Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

BANK SUSU                                                (2/2)
Dr. Yusuf Qardhawi
 
Saya  kutipkan  di  sini  beberapa poin dari perkataan beliau,
karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata:
 
"Adapun  sifat  penyusuan   yang   mengharamkan   (perkawinan)
hanyalah  yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang
menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang  yang  diberi  minum
susu  seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan
ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau
dicampur   dengan  makanan  lain,  dituangkan  kedalam  mulut,
hidung, atau  telinganya,  atau  dengan  suntikan,  maka  yang
demikian  itu  sama  sekali  tidak  mengharamkan (perkawinan),
meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa.
 
Alasannya adalah firman Allah Azza wa  Jalla:  'Dan  ibu-ibumu
yang  menyusui  kamu  dan saudara perempuanmu sepersusuan ...'
(an-Nisa':23)
 
Dan sabda Rasulullah saw.:
 
    "Haram karena susuan apa yang haram karena nasab."
 
Maka dalam hal ini  Allah  dan  Rasul-Nya  tidak  mengharamkan
nikah  kecuali  karena  irdha' (menyusui), kecuali jika wanita
itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu.  Dikatakan
(dalam  qiyas ishtilahi): ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an, yang
berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha'/ridha
(menyusu)  kecuali  jika anak yang menyusu itu mengambil tetek
wanita yang menyusuinya dengan  mulutnya,  lalu  menghisapnya.
Dikatakan  (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha'a
-        yardha'u/yardhi'u        radha'an/ridha'an         wa
radha'atan/ridha'atan.   Adapun   selain   cara  seperti  itu,
sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak
dinamakan  irdha',  radha'ah,  dan radha', melainkan hanya air
susu,  makanan,  minuman,  minum,  makan,  menelan,  suntikan,
menuangkan  ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa
Jalla  tidak  mengharamkan   perkawinan   sama   sekali   yang
disebabkan hal-hal seperti ini.
 
Abu  Muhammad  berkata,  Orang-orang berbeda pendapat mengenai
hal ini. Abul Laits bin Sa'ad berkata,  'Memasukkan  air  susu
perempuan  melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan
(antara perempuan tersebut dengan yang  dimasuki  air  susunya
tadi),  dan  tidak  mengharamkan  perkawinan pula jika si anak
diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan  obat,
karena  yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu
ialah  yang  dihisap  melalui  tetek.   Demikianlah   pendapat
al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman
--yakni Daud, imam Ahli  Zhahir--  dan  sahabat-sahabat  kami,
yakni Ahli Zhahir."'
 
Sedangkan  pada  waktu  menyanggah  orang-orang  yang berdalil
dengan hadits: "Sesungguhnya  penyusuan  itu  hanyalah  karena
lapar," Ibnu Hazm berkata:
 
"Sesungguhnya  hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi
saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan  penyusuan  yang
berfungsi  untuk  menghilangkan  kelaparan,  dan  beliau tidak
mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu  tidak
ada  pengharaman  (perkawinan)  karena  cara-cara  lain  untuk
menghilangkan  kelaparan,   seperti   dengan   makan,   minum,
menuangkan  susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan
jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari  tetek
dengan  mulut  dan  menelannya),  sebagaimana  yang disabdakan
Rasulullah saw. (firman Allah):
 
    "... Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah,
    mereka itulah orang-orang yang zalim." (al-Baqarah:
    229)2
 
Dengan   demikian,   saya   melihat   bahwa   pendapat    yang
menenteramkan  hati  ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir
nash yang menyandarkan semua hukum  kepada  irdha'  (menyusui)
dan  radha'/ridha'  (menyusu).  Hal  ini sejalan dengan hikmah
pengharaman karena penyusuan itu, yaitu  adanya  rasa  keibuan
yang  menyerupai  rasa  keibuan karena nasab, yang menumbuhkan
rasa kekanakan (sebagai anak),  persaudaraan  (sesusuan),  dan
kekerabatan-kekerabatan  lainnya.  Maka  sudah dimaklumi bahwa
tidak ada proses penyusuan melalui  bank  susu,  yang  melalui
bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut
--bukan menghisap dari tetek--  dan  menelannya),  sebagaimana
yang dikemukakan oleh para fuqaha.
 
Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan
penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat  alasan  lain  yang
menghalangi   pengharaman   (perkawinan).  Yaitu,  kita  tidak
mengetahui siapakah wanita yang disusu (air  susunya  diminum)
oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak
tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan --lima kali
susuan  menurut  pendapat  terpilih yang ditunjuki oleh hadits
dan dikuatkan oleh penalaran-- dapat menumbuhkan  daging,  dan
mengembangkan  tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan
Hambali?
 
Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam  air
susu  lainnya  terhukum  sama  dengan  air susu murni? Menurut
mazhab Hanafi, sebagaimana  yang  dikatakan  oleh  Abu  Yusuf,
bahwa  air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air
susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu  yang
dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak
dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.
 
Seperti yang telah  dikenal  bahwa  penyusuan  yang  meragukan
tidaklah menyebabkan pengharaman.
 
Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni:
 
"Apabila   timbul  keraguan  tentang  adanya  penyusuan,  atau
mengenai jumlah bilangan penyusuan yang  mengharamkan,  apakah
sempurna   ataukah   tidak,   maka   tidak   dapat  menetapkan
pengharaman, karena pada asalnya tidak ada  pengharaman.  Kita
tidak   bisa  menghilangkan  sesuatu  yang  meyakinkan  dengan
sesuatu  yang  meragukan,  sebagaimana  halnya  kalau  terjadi
keraguan tentang adanya talak dan bilangannya."3
 
Sedangkan  di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu
kitab mazhab Hanafi, disebutkan:
 
"Seorang perempuan  yang  memasukkan  puting  susunya  kedalam
mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya
masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka  yang  demikian  itu
tidak mengharamkan pernikahan.
 
Demikian  pula  seorang  anak  perempuan yang disusui beberapa
penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja  mereka  itu,
lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampung
(desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan.  Karena
kebolehan   nikah   merupakan  hukum  asal  yang  tidak  dapat
dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.
 
Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka  menyusui  setiap  anak
kecuali   karena   darurat.  Jika  mereka  melakukannya,  maka
hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai  sikap
hati-hati."4
 
Tidaklah  samar,  bahwa  apa yang terjadi dalam persoalan kita
ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita  terima
bahwa  yang  demikian  sebagai  penyusuan, maka hal itu adalah
karena  darurat,  sedangkan   mengingatnya   dan   mencatatnya
tidaklah  memungkinkan,  karena  bukan terhadap seseorang yang
tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.
 
Arahan yang perlu  dikukuhkan  menurut  pandangan  saya  dalam
masalah  penyusuan  ini ialah mempersempit pengharaman seperti
mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan  kedua
masalah ini juga ada pendukungnya.
 
Khulashah
 
Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam
"bank  susu"  selama  bertujuan  untuk   mewujudkan   maslahat
syar'iyah  yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi
kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat  para
fuqaha  yang  telah  saya  sebutkan  di  muka, serta dikuatkan
dengan dalil-dalil dan  argumentasi  yang  saya  kemukakan  di
atas.
 
Kadang-kadang  ada  orang yang mengatakan, "Mengapa kita tidak
mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan
pendapat,   padahal   mengambil   sikap  hati-hati  itu  lebih
terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?"
 
Saya jawab, bahwa apabila seseorang  melakukan  sesuatu  untuk
dirinya  sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang
lebih hati-hati dan lebih wara'  (lebih  jauh  dari  syubhat),
bahkan  lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang
tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang
terlarang.
 
Akan  tetapi,  apabila  masalah  itu  bersangkut  paut  dengan
masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang  lebih  utama
bagi   ahli  fatwa  ialah  memberi  kemudahan,  bukan  memberi
kesulitan, tanpa melampaui nash yang  teguh  dan  kaidah  yang
telah mantap.
 
Karena   itu,   menjadikan   pemerataan  ujian  sebagai  upaya
meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan  karena
kasihan   kepada   mereka.   Jikalau  kita  bandingkan  dengan
masyarakat kita sekarang khususnya, maka  masyarakat  sekarang
ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang.
 
Hanya   saja  yang  perlu  diingat  disini,  bahwa  memberikan
pengarahan  dalam  segala  hal  untuk  mengambil  yang   lebih
hati-hati  tanpa  mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah
lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita  menjadikan
hukum-hukum  agama  itu  sebagai  himpunan "kehati-hatian" dan
jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang  menjadi  tempat
berpijaknya  agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda:
 
    "Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.
    "(HR al-Kharaithi)
 
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:
 
    "Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan,
    tidak diutus untuk memberikan kesulitan." (HR Tirmidzi)
 
Manhaj (metode) yang  kami  pilih  dalam  masalah-masalah  ini
ialah   pertengahan   dan   seimbang   antara   golongan  yang
memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarkan:
 
    "Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat
    yang adil dan pilihan ..." (al-Baqarah: 143)
 
Allah  memfirmankan  kebenaran,  dan  Dia-lah   yang   memberi
petunjuk ke jalan yang lurus.
 
Catatan kaki:
 
1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk
  mengharamkan perkawinan kecuali ... (Pen;.).
 
2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11.
 
3 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194.
 
4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120;
  dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him.
  2-3.
 
-----------------------                  (Bagian 1/2, 2/2)
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team