Penutup
KAMI tidak bermaksud dalam menulis kitab ini kecuali
mengemukakan masalah halal dan haram yang berhubungan dengan
masalah pekerjaan anggota dan amaliah lahiriah. Adapun
amaliah batiniah, seperti gerakan jiwa, perasaan dan
kehendak, Islam pun sebenarnya tidak melewatkan begitu saja,
dengan arti kata bebas berkehendak tanpa ada suatu larangan
apapun. Bahkan Islam justru lebih memperkeras persoalan
haram yang bertalian dengan hati, seperti hasud, dengki,
sombong, congkak, riya', nifaq, bakhil, tamak dan
sebagainya. Namun persoalan ini bukanlah yang menjadi tujuan
dari kitab ini, sekalipun kejahatan jiwa malah justru
sebesar-besar larangan Allah yang senantiasa dilirik oleh
Islam untuk diperanginya, dan Rasulullah pun memperingatkan
akan bahayanya, yang sebagian daripada kejahatan hati itu
disebut penyakit ummat bagi ummat-ummat sebelum kita, dan
kadang-kadang dinamakan juga pencukur, bukan mencukur
rambut, tetapi mencukur agama.
Setiap orang yang mau mengkaji al-Quran dan Sunnah Nabi,
pasti akan mengetahui, bahwa kedua kitab ini menjadikan
existensi rohani manusia yang disebut hati adalah pangkal
segala kebagiaan, baik pribadi maupun masyarakat, di dunia
maupun di akhirat.
Firman Allah:
"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib
suatu kaum, kecuali kaum itu harus merubah jiwa mereka
sendiri." (ar-Ra'ad: 11)
Dan firmanNya pula:
"Pada suatu hari di mana harta dan anak-cucu
tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah
dengan hati menyerah." (as-Syu'ara': 88)
Dari sinilah Rasulullah s.a.w. kemudian menyebutkan dalam
hadisnya yang amat masyhur, yang artinya: "Bahwa halal itu
sudah jelas dan haram pun sudah jelas, di antara keduanya
ada beberapa hal yang masih samar (syubhat).
Barangsiapa menjaga diri dari syubhat, maka sungguh dia
telah bebas demi kepentingan agama dan harga dirinya, dan
barangsiapa jatuh ke dalam syubhat, maka hampir-hampir ia
jatuh ke dalam haram. Sesungguhnya tiap-tiap raja mempunyai
daerah larangan, dan larangan Allah di bumi ini ialah yang
haram-haram."
Kemudian diikutinya dengan menerangkan nilai hati dan
hal-hal yang ditimbulkannya, seperti pendorong,
kecenderungan dan kehendak, yang sebagai pangkal sikap hidup
manusia, yaitu dengan sabdanya: "Ingatlah! Sesungguhnya
dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik
maka baiklah tubuh seluruhnya, dan apabila dia rusak maka
rusaklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah, dia itu ialah
hati."
Hati adalah kepala dan pengawal anggota tubuh manusia.
Maka dengan baiknya pengawal, akan menjadi baiklah seluruh
rakyat, dan dengan rusaknya pengawal akan rusaklah rakyat
seluruhnya.
Sebagai standard diterimanya suatu amal adalah hati dan
niat, bukan bentuk badan dan lidahnya. Seperti sabda Nabi
yang mengatakan.
"Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk
badanmu, tetapi Ia akan melihat hati kamu."
"Sesungguhnya semua amal itu harus disertai dengan
niat, dan tiap-tiap seseorang akan mendapat balasan
sesuai dengan niatnya." (Riwayat Bukhari)
Demikianlah kedudukan pekerjaan hati dan soal-soal
kejiwaan dalam Islam. Tetapi tidak kami singgung dalam kitab
ini, karena lebih tepat dimasukkan ke dalam bab "Akhlak,"
daripada dimasukkan ke dalam bab "Halal dan Haram."
Justru itu ulama-ulama akhlak dan tasawuf Islam sangat
menaruh perhatian tentang hati. Dan hal-hal yang haram
disebutnya penyakit hati. Diuraikannya penyakit-penyakitnya
dan ditentukan obatnya berdasar al-Quran dan Sunnah. Yang
oleh Imam Ghazali dihimpunnya dalam Ihya' Ulumiddin dengan
nama Al-Muhlikaat (hal-hal yang merusak). Sebab
penyakit-penyakit ini penyebab kerusakan di dunia dan
kerugian nanti di akhirat.
Kalau kami menyebut masalah haram, maka tidak lain yang
dimaksud adalah haram ijabiyah (positif). Sebab haram itu
ada dua macam: Ada kalanya mengerjakan larangan, yang
kemudian disebut ijabiyah; dan ada kalanya meninggalkan
kewajiban, yang disebut salbiyah (negatif).
Yang kedua ini bukan menjadi tujuan pokok dari kitab ini,
kendati di satu saat akan bertemu.
Dan kalau kami bermaksud mengarah kepada hal itu (haram
salbiyah), niscaya kami beralih kepada persoalan lain yang
selanjutnya pasti akan kami tuturkan semua kewajiban yang
dibebankan Allah kepada setiap muslim. Jika ditinggalkan
atau diabaikannya, tidak syak lagi hukumnya haram. Contohnya
tentang mencari ilmu. Dalam Islam hukumnya wajib, baik bagi
mu'min laki-laki ataupun mu'min perempuan; dan membiarkan
dirinya dalam kegelapan kebodohan, hukumnya haram.
Ibadah-ibadah wajib, seperti sembahyang, puasa, zakat dan
haji, yang merupakan pokok rukun Islam, tidak dibenarkan
seorang muslim meninggalkannya tanpa alasan. Siapa
meninggalkannya, berarti berbuat salah satu daripada
dosa-dosa besar. Dan siapa yang mengabaikan dan menganggap
enteng berarti dia melepas tali Islam dari lehernya.
Mempersiapkan kekuatan semampu mungkin guna melindungi
existensi ummat dan menghalau lawan, hukumnya wajib bagi
suatu ummat pada umumnya dan bagi pemerintah pada
khususnya.
Mengabaikan kewajiban ini berarti suatu tindakan haram
dan dosa besar ...
Begitulah halnya seluruh kewajiban hidup, baik yang
menyangkut pribadi maupun yang menyangkut ummat
seluruhnya.
Kami tidak beranggapan, bahwa kami telah bentangkan
seluruh hal yang halal dan haram, dari yang paling kecil
sampai kepada yang paling besar. Tetapi kami mencukupkan
dalam lembaran-lembaran ini untuk mengetengahkan hal-hal
terpenting yang harus diketahui oleh setiap muslim, baik
yang menyangkut pribadinya, keluarganya maupun
masyarakatnya. Khususnya yang tidak diketahui oleh
kebanyakan orang, atau yang mereka masih kabur, baik tentang
hukum maupun hikmahnya.
Kami telah singkap cadar yang menutupi hikmah
kebijaksanaan Islam tentang masalah halal dan haram.
Sehingga setiap orang yang mau melihat dengan kedua matanya
akan mengerti dengan jelas, bahwa Allah s.w.t. tidak
bermaksud membebaskan manusia dalam lapangan halal dan
mempersempit dalam lapangan haram. Tetapi Allah membuat
suatu peraturan (syariat) yang maslahah buat mereka, dapat
melindungi agama, dunia, rasio, akhlak, harga diri, harta
benda dan existensi manusia seluruhnya, baik pribadi maupun
masyarakat.
Ketahuilah, bahwa kelemahan undang-undang yang dibuat
manusia, adalah keterbatasan dan kekurangannya. Penciptanya
sendiri, baik secara pribadi, pemerintah maupun DPR,
membatasi hanya dalam hal-hal yang menyangkut kemaslahatan
material, dengan mengkesampingkan persoalan agama dan
akhlak. Mereka hanya membatasi pada nasionalisme dan
chauvinisme, tanpa mau menengok dunia luar yang begitu besar
dan perikemanusiaan yang luas.
Mereka membuat undang-undang hanya untuk hari ini dengan
melupakan hari esok, dan tidak mengerti apa yang terjadi
pada hari-hari berikutnya.
Hal ini logis, karena mereka adalah manusia yang serba
lemah, serba kekurangan dan banyak dipengaruhi oleh nafsu.
Betul kata Allah:
"Sesungguhnya manusia banyak berbuat zalim dan
tidak mengerti." (al-Ahzab: 72)
Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau undang-undang
yang dibuatnya itu jangkauannya sempit, analisanya dangkal,
banyak dipengaruhi oleh material, temporer dan
subjektif.
Dan tidak mengherankan pula kalau anda ketahui, bahwa
perkenan dan larangan yang dibuatnya, banyak dipengaruhi
oleh hawa nafsu dan demi kepuasan selera umum, tanpa melihat
bahaya besar yang mungkin terjadi.
Sebagai contoh: undang-undang Amerika Serikat yang
menghalalkan arak sebagai ganti undang-undang sebelumnya
yang melarang arak, betapapun besarnya kejahatan dan bahaya
yang ditimbulkan oleh arak, baik terhadap pribadi, keluarga
maupun tanahair. Berbeda dengan hukum Islam yang samasekali
jauh dari kekurangan-kekurangan ini. Sebab hukum Islam
adalah hukum Allah yang maha tahu, maha arif terhadap
hambanya dan apa yang layak buat mereka. Betapa tidak!
Karena Allah sendiri sudah mengatakan:
"Dialah (Tuhan) yang mengetahui orang yang
berbuat jahat dan orang yang berbuat baik." (al-Baqarah:
220)
Allah sebagai pencipta, tahu apa yang dicipta.
FirmanNya:
"Tidakkah Tuhan yang menjadikan itu mengetahui;
sedangkan Dia adalah maha halus dan maha tahu?" (al-Mulk:
74)
Hukum Islam adalah hukum Allah yang maha bijaksana. Oleh
karena itu Ia tidak mengharamkan sesuatu dengan sia-sa
belaka, dan tidak menghalalkan sesuatu dengan percuma.
Segala sesuatu dibuat dengan ukuran, dan segala sesuatu
diundangkan dengan berimbang.
Hukum Islam adalah undang-undang Tuhan yang maha mengatur
dan maim belas-kasih, Ia bermaksud untuk memberikan
kemudahan kepada hambanya, tidak menghendaki kesukaran.
Bagaimana mungkin Ia akan mempersukar hambanya, sedang Dia
maha belas-kasih kepada hambanya melebihi kasih seorang ibu
kepada anaknya.
Hukum Islam adalah undang-undang Raja yang maha kuasa,
tidak membutuhkan bantuan hambanya, tidak memihak kepada
suatu golongan, jenis maupun generasi, sehingga Ia
menghalalkan untuk satu golongan tetapi haram untuk golongan
lain. Bagaimana mungkin akan terjadi demikian, padahal Dia
adalah Tuhan yang mengatur seluruh makhluk ini!
Demikianlah keyakinan seorang muslim terhadap hukum halal
dan haram yang dibuat Allah s.w.t. Justeru itu hukum ini
akan diterima dengan penuh kesadaran, kesenangan, dan
keyakinan. Sebab setiap muslim berkeyakinan, bahwa
kebahagiaan duniawi dan ukhrawi seratus persen berpangkal
kepada melaksanakan hukum-hukum Allah, baik yang berbentuk
perintah maupun larangan, yang halal maupun yang haram.
Oleh karena itu pula sudah seharusnya demi kebagiaan
dunia dan akhirat, setiap muslim harus meletakkan dirinya
pada batas-batas ketentuan Allah ini.
Sehubungan dengan masalah ini, akan kami bawakan dua
contoh tentang kehidupan kaum muslimin pada perioda pertama,
bagaimana mereka itu demi menjaga batas-batas hukum Allah
tentang halal dan haram dan berlomba-lomba untuk
melaksanakan perintah:
(1) Sebagaimana yang telah kami isyaratkan ketika
membicarakan masalah haramnya arak, di mana orang-orang Arab
waktu itu sudah sangat kecanduan bukan saja meminumnya,
bahkan sampai pada slokinya dan pertemuan-pertemuannya.
Tetapi Allah tahu semua itu, Oleh karenanya dibuatlah
undang-undang bertahap tentang haramnya arak, sehingga
turunlah ayat yang jelas-jelas mengharamkan untuk
selama-lamanya. Bahkan dinyatakan sebagai barang najis yang
berasal dari perbuatan syaitan. (al-Maidah: 90).
Justru itu pula Rasulullah s.a.w. mengharamkan minumnya,
menjualnya dan menghadiahkannya kepada orang lain Islam.
Pada waktu itu kaum muslimin keluar dengan membawa simpanan
dan guci-guci arak, kemudian dituangnya di jalan-jalan
Madinah, sebagai menyatakan ketidak-sukaan mereka kepada
arak.
Dan yang sangat mengherankan lagi, yaitu: ketika ayat ini
sampai kepada suatu golongan, di saat mana mereka itu sedang
memegang sloki arak yang sebagiannya telah diminum, tinggal
sebagian lagi yang belum. Waktu itu arak yang berada di
mulutnya ditumpahkan sebagai menyambut seruan Allah. apakah
kamu tidak mau berhenti? (Al-Maidah 91) sambil mereka
mengatakan: "Sungguh kami telah berhenti ya Tuhan kami!"
Kalau kita mau mengadakan perbandingan sukses gemilang
yang dicapai untuk memberantas arak dalam masyarakat Islam,
dengan kegagalan total yang dialami oleh Amerika Serikat,
ketika hendak memberantas arak dengan undang-undang dan
armada, maka niscaya kita akan mengetahui, bahwa pada
hakikatnya tidak ada hukum yang cocok bagi manusia melainkan
hukum Allah yang selalu berorientasi pada dhamir dan iman,
sebelum menempuh dengan jalan kekuatan dan kekuasaan.
(2) Sikap orang-orang perempuan muslimah dahulu terhadap
larangan Allah, seperti tabarruj, dan kewajiban yang harus
mereka lakukan, seperti menutup aurat. Padahal orang-orang
perempuan jahiliah kalau keluar rumah dadanya terbuka, tidak
sehelai benang pun yang menutupinya, leher dan ekor kudanya
nampak, termasuk juga kriulnya. Kemudian tahu-tahu Allah
mengharamkan bertabarruj dan memerintahkan mereka supaya
berbeda dengan perempuan-perempuan jahiliah, dan harus
menutup aurat dan bersopan-santun dalam seluruh gerak dan
tingkah lakunya, diantaranya ialah dengan melabuhkan
kudung-kudung pada tengkuknya dan belahan dadanya. Maka
waktu itu mereka langsung menutup tengkuk, leher dan
telinga.
Ada suatu kisah yang sengaja dibawakan oleh Aisyah kepada
kita bagaimana cara hukum Allah yang bertalian dengan
masalah merombak sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
kaum wanita yang suka bergaya dan berhias, sebagai yang
berlaku pada orang-orang perempuan Muhajirin dan Ansar dalam
masyarakat Islam pertama. Maka kata Aisyah: "Semoga Allah
memberi rahmat kepada perempuan muhajirin pertama, yang
ketika ayat Allah: "... dan hendaklah mereka (perempuan)
melabuhkan kudung-kudungnya di dada-dada mereka ..." itu
turun, kemudian mereka menyobek pakaiannya yang terbuat dari
wool atau sutera untuk dipakai bertudung." (Riwayat
Bukhari).
Pernah juga terjadi ada sementara orang perempuan
duduk-duduk sambil membicarakan keistimewaan
perempuan-perempuan Quraisy. Kemudian Aisyah berkata:
"Memang benar perempuan Quraisy mempunyai kelebihan, tetapi
demi Allah belum pernah saya lihat keistimewaan yang
dimiliki perempuan-perempuan Ansar; mereka sangat
membenarkan kitabullah.
Sehingga waktu ayat: "... hendaklah perempuan-perempuan
melabuhkan tudung dada-dada mereka ..." itu turun, laki-laki
Ansar pada mengangkat kakinya pulang ke rumah untuk
membacakan ayat itu kepada isteri-isterinya, anak
perernpuannya, saudara perempuannya dan seluruh kerabatnya,
sehingga tidak seorang perempuan pun yang tidak menyobek
pakaiannya yang bergambar untuk diikatkan dan menyelubungi
kepalanya, sebagai membenarkan dan mempercayai kebenaran
ayat Allah di atas. Kemudian mereka berada di belakang
Rasulullah dengan membalut kepalanya yang seolah-olah di
atas kepalanya itu dikerumuni burung
gagak."41
Demikianlah kedisiplinan perempuan-perempuan mu'minah
terhadap hukum Allah. Dengan secepat kilat mereka mau
melaksanakan perintah Allah itu dan menjauhi larangannya
tanpa ragu-ragu sedikitpun, tidak menunggu-nunggu sehari
atau dua hari atau lebih dari itu, sambil menunggu
kesempatan kalau sudah mampu membeli atau menjahitkan
pakaian barunya yang serasi untuk menutup kepala dan
membesarkan kudungnya itu supaya bisa melabuh sampai ke
dada. Bahkan apapun pakaian yang didapat dan warna apapun
yang ada, selalu cocok dan serasi. Kalau tidak ada, terpaksa
mereka sobek pakaiannya untuk dililitkan pada kepalanya
tanpa menghiraukan mode, kendati nampak kepalanya itu
seperti dikerumuni gagak, seperti yang dikatakan oleh Aisyah
di atas.
Kami membenarkan, bahwa sekedar mengerti halal dan haram,
belum cukup. Sebab induk halal dan haram itu sendiri
sebenarnya cukup jelas; tidak seorang muslim pun yang tidak
tahu. Justru itu dengan mudah dapat diketahui oleh
kebanyakan orang-orang Islam yang tenggelam dalam haram dan
terang-terangan terjun ke jahanam.
Oleh karena itu perlu ada taqwallah. Sebab taqwallah lah
satu-satunya yang dapat mengendalikan itu semua. Atau dengan
kata lain yang mutaakhir perlu adanya jiwa hidup yang dapat
mendisiplinkan seorang muslim pada batas-batas halal dan
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan haram. Jiwa semacam
ini tidak akan tumbuh dengan subur, kecuali ditanam dalam
ladang iman kepada Allah dan hari akhir. Kalau seorang
muslim dapat memenuhi pengertiannya tentang batas-batas
agama dan hukum Allah, dan mempunyai jiwa hidup yang dapat
melindungi batas-batas hukum ini sehingga tidak terlanggar
dan tersentuh, berarti dia telah memenuhi seluruh macam
kebaikan. Benarlah apa yang dikatakan Nabi s.a.w.:
"Apabila Allah menghendaki kebaikan seseorang,
maka Ia akan adalah penasehat dari dirinya
sendiri."42
Akhirnya kami tutup tulisan ini dengan suatu doa yang
sudah terkenal dari orang-orang tua kita dahulu:
"Ya Tuhankul Cukupkanlah aku dengan mengikuti
yang Engkau halalkan, jauh dari yang Engkau haramkan;
cukup dengan mentaatiMu, jauh dari bermaksiat kepadaMu;
dan cukup dengan anugerahMu bukan dari orang lain."
"Segala puji kepunyaan Allah yang telah menunjukkan
kami, sungguh kami tidak akan mendapat petunjuk andaikata
Allah tidak menunjukkan."
|