| |
|
IV.23. TRADISI SYARAH DAN HASYIYAH DALAM FIQH DAN MASALAH STAGNASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (2/2) oleh Nurcholish Madjid Untuk memperoleh gambaran apa yang dinamakan syarah dan hasyiyah itu, berikut ini adalah contoh kutipan dari matan kitab Taqrib, yaitu sebuah kitab fiqh yang paling standar. di pesantren-pesantren. Matan itu kemudian diberi syarah dalam kitab Fat'h al-Qarib, juga sangat standar di pesantren-pesantren, dan akhirnya diberi hasyiyah dalam kitab al-Bajuri, sebuah kitab yang boleh dipandang cukup tinggi: Matan: Air yang boleh untuk menyucikan ada tujuh air: air langit, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air salju, dan air embun. [3] Syarah: (Air yang boleh) artinya sah (untuk menyucikan ada tujuh: air langit) artinya yang terjun dari langit, yaitu hujan (air laut) artinya yang asin (air sungai) artinya yang tawar (air sumur, air sumber, air salju dan air embun) dan tujuh air itu tercakup dalam ungkapan Anda "Apa yang turun dari langit dan apa yang menyembul dari bumi dalam keadaan bagaimanapun adalah termasuk pokok penciptann. [4] Syarah ini kemudian diberi hasyiyah, yaitu penjabaran atau elaborasi lebih lanjut. Berikut ini adalah contoh hasyiyah-nya (tapi karena hasyiyah yang bersangkutan itu panjang sekali, maka demi kepraktisan kita akan mengutip hasyiyah yang menyangkut salah satu dari air yang tujuh itu, yaitu "air sungai" saja): Hasyiyah: (Perkataannya dan air sungai) rangkaian dalam pengertian di, artinya air yang mengalir di sungai (nahr) dengan fa'thah ha' dan matinya dan yang pertama lebih fasih dan al di situ adalah untuk jenis, maka ia mencakup Nil dan Furat dan sebagainya, dan asalnya dari surga sebagaimana hal itu disebutkan dalam nas mengenainya sebab sesungguhnya diturunkan dari surga Nil Mesir dan Sihun sungai India dan Jihun sungai Balkh dan keduanya itu bukanlah Sihan dan Jiham menurut yang unggul berlainan dengan orang yang menyangka keduanya itu sinonim sebab Sihan adalah sungai Arnah dan Jihan adalah sungai al-Mashishah dan Dajlah dan Furat adalah dua sungai di Irak dari asal Sidrat al-Muntaha dan itulah makna firman Dia Yang Maha Tinggi "Dan Kami turunkan dari langit air dengan takaran tertentu" maka pada waktu keluarnya Ya'juj dan Ma'juj sungai-sungai itu diangkat dan itulah makna firman Dia Yang Maha Tinggi "Dan sesungguhnya Kami tentulah berkuasa untuk menghilangkannya." [5] Kutipan di atas itu sengaja dibuat dalam bentuk terjemahan harfiah tanpa memberi tanda-tanda baca sesuai konteks, menurut keadaan aslinya dalam kitab. Maksudnya ialah agar kita dapat merasakan kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang membaca "kitab gundul," jika mereka tidak terlatih membaca dalam konteks. Dan keadaan menurut aslinya itu dapat memberi gambaran tentang ungkapan "ilmiah" masa kemunduran itu yang tidak dapat disebut mengagumkan, jauh di bawah ukuran masa kejayaan intelektual sebelumnya seperti diwakili karya-karya Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Ibn Taymiyyah, dan sebagainya. Bahkan dalam kutipan itu dapat dilihat munculnya beberapa dongeng dan mitologi, yang dirangkaikan dengan paham keagamaan, seperti bahwa sungai Nil berasal dari surga dan sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Eufrat) di Irak berasal dari Sidrat al-Muntaha! Juga ada mitos lain yang tercampur dengan pandangan keagamaan tertentu seperti cerita tentang datangnya Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Mogog) yang tersebut dalam Kitab Suci al-Qur'an [6], yang pada saat itu akan diangkat sungai-sungai Nil, Furat dan Dajlah itu ke langit sebagai tafsir atas ayat suci al-Qur'an pula. [7] KESIMPULAN Semangat obskurantisme atau kemasabodohan intelektual akibat berbagai faktor ekstern dalam proses-proses dan struktur-struktur politik masa itu sedemikian mencekam, sehingga mewarnai sikap intelektual sebagian besar kaum Muslim. Dan dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan telah "habis," dan yang tersisa ialah mencerna apa saja yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Stagnasi ini tidak dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu terjadi secara wajar saja, sampai akhirnya mereka terhentak dan kalah oleh bangkitnya bangsa-bangsa yang selama ini mereka remehkan, yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, atau lebih persisnya, Barat Laut, bangsa-bangsa pelopor umat manusia masuk Zaman Modern. Banyak ahli yang mengatakan, semua ini diawali karena umat Islam terkena penyakit "puas diri", akibat dominasi mereka atas kehidupan di muka bumi selama berabad-abad (dalam perhitungan konservatif setidaknya selama delapan abad, yang berarti empat kali lebih panjang daripada masa dominasi Eropa Barat yang sudah berlangsung selama dua abad ini). Dan ketika mereka dikejutkan oleh datangnya tentara Perancis ke Mesir di bawah Napoleon yang dengan amat mudah mengalahkan mereka itu, keadaan sudah sangat terlambat, sehingga dorongan ke arah kebangkitan kembali yang muncul sejak itu sampai sekarang belum mencapai tujuan yang dimaksud. Tapi tentu saja umat Islam masih tetap mempunyai kesempatan yang baik. Berbagai gejala masa-masa terakhir ini, yang biasanya diletakkan dalam bracket "kebangkitan Islam", dapat diacu sebagai petunjuk adanya masa depan yang baik, setidaknya lebih baik daripada sekarang, apalagi daripada masa obskurantisme tersebut di atas itu. Sebuah adagium mungkin relevan dengan masalah ini yaitu yang berbunyi: "Tidak akan menjadi baik umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baiknya umat terdahulu." [8] Sementara banyak tafsiran yang berbeda-beda tentang apa "yang membuat baik umat terdabulu," namun dari pembacaan kepada sejarah peradaban Islam, khususnya sejarah pemikirannya, jelas bahwa yang membuat baik mereka generasi Islam klasik itu ialah apa yang dalam ungkapan kontemporer dinamakan "Etos Ilmiah". Berbeda dengan obskurantisme, etos ilmiah yang benar harus memandang ilmu tidak mempunyai batas (limit), melainkan ilmu hanya mempunyai perbatasan (frontier), yaitu ujung terakhir perkembangan pemikiran ilmiah. Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah, karena itu tak terjangkau. Tapi perbatasan atau frontier ilmu hanyalah produk kemampuan manusia sendiri yang tidak sempurna, karena itu harus selalu diusahakan untuk ditembus dengan keberanian intelektual serta kreativitas dan orisinalitasnya. [9] Semuanya itu memerlukan suasana yang bersifat kondusif. Dan suasana itu tidak lain, seperti dikemukakan KH. Hasyim Asy'ari di atas, ialah toleransi dan saling menghargai dalam perbedaan. CATATAN 1. Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqata'at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Mathba'at Nahdlat al-'Ulama, tt.). h. 11. (Risalah ini ditulis pada 1360 H atau 1941 M). 2. Ibid., h. 12. 3. Abu Syuja' Ahmad Ibn al-Husayn al-Ishfahani, al-Ghayah wa al Taqrib, (Semarang: Pustaka al-'Alawiyyah, tt.), h. 2-3. 4. Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fat'h al-Qarib (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 3. 5. Al-Syaykh Ibrahim al-Hajuri, Hasyiyat al-Hajuri (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 27. 6. Lihat Q.s. al-Kahf/18:94 (dalam cerita tentang Dzu al Qarnayan) 7. Lihat Q., s. al Mu'minun/23:18. 8. "La tashluhu hadzihi al-Umah illa bi ma shaluha bihi awwaluha." 9. Seperti halnya dengan Zaman Modern, etos ilmiah Zaman Klasik Islam memandang perbatasan ilmu harus selalu ditebus, sementara dalam zaman obskurantisme, etos ilmiah yang ada mengajarkan agar setiap bertemu dengan perbatasan hendaknya kembali ke semula, dan ini menghasilkan praktek menghafal. Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah swt, jadi tidak mungkin dicapai manusia, apalagi ditembus. "Katakan, 'Kalau seandainya seluruh lautan ini tinta untuk Kalimat Tuhanku, maka lautan itu akan habis sebelum Kalimat Tuhanku habis, meski kami datangkan tinta sebanyak itu pula." (Q., s. al Kahf/18:109). -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |