Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN DAN SEBALIKNYA?
Dr. Yusuf Qardhawi                                     (2/2)
 
Syaukani,    dalam    kitabnya   Nailul   Athar   menanggapi
hadits-hadits yang  mengatakan  paha  sebagai  aurat,  bahwa
hadits-hadits  itu  hanya  menceritakan keadaan (peristiwa),
tidak bersifat umum.
 
Adapun al-muhaqqiq Ibnul Qayyim mengatakan  dalam  Tahdzibut
Tahdzib Sunan Abi Daud sebagai berikut:
 
"Jalan  mengompromikan hadits-hadits tersebut ialah apa yang
dikemukakan oleh murid-murid Imam Ahmad  dan  lainnya  bahwa
aurat  itu  ada  dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan/keci])
dan mughallazhah  (berat/besar).  Aurat  mughallazhah  ialah
qubul dan dubur, sedangkan aurat mukhaffafah ialah paha, dan
tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan pandangan
dari melihat paha karena paha itu juga aurat, dan membukanya
karena paha itu aurat mukhaffafah. Wallau a'lam."
 
Dalam hal  ini  terdapat  rukhshah  (keringanan)  bagi  para
olahragawan  dan  sebagainya  yang  biasa  mengenakan celana
pendek, termasuk bagi penontonnya,  begitu  juga  bagi  para
pandu  (pramuka)  dan  pecinta alam. Meskipun demikian, kaum
muslim    berkewajiban    menunjukkan    kepada    peraturan
internasional  tentang  ciri  khas kostum umat Islam dan apa
yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.
 
Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat,  baik
oleh   perempuan  maupun  sesama  laki-laki.  Ini  merupakan
masalah yang sangat jelas.
 
Adapun terhadap  bagian  tubuh  yang  tidak  termasuk  aurat
laki-laki,  seperti  wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan
sebagainya,  menurut  pendapat  yang  sahih  boleh  dilihat,
selama  tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya
fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat,  dan  ini
diperlihatkan  oleh praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan
generasi sesudahnya, juga  diperkuat  oleh  beberapa  hadits
sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.
 
Sebagian  fuqaha  lagi  berpendapat  tidak  bolehnya  wanita
memandang laki-laki secara  umum,  dengan  alasan  apa  yang
dikemukakan  oleh  saudara  penanya  dalam  pertanyaannya di
atas.
 
Adapun hadits  Fatimah  r.a.  di  atas  tidak  ada  nilainya
dilihat  dari  sisi  ilmu. Saya tidak melihat satu pun kitab
dari kitab-kitab dalil hukum yang  memuat  hadits  tersebut,
dan  tidak  ada  seorang  pun ahli fiqih yang menggunakannya
sebagai dalil. Orang-orang yang sangat ketat melarang wanita
melihat  laki-laki pun tidak menyebutkan hadits tersebut. Ia
hanya dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin.
 
Dalam  mentakhrij  hadits  ini   Imam   al-Ilraqi   berkata,
"Diriwayatkan  oleh  al-Bazzar dan ad-Daruquthni dalam kitab
al-Afrad dari hadits Ali dengan sanad  yang  dhatif."  (Ihya
Ulumuddin,  kitab  an-Nikah,  Bab  Adab  al-Mu'asyarah.  Dan
disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid 2:202  dan
beliau  berkata,  "Diriwayatkan  oleh  al-Bazzar,  dan dalam
sanadnya terdapat orang yang tidak saya kenal."
 
Adapun hadits yang satu lagi (hadits Ummu  Salamah,  seperti
disebutkan   penanya;   ed.)   kami   temukan   penolakannya
sebagaimana disebutkan oleh  Ibnu  Qudamah  dalam  meringkas
pendapat  mengenai masalah tersebut. Beliau mengatakan dalam
kitab al-Mughni yang ringkasannya sebagai berikut:
 
"Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini
terdapat  dua  riwayat.  Pertama, ia boleh melihat laki-laki
asal tidak pada auratnya.  Kedua,  ia  tidak  boleh  melihat
laki-laki  melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh
melihatnya. Pendapat ini yang dipilih  oleh  Abu  Bakar  dan
merupakan  salah  satu  pendapat di antara dua pendapat Imam
Syafi'i.
 
Hal ini didasarkan pada riwayat az-Zuhri dari Ummu  Salamah,
yang berkata:
 
"Aku  pernah duduk di sebelah Nabi saw., tiba-tiba Ibnu Ummi
Maktum meminta izin  masuk.  Kemudian  Nabi  saw.  bersabda,
'Berhijablah   kamu   daripadanya.   'Aku   berkata,   Wahai
Rasulullah, dia itu tuna netra.' Beliau menjawab dengan nada
bertanya,  'Apakah  kamu  berdua (Ummu Salamah dan Maimunah;
penj.) juga buta dan tidak melihatnya?" ( HR Abu  Daud.  dan
lain-lain)
 
Larangan   bagi   wanita   untuk   melihat  aurat  laki-laki
didasarkan  pada  hipotesis  bahwa  Allah  menyuruh   wanita
menundukkan  pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki
berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa  wanita
itu  adalah  salah  satu dari dua jenis anak Adam (manusia),
sehingga  mereka  haram  melihat  (aurat)  lawan   jenisnya.
Haramnya  bagi  wanita  ini  dikiaskan  pada laki-laki (yang
diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).
 
Alasan utama diharamkannya melihat itu karena  dikhawatirkan
teriadinya  fitnah.  Bahkan,  kekhawatiran  ini  pada wanita
lebih besar lagi, sebab wanita itu  lebih  besar  syahwatnya
dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.
 
Nabi saw. bersabda kepada Fatimah binti Qais:
 
"Beriddahlah  enkau  di  rumah  Ibnu Ummi Maktum, karena dia
seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan
dia tidak melihatmu."3 (Muttafaq alaih)
 
Aisyah berkata:
 
"Adalah  Rasulullah  saw.  melindungiku  dengan selendangnya
ketika aku melihat orang-orang  Habsyi  sedang  bernain-main
(tontonan olah raga) dalam masjid." (Muttafaq alaih)
 
Dalam  riwayat  lain  disebutkan, pada waktu Rasulullah saw.
selesai berkhutbah shalat  Id,  beliau  menuju  kepada  kaum
wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada
mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.
 
Seandainya  wanita  dilarang  melihat   laki-laki,   niscaya
laki-laki   juga   diwajibkan  berhijab  sebagaimana  wanita
diwajibkan berhijab,4  supaya  mereka  tidak  dapat  melihat
laki-laki.
 
Adapun  mengenai hadits Nabhan (hadits kedua yang ditanyakan
si penanya; ed.), Imam Ahmad berkata,  "Nabhan  meriwayatkan
dua buah hadits aneh (janggal), yakni hadits ini dan hadits,
"Apabila salah seorang  di  antara  kamu  mempunyai  mukatab
(budak  yang  mengadakan  perjanjian  dengan  tuannya  untuk
menebus dirinya), maka hendaklah ia  berhijab  daripadanya."
Dari  pernyataan  ini  seakan-akan Imam Ahmad mengisyaratkan
kelemahan  hadits  Nabhan   tersebut,   karena   dia   tidak
meriwayatkan selain dua buah hadits yang bertentangan dengan
ushul ini.
 
Ibnu Abdil  Barr  berkata,  "Nabhan  itu  majhul,  ia  tidak
dikenal  melainkan  melalui riwayat az-Zuhri terhadap hadits
ini; sedangkan hadits  Fatimah  itu  sahih,  maka  berhujjah
dengannya adalah suatu keharusan."
 
Kemudian Ibnu Abdil Barr memberikan kemungkinan bahwa hadits
Nabhan itu khusus untuk istri-istri Nabi saw.
 
Demikianlah yang dikatakan Imam Ahmad dan Abu Daud.
 
Al-Atsram  berkata,  "Aku  bertanya  kepada  Abi   Abdillah,
'Hadits  Nabhan ini tampaknya khusus untuk istri-istri Nabi,
sedangkan hadits  Fatimah  untuk  semua  manusia?     Beliau
menjawab, 'Benar.'5
 
Kalaupun   hadits-hadits  ini  dianggap  bertentangan,  maka
mendahulukan hadits yang  sahih  itu  lebih  utama  daripada
mengambil  hadits  mufrad  (diriwayatkan  oleh perseorangan)
yang dalam isnadnya terdapat  pembicaraan."  (Ibnu  Qudamah,
al-Mughni 6:563-564).
 
Jadi,  memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak
dibarengi dengan  upaya  "menikmati"  dan  bersyahwat.  Jika
dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena
itu,  Allah  menyuruh  kaum  mukminah  menundukkan  sebagian
pandangannya  sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan
sebagian pandangannya. Firman Allah:
 
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka
menahan   pendangannya,  dan  memelihara  kemaluannya;  yang
demikian itu adalah lebih  suci  bagi  mereka.  Sesungguhnya
Allah  Maha  Mengetahui  apa yang mereka perbuat. Katakanlah
kepada  wanita  yang  beriman,  'Hendaklah  mereka   menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya.'" (an-Nur: 30-31 )
 
Memang   benar  bahwa  wanita  dapat  membangkitkan  syahwat
laki-laki  lebih  banyak  daripada  laki-laki  membangkitkan
syahwat  wanita,  dan memang benar bahwa wanita lebih banyak
menarik laki-laki,  serta  wanitalah  yang  biasanya  dicari
laki-laki.  Namun, semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa
di antara laki-laki ada  yang  menarik  pandangan  dan  hati
wanita   karena   kegagahan,  ketampanan,  keperkasaan,  dan
kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain  yang  menarik
pandangan dan hati perempuan.
 
Al-Qur'an   telah   menceritakan  kepada  kita  kisah  istri
pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang  telah
menjadikannya  dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu
mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana
dia  menggoda  Yusuf  untuk  menundukkannya  seraya berkata,
"Marilah ke sini." Yusuf  berkata,  "Aku  berlindung  kepada
Allah." (An-Nur: 23)
 
Al-Qur'an  juga menceritakan kepada kita sikap wanita-wanita
kota ketika  pertama  kali  mereka  melihat  ketampanan  dan
keelokan serta keperkasaan Yusuf:
 
"Maka   tatkala  wanita  itu  (Zulaikha)  mendengar  cercaan
mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu  dan  disediakannya
bagi   mereka   tempat   duduk   dan   diberikannya   kepada
masing-masing mereka sebuah pisau (untuk  memotong  jamuan),
kemudian    dia    berkata    (kepada   Yusut),   'Keluarlah
(tampakkanlah   dirimu)   kepada   mereka.'   Maka   tatkala
wanita-wanita  itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan
rupa)-nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan  berkata,
'Maha  sempuma Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini
hanyalah malaikat yang mulia.' Wanita itu  berkata,  'Itulah
orang  yang  kamu  cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan
sesungguhnya  aku  telah  menggoda  dia  untuk   menundukkan
dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya
jika dia tidak menaati apa yang aku  perintahkan  kepadanya,
niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan
orang-orang yang hina." (Yusuf: 31-32)
 
Apabila  seorang  wanita  melihat  laki-laki  lantas  timbul
hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya.
Janganlah ia terus  memandangnya,  demi  menjauhi  timbulnya
fitnah,  dan  bahaya  itu  akan bertambah besar lagi bila si
laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta  dan  syahwat.
Pandangan  seperti  inilah  yang dinamakan dengan "pengantar
zina" dan yang disifati sebagai "panah iblis yang  beracun,"
dan ini pula yang dikatakan oleh penyair:
 
"Semua peristiwa (perzinaan) itu bermula dari memandang. Dan
api yang besar itu berasal dari percikan api yang kecil."
 
Akhirnya,  untuk  mendapat  keselamatan,  lebih  baik   kita
menjauhi   tempat-tempat   dan   hal-hal  yang  mendatangkan
keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah  keselamatan
dalam urusan agama dan dunia. Amin.
 
Catatan kaki:
 
1 Takhrijnya akan dibicarakan nanti.
2 Perlu diperhatikan bahwa Imam Bukhari men-ta'liq-kan
  (menyebutkan hadits secara langsung tanpa menyebutkan
  nama orang yang menyampaikan kepadanya) dengan menggunakan
  bentuk kata ruwiya (diriwayatkan), yang menunjukkan bahwa
  riwayat itu dha'if menurut beliau, sebagaimana dijelaskan
  dalam biografi beliau.
3 Dalam riwayat Muslim dikatakan, "Karena aku (Nabi saw.)
  tidak suka kerudungmu jatuh dari tubuhmu arau tersingkap
  betismu, lantas ada sebagian tubuhmu yang dilihat orang
  lain, yang engkau tidak menyukainya."
  Ini dimaksudkan bahwa Rasulullah saw. bersikap lemah
  lembut kepadanya dan hendak memberinya kemudahan sehingga
  dia sepanjang hari tidak menutup seluruh tubuhnya terus
  menerus kalau ia bertempat tinggal di rumah ummu Syuraik
  yang banyak tamunya. Sedangkan Ibnu ummi Maktum yang tuna
  netra itu tidak mungkin dapat melihatnya, sehingga dengan
  demikian dia mendapatkan sedikit keringanan.
4 Kalau yang dimaksud dengan "hijab" di sini ialah memakai
  cadar dan menutup wajah, maka hal ini perlu dikaji, dan kami
  telah memberikan penolakan secara rinci dalam fatwa kami
  tentang "Apakah Cadar itu Wajib?"
5 Setelah meriwayatkan hadits ini Abu Daud berkata, "Ini
  adalah untuk istri-istri Nabi saw, secara khusus, apakah
  tidak Anda perhatikan ber'iddahnya Fatimah binti Qais di
  sisi Ibnu Ummi Maktum?." Lihat Sunnan Abi Daud, hadits nomor
  4115.
 
                                                (Bagian 1/2)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team