Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

EUTANASIA                                 Dr. Yusuf Qardhawi
 
PENGANTAR
 
Ini merupakan satu persoalan  yang  sampai  kepada  saya  di
antara sekian banyak persoalan mengenai kedokteran Islam dan
hukum-hukumnya serta adab-adabnya,  yang  disampaikan  lewat
surat  oleh  Ikatan  Dokter  Islam Afrika Selatan. Persoalan
pertama mengenai masalah berikut:
 
QATL AR-RAHMAH ATAU TAISIR AL-MAUT (EUTANASIA)
 
Pengertian qatl ar-rahmah atau  taisir  al-maut  (eutanasia)
ialah  tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja
tanpa merasakan sakit, karena kasih  sayang,  dengan  tujuan
meringankan  penderitaan  si sakit, baik dengan cara positif
maupun negatif.
 
Yang dimaksud taisir al-maut  al-fa'al  (eutanasia  positif)
ialah  tindakan  memudahkan kematian si sakit --karena kasih
sayang-- yang dilakukan  oleh  dokter  dengan  mempergunakan
instrumen (alat). Beberapa contoh di antaranya:
 
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
   sakit yang luar biasa hingga penderita sering
   pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang
   bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter
   memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis)
   yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya,
   tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
   
2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat
   lama, misalnya karena bagian otaknya terserang
   penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan
   yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya
   mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat
   pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa
   penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat
   pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam
   paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas
   secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut
   dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat
   melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara
   yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si
   sakit itu hidup dengan mempergunakan alat
   pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak
   kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa
   orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang
   tidak mampu melakukan aktivitas. Maka
   memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara
   yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
 
Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif  (taisir  al-  maut
al-munfa'il)   Pada  eutanasia  negatif  tidak  dipergunakan
alat-alat  atau  langkah-langkah  aktif   untuk   mengakhiri
kehidupan  si  sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi
pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.  Contohnya  seperti
berikut:
 
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit
   yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan
   pada bagian kepalanya atau terkena semacam
   penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk
   sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit
   paru-paru yang jika tidak diobati --padahal masih
   ada kemungkinan untuk diobati-- akan dapat
   mematikan penderita. Dalam hal ini, jika
   pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat
   mempercepat kematiannya.
   
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk
   karena menderita tashallub al-Asyram (kelumpuhan
   tulang belakang) atau syalal almukhkhi (kelumpuhan
   otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja
   dibiarkan --tanpa diberi pengobatan-- apabila
   terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit
   otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian
   anak tersebut.
 
At-tashallub al-asyram atau asy-syaukah  al-masyquqah  ialah
kelainan   pada   tulang   belakang  yang  bisa  menyebabkan
kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan  kemampuan/kontrol
pada  kandung  kencing  dan  usus besar. Anak yang menderita
penyakit ini senantiasa  dalam  kondisi  lumpuh  dan  selalu
membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya.
 
Sedangkan  asy-syalal  al-mukhkhi  (kelumpuhan  otak)  ialah
suatu keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak  dilahirkan
yang  menyebabkan  keterbelakangan  pikiran  dan  kelumpuhan
badannya  dengan  tingkatan  yang  berbeda-beda.  Anak  yang
menderita  penyakit  ini  akan  lumpuh  badan dan pikirannya
serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya.
 
Dalam contoh tersebut,  "penghentian  pengobatan"  merupakan
salah  satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum,
anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak  berumur
panjang,   maka   menghentikan  pengobatan  dan  mempermudah
kematian  secara  pasif  (eutanasia  negatif)  itu  mencegah
perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang
tuanya.
 
PERTANYAAN
 
Berkaitan dengan permasalahan  tersebut  muncul  pertanyaan-
pertanyaan berikut:
 
1. Apakah memudahkan proses kematian secara aktif
   (eutanasia positif) ditolerir oleh Islam?
 
2. Apakah memudahkan proses kematian secara pasif
   (eutanasia negatif) juga diperbolehkan dalam
   Islam?
 
JAWABAN
 
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia  positif)
seperti  pada  contoh  nomor  satu  tidak diperkenankan oleh
syara'. Sebab yang demikian  itu  berarti  dokter  melakukan
tindakan   aktif   dengan   tujuan  membunuh  si  sakit  dan
mempercepat  kematiannya  melalui  pemberian   obat   secara
overdosis.  Maka  dalam  hal  ini,  dokter  telah  melakukan
pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam  contoh,
dengan   pemberian  racun  yang  keras,  dengan  penyengatan
listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu
termasuk  pembunuhan  yang  haram  hukumnya, bahkan termasuk
dosa besar yang membinasakan.
 
Perbuatan demikian  itu  tidak  dapat  lepas  dari  kategori
pembunuhan  meskipun  yang  mendorongnya  itu  rasa  kasihan
kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena
bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang
daripada Dzat Yang Menciptakannya.  Karena  itu  serahkanlah
urusan  tersebut  kepada  Allah  Ta'ala, karena Dia-lah yang
memberi  kehidupan  kepada  manusia  dan  yang   mencabutnya
apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
 
Adapun  contoh  kedua  dari eutanasia positif ini kita tunda
dahulu  pembahasannya  setelah  kita   bicarakan   eutanasia
negatif.
 
EUTANASIA NEGATIF (MENGHENTIKAN/TIDAK MEMBERIKAN PENGOBATAN)
 
Adapun   memudahkan   proses   kematian  dengan  cara  pasif
(eutanasia   negatif)    sebagaimana    dikemukakan    dalam
pertanyaan,  maka  semua  itu --baik dalam contoh nomor satu
maupun nomor dua-- berkisar pada  "menghentikan  pengobatan"
atau  tidak  memberikan  pengobatan. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan  itu  tidak
ada  gunanya  dan  tidak memberikan harapan kepada si sakit,
sesuai  dengan  sunnatullah  (hukum  Allah   terhadap   alam
semesta) dan hukum sebab-akibat.
 
Diantara  masalah  yang  sudah  terkenal  di  kalangan ulama
syara' ialah bahwa  mengobati  atau  berobat  dari  penyakit
tidak  wajib  hukumnya  menurut  jumhur fuqaha dan imam-imam
mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati  atau  berobat  ini
hanya  berkisar  pada  hukum  mubah.  Dalam  hal  ini  hanya
segolongan kecil yang mewajibkannya seperti  yang  dikatakan
oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,1 dan  sebagian
ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
 
Para  ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih
utama: berobat ataukah bersabar? Diantara  mereka  ada  yang
berpendapat  bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama,
berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam  kitab
sahih  dari  seorang  wanita yang ditimpa penyakit epilepsi.
Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya,  lalu
beliau menjawab:
 
"'Jika  engkau  mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga; dan jika engkau  mau,  akan  saya  doakan
kepada  Allah agar Dia menyembuhkanmu.' Wanita itu menjawab,
aku akan bersabar. 'Sebenarnya saya tadi  ingin  dihilangkan
penyakit  saya.  Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar
saya tidak  minta  dihilangkan  penyakit  saya.'  Lalu  Nabi
mendoakan   orang   itu   agar   tidak  meminta  dihilangkan
penyakitnya."2
 
Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan  sahabat
dan  tabi'in  yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan
diantara mereka ada yang memilih  sakit,  seperti  Ubai  bin
Ka'ab  dan  Abu  Dzar  radhiyallahu'anhuma.  Namun demikian,
tidak ada yang mengingkari mereka  yang  tidak  mau  berobat
itu.3
 
Dalam  kaitan  ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun
satu bab tersendiri dalam  "Kitab  at-Tawakkul"  dari  Ihya'
Ulumuddin,  untuk  menyanggah  orang  yang berpendapat bahwa
tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.4
 
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat  atau
pengobatan  bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka
berpendapat mubah,  sebagian  kecil  menganggapnya  mustahab
(sunnah),  dan  sebagian  kecil  lagi  --lebih  sedikit dari
golongan kedua-- berpendapat wajib.
 
Dalam  hal  ini  saya  sependapat   dengan   golongan   yang
mewajibkannya  apabila  sakitnya parah, obatnya berpengaruh,
dan ada harapan untuk  sembuh  sesuai  dengan  sunnah  Allah
Ta'ala.
 
Inilah  yang  sesuai  dengan  petunjuk  Nabi saw. yang biasa
berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana
yang  dikemukakan  oleh  Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya
Zadul-Ma'ad.5 Dan  paling  tidak,  petunjuk  Nabi  saw.  itu
menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
 
Oleh  karena  itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab
atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya.
Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan
sunnah Allah dalam hukum  sebab-akibat  yang  diketahui  dan
dimengerti  oleh  para  ahlinya  --yaitu  para dokter-- maka
tidak ada seorang  pun  yang  mengatakan  mustahab  berobat,
apalagi wajib.
 
Apabila   penderita   sakit   diberi   berbagai  macam  cara
pengobatan --dengan  cara  meminum  obat,  suntikan,  diberi
makan   glukose   dan   sebagainya,  atau  menggunakan  alat
pernapasan buatan dan lainnya sesuai  dengan  penemuan  ilmu
kedokteran  modern--  dalam  waktu  yang  cukup lama, tetapi
penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya  itu  tidak  wajib  dan tidak mustahab, bahkan
mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah  yang
wajib atau mustahab.
 
Maka  memudahkan  proses  kematian  (taisir al-maut) --kalau
boleh diistilahkan demikian-- semacam ini  tidak  seyogyanya
diembel-embeli   dengan  istilah  qatl  ar-rahmah  (membunuh
karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak  didapati
tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan
sesuatu yang tidak wajib dan tidak  sunnah,  sehingga  tidak
dikenai sanksi.
 
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan
syara' --bila keluarga penderita mengizinkannya-- dan dokter
diperbolehkan  melakukannya  untuk  meringankan si sakit dan
keluarganya, insya Allah.
 
MEMUDAHKAN KEMATIAN DENGAN MENGHENTIKAN PENGGUNAAN ALAT
BANTU PERNAPASAN
 
Sekarang saya akan  menjawab  contoh  kedua  dari  eutanasia
positif  menurut pertanyaan tersebut --bukan negatif-- yaitu
menghentikan alat pernapasan  buatan  dari  si  sakit,  yang
menurut  pandangan  dokter  dia  dianggap  sudah "mati" atau
"dihukumi telah mati" karena jaringan otak atau sumsum  yang
dengannya  seseorang dapat hidup dan merasakan sesuatu telah
rusak.
 
Kalau yang dilakukan  dokter  itu  semata-mata  menghentikan
alat  pengobatan,  hal  ini  sama  dengan  tidak  memberikan
pengobatan. Dengan demikian, keadaannya seperti keadaan lain
yang    diistilahkan    dengan    ath-thuruq   al-munfa'ilah
(jalan-jalan pasif/eutanasia negatif).
 
Karena itu, saya berpendapat  bahwa  eutanasia  seperti  ini
berada  di  luar  daerah  "memudahkan  kematian  dengan cara
aktif" (eutanasia positif), tetapi masuk ke dalam jenis lain
(yaitu eutanasia negatif; Penj.)
 
Dengan  demikian, tindakan tersebut dibenarkan syara', tidak
terlarang. Lebih-lebih  peralatan-peralatan  tersebut  hanya
dipergunakan  penderita  sekadar  untuk kehidupan yang lahir
--yang tampak dalam pernapasan  dan  peredaran  darah/denyut
nadi  saja--  padahal  dilihat  dari  segi aktivitas maka si
sakit itu sudah seperti orang mati, tidak  responsif,  tidak
dapat  mengerti  sesuatu  dan tidak dapat merasakan apa-apa,
karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber  semua  itu
telah rusak.
 
Membiarkan  si  sakit  dalam  kondisi seperti itu hanya akan
menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas.  Selain
itu  juga  menghalangi  penggunaan  alat-alat  tersebut bagi
orang lain yang membutuhkannya dan  masih  dapat  memperoleh
manfaat  dari  alat  tersebut.  Di sisi lain, penderita yang
sudah tidak dapat merasakan  apa-apa  itu  hanya  menjadikan
sanak  keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita,
yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
 
Saya telah mengemukakan pendapat seperti ini sejak  beberapa
tahun lalu di hadapan sejumlah fuqaha dan dokter dalam suatu
seminar berkala  yang  diselenggarakan  oleh  Yayasan  Islam
untuk  ilmu-ilmu  Kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar
dari kalangan ahli fiqih dan dokter  itu  menerima  pendapat
tersebut.
 
Segala  puji  kepunyaan  Allah  yang  telah memberi petunjuk
kepada kita ke jalan  Islam  ini,  dan  tidaklah  kita  akan
mendapat petunjuk kalau bukan Allah yang menunjukkan kita.
 
Catatan kaki:
1 Al-Fatawa al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, juz 4, hlm. 260,
  terbitan Mathba'ah Kurdistan al-Ilmiah, Kairo.
2 Muttafaq 'alaih. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam "Kitab
  al-Mardhaa" dan Muslim dalam "Kitab al-Birr wash-Shilah,"
  hadits nomor 2265.
3 Ibnu Taimiyah, op cit.
4 Ihya 'Ulumuddin, juz 4, hlm. 290 dan seterusnya.
5 Zadul-Ma'ad, juz 3, terbitan ar-Risalah, Beirut.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team