Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

V.33. ZAKAT IMPLIKASINYA PADA PEMERATAAN                 (2/2)
 
Oleh A. Rahman Zainuddin
 
Bagi Garaudy (1981, 32), zakat  itu  bukanlah  suatu  karitas,
bukan suatu kebaikan hati pihak orang yang memberikannya, tapi
suatu bentuk keadilan internal  yang  terlembaga,  suatu  yang
diwajibkan,  sehingga  dengan  rasa solidaritas yang bersumber
dari  keimanan  itu  orang  dapat  menaklukkan   egoisme   dan
kerakusan  dirinya.  Dalam kesempatan yang lain (1986, 337) ia
menyatakan  bahwa  al-Qur'an  dan  Sunnah  mengatur  pembagian
kekayaan dengan jalan melembagakan zakat, yaitu suatu pungutan
yang bukan bersifat sukarela, tapi pungutan wajib, yang  bukan
berdasarkan  penghasilan,  melainkan  berdasarkan kekayaan. Ia
selanjutnya menyatakan bahwa dengan tarif  umum  dua  setengah
persen  setahun  maka kekayaan itu akan habis dalam waktu satu
generasi, yaitu dalam jangka waktu empat puluh  tahun,  dengan
demikian  tak  akan ada orang yang dapat hidup sebagai parasit
dari  kekayaan  yang  diwarisinya  dari   orang   tuanya.   Ia
berpendapat  bahwa dalam suatu masyarakat dimana hukum seperti
ini dilaksanakan dengan tuntas, maka tak akan ada  orang  yang
terpaksa  mencuri,  selain dari orang yang berpenyakit seperti
kleptomaniak.
 
Boisard (64-65)  menyitir  pendapat-pendapat  yang  mengatakan
zakat   itu  menyucikan  manusia  yang  memberikannya,  dengan
kemenangan terhadap egoisme, atau bahwa ia memperoleh kepuasan
moral, karena ia telah ikut mendirikan sebuah masyarakat Islam
yang lebih adil. Zakat baginya bukanlah  belas  kasihan,  akan
tetapi kewajiban orang kaya dan hak orang miskin. Zakat adalah
pembagian sesama sekutu dalam kekayaan umum,  dan  menjelmakan
persaudaraan  dan  solidaritas.  Dan lebih daripada orang yang
lebih banyak melihat unsur pajak dalam zakat, maka orang Islam
memandangnya   sebagai  kewajiban  agama.  Ia  juga  merupakan
penegasan kembali  kenyataan  bahwa  semua  harta  benda  yang
dimiliki  manusia  pada  hakikatnya milik Tuhan, sedangkan apa
yang ada pada manusia adalah hak guna saja. Karena itu,  zakat
tak   lebih  dari  mengembalikan  sebagian  harta  itu  kepada
pemiliknya yang asli (Tuhan),  demi  menghindarkan  diri  dari
penderitaan yang akan ditimbulkannya nanti di akhirat.
 
Salamah  (1978,  98-99)  berpendapat  bahwa dalam permasalahan
manusia  yang  bersifat  keuangan  dan   perekonomian,   Islam
menentukan   batas-batas  dan  meletakkan  kaidah-kaidah  yang
sangat  jelas,  yaitu  yang  sesuai   dengan   prinsip-prinsip
kebenaran,  keadilan  dan  kepercayaan. Islam menyatakan bahwa
harta benda itu bukan tujuan  dalam  hidup  ini,  akan  tetapi
hanya  alat  semata  untuk  mempertukarkan  manfaat dan saling
memenuhi keperluan, yang  digunakan  untuk  mencapai  keadilan
sosial  yang  dicita-citakan  Islam.  Harta  benda itu sendiri
sebagai  alat  yang  tunduk  kepada  kehendak  manusia  adalah
netral. Jadi kehendak manusia itu dapat menjadikan harta benda
itu sebagai nikmat, rejeki,  dan  kurnia  yang  berguna,  demi
untuk  mencapai  yang baik. Namun kehendak manusia itu pulalah
yang dapat mengubah harta benda itu menjadi  sumber  azab  dan
sengsara bagi manusia itu sendiri.
 
Salamah  (h.  100)  merasa  heran karena dewasa ini umat Islam
pada umumnya  mentolerir  praktek-praktek  riba  dalam  bidang
keuangan  dan  ekonomi,  yang  berdasarkan  eksploitasi  dalam
bentuknya yang paling buruk, sehingga gejala ini  memperlihatk
an  bahwa  harta  benda  itu  telah  menguasai  hak-hak  asasi
manusia. Ia berpendapat bahwa kegiatan yang  berdasarkan  riba
ini  pulalah  yang  menyebabkan  mengapa  sebagian besar harta
benda menumpuk di tangan segelintir kecil manusia yang  sangat
kaya.
 
Zakat   sebagai   rukun  Islam  ketiga,  menurut  pendapatnya,
disamping membersihkan jiwa dan harta  benda,  juga  merupakan
alat  pemerataan  yang ampuh dari harta benda dalam masyarakat
(h. 102). Ia juga berpendapat bahwa zakat  merupakan  sebagian
besar  dari  pendapatan  negara  yang menjadikan negara-negara
dulu kaya  dan  makmur,  serta  tak  mengenal  kemiskinan  dan
penderitaan. Selanjutnya ia memandang bahwa relevansi zakat di
masa sekarang menjadi semakin penting, terlepas daripada pajak
yang  telah  ada,  karena  tempat penyalurannya berbeda. Zakat
merupakan  faktor  utama  dalam  pemerataan  harta  benda   di
kalangan  masyarakat,  dan  juga  merupakan sarana utama dalam
menyebarluaskan    perasaan     senasib-sepenanggungan     dan
persaudaraan  di  kalangan  umat  manusia.  Karena  itu  dapat
dikatakan bahwa zakat, kalau akan  dinamakan  pajak,  maka  ia
adalah pajak dalam bentuk yang amat khusus (h. 103).
 
Bagi  Tawati  (1986,  h.  27),  kedatangan  Islam adalah untuk
memperbaiki kehidupan manusia  yang  dipenuhi  ketidak-adilan.
Dalam  hubungan ini zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk
mendirikan  keadilan  sosial  dalam   masyarakat   Islam.   Ia
bertujuan membersihkan jiwa manusia dari kekotoran, kebakhilan
dan ketamakan, serta  untuk  memenuhi  kebutuhan  mereka  yang
fakir miskin dan diselubungi penderitaan. Zakat juga digunakan
untuk mendirikan segala sesuatu yang penting bagi  kepentingan
umat,  seperti memerangi inflasi dan memperkecil jurang antara
berbagai lapisan sosial.
 
Menurut pendapat Tawati, definisi-definisi yang diberikan para
ulama  terhadap  zakat memberikan kesan, semuanya itu bermuara
pada seruan mendirikan masyarakat Islam yang kokoh,  kerjasama
antara  anggota  umat  berdasarkan kebaikan dan ketaqwaan, dan
seruan untuk berusaha sedapat mungkin agar semua  orang  dapat
hidup  dalam  suatu  tingkat  kehidupan  yang layak dan mulia,
karena kepentingan-kepentingannya yang utama dalam hidup telah
terpenuhi  (h.  28).  Perbedaan yang mendasar antara zakat dan
pajak, menurut pendapatnya, adalah bahwa pajak  dibayar  orang
karena   terpaksa,   tapi  zakat  dibayarkan  sebagai  lambang
kerjasama,    persaudaraan    yang    sungguh-sungguh,    yang
dilaksanakan  dengan  cara yang berbeda pula (h. 30). Dan yang
lebih penting lagi adalah kenyataan  bahwa  zakat  itu  adalah
ibadah (h. 31).
 
Sementara itu, studi-studi kaum orientalis semenjak dulu telah
berusaha memberikan gambaran yang salah  dan  penafsiran  yang
tak  benar tentang Islam pada umumnya, termasuk mengenai zakat
ini (Daniel 1980, 222-223). Bagi mereka, kata-kata  zakat  itu
sendiri  tak  jelas  asal  usulnya  dalam bahasa Arab dan baru
dikenal Nabi dalam pengertian yang lebih  luas  karena  beliau
mengetahuinya  dari pengertian yang diberikan orang Yahudi dan
orang Aramaik. Bersama dengan sadaqah, Rasul mungkin  mengenal
konsep  ini  dari  orang  Yahudi  yang  ditemuinya di Madinah.
Konsep seperti ini sangat diperlukannya terutama dalam  rangka
memberikan  bantuan pada orang muhajirin yang baru datang dari
Makkah. Suatu praktek yang  pada  mulanya  sangat  bernapaskan
agama.  Lama-lama  kehilangan  motif keagamaannya. Harta benda
yang diperoleh dari zakat itu tak hanya untuk  menolong  fakir
miskin,  tapi  juga  untuk  tujuan-tujuan militer dan politik.
Untuk hal ini, yang dirasakan  berat  bagi  kebanyakan  orang,
maka  ia  menggunakan  nama  Allah,  atau  untuk  jalan  Allah
(Schacht 1961).
 
Dalam pemikiran para sarjana Muslim di Indonesia, zakat adalah
alat  pemerataan  dan mencegah tertumpuknya modal sehingga tak
akan lahir monopoli dan  monopsoni  (Kuntowijoyo  1991,  167).
Baginya  zakat  berpusat  pada  keimanan, tapi ujungnya adalah
menciptakan  terwujudnya  kesejahternan   sosial   (h.   229).
Penelitian  membuktikan, zakat telah terbukti dapat mengurangi
jumlah orang miskin di  beberapa  tempat  tertentu  (h.  257).
Karena  itu zakat dapat dipahami dalam konteks yang lebih real
dan lebih faktual (h. 284).
 
Mas'udi (h. 139) melaporkan  bahwa  ada  pendapat-pendapat  di
Indonesia  yang  ingin  lebih  memberikan penekanan pada tarif
yang tinggi (20%) dari zakat dengan  berpegang  kepada  rikaz,
yang  dirasakan  Mas'udi  sendiri  merupakan  suatu kebuntuan.
Memang merupakan masalah apakah kaum Muslim, atau  para  ulama
mereka,  berhak mengubah suatu ketentuan agama yang telah baku
(qath'i)  demikian  saja  berdasarkan  perubahan  situasi  dan
kondisi.  Bagi  golongan  Syi'ah  hal ini tak menjadi masalah,
karena seperti dilaporkan Nasr (1975), dalam  kalangan  Syi'ah
praktek khums adalah suatu praktek yang telah biasa.
 
Penulis  juga  tertarik oleh apa yang dilaporkan Thabbarah (h.
317-318) tentang  perbedaan  antara  fakir  dan  miskin  dalam
membicarakan  golongan-golongan  orang  yang  berhak  menerima
zakat.  Menurut  pendapat  'Akramah  Maula  Ibn  'Abbar,  yang
dimaksud  dengan fakir itu adalah golongan miskin kaum Muslim,
sedangkan yang dimaksud  dengan  miskin  itu  adalah  golongan
miskin  kaum non-Muslim (ahl al-kitab). Pendapat ini diperkuat
pula  oleh  pendapat  'Umar  bin  Khattab   yang   menafsirkan
al-masakin  dengan  golongan lemah ahl al-kitab. Suatu kali ia
melihat seorang zhimmi yang buta  tergeletak  di  pintu  kota.
'Umar  bertanya kepadanya, "Kenapa Anda?" Ia menjawab, "Dahulu
mereka memungut jizyah dariku. Ketika saya telah buta,  mereka
menelantarkan   saya.   Tak   ada  orang  yang  membantu  saya
sedikitpun". Umar menjawab, "Kalau begitu, kami telah  berlaku
tak adil terhadapmu." Setelah itu ia memerintahkan agar diberi
makan dan belanja untuk memperbaiki  tingkat  hidupnya.  'Umar
berpendapat  ini  adalah  penafsiran  perkataan  Tuhan, innama
'I-shadaqatu  li  'I-fuqara'  wa  'I  masakin.  Jadi  baginya,
masakin  itu  adalah  orang-orang  ahl al-kitab yang tak mampu
lagi bekerja, atau menderita penyakit yang  tak  dapat  sembuh
lagi.  Namun  pendapat  itu  tentu  saja  bertentangan  dengan
pendapat jumhur ahli fiqh yang berpendapat,  zakat  itu  hanya
diberikan kepada orang Islam saja.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Affar, Muhammad 'Abd al-Mun'im. 1977. "An-Nizham  al-lqtishadi
al-Islami." Al-Wa'y al Islami, 154: 36-43.
 
Boisard,   Masrcel  A.  1980.  Humanisme  dalam  Islam.  Edisi
Indonesia terjemahan Prof. Dr. H.M.  Rasjidi.  Jakarta:  Bulan
bintang.
 
Booth,  Jr.,  Newell  S.  1970.  "The  Historical  and the Non
Historical in Islam". The Muslim World LX (2): 109-122.
 
Daniel, Norman. 1980. Islam and the West:  The  Making  of  an
Image. Edinburgh: University Press.
 
Garaudy,  Roger.  1986.  Mencari  Agama  pada  Abad XX: Wasiat
Filsafat Roger Garaudy. Edisi Indonesia  terjemahan  Prof  Dr.
H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
 
Garaudy, Roger. 1981. Promesses de l'Islam. Paris: Editions de
Seuil.
 
Ibn Khaldun. 1958. The Muqaddimah: An Introduction to History.
Diterjemahkan  Franz  Rosenthal  ke dalam bahasa Inggris dalam
tiga jilid. New York: Bollingen Foundation.
 
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi  untuk  Aksi.
Bandung: Mizan.
 
Mas'udi, Masdar F. 1991. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak)
dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
 
Mubarak, Muhammad. 1972. Nizham al-Islam: al-Iqtishad,  Mabadi
wa Qawa'id 'Ammah. Makkah: Dar al-Fikr.
 
Musholi,   'Abdullah   bin   Mahmud   bin  Maudud  al-.  1951.
Al-Ikhtiyar li Ta'lil al-Mukhtar. Lima Jilid.  Kairo:  Mustafa
al-Halabi
 
Nasr,  Seyyed  Hossein.  1975.  Ideals and Realities of Islam.
Boston: Beacon Press,
 
Sabiq, as-Syaid. 1973. Fiqh as-sunnah.  2  jilid.  "Zakat"  di
jilid I. Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi.
 
Salamah,  'Abd al-Rahim bin. 1987. "al-Siyasat al-Maliyah fi'l
Islam al-Manhal 48 (No. 407): 98-109.
 
Samarqandi, 'Ala al-din as-.  1958.  Tuhfat  al-Fuqaha'.  Tiga
Jilid, Damaskus: Universitas Damaskus.
 
Schacht,  J. 1961. "Zakat". Shorter Encyclopedia of Islam, ed.
H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers. Leiden: EJ. Brill.
 
Shalih, Subhi as-. 1965. Al-Nuzhum al-Islamiyah: Nasyatuha  wa
Tathawwuruha. Beirut: Dar al-'Ilmi li-'l-malayin.
 
Tabataba'i,  Muhammad  Husayn.  1975.  Shi'ite  Islam. London:
Allen & Unwin.
 
Tawati, 'Abd al-Karim at-.1986. "Mafhum al-Zakah  wa  Ab'aduha
wa Hikmatu Tasyri'iha fi 'l-Islam". al-Manhal 447: 24-41.
 
Thabbarah,  'Afif  'Abd al-Fattah. 1959. Ruh al-Din al-Islami.
Beirut: Dar al-'Ibad.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team