| |
|
VI. 47. PENGERTIAN WALI AL-AMR DAN PROBLEMATIKA (2/2) HUBUNGAN ULAMA DAN UMARA oleh Ali Yafie Adanya pihak kedua yang disebut ahl-u 'l-hall-i wa 'l-'aqd ialah untuk menjamin terwujudnya upaya ikhtiyar (sehingga mereka juga disebut ahl-u 'l-ikhtiyar) yaitu upaya seleksi dan pemilihan untuk menentukan yang terbaik (al-afdhal) dari pihak pertama. Dan selanjutnya formulasi "ikhtiyar" ini dimaksudkan juga adanya pencerminan kebebasan dan kesuka-relaan (tanpa tekanan dan paksaan) dalam upaya ikhtiyar tersebut, bagi semua pihak yang bersangkutan. Oleh karenanya akad ini disebut juga 'aqd-u muradhat (akad yang dilandasi sikap kesuka-relaan). Dari teori pokok yang diuraikan di atas, diciptakan beberapa teori lain sebagai kelanjutannya. Di antaranya teori "tauliyah" untuk melahirkan legalitas atas suatu otoritas tertentu. Untuk lebih mendalami teori tersebut dapat kita simak praktek penjabarannya yang digambarkan dalam fiqh (Ilmu Hukum Islam) ketika membahas pengangkatan hakim (qadhi) dalam rangka pelaksanaan kekuasaan kehakiman (wilayat-u 'l-qadha). Bahwa pengangkatan hakim itu termasuk fardhu kifayah (sama dengan penetapan Imam (a'dzham) yaitu Khalifah, yakni suatu tugas mengemban amanat keagamaan yang menyangkut keseluruhan masyarakat, tidak bagi orang seorang, dengan kata lain bukan tugas individual yang bersifat personal, tetapi tugas semacam ini menjadikan setiap orang dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan, keseluruhannya menanggung dosa (dipandang bersalah dalam hukum agama), tetapi yang berkaitan dengan keharusan pemenuhan tugas kolektif tersebut, cukup seorang atau sekelompok orang tertentu yang memenuhi persyaratan dalam kedudukan tertentu yang bersangkutan. Dengan terpenuhinya tugas tersebut maka masyarakat yang bersangkutan berarti sudah menunaikan tugas kolektif itu. Gambaran selengkapnya dari teori tauliyah (dalam pengangkatan hakim) diuraikan sebagai berikut: Imam Dimyathi menguraikan bahwa pengangkatan hakim harus merupakan tauliyah dari Imam atau Pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan atau pejabat (makdzun) yang ditunjuk olehnya. Jika tidak terdapat penguasa seperti itu, maka tauliyah dilakukan oleh ahl-u 'l-halli wa 'l-'aqd yaitu kelompok orang-orang yang berwibawa dalam masyarakat yang dapat menentukan pelaksanaan atau pembatalan suatu urusan penting dalam masyarakatnya, dalam hal ini seperti para ulama dan pemuka-pemuka masyarakat yang dapat berhimpun dan membuat kesepakatan diantara mereka. Atau cukup sebahagian dari mereka walaupun hanya seorang diantara mereka asal ada persetujuan. Dalam proses perubahan sosial, fiqh mengembangkan teori yang lebih rialistik dengan teori kekuasaan "sulthan." Yaitu, pemegang kekuasaan dan kewenangan memerintah dengan kekuasaan yang nyata (dzu syaukah). Penguasa seperti itu dapat menggantikan kedudukan Imam dalam fungsinya menegakkan (melindungi dan mengurus) kepentingan umum dari masyarakatnya, sebagai satu hal yang tak terelakkan (li 'l-dharurah) untuk tidak terbengkalai kepentingan rakyat banyak (untuk menghindari kevakuman dalam kekuasaan yang menjurus kepada anarki). Uraian Imam Dimyati tersebut di atas bertemu dengan pokok-pokok pandangan Imam al-Mawardi dalam pembahasannya tentang latar belakang pemikiran dalam teori Imamah atau Khilafah, yaitu suatu bentuk- kekuasaan umum dalam sosok seorang penguasa tertinggi dalam lingkungan suatu masyarakat besar untuk mencegah terjadinya anarki dalam masyarakat tersebut, dengan adanya kekuasaan yang berwibawa dengan kewenangan memerintah, mengadili, mengamankan dan ketertiban masyarakat. Dalam sejarah pertumbuhan masyarakat kaum muslimin, kekuasaan seperti tersebut telah dijalankan oleh Rasulullah setelah berhasil membentuk masyarakat merdeka yang terdiri dari masyarakat majemuk di kota Yatsrib (Madinah) dimana ia memperoleh suatu kekuasaan umum yang luas, meliputi kewenangan memerintah, mengadili, melindungi wilayah dan penduduknya, menegakkan keadilan dan mengembangkan kesejahteraannya, melalui suatu perjanjian yang dibuat bersama dan disepakati bersama oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan tata masyarakat baru. Dengan lahirnya naskah perjanjian Madinah (al-'Ahd al-Madani) ini, dunia abad ke-7 Masehi diperkenalkan pada satu model kekuasaan yang sebelumnya dunia hanya mengenal dua jenis atau model kekuasaan yang mengatur masyarakat, yaitu kekuasaan kepala suku (dalam masyarakat yang mengenal domisili tetap dan lahan pemukiman). Ketika itu dunia sama sekali belum mengenal dan menyaksikan model kekuasaan dalam bentuk negara dan pemerintahan modern, kecuali sedikit teori klasik negara utopia ciptaan para filsuf Yunani yang tidak pernah lahir dalam kenyataan. Dari model pertama tersebut di atas, berkembang model kekuasaan kekhalifahan, yang kemudian berangsur pudar dimana pada gilirannya model kesultanan muncul menjadi kenyataan, yang menurut ilmuwan kenamaan Ibn Khaldun, model terakhir ini cenderung bersifat sekuler, namun tidak dapat melepaskan dlri dari berbagai bagian kekuasaan keagamaan (wilayat syar'iyyah), karena tidak dapat mengabaikan kepentingan rakyatnya yaitu kaum muslimin. Problematika Hubungan Ulama dan Umara Pembicaraan teoritis tentang masalah kekuasaan yang dibahas dalam fiqh merupakan bagian dari peran ulama dalam pembentukan hukum Islam. Di lain pihak praktek-praktek penyelenggaraan kekuasaan nyata yang dijalankan oleh umara (waliy-u 'l-amr) mulai dari model kekhalifahan, selanjutnya dalam model kesultanan dan terakhir dalam model negara dengan bentuk-bentuk pemerintahan modern ada kalanya terpadu atau menyatu dengan upaya para ulama dalam pembentukan hukum Islam (penggalian dan pengembangan serta penetrapannya), dan ada masanya juga tidak sejalan. Sepanjang masa kekhalifahan pertama (umara' al-mu'minin) itu personalnya adalah ulama penuh, dan kerja samanya dengan para ulama yang berada di luar jaringan kekuasaan sangat baik, sehingga tidak timbul sesuatu dalam hal pengembangan dan penerapan hukum Islam yang merupakan problematika dalam arti yang menimbulkan kesulitan atau konflik. Namun dalam perkembangan sejarah pasca kekhalifahanpertama, kebijaksanaan umum umara dalam kekuasaan kekhalifahan Bani Umayyah mengalami perubahan orientasi dimana keseimbangan antar fungsi "harasat-u 'l-din" (pemeliharaan kepentingan agama) dan fungsi "siasat-u 'l-dunya" (kebijakan penataan urusan pemerintahan), cenderung lebih memberatkan sisi yang kedua itu. Ditambah lagi kalau kebetulan personalia umaranya bukan ulama. Dalam hal perkembangan keadaan yang demikian itu, kita melihat keengganan banyak tokoh ulama (termasuk para imam mujtahidin) menolak ajakan atau permintaan para umara, supaya mereka masuk menempati kedudukan-kedudukan dalam jaringan kekuasaan. Di antaranya ada yang melakukan penentangan legal terbuka seperti Imam Ahmad Bin Hanbal terhadap Khalifah al-Maimun. Sepanjang zaman itu hukum positif yang diberlakukan oleh umara senantiasa diawasi dan dari waktu ke waktu mendapat koreksi dari para ulama, pengemban amanat pemeliharaan dan penerapan hukum Islam. Maka pembentukan hukum Islam lebih banyak berkembang diluar lembaga kekuasaan atau pemerintahan. Hukum Islam terbentuk dengan mantap didalam lembaga keilmuan dan di tangan para ulama dan kesadaran hukum di kalangan rakyat banyak (kaum muslimin) tumbuh berkembang dan terbentuk melalui jalur pendidikan dalam Ilmu fiqh. Hal ini banyak positifnya dalam memberikan daya tahan bagi hukum Islam itu. Diantaranya yang terpenting bahwa dengan keadaan seperti itu, ada pengawasan juridis yang bebas terhadap perilaku kekuasaan yang ada di tangan umara. Itu hal positif yang pertama, dan yang kedua ialah nasib hukum Islam itu tidak tergantung pada nasib lembaga-lembaga kekuasaan yang dari waktu ke waktu timbul tenggelam, dan pada waktu-waktu tertentu menjadi hancur berantakan. Yang sangat menyedihkan ialah sekitar empat abad terakhir dari sejarah kaum muslimin sedunia, lembaga-lembaga kekuasaannya yang pernah jaya dan dibanggakan, menjadi hancur berantakan di tangan-tangan penjajahan Barat. Wilayah-wilayah Islam yang luas di Afrika, Timur Tengah dan Asia, ditaklukan oleh penjajah-penjajah itu, dan mereka menduduki kawasan yang terbentang luas itu sebagai penguasa-penguasa yang tidak disenangi dan tidak diakui legalitasnya oleh rakyat banyak (kaum Muslim). Oleh karenanya secara terpaksa mereka menciptakan penguasa-penguasa boneka dari Bumiputera, atau memberi pengakuan terbatas kepada umara lokal (raja-raja atau sultan-sultan setempat) dengan bentuk pemerintahan yang mereka namakan zelfbestuur. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama sampai terjadinya perubahan global dengan terjadinya dua Perang Dunia yang berjarak tidak terlalu lama, yang mengubah struktur umum kekuasaan di seluruh dunia. Maka di Indonesia lahirlah suatu negara merdeka (Republik Indonesia) yang segera disambut oleh para ulama dengan satu pengakuan legalitas, diantaranya yang dicetuskan oleh pertemuan besar para ulama di Surabaya pada awal Oktober 1945 yang menerima baik Fatwa Rois Akbar K.H. Hasyim Asy'ari, didalamnya tercantum dua butir penting yang berkaitan langsung dengan pembahasan kita ini, yaitu bagian-bagian fatwa tersebut yang berbunyi: Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan; Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan diselamatkan meski pun meminta pengorbanan harta dan jiwa. Legilitas yang diberikan oleh sejumlah ahl-u 'l-hall-i wa 'l-'aqd-i yaitu para ulama tersebut diatas merupakan titik tolak yang penting dalam perkembangan ketata-negaraan dan hukum di Indonesia ini, yang mengantarkan adanya penegasan yang bersifat parsial yang memberikan status waliy-u 'l-amr kepada pemegang kekuasaan tertinggi di negara merdeka ini yaitu Kepala Negara (ketika itu dijabat oleh Presiden Sukarno). Dan kelanjutannya dari perkembangan itu memungkinkan kehadiran Undang-undang Perkawinan dan Undang-undang Peradilan Agama sebagaimana disinggung di atas. CATATAN 1. Tafsir Ibn Katsir 2. Tafsir Bin Badis 3. Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, 4. Imam Al Mawardi, Al Ahkam Al-Shulthaniyah 5. Ibn Ya'la Al Farra, Al-Ahkam Al-Shulthaniyah 6. Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah 7. Sayyid Bakri Addimyathi, I'anat-u al-Thalibin. 8. Inwar al-Khathub, Al-Ahliyyah al-Madaniyah. 9. Dr. Mushthafa Ahmad Azzarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-'Am 10. K.H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam. 11. Elias A. Elias, Al-Qamus al-'Ashari. 12. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia 13. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum. -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |