama'ah" dan para pendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan sunnah dan jama'ah). Mushthafa al-Siba'i amat menghargai kebijakan 'Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba'i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba'i, sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash. [2] Tapi, sesungguhnya, pembukuan hadits secara sistematis dan kritis dan dalam skala besar serta pada tingkat kesungguhan yang tinggi baru dimulai pada awal abad ketiga dengan tampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204 H), dan baru benar-benar rampung pada awal abad keempat Hijri, dengan tampilnya al-Nasa'i (w. 303 H). Imam al-Syafi'i adalah tokoh pemikir peletak sebenarnya teori ilmiah pengumpulan dan klasifikasi hadits. Teori dan metodenya kemudian diterapkan dengan setia oleh al-Bukhari (w. 256 H), lalu diteruskan berturut-turut oleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275 H), al-Turmudzi (.w. 279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303 H). Koleksi mereka berenam itulah yang kelak disebut "Kitab yang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Akibatnya, pengertian "sunnah" pun kemudian menjadi hampir identik dengan koleksi hadits dalam "Kitab yang Enam" itu. -------------------------------------------- (bersambung 3/3) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |