Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III.14. TASAWUF                                    (hal. 42)
oleh Harun Nasution                                    (4/4)
 
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
 
Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
 
Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
 
Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah  lidah
al-Hallaj   mengucapkan,  "Ana  'l-Haqq" (Akulah  Yang  Maha
Benar).
 
Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak
mengandung  arti  pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan.
Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui
lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,
 
"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."
 
Syatahat atau kata-kata teofani  sufi  seperti  itu  membuat
kaum  syari'at  menuduh  sufi  telah menyeleweng dari ajaran
Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum
syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak
menangkap pengalaman  sufi  yang  mementingkan  hakekat  dan
tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada
Tuhan.
 
Dalam sejarah  Islam  memang  terkenal  adanya  pertentangan
keras  antara  kaum  syari'at  dan  kaum hakekat, gelar yang
diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda  setelah
al-Ghazali  datang  dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah
yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang  menyakinkan.
Al-Ghazali  menghalalkan  tasawuf  sampai  tingkat ma'rifah,
sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat  fana',  baqa,  dan
ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi
mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.
 
Kalau filsafat,  setelah  kritik  al-Ghazali  dalam  bukunya
Tahafut  al-Falasifah,  tidak berkembang lagi di dunia Islam
Sunni, tasawuf  sebaliknya  banyak  diamalkan,  bahkan  oleh
syariat  sendiri.  Dalam  perkembangan  selanjutnya, setelah
pengalaman  persatuan  manusia  dengan  Tuhan  yang   dibawa
al-Bustami  dalam  ittihad  dan  al-Hallaj dalam hulul, Muhy
al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan  wujud
makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.
 
Lahut  dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang
berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam  pengalamannya,
tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan
esensi, disebut  al-haqq,  dan  aspek  luar  yang  merupakan
aksiden  disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya
berbeda, tetapi dalam aspek batinnya  satu,  yaitu  al-haqq.
Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
 
Tuhan,  sebagaimana  disebut dalam Hadits yang telah dikutip
pada permulaan, pada  awalnya  adalah  "harta"  tersembunyi,
kemudian  Ia  ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan
melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam  sebagai  makhluk,
adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai
cermin yang didalamnya terdapat gambar  Tuhan.  Dengan  kata
lain,  alam  adalah  bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud
alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud  alam  tergantung
pada  wujud  Tuhan.  Sebagai  bayangan,  wujud  alam bersatu
dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
 
Yang ada dalam alam  ini  kelihatannya  banyak  tetapi  pada
hakekatnya  satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang
melihat dirinya dalam beberapa  cermin  yang  diletakkan  di
sekelilingnya.  Di  dalam  tiap cermin, ia lihat dirinya. Di
dalam  cermin,  dirinya  kelihatan   banyak,   tetapi   pada
hakekatnya  dirinya  hanya  satu.  Yang lain dan yang banyak
adalah bayangannya.
 
Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran  wahdat
al-wujud  Ibn  Arabi  dengan panteisme dalam arti bahwa yang
disebut Tuhan adalah alam semesta.  Jelas  bahwa  Ibn  Arabi
tidak  mengidentikkan  alam  dengan  Tuhan.  Bagi Ibn Arabi,
sebagaimana halnya dengan sufi-sufi  lainnya,  Tuhan  adalah
transendental  dan  bukan  imanen.  Tuhan berada di luar dan
bukan di dalam alam. Alam hanya  merupakan  penampakan  diri
atau tajalli dari Tuhan.
 
Ajaran  wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya
membawa pada  ajaran  al-Insan  al-Kamil  yang  dikembangkan
terutama  oleh  Abd  al-Karim  al-Jilli  (1366-1428).  Dalam
pengalaman al-Jilli,  tajalli  atau  penampakan  diri  Tuhan
mengambil  tiga  tahap  tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan
Aniyah.
 
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya  baru  keluar
dari  al-'ama,  kabut  kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada
tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih
dalam  bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan
diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada  makhluk-Nya.
Di   antara   semua   makhluk-Nya,   pada  diri  manusia  Ia
menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.
 
Sungguhpun manusia merupakan tajalli  atau  penampakan  diri
Tuhan  yang  paling  sempurna  diantara  semua  makhluk-Nya,
tajalli-Nya tidak sama pada  semua  manusia.  Tajalli  Tuhan
yang  sempurna  terdapat  dalam  Insan Kamil. Untuk mencapai
tingkat  Insan  Kamil,   sufi   mesti   mengadakan   taraqqi
(pendakian)  melalui  tiga  tingkatan: bidayah, tawassut dan
khitam.
 
Pada tingkat bidayah, sufi disinari  oleh  nama-nama  Tuhan,
dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan
diri dalam nama-nama-Nya, seperti  Pengasih,  Penyayang  dan
sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi
disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat
dll.   Dan  Tuhan  ber-tajalli  pada  sufi  demikian  dengan
sifat-sifat-Nya. Pada tingkat  khitam,  sufi  disinari  dzat
Tuhan  yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan
dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil.  Ia
menjadi  manusia  sempurna,  mempunyai  sifat  ketuhanan dan
dalam  dirinya  terdapat  bentuk  (shurah)   Allah.   Dialah
bayangan  Tuhan  yang  sempurna.  Dan  dialah  yang  menjadi
perantara antara manusia dan  Tuhan.  Insan  Kamil  terdapat
dalam  diri  para  Nabi  dan  para wali. Di antara semuanya,
Insan  Kamil  yang  tersempurna  terdapat  dalam  diri  Nabi
Muhammad.
 
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan
Tuhan akhirnya tercapai malalui  ittihad  serta  hulul  yang
mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan
dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti  penampakan
diri  atau  tajalli  Tuhan  yang  sempurna  dalam diri Insan
Kamil.
 
Sementara itu tasawuf pada masa  awal  sejarahnya  mengambil
bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk
oleh murid-murid atau  pengikut-pengikut  sufi  besar  untuk
melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar
yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul  pada
abad  ke-13  Masehi  untuk  melestarikan  ajaran Syekh Abdul
Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul  pada  abad
ke-14  bagi  pengikut  Bahauddin  Naqsyabandi  (w.  1415 M),
Syattariah, pengikut  Abdullah  Syattar  (w.  1415  M),  dan
Tijaniah   yang  muncul  pada  abad  ke-19  di  Marokko  dan
Aljazair.  Tarekat-tarekat  besar  lain  diantaranya  adalah
Bekhtasyiah  di  Turki,  Sanusiah  di  Libia,  Syadziliah di
Marokko, Mesir dan Suria,  Mawlawiah  (Jalaluddin  Rumi)  di
Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.
 
Dalam  tarekat,  ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang
diselewengkan,  sehingga  tarekat  menyimpang  dari   tujuan
sebenarnya  dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat
dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran  dasar
sufi  dan  syari'at  Islam,  sehingga timbullah pertentangan
antara kaum syari'at dan kaum tarekat.
 
Sementara itu ada pula tarekat  yang  menekankan  pentingnya
kehidupan  rohani  dan  mengabaikan  kehidupan  duniawi, dan
disamping  itu  menekankan  ajaran  tawakal  sufi,  sehingga
mengabaikan  usaha.  Dengan  kata  lain,  yang  dikembangkan
tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.
 
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20,  tarekat
mempunyai  pengaruh  besar  dalam  masyarakat  Islam. Karena
pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan
dari  masyarakat  menjadi  anggota tarekat. Di Turki Usmani,
tentara  menjadi  anggota  tarekat   Bekhtasyi   dan   dalam
perlawanan   mereka   terhadap   pembaharuan  yang  diadakan
sultan-sultan,  mereka  mendapat   sokongan   dari   tarekat
Bekhtasyi dan para ulama Turki.
 
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat
dan sikap tawakal berkembang di  kalangan  umat  Islam  yang
bekas-bekasnya  masih  ada  pada kita sampai sekarang. Untuk
itu tidak mengherankan kalau  pemimpin-pemimpin  pembaharuan
dalam  Islam  seperti  Jamaluddin  Afghani,  Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha dan terutama Kamal  Ataturk  memandang  tarekat
sebagai  salah  satu  faktor  yang membawa kepada kemunduran
umat Islam.
 
Dalam pada itu dunia dewasa ini  dilanda  oleh  materialisme
yang  menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak
orang mengatakan bahwa dalam  menghadapi  meterialisme  yang
melanda    dunia    sekarang,   perlu   dihidupkan   kembali
spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran  kerohanian  dan
akhlak  mulianya  dapat  memainkan  peranan  penting. Tetapi
untuk itu yang perlu  ditekankan  tarekat  dalam  diri  para
pengikutnya  adalah  penyucian  diri  dan pembentukan akhlak
mulia  disamping   kerohanian   dengan   tidak   mengabaikan
kehidupan keduniaan.
 
Pada  akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di
Barat  yang  bosan  hidup  kematerian  lalu  mencari   hidup
kerohanian  di  Timur.  Ada  yang  pergi ke kerohanian dalam
agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama  Hindu  dan  tak
sedikit  pula  yang  mengikuti kerohanian dalam agama Islam,
umpamanya aliran Subud di Jakarta.
 
Dalam hubungan itu kira-kira 30  tahun  lalu,  A.J.  Arberry
dalam  bukunya  Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim
adalah makhluk Tuhan yang satu.  Oleh  karena  itu  bukanlah
tidak  pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari
ajaran-ajaran sufi yang telah  meninggalkan  pengaruh  besar
dalam  kehidupan  umat  Islam  dan bersama-sama dengan orang
Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi  yang  akan  dapat
memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian
dan moral zaman yang penuh kegelapan dan  tantangan  seperti
sekarang.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd.,
   1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah
   al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris,
   Gallimard, 1964.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team