|
|
|
|
|
V.36. ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI
oleh Nurcholish Madjid (3/4)
Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang
memasrahkan (aslama) dirinya kepada Allah dan dia adalah orang
yang berbuat kebaikan (muhsin), lagi pula ia mengikuti agama
Ibrahim secara tulus mencari kebenaran (hanif-an) (QS.
al-Nisa: 4:125).
Ihsan dalam arti akhlaq mulia atau pendidikan ke arah akhlaq
mulia sebagai pucak keagamaan dapat dipahami juga dari
beberapa hadits terkenal seperti "Sesungguhnya aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi"
[tulisan Arab] dan sabda Beliau lagi bahwa yang paling
memasukkan orang ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
keluhuran budi pekerti."
[Tulisan Arab]
Jika kita renungkan lebih jauh, sesungguhnya makna-makna di
atas itu tidak berbeda jauh dari yang secara umum dipahami
oleh orang-orang muslim, yaitu bahwa dimensi vertikal
pandangan hidup kita (iman dan taqwa --habl min al-Lah,
dilambangkan oleh takbir pertama atau takbirat al-Ihram dalam
shalat) selalu, dan seharusnya, melahirkan dimensi horizontal
pandangan hidup kita (amal salih, akhlaq mulia, habl min
al-nas, dilambangkan oleh ucapan salam atau taslim pada akhir
shalat). Jadi makna-makna tersebut sangat sejalan dengan
pengertian umum tentang keagamaan. Maka sebenarnya di sini
hanya dibuat penjabaran sedikit lebih mendalam dan penegasan
sedikit lebih kuat terhadap makna-makna umum itu.
Ihsan, Tasawuf dan Psikoterapi
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlaq mulia kita melihat
hubungan ihsan dengan ajaran kesufian atau tasawuf. Menurut
K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari, dengan mengutip Kitab Futuhat
al-Ilahiyyah, ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh
orang yang bakal menjalankan thariqat: 1) qashd shahih,
artinya, dalam menjalani thariqat itu ia harus mempunyai
tujuan yang benar, yaitu niat menjalaninya sebagai ubudiyyah,
yakni penghambaan diri kepada Tuhan Yang Maha Benar (al-Haqq),
dan berniat memenuhi haqq al-rubbiyyah, yakni hak Ketuhanan
Allah Ta'ala, bukan untuk meraih keramat atau pangkat, juga
bukan untuk memperoleh hasil yang bersifat nafsu seperti ingin
dipuji orang lain dan seterusnya; 2) shidq sharif, artinya
kejujuran yang tegas, yaitu bahwa murid harus membenarkan dan
memandang gurunya sebagai memiliki rahasia keistimewaan (sirr
al-khushushiyyah) yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi
atau hadlrat al-ilahiyyah; 3) adab murdliyyah, artinya,
tatakrama yang diridhai, yaitu bahwa orang yang mengikuti
thariqat harus menjalankan tatakrama yang dibenarkan ajaran
agama, seperti sikap kasih sayang kepada orang yang lebih
rendah, menghormati orang lain sesamanya dan yang lebih
tinggi, sikap jujur, adil dan lurus terhadap diri sendiri, dan
tidak memberi pertolongan kepada orang lain hanya karena
kepentingan diri sendiri; 4) akwal zakiyyah artinya, tingkah
laku yang bersih, yaitu bahwa orang masuk thariqat tersebut
tingkah lakunya dan ucapan-ucapannya harus sejalan dengan
syari'at Nabi Muhammad saw.; 5) hifz al-hurmah, artinya,
menjaga kehormatan, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat
harus menghormati gurunya, hadir atau gaib, hidup atau pun
mati, dan menghormati sesama saudara pemeluk Islam, tabah atas
sikap-sikap permusuhan saudara, dengan menghormati orang yang
lebih tinggi dan cinta kasih kepada orang yang lebih rendah;
6) husn al-khidmah, artinya, orang yang masuk thariqat harus
mempertinggi mutu pelayanannya kepada guru, pada sesama
saudara pemeluk Islam, dan kepada Allah swt. dengan
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangannya al-shiddiq-un dan itulah al-maqshud al-a'dzham
(tujuan agung) mengikuti thariqat; 7) raf' al-himmah, artinya,
mempertinggi mutu tekad hati, yaitu bahwa orang masuk thariqat
tidak karena tujuan-tujuan dunia dan akhirat tapi karena
hendak mencapai ma'rifat khashshah (ma'rifat atau pengetahuan
khusus atau istimewa) tentang Allah swt.; 8) nufudz
al-'azimah, artinya, kelestarian tekad dan tujuan, yaitu bahwa
orang yang masuk thariqat harus menjaga kelestarian tekad dan
tujuannya, memelihara kelanjutan menjalankan thariqatnya, demi
meraih ma'rifat khashshah tentang Allah Ta'ala, dan bila
melakukan kebajikan maka ia melakukannya dengan lestari
sehingga berhasil (Lihat, Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Durrar
al-Muntatshirah fi al-Masa'il al-Tis' al'Asyarah (tanpa tempat
penerbitan, 1359 H/1940 M, hal. 16-17). KH. Hasyim Asy'ari
juga menegaskan bahwa tujuan menjalankan thariqat ialah
mempertinggi tatakrama, abad atau akhlaq. Ia mengutip sebuah
syair dari Kitab Al-Mabahits al-Ashliyyah, demikian:
[Tulisan Arab]
Tujuan thariqat ialah pendidikan tatakrama, dalam segala
tingkah laku, dan itulah madzhabnya.
Dengan mengutip Abu al-Hasan al-Syadzili, KH. Hasyim Asy'ari
mengetengahkan empat tatakrama yang seseorang tidak dapat
disebut pengikut thariqat jika tidak menjalaninya, betapapun
luasnya pengetahuan orang tersebut. Empat tatakrama atau
akhlaq itu ialah: 1) menjauhi semua orang yang bertindak
dzalim, seperti penguasa atau orang kaya yang berlaku tidak
adil pada orang lain; 2) menghormati orang yang memusatkan
perhatiannya pada akhirat; 3) menolong kaum melarat; 4) selalu
melakukan shalat berjama'ah dengan orang banyak (ibid, hal.
17).
Kata K.H. Hasyim Asy'ari selanjutnya, "Telah berkata Imam Muhy
al-Din Ibn al'Arabi, ra. Adapun empat akhlak itu, maka siapa
saja yang menjalankan keempat-empatnya, ia sungguh telah
menggabungkan semua kebajikan, yaitu: 1) ta'zhim hurumat
al-muslimin, artinya, menjunjung kehormatan semua orang Islam;
2) khidmat al-fuqara wa al-masakin, artinya, melayani kaum
fakir-miskin; 3) wa l-inshaf min nafsihi, artinya, jujur dan
adil mengenai diri sendiri; 4) tark al-intishar la-ha,
artinya, tidak memberi pertolongan hanya semata karena
kepentingan diri sendiri." (ibid, hal. 18).
Selanjutoya, KH. Hasyim Asy'ari, dengan mengutip Suhrawardi,
menjelaskan bahwa jalan kaum sufi ialah niat untuk
membersihkan jiwa dan menjaga hawa nafsu, serta untuk
melepaskan diri dari berbagai bentuk 'ujub, takabbur, riya'
dan hubb al-dunya (kagum pada diri sendiri, sombong, suka
pamrih, dan cinta kehidupan duniawi), dan lain sebagainya,
serta menjalani budi pekerti yang bersifat kerohanian, seperti
ikhlas, rendah hati (tawadldlu), tawakkal (bersandar dan
percaya kepada Tuhan), selalu memberikan perkenan hati pada
setiap kejadian dan terhadap orang lain (ridla), dan
seterusnya, serta karena hendak memperoleh ma'rifat dari Allah
dan tatakrama di hadapan Allah (ibid, hal. 18).
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa menurut banyak ulama, tasawuf
mengandung berbagai hakikat dan keadaan tertentu yang membahas
segi-segi kelakuan dan akhlaq para pengamalnya. Ada kalangan
yang mengatakan bahwa seorang sufi ialah orang yang bersih
(shafa) dari kekotoran, penuh dengan pemikiran, dan yang
baginya sama saja antara nilai emas dan batu-batuan. Kemudian
mereka lanjutkan kesufian itu mencapai makna orang yang
berkata benar (al-siddiq), dan semulia-mulia manusia setelah
para nabi ialah orang-orang yang berkata benar itu, seperti
difirmankan Allah, "Mereka itulah orang-orang yang diberikan
nikmat kebahagiaan oleh Allah, yang terdiri dari para Nabi,
orang-orang yang berkata benar, para syuhada, dan orang-orang
salih. Sungguh baik mereka itu dalam perkawanan" (QS. al-Nisa'
4:69). Karena itu, bagi mereka sesudah para nabi tidak ada
yang lebih mulia daripada kaum sufi. Namun sesungguhnya kaum
sufi termasuk jenis tertentu kelompok orang-orang yang benar,
yaitu orang yang benar dalam zuhud atau asketisme dan ibadat
menurut cara yang mereka ijtihadkan. Jadi orang sufi adalah
al-shiddzq dalam arti di kalangan para pengamal zuhud dan
ibadat itu, sebagaimana juga adanya al-shiddiqu di kalangan
para ulama, al-shiddiq-u di kalangan para umara (pejabat), dan
seterusnya. Mereka belum tentu mencapai derajat al-shiddiq-u
mutlak, yang sempurna kualitas kebenarannya dalam berkata,
yang terdiri dari para sahabat Nabi, kaum Tabi'un dan kaum
pengikut Tabi'un itu [Ibn Taimiyah, al-Shufiyyah wa al-Furuqa,
(Cairo: al-Manar, 1348 H.), hal. 17-18].
Kesufian merupakan cabang keagamaan dalam Islam yang sering
kontroversial. Beberapa tokohnya menjadi sasaran kritik,
bahkan penyiksaan atau pembunuhan, disebabkan pendirian atau
praktek mereka yang dianggap menyimpang dari agama yang benar.
Sekalipun KH. Hasyim Asy'ari, seperti terbukti dari keterangan
di atas demikian menghargai tasawuf dan kaum sufi, namun ia
dikenal sangat keras terhadap setiap gejala penyimpangan dalam
amalan thariqat. Sikap ini ia ungkapkan dalam risalahnya yang
ia tulis pada tahun 1360 H. Al-Tibyanfi al-Nahy 'an Muqatha'at
al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Percetakan
Nahdlatul Ulama, tt.).
Ibn Taimiyah melacaki sejarah munculnya kaum sufi dan paham
tasawuf itu dari orientasi keagamaan yang tumbuh di kota
Basrah, Irak, yang menunjukkan ciri-ciri kezuhudan yang
tinggi. Berbeda dengan para ulama kota Kuffah yang lebih
banyak mencurahkan perhatian pada bidang hukum dan
mengembangkan keahlian di bidang fiqh, para ulama kota Basrah
menghayati agama dalam spiritualisme yang pekat dan
menumbuhkan amalan-amalan guna mempertinggi pengalaman
keagamaan yang mendalam. Mereka dikenal sebagai para pengamal
ubudiah (al-'ubbad), para pengamal kezuhudan (al-zuhhad),
dengan titik orientasi keagamaan yang berbeda dari para ulama
Kuffah. Namun, menurut Ibn Taimiyah, kedua kelompok itu
sama-sama berhak memperoleh sebutan al-shiddiq-u, hanya saja
masing-masing menempuh jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya
menurut ijtihad yang mereka lakukan.
Tapi, lanjut Ibn Taimiyah dalam penjelasannya, karena di
kalangan mereka terjadi banyak ijtihad dan perbedaan pendapat,
maka masyarakat pun berselisih dalam menilai kaum sufi.
Sekelompok orang memandang mereka sebagai kaum pembuat bid'ah
dan menyimpang dari sunnah, dan banyak dikutip orang
pernyataan serupa itu dari kalangan para ulama yang sudah
dikenal. Pandangan serupa ini banyak dianut oleh kalangan ahli
fiqh dan kalam. Kemudian segolongan masyarakat lain berlebihan
dalam penilaian positif mereka pada kaum sufi. Golongan ini
melihat kaum sufi sebagai makhluk paling utama dan paling
mulia setelah para Nabi. Ibn Taimiyah menegaskan bahwa kedua
pandangan yang ekstrem itu tercela. Yang benar ialah bahwa
kaum sufi adalah orang-orang yang berijtihad dalam menaati
Allah, sebagai golongan lain yang taat kepada Allah juga
melakukan ijtihad. Maka di kalangan kaum sufi ada golongan
pemuka (al-sabiq) yang memperoleh kedekatan (al-muqarrab)
kepada Allah setingkat dengan ijtihadnya. Juga ada golongan
yang sedang-sedang saja (al-muqtashid), yang termasuk kelompok
ahl al-yamin ("kelompok kanan" seperti disebutkan QS.
al-Waqi'ah 56:38). Dan pada masing-masing golongan itu ada
yang melakukan ijtihad lalu membuat kesalahan, ada yang
berdosa dan kemudian bertobat atau tidak bertobat. Dari
kalangan mereka yang mengikuti kaum sufi juga ada orang-orang
yang dzalim dan membangkang pada Tuhannya (ibid, hal. 19-20).
"Dan", tandas Ibn Taimiyah, "barang siapa menganggap tercela,
terhina dan terkutuk setiap orang yang melakukan ijtihad dalam
usaha taat kepada Allah namun pada membuat kesalahan dalam
beberapa perkara, maka ia keliru, sesat dan pembuat bid'ah
(ibid, hal. 16). Anggapan serupa itu, menurut Ibn Taimiyah,
adalah pendirian kaum ekstremis. Lalu ia tegaskan bahwa "Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah menganut pandangan seperti disebutkan
dalam Kitab, sunnah dan ijma" yaitu bahwa seorang yang
beriman, berdasarkan janji Allah dan kemurahan-Nya, berhak
atas pahala untuk kebaikan-kebaikannya dan berhak atas siksa
untuk kejahatan-kejahatannya, dan bahwa dalam diri satu orang
tergabung sesuatu (kebaikan) yang bakal mendapat pahala dan
sesuatu (kejahatan) yang bakal mendapat siksa, juga ada
sesuatu yang terpuji dan ada sesuatu yang tercela, sebagaimana
juga ada sesuatu yang menyenangkan dan ada sesuatu yang tidak
menyenangkan, dan begitu seterusnya." (ibid, hal. 17).
-------------------------------------------- (bersambung 4/4)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |