|
|
2.3.4 Hikmah Diharamkannya Patung1) Di antara rahasia diharamkannya patung ini, walaupun dia itu bukan satu-satunya sebab, seperti anggapan sementara orang yaitu untuk membela kemurnian Tauhid, dan supaya jauh dari menyamai orang-orang musyrik yang menyembah berhala-berhala mereka yang dibuatnya oleh tangan-tangan mereka sendiri, kemudian dikuduskan dan mereka berdiri di hadapannya dengan penuh khusyu'. Kesungguhan Islam untuk melindungi Tauhid dari setiap macam penyerupaan syirik telah mencapai puncaknya. Islam dalam ikhtiarnya ini dan kesungguhannya itu senantiasa berada di jalan yang benar. Sebab sudah pernah terjadi di kalangan umat-umat terdahulu, dimana mereka itu membuat patung orang-orang yang saleh mereka yang telah meninggal dunia kemudian disebut-sebutnya nama mereka itu. Lama-kelamaan dan dengan sedikit demi sedikit orang-orang saleh yang telah dilukiskan dalam bentuk patung itu dikuduskan, sehingga akhirnya dijadikan sebagai Tuhan yang disembah selain Allah; diharapkan, dan ditakuti serta diminta barakahnya. Hal ini pernah terjadi pada kaum Wud, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr. Tidak heran kalau dalam suatu agama yang dasar-dasar syariatnya itu selalu menutup pintu kerusakan, bahwa akan ditutup seluruh lubang yang mungkin akan dimasuki oleh syirik yang sudah terang maupun yang masih samar untuk menyusup ke dalam otak dan hati, atau jalan-jalan yang akan dilalui oleh penyerupaan kaum penyembah berhala dan pengikut-pengikut agama yang suka berlebih-lebihan. Lebih-lebih Islam itu sendiri bukan undang-undang manusia yang ditujukan untuk satu generasi atau dua generasi, tetapi suatu undang-undang untuk seluruh umat manusia di seantero dunia ini sampai hari kiamat nanti. Sebab sesuatu yang kini masih belum diterima oleh suatu lingkungan, tetapi kadang-kadang dapat diterima oleh lingkungan lain; dan sesuatu yang kini dianggap ganjil dan mustahil, tetapi di satu saat akan menjadi suatu kenyataan, entah kapan waktunya, dekat atau jauh. 2) Rahasia diharamkannya patung bagi pemahatnya, sebab seorang pelukis yang sedang memahat patung itu akan diliputi perasaan sok, sehingga seolah-olah dia dapat menciptakan suatu makhluk yang tadinya belum ada atau dia dapat membuat jenis baru yang bisa hidup yang terbuat dari tanah. Sudah sering terjadi seorang pemahat patung dalam waktu yang relatif lama, maka setelah patung itu dapat dirampungkan lantas dia berdiri di hadapan patung tersebut dengan mengaguminya, sehingga seolah-olah dia berbicara dengan patung tersebut dengan penuh kesombongan: Hai patung! Bicaralah! Untuk itulah maka Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang membuat patung-patung ini nanti di hari kiamat akan disiksa dan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah patung yang kamu buat itu." (Riwayat Bukhari dan Muslim) Dan dalam hadis Qudsi, Allah s.w.t. berfirman pula: "Siapakah orang yang lebih menganiaya selain orang yang bekerja untuk membuat sesuatu seperti pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat zarrah (benda yang kecil), cobalah mereka membuat sebutir beras belanda." (Riwayat Bukhari dan Muslim) 3) Orang-orang yang berbicara dalam persoalan seni ini tidak berhenti dalam suatu batas tertentu saja, tetapi mereka malah melukis (memahat) wanita-wanita telanjang atau setengah telanjang. Mereka juga melukis (dan juga memahat) lambang-lambang kemusyrikandan syiar-syiar agama lainnya, seperti salib, berhala dan lain-lain yang pada prinsipnya tidak dapat diterima oleh Islam. 4) Lebih dari itu semua, bahwa patung-patung itu selalu menjadi kemegahan orang-orang yang berlebihan, mereka penuhinya istana-istana mereka dengan patung-patung, kamar-kamar mereka dihias dengan patung dan, mereka buatnya seni-seni pahat (patung) dari berbagai lambang. Kalau agama Islam dengan gigih memberantas seluruh bentuk kemewahan dengan segala kemegahan dan macamnya, yang terdiri dari emas dan perak, maka tidak terlalu jauh kalau agama ini mengharamkan patung-patung itu, sebagai lambang kemegahan, dalam rumah-rumah orang Islam. 2.3.5 Bimbingan Islam dalam Mengabadikan Orang BesarBarangkali akan ada orang berkata: Apakah tidak memenuhi suatu maksud umat untuk mengembalikan sebagian keindahan yang pernah dicapai oleh orang-orang besar kita yang telah berhasil mengisi lembaran sejarah yang berharga itu, lantas para pembesar itu diabadikan dalam bentuk patung agar menjadi peringatan generasi berikutnya terhadap jasa-jasa dan keunggulan yang pernah mereka capai; sebab peringatan bangsa itu sering dilupakan dan pertukaran malam dan siang itu sendiri sebenarnya yang membawa lupa? Untuk menjawab persoalan ini, perlu dijelaskan, bahwa Islam samasekali tidak suka berlebih-lebihan dalam menghargai seseorang, betapapun tingginya kedudukan orang tersebut, baik mereka yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Jangan kamu menghormat aku seperti orang-orang Nasrani menghormati Isa bin Maryam, tetapi katakanlah, bahwa Muhammad itu hamba Allah dan RasulNya." (Riwayat Bukhari dan lain-lain) Mereka bermaksud akan berdiri apabila melihat Nabi, sebagai suatu penghormatan kepadanya dan untuk mengagungkan kedudukannya. Cara semacam itu dilarang oleh Nabi dengan sabdanya: "Jangan kamu berdiri seperti orang-orang ajam (selain Arab) yang berdiri untuk menghormat satu sama lain." (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah) Beliau pun memberikan suatu peringatan kepada umatnya, sikap yang berlebih-lebihan terhadap kedudukan Nabi sesudah beliau mati, maka bersabdalah Nabi sebagai berikut: "Jangan kamu menjadikan kuburku ini sebagai tempat hariraya." (Riwayat Abu Daud) Dan dalam doanya kepada Tuhannya beliau mengatakan: "Ya Allah! Jangan engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah." (Riwayat Malik) Ada beberapa orang datang kepada Nabi s.a.w., mereka itu memanggil Nabi dengan kata-katanya: "Hai orang baik kami dan anak orang baik kami, hai tuan kami dan anak tuan kami." Mendengar panggilan seperti itu, Nabi kemudian menegurnya dengan sabdanya sebagai berikut: "Hai manusia! Ucapkanlah seperti ucapanmu biasa atau hampir seperti ucapanmu yang biasa itu, jangan kamu dapat diperdayakan oleh syaitan. Saya adalah Muhammad, hamba Allah dan pesuruhNya. Saya tidak suka kamu mengangkat aku lebih dari kedudukanku yang telah Allah tempatkan aku." (Riwayat Nasa'i) Agama ini (baca Islam) pendiriannya dalam masalah menghormat orang, tidak suka seseorang itu diangkat-angkat seperti berhala yang didirikan dengan biaya beribu-ribu supaya orang-orang memberikan penghormatan kepadanya. Banyak sekali material yang dimasukkan oleh penganjur-penganjur kebesaran dan jurukunci tempat-tempat bersejarah melalui pintu orang-orang atau pengikut dan ekornya yang telah mampu mendirikan berhala ini. Dengan begitu, maka pada hakikatnya mereka ini telah menyesatkan rakyat dengan menggunakan orang-orang besar yang jujur itu. Keabadian hakiki yang dikenal di kalangan umat Islam hanyalah Allah yang mengetahui segala yang rahasia dan tersembunyi, yang tidak sesat dan tidak lupa. Sedang kebanyakan para pembesar yang namanya diabadikan di sisi Allah adalah orang-orang yang tidak begitu dikenal oleh manusia. Hal ini justru karena Allah suka kepada orang-orang yang baik, taqwa dan tidak perlu menampak-nampakkan kepada orang lain. Mereka ini apabila datang tidak dikenal, dan apabila pergi tidak dicari. Sekalipun keabadian itu sangat perlu bagi manusia, tetapi tidak mesti dengan didirikannya patung untuk orang-orang besar yang perlu diabadikan itu. Cara untuk mengabadikan yang dibenarkan oleh Islam ialah mengabadikan mereka itu ke dalam hati dan lisan, yaitu dengan menyebut kesuksesan perjuangan mereka dan peninggalan-peninggalan yang baik-baik yang ditinggalkan untuk generasi sesudah mereka. Dengan demikian mereka itu akan selalu menjadi sebutan orang-orang belakangan. Rasulullah s.a.w. sendiri dan begitu juga para khalifah dan pemuka-pemuka Islam lainnya, tidak ada yang diabadikan dengan berbentuk materi dan patung-patung yang terbuat dari batu yang dipahat. Keabadian mereka itu semata-mata adalah karena sifat-sifat baiknya (manaqibnya) yang diceriterakan oleh orang-orang dulu (salaf) kepada orang-orang belakangan (khalaf) dan yang diceriterakan oleh orang-orang tua kepada anak-anaknya. Sifat beliau itu tertanam dalam hati, selalu disebut dalam lisan, selalu mengumandang di majlis dan klub-klub serta memenuhi hati, walaupun tanpa diwujudkan dengan patung dan gambar. 2.3.6 Rukhsah Dalam Permainan Anak-AnakKalau macam daripada patung itu tidak dimaksudkan untuk diagung-agungkan dan tidak berlebih-lebihan serta tidak ada suatu unsur larangan di atas, maka dalam hal ini Islam tidak akan bersempit dada dan tidak menganggap hal tersebut suatu dosa. Misalnya permainan anak-anak berupa pengantin-pengantinan, kucing-kucingan, dan binatang-binatang lainnya. Patung-patung ini semua hanya sekedar pelukisan untuk permainan dan menghibur anak-anak. Oleh karena itu kata Aisyah: "Aku biasa bermain-main dengan anak-anakan perempuan (boneka perempuan) di sisi Rasulullah s.a.w. dan kawan-kawanku datang kepadaku, kemudian mereka menyembunyikan boneka-boneka tersebut karena takut kepada Rasulullah s.a.w., tetapi Rasulullah s.a.w. malah senang dengan kedatangan kawan-kawanku itu, kemudian mereka bermain-main bersama aku." (Riwayat Bukhari dan Muslim) Dan dalam salah satu riwayat diterangkan: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pada suatu hari bertanya kepada Aisyah: Apa ini? Jawab Aisyah: Ini anak-anak perempuanku (boneka perempuanku); kemudian Rasulullah bertanya lagi: Apa yang di tengahnya itu? Jawab Aisyah: Kuda. Rasulullah bertanya lagi: Apa yang di atasnya itu? Jawab Aisyah: Itu dua sayapnya. Kata Rasulullah: Apa ada kuda yang bersayap? Jawab Aisyah: Belumkah engkau mendengar, bahwa Sulaiman bin Daud a.s. mempunyai kuda yang mempunyai beberapa sayap? Kemudian Rasulullah tertawa sehingga nampak gigi gerahamnya." (Riwayat Abu Daud) Yang dimaksud anak-anak perempuan di sini ialah boneka pengantin yang biasa dipakai permainan oleh anak-anak kecil. Sedang Aisyah waktu itu masih sangat muda. Imam Syaukani mengatakan: hadis ini menunjukkan, bahwa anak-anak kecil boleh bermain-main dengan boneka (patung). Tetapi Imam Malik melarang laki-laki yang akan membelikan boneka untuk anak perempuannya. Dan Qadhi Iyadh berpendapat bahwa anak-anak perempuan bermain-main dengan boneka perempuan itu suatu rukhsah (keringanan). Termasuk sama dengan permainan anak-anak, yaitu patung-patungan yang terbuat dari kue-kue dan dijual pada hari besar (hari raya) dan sebagainya kemudian tidak lama kue-kue tersebut dimakannya. 2.3.7 Patung yang Tidak Sempurna dan CacatDi dalam hadis disebutkan, bahwa Jibril a.s. tidak mau masuk rumah Rasulullah s.a.w. karena di pintu rumahnya ada sebuah patung. Hari berikutnya pun tidak mau masuk, sehingga ia mengatakan kepada Nabi Muhammad: "Perintahkanlah supaya memotong kepala patung itu. Maka dipotonglah dia sehingga menjadi seperti keadaan pohon." (Riwayat Abu Daud, Nasai, Tarmizi dan Ibnu Hibban) Dari hadis ini segolongan ulama ada yang berpendapat diharamkannya gambar itu apabila dalam keadaan sempurna, tetapi kalau salah satu anggotanya itu tidak ada yang kiranya tanpa anggota tersebut tidak mungkin dapat hidup, maka membuat patung seperti itu hukumnya mubah, Tetapi menurut tinjauan yang benar berdasar permintaan Jibril untuk memotong kepala patung sehingga menjadi seperti keadaan pohon, bahwa yang mu'tabar (diakui) di sini bukan karena tidak berpengaruhnya sesuatu anggota yang kurang itu terhadap hidupnya patung tersebut, atau patung itu pasti akan mati jika tanpa anggota tersebut. Namun yang jelas, patung tersebut harus dicacat supaya tidak terjadi suatu kemungkinan untuk diagungkannya setelah anggotanya tidak ada. Cuma suatu hal yang tidak diragukan lagi, jika direnungkan dan kita insafi, bahwa patung separuh badan yang dibangun di kota guna mengabadikan para raja dan orang-orang besar, haramnya lebih tegas daripada patung kecil satu badan penuh yang hanya sekedar untuk hiasan rumah. |
|
Halal dan Haram dalam Islam Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993 ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |