Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

IV.24. TAQLID DAN IJTIHAD                              (2/4)
Beberapa Pengertian Dasar             Oleh KH. Ibrahim Hosen
 
Hadits  di  atas  bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan
tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa  adanya  perbedaan
pendapat   sebagai  hasil  ijtihad  ditolerir.  Prinsip  ini
dipegang teguh oleh para imam mujtahid;  sehingga  muncullah
ucapan  mereka  yang  sangat  populer, "Pendapat kami benar,
tetapi mengandung kemungkinan  salah;  dan  pendapat  selain
kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar."
 
Hal  ini  sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad
yang  statusnya  dhanny,  yang  artinya  kebenarannya  tidak
bersifat  absolut,  ia  benar  tetapi mengandung kemungkinan
salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan  benar.  Hanya
saja,    menurut    mujtahid,   porsi   kebenarannya   lebih
dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam  sebagai
hasil  ijtihad  inilah  yang  ditegaskan  Nabi  akan membawa
rahmat  (kelapangan   bagi   umat)   sebagaimana   diketahui
ditegaskan  dalam  sebuah  hadits,  "Perbedaan  pendapat  di
kalangan   ulama   akan   membawa   rahmat."   (Abu   Nashar
Al-Muqaddasi).
 
Yang  dimaksud  dengan  perbedaan  di  sini adalah perbedaan
pendapat dalam hukum Islam  ijtihady,  yakni  fiqih.  Inilah
yang  ingin  saya  tegaskan  dalam  kesempatan ini mengingat
adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu'  untuk
membenarkan  adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang
akan bermuara pada paham  "pluralisme  agama"  -semua  agama
sama  atau  benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila
benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak  ada  kewajiban
berda'wah,  amar  ma'ruf  nahi munkar, jihad dan sebagainya.
Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan.
 
IJTIHAD TIDAK DAPAT DIGUGURKAN DENGAN IJTIHAD
 
Di atas telah disinggung bahwa hukum  yang  dihasilkan  oleh
ijtihad  statusnya  dhanny. Oleh sebab itu maka ijtihad yang
satu tidak dapat  membatalkan  ijtihad  yang  lain,  sejalan
dengan  kaidah,  "Ijtihad  yang  satu tidak dapat digugurkan
oleh ijtihad yang lain."
 
Betapapun lemahnya suatu  ijtihad,  ia  tetap  eksis,  tidak
dapat  begitu  saja  dilenyapkan  oleh  ijtihad  yang  lain,
betapapun kuat dalilnya. Apabila hal ini dapat kita  pegangi
secara  konsisten  maka jiwa tasammuh dalam menanggapi aneka
ragam pendapat di  bidang  fiqih  sebagai  akibat  perbedaan
dalam berijtihad akan tetap dapat ditumbuhkan; sehingga kita
akan sanggup menjadikan perbedaan pendapat tersebut  sebagai
rahmat yang memporak-porandakan persatuan umat Islam.
 
Prinsip  tasammuh sebagai manifestasi dari status fiqih yang
bersifat dhanny  tersebut  dipegang  teguh  oleh  para  Imam
Mujtahid;  sehingga  muncullah  ucapan  mereka  yang  sangat
populer, "Pendapat kami benar, tapi  mengandung  kemungkinan
salah;  dan  pendapat  selain  kami salah, tetapi mengandung
kemungkinan benar."
 
SYARAT-SYARAT IJTIHAD.
 
Seseorang yang ingin mendudukkan  dirinya  sebagai  mujtahid
harus   memenuhi  beberapa  persyaratan.  Di  antara  sekian
persyaratan itu yang terpenting ialah:
 
 1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat
    al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan
    pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk
    menggali hukum.
    
 2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits
    Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia
    sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali
    hukum.
    
 3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah
    ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang
    hasilnya bertentangan dengan ijma'.
    
 4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan
    dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
    
 5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an
    dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam
    bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik
    dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
    
 6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam
    al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan
    ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh
    (mansukh) untuk menggali hukum.
    
 7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u
    'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u
    'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara
    tepat.
    
 8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia
    dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat
    diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai
    suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang
    lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui
    sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan
    ta'dil tajrih (screening).
    
 9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan
    deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum
    dan sanggup mempertahankannya.
 
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar
    dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa
    dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu
    permasalahan yang akan diketahuinya.
 
MACAM-MACAM TINGKATAN IJTIHAD.
 
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
 
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan
   dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah
   istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi
   seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan
   kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.
   Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi,
   Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan
   sebutan Mazhab Empat.
 
2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang
   mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah
   istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk
   menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau
   metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan
   sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud
   dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari
   mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab
   Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian
   ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok
   pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
 
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid
   mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
   dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka
   mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya,
   demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah
   dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada
   masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,
   men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa
   pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan
   mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini
   dari madzhab Syafi'i.
 
4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan
   dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik
   dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai
   mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu
   yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai
   dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam
   mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan
   Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok
   ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga
   sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka
   menjadikannya satu tingkatan.
 
BENARKAH PINTU IJTIHAD SUDAH DIKUNCI?
 
Para  ahli  fiqih  telah  sepakat   bahwa   ijtihad   dengan
pengertian  penyesuaian  suatu  perkara dengan sesuatu hukum
yang sudah ada tetap terbuka.  Ijtihad  kategori  ini  tidak
termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih.
 
Perbedaan  pendapat  terjadi  pada  ijtihad menurut definisi
ushul fiqih. Sebagian ulama berpendapat bahwa pintu  ijtihad
telah   tertutup.  Gema  ini  digelorakan  oleh  ulama-ulama
mutakhirin pada awal abad ke-IV Hijriah setelah dunia  Islam
diliputi  kabut  ta'ashub  madzhab serta banyaknya man laisa
lahu ahlu 'l-Ijtihad (mujtahid karbitan) yang tampil mengaku
sebagai mujtahid.
 
Sebagian  ulama  yang  lain  berpendapat bahwa pintu ijtihad
tetap terbuka  dan  dapat  dimasuki  oleh  siapa  saja  yang
memiliki   kuncinya  (memenuhi  persyaratan).  Pendapat  ini
antara lain diproklamirkan Imam al-Syaukani pada pertengahan
abad ke-XIII Hijriah, yang kemudian di Mesir digalakkan oleh
Syekh Al-Maraghy, Rektor  Universitas  Al-Azhar  pada  waktu
itu.
 
Golongan  yang  memandang bahwa ijtihad adalah sumber hukum,
mereka  berpendapat  bahwa  pintu  ijtihad  tetap   terbuka.
Sedangkan  golongan  yang  memandang  bahwa  ijtihad  adalah
kegiatan/pekerjaan mujtahid, mereka berpendapat bahwa  pintu
ijtihad  telah  tertutup,  yaitu  sejak  wafatnya  imam-imam
mujtahid kenamaan.
 
Kini, kita perlu mengetahui argumentasi dari  golongan  yang
berpendapat bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka, yaitu:
 
1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang
   semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku;
   sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, akan banyak
   kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur'an dan
   Sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, tidak
   dapat diketahui bagaimana status hukumnya.
 
2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama
   Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam
   memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam
 
3. Dengan membuka pintu ijtihad maka setiap permasalahan
   baru yang dihadapi umat, akan dapat diketahui hukumnya.
   Dengan demikian maka hukum Islam akan selalu berkembang dan
   tumbuh subur serta sanggup menjawab tantangan zaman.
 
Golongan yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup
antara lain beralasan:
 
1. Hukum Islam baik dalam bidang 'ibadah, mu'amalah,
   munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah
   lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu
   kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi.
 
2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui Madzhab Empat.
   Oleh karena itu tiap-tiap yang menganut madzhab Ahl
   al-Sunnah harus memilih salah-satu dari Madzhab Empat. Ia
   harus terikat tidak boleh pindah madzhab.
 
3. Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan
   membuang-buang waktu, juga hasilnya akan berkisar:
 
a. Mungkin berupa hukum yang terdiri dari koleksi pendapat
   antara dua madzhab atau lebih, yang biasa kita kenal dengan
   istilah talfiq, yang kebolehannya masih diperselisihkan kaum
   ushuliyyin.
 
b. Mungkin berupa hukum yang telah dikeluarkan oleh salah
   satu Madzhab Empat, yang berarti ijtihad yang dilakukan itu
   hanyalah tahsil al-hasil
 
c. Mungkin berupa hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab
   di luar Mazhab Empat. Padahal, menurut mayoritas ulama Ahl
   al-Sunnah, selain Mazhab Empat tidaklah dianggap.
 
d. Mungkin berupa hukum yang tidak seorangpun ulama Islam
   membenarkannya. Hal semacam ini pada hakikatnya menentang
   ijma'.
 
4. Realitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV
   Hijriah sampai detik ini tak seorangpun ulama berani
   menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya
   sebagai seorang mujtahid muthlaq/mustaqil. Hal ini
   menunjukkan bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad yang
   telah ditentukan itu memang sangat sulit kalau tidak
   dikatakan tidak mungkin lagi untuk saat seperti sekarang
   ini.
                                            (bersambung 3/4)
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team