| |
|
I.2. MASALAH TA'WIL SEBAGAI METODOLOGI PENAFSIRAN AL- QUR'AN oleh Nurcholish Madjid (1/2) Interpretasi metaforis atau ta'wil, ialah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Qur'an dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks sumber suci itu, tapi pada "makna dalam" (bathin, inward meaning) yang dikandungnya. Metode pemahaman serupa itu (ta'wil) telah muncul sejak masa-masa dini sejarah Islam (jika tidak malah sejak masa Rasul Allah saw. sendiri, sebagaimana dikatakan kalangan Islam tertentu). Karena itu persoalan interpretasi metaforis ini mempunyai saham cukup besar dalam timbulnya perselisihan, kemudian perpecahan, di kalangan kaum Muslim. Maka salah satu manfaat yang menjadi tujuan tulisan ini ialah tumbuhnya keinsafan lebih besar tentang bibit-bibit perselisihan paham dalam Islam, serta bagaimana seharusnya kita menempatkan diri dalam kancah perselisihan itu secara adil. Sikap dapat memahami persoalan berkenaan dengan perselisihan paham di kalangan umat itu semakin dirasa mendesak akhir-akhir ini. Dalam abad telekomunikasi mondial yang serba cepat dan luas, setiap pribadi orang modern mengalami bombardemen informasi yang seringkali menyangkut segi-segi kesadarannya yang mendalam. Dari sekian banyak informasi itu, untuk kalangan kaum Muslim, ialah yang berkenaan dengan keadaan umat Islam sendiri di seluruh dunia, termasuk informasi tentang adanya berbagai kelompok dan aliran pemikiran yang beraneka ragam Terlintas dalam pikiran, misalnya kesadaran hampir tiba-tiba kaum Muslim Indonesia tentang adanya golongan Syi'ah dan berbagai alirannya, antara lain karena revolusi mereka di Iran 1979. Lepas dari masalah revolusi itu sendiri (yang agaknya lebih baik dilihat sebagai gejala politik, seperti halnya dengan revolusi-revolusi lain), kejadian di Iran pada penghujung dasawarsa lalu itu dalam suatu sentakan, telah melahirkan sejenis kesadaran baru di kalangan umat Islam dunia, yaitu kesadaran tentang pluralitas Islam dan potensi yang ada di balik setiap golongan. Maka dengan menengok masalah ta'wil ini, kita berharap dapat menempatkan diri lebih baik dalam memandang berbagai aliran dan madzhab di kalangan umat sendiri, untuk kemudian sikap yang sama itu sedapat mungkin kita bawa pada persoalan masyarakat secara keseluruhan. AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT Salah satu pokok perselisihan di kalangan umat Islam yang terkait erat dengan masalah ta'wil ini ialah adanya ayat-ayat suci al-Qur'an yang "bermakna jelas atau pasti" (muhkamat) dan yang "bermakna samar atau tidak pasti" (mutasyabihat, yakni, yang interpretable). Adanya kedua jenis ayat itu, disebutkan dalam Kitab Suci sendiri sebagai berikut: Dia (Tuhan) yang telah menurunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab Suci, yang didalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk Kitab Suci (Umm al-Kitab), dan ayat-ayat lain yang mutasyabihat. Ada pun orang-orang yang dalam hatinya terdapat keserongan, mereka akan mengikuti bagian-bagian yang tersamar (mutasyabihat) daripadanya, dengan tujuan membuat fitnah (perpecahan) dan mencari ta'wil bagian-bagian tersamar itu. Padahal tidak mengetahui ta'wil-nya kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya maka akan menyatakan, "Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami." Dan tidaklah akan dapat merenung (menangkap pesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam. [1] Masalah muhkamat dan mutasyabihat itu setidak-tidaknya menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan: Pertama, perbedaan pandangan tentang mana saja ayat-ayat suci yang muhkamat, dan mana pula yang mutasyabihat. Karena perselisihan ini maka ada ayat-ayat suci yang bagi suatu kelompok umat Islam bersifat muhkamat, namun bagi kelompok lain bersifat mutasyabihat. Firman-firman berkenaan dengan surga dan neraka, misalnya, bagi kebanyakan kaum Muslim bersifat muhkamat, tapi bagi sebagian mereka, seperti golongan al-Bathiniyyun ("Kaum Kebatinan" - lihat pembahasan di bawah), bersifat mutasyabihat sehingga pelukisan tentang surga dan neraka itu mereka pahami sebagai metafor-metafor atau kias-kias, yang tak mesti menunjuk pada hakikatnya. Kedua, perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat itu. Sebagian kelompok Islam membolehkannya, sehingga dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat itu, harus dilakukan interpretasi di balik ungkapan-ungkapan lahiriah. Sebagian lagi yang tidak membolehkannya, berpendapat dalam memahami ayat-ayat itu kita harus berhenti pada makna-makna seperti yang dibawakan ungkapan lahiriah lafal dan kalimatnya. Termasuk dalam permasalahan ini ialah problema homonimi (Arab: ism musytarak, kata-kata berserikat), seperti kata-kata "mendengar," "mengetahui," "melihat,', "tangan", "marah," "senang"' dan lain-lain yang dalam Kitab Suci disebutkan sebagai sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau sifat-sifat itu juga dapat diberlakukan kepada makhluk, khususnya manusia. Maka pelukisan itu mengesankan bahwa Tuhan dan manusia "berserikat" dalam beberapa sifat dan kelengkapan, dan ini menimbulkan problema. Mereka yang melakukan interpretasi (karena beranggapan bahwa Tuhan mustahil memiliki kualitas-kualitas yang sama dengan manusia) akan memandang ayat-ayat yang bersangkutan dengan itu sebagai metafor-metafor belaka, sedangkan kenyataan tidaklah seperti yang dikesankan pengertian lahir firman-firman itu. Mereka yang tidak membenarkan interpretasi akan melihat firman-firman itu seperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa Tuhan memiliki kualitas-kualitas itu "tanpa bagaimana." Ketiga, bagi mereka yang membolehkan interpretasi, masih terdapat perselisihan tentang siapa yang harus melakukan interpretasi itu. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan yang gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak untuk melakukannya harus dibatasi hanya pada lingkungan yang memenuhi syarat, antara lain pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir yang mendalam. Ini membawa konsekuensi terbaginya anggota masyarakat manusia kepada kelompok-kelompok khusus (khawas, al-khawash) dan kelompok-kelompok umum (awam, al-'awam). Yang pertama adalah "kaum ahli," dan yang kedua terdiri dari "orang-orang kebanyakan." PANDANGAN PARA FILSUF Seperti dapat diduga, para filsuf adalah kalangan orang-orang Muslim yang paling banyak melakukan ta'wil, disebabkan kuatnya pengakuan sebagai para pencari hakikat dan kebenaran demonstratif (yang terbuktikan secara tak terbantah). Mereka dengan kuat memandang, ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam sumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci maupun Sunnah Nabi adalah ungkapan-ungkapan metaforis atau alegoris. Jadi tidak dimaksudkan seperti apa adanya menurut arti lahiriah ungkapan-ungkapan itu. Untuk dapat menangkap arti sebenarnya dari ungkapan-ungkapan itu, diperlukan disiplin dan latihan berpikir yang tinggi, yang menurut mereka hanya diperoleh melalui pemikiran kefilsafatan. Sesuai dengan makna asal katanya dalam bahasa Yunani, filsafat adalah kecintaan kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadi kearifan itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah. Maka para filsuf Islam memandang diri mereka sebagai "penganut kearifan" (ahl al-hikmah) atau para orang arif-bijaksana (al-hukama). Kadang-kadang juga disebut ahl al-burhan ("para penganut kebenaran demonstratif atau apodeiktik, yakni kebenaran tak terbantah"). Kelebihan mereka itu, mereka adalah golongan khawas di kalangan umat, dan mereka berhak, bahkan wajib, menggunakan metode interpretasi metaforis terhadap teks-teks keagamaan. Filsuf Islam terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd (Latin: Averroes), misalnya berpandangan para filsuf selaku ahl al-burhan itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi (dikutip di atas) sebagai "orang-orang yang mendalam ilmunya," karena mereka ini berhak atau wajib melakukan ta'wil terhadap bunyi teks-teks suci. Jadi bagi Ibn Rusyd firman Tuhan itu harus dibaca kaum khawas sedemikian rupa sehingga "orang-orang yang mendalam ilmunya" termasuk ke dalam yang mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat. Yaitu dengan memindah tanda baca berhenti (waqaf:) sehingga terbaca, "... Padahal tidak mengetahui ta'wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka ini berkata, "Kami beriman kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami..." sebagai ganti cara baca kaum awam (lihat terjemah kutipan firman itu di atas). [2] Jadi para filsuf dengan kata lain, memandang Nabi mengutarakan sesuatu dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yang tidak memaksudkan makna-makna lahir ungkapan-ungkapan itu, melainkan pada makna batinnya. [3] Karena itu para filsuf rawan terhadap tuduhan, mereka sebenarnya menganut teori, Nabi telah melakukan sejenis kebohongan: Mengungkapkan sesuatu tanpa memaksudkan makna lahiriah ungkapan itu. Tapi "kebohongan" Nabi bukanlah kejahatan, karena bertujuan kebaikan, yaitu pendidikan orang banyak atau kaum awam, agar mereka berbuat baik dan meninggalkan keburukan. Dengan kata lain, para filsuf menganut teori Nabi telah melakukan "kebohongan untuk kebaikan" (al-kidzb li al-mashlahah), seperti yang dituduhkan Ibn Taymiyyah. [4] Karena "pendidikan" itu ditujukan pada kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni, para filsuf sendiri, tak seharusnya mengikuti cara awam dalam memahami ajaran agama. Para flsuf harus melakukan ta'wil terhadap bunyi-bunyi teks suci baik Kitab maupun Sunnah (Hadits), sedangkan orang awam harus menerimanya menurut apa adanya sesuai dengan bunyi dan makna lahiriah lafalnya itu. Para filsuf akan menjadi kafir jika tidak melakukan interpretasi (karena bagi mereka ajaran-ajaran agama tertentu seperti surga dan neraka dalam pengertian fisik itu tidak masuk akal, jadi tertolak). Dan sebaliknya, orang awam akan menjadi kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnya pemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tak terjangkau kemampuan akal mereka. Adanya bahaya ini (bahaya kekafiran, baik dari pihak khawas maupun awam), maka Ibn Rusyd berpendapat, ta'wil harus disimpan dan dirahasiakan untuk kalangan kaum khawas saja. [5] Sehingga sering dikatakan, metode Ibn Rusyd yang membagi manusia dalam golongan khawas dan awam itu akan melahirkan semacam elitisme dalam kehidupan beragama. AL-BATHINIYYUN (KAUM KEBATINAN) Istilah al-Bathiniyyun, kadang-kadang juga Ahl al-Bawathin (Kaum Kebatinan) digunakan secara longgar untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok Islam yang orientasinya berat ke arah paham keagamaan yang lebih mengutamakan usaha menangkap makna dalam (bathin) dari suatu teks atau ajaran agama. Karena itu istilah tersebut berlaku untuk hampir semua kelompok esoteris Islam, termasuk kaum Sufi. Oleh kaum Sunni istilah itu juga secara khusus digunakan untuk kelompok Islam tertentu, terutama kaum Isma'ili, penganut aliran Isma'iliyyah, yaitu suatu pecahan aliran Syi'ah yang muncul sesudah wafat Isma'il ibn Ja'far al-Shadiq sekitar 148 H (765 M). Mereka juga dinamakan kaum Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah Tujuh), karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang tujuh (yaitu sejak Hasan ibn 'Ali sampai Muhammad ibn Isma'il (ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir). Dalam hal paham keimanan itu mereka berbeda dengan umumnya golongan Syi'ah Itsna 'Asy'ariyyah (Syi'ah Duabelas, karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang duabelas jumlahnya, sejak dari Hasan ibn 'Ali sebagai imam pertama, melalui Ja'far al-Shadiq seperti kaum Isma'ili, tapi menyimpang ke Musa al-Kadhim ibn Jafar --dan bukannya ke Muhammad ibn Isma'il-- kemudian berakhir dengan Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai sekarang sedang bersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi). Adalah al-Bathiniyyun ini yang menjadi salah satu sasaran karya-karya polemis pemikir Sunni al-Ghazali dalam rangka usahanya menghancurkan filsafat. Sebab dalam melakukan ta'wil terhadap fakta-fakta tekstual agama, para pengikut Syi'ah Isma'iliyyah ini memang banyak sekali menggunakan sumber-sumber filsafat, khususnya Neo-Platonisme. Mereka memang masih memiliki persamaan dengan orang-orang Muslim lain, seperti pandangan tentang kewajiban melakukan ibadat-ibadat tertentu. Tapi mereka juga berpegang pada paham tentang adanya ajaran-ajaran esoteris (bathin) yang membentuk sistem filsafat kaum Isma'ili. Dalam gabungannya dengan semangat keagamaan mereka, sistem filsafat itu menyediakan penyimpangan kandungan batin ajaran-ajaran agama yang antara lain, bagi mereka, memberi dukungan pada usaha pembuktian bahwa lembaga imamat (keimaman) adalah langsung dari Tuhan. Pembuktian itu diperoleh antara lain karena doktrin, semua ajaran agama (Islam) selalu mengandung makna lahir dan makna batin. Tapi karena orang awam, seperti juga menjadi pandangan kaum filsuf, tak mampu menangkap makna batin yang sulit itu, malah berbahaya bagi mereka, maka makna batin itu ditujukan hanya pada orang-orang istimewa tertentu saja. Makna dan kebenaran agama, khususnya kandungan al-Qur'an, yang tersembunyi dan dirahasiakan itu hanya diberikan Nabi kepada 'Ali, kemenakan, menantu dan sahabat yang menjadi kepercayaan beliau. Maka hanya mereka yang memiliki kemampuan spiritual yang tinggi sajalah yang mampu mengakui peranan khusus 'Ali, dan hanya mereka inilah yang dapat menangkap makna-makna batiniah agama. -------------------------------------------- (bersambung 2/2) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |