Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIDASARKAN                    (2/2)
PADA DIAGNOSIS PENYAKIT JANIN [1]
 
Dr. Yusuf Qardhawi
 
Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal
bin  al-Hammam, berkata, "Ini berarti bahwa yang mereka maksud
dengan penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh,
sebab  jika  tidak demikian berarti keliru, karena pembentukan
itu telah dapat disaksikan sebelum waktu itu."12
 
Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui  oleh
ilmu pengetahuan sekarang.
 
Sedangkan pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertian
bahwa kebolehan menggugurkan kandungan  itu  tidak  bergantung
pada  izin  suami. Hal ini dinyatakan di dalam kitab ad-Durrul
Mukhtar:   "Mereka   berkata,   'Diperbolehkan    menggugurkan
kandungan  sebelum  berusia  empat  bulan, meskipun tanpa izin
suami.'"
 
Namun demikian, diantara  ulama  Hanafiyah  ada  yang  menolak
hukum  yang  memperbolehkan  pengguguran  secara  mutlak  itu,
mereka berkata, "Saya tidak  mengatakan  halal,  karena  orang
yang  sedang  ihram  saja  apabila memecahkan telur buruan itu
harus  menggantinya,  karena  itulah   hukum   asal   mengenai
pembunuhan.  Kalau  orang  yang melakukan ihram saja dikenakan
hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang  yang
menggugurkan kandungan tanpa udzur."
 
Diantara  mereka  ada  pula yang mengatakan makruh, karena air
(sperma) setelah masuk ke rahim belumlah hidup tapi  mempunyai
hukum  sebagai  manusia  hidup,  seperti halnya telur binatang
buruan  pada  waktu  ihram.  Karena  itu  ahli  tahqiq  mereka
berkata,  "Maka  kebolehan  menggugurkan  kandungan  itu harus
diartikan karena dalam keadaan udzur, atau  dengan  pengertian
bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh."13
 
Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak
memperbolehkan pengguguran, meskipun sebelum ditiupkannya ruh.
 
Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang  'azl
dan  mereka  anggap  hal  ini sebagai "pembunuhan terselubung"
sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan
bahwa  'azl  berarti  menghalangi  sebab-sebab kehidupan untuk
menuju realitas atau perwujudannya. Karena itu mereka melarang
menggugurkan  kandungan dan mengharamkannya dengan jalan qiyas
aulawi (maksudnya, kalau 'azl saja terlarang, maka pengguguran
lebih  terlarang  lagi),  karena  sebab-sebab kehidupan disini
telah terjadi dengan bertemunya sperma  laki-laki  dengan  sel
telur  perempuan  dan  terjadinya  pembuahan  yang menimbulkan
wujud makhluk baru yang  membawa  sifat-sifat  keturunan  yang
hanya Allah yang mengetahuinya.
 
Tetapi  ada  juga  ulama-ulama yang memperbolehkan 'azl karena
alasan-alasan yang berhubungan dengan ibu atau  anaknya  (yang
baru  dilahirkan), atau bisa juga karena pertimbangan keluarga
untuk  kebaikan  pendidikan  anak-anak,  atau  lainnya.  Namun
demikian, mereka tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan
menyamakannya dengan pembunuhan terselubung, meskipun  tingkat
kejahatannya berbeda.
 
Diantara  yang  berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya
lihat beliau  --meskipun  beliau  memperbolehkan  'azl  dengan
alasan-alasan  yang  akurat menurut beliau-- membedakan dengan
jelas   antara   menghalangi   kehamilan   dengan   'azl   dan
menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan:
 
"Hal  ini --mencegah kehamilan dengan 'azl-- tidak sama dengan
pengguguran dan pembunuhan terselubung;  sebab  yang  demikian
(pengguguran  dan  pembunuhan  terselubung)  merupakan  tindak
kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada, dan  wujud  itu
mempunyai  beberapa  tingkatan.  Tingkatan  yang pertama ialah
masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur  dengan
air   (mani)  perempuan  (ovum),  serta  siap  untuk  menerima
kehidupan.  Merusak  keadaan  ini   merupakan   suatu   tindak
kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka
kejahatan terhadapnya  lebih  buruk  lagi  tingkatannya.  Jika
telah  ditiupkan  ruh  padanya dan telah sempurna kejadiannya,
maka tingkat kejahatannya bertambah tinggi pula.  Dan  sebagai
puncak  kejahatan  terhadapnya  ialah  membunuhnya  setelah ia
lahir dalam keadaan hidup."14
 
Perlu  diperhatikan,  bahwa   Imam   al-Ghazali   rahimahullah
menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan terhadap wujud
manusia  yang  telah  ada,  tetapi  beliau   juga   menganggap
pertemuan   sperma   dengan   ovum   sebagai   "siap  menerima
kehidupan."
 
Nah, bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau  tahu  apa
yang  kita  ketahui  sekarang  bahwa  kehidupan  telah terjadi
semenjak bertemunya sel  sperma  laki-laki  dengan  sel  telur
wanita?
 
Karena  itu  saya  katakan, "Pada dasarnya hukum aborsi adalah
haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai  dengan
perkembangan kehidupan janin."
 
Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling
ringan, bahkan kadang-kadang  boleh  digugurkan  karena  udzur
yang  muktabar  (akurat); dan setelah kandungan berusia diatas
empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin  kuat,
karena  itu  tidak  boleh digugurkan kecuali karena udzur yang
lebih kuat lagi menurut ukuran  yang  ditetapkan  ahli  fiqih.
Keharaman  itu  bertambah  kuat  dan  berlipat  ganda  setelah
kehamilan berusia seratus dua puluh  hari,  yang  oleh  hadits
diistilahkan telah memasuki tahap "peniupan ruh."
 
Dalam  hal  ini  tidak  diperbolehkan  menggugurkannya kecuali
dalam  keadaan  benar-benar  sangat  darurat,  dengan   syarat
kedaruratan  yang  pasti, bukan sekadar persangkaan. Maka jika
sudah pasti, sesuatu yang  diperbolehkan  karena  darurat  itu
harus diukur dengan kadar kedaruratannya.
 
Menurut  pendapat  saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam
satu bentuk saja, yaitu  keberadaan  janin  apabila  dibiarkan
akan   mengancam   kehidupan  si  ibu,  karena  ibu  merupakan
pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan  janin  sebagai  fara'
(cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi
kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan  syara'
juga cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang.
 
Tetapi  ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan
tidak memperbolehkan tindak kejahatan  (pengguguran)  terhadap
janin  yang  hidup  dengan alasan apa pun. Didalam kitab-kitab
mazhab Hanafi disebutkan:
 
"Bagi wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang
dan     tidak     mungkin     dikeluarkan    kecuali    dengan
memotong-motongnya,  yang  apabila  tidak  dilakukan  tindakan
seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan kematian si ibu ...
mereka  berpendapat,  'Jika  anak  itu  sudah  dalam   keadaan
meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika masih
hidup maka tidak boleh memotongnya karena  menghidupkan  suatu
jiwa  dengan  membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam
syara'.'"15
 
Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan
syara',  yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya
dan lebih kecil mafsadatnya.
 
Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran  lain
dari kasus di atas, yaitu:
 
"Adanya  ketetapan  secara  ilmiah yang menegaskan bahwa janin
--sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala-- akan menghadapi  kondisi
yang  buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan tersiksanya
kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah:
 
    "Bahaya itu ditolak sedapat mungkin."
 
Tetapi  hendaknya  hal  ini  ditetapkan  oleh  beberapa  orang
dokter, bukan cuma seorang.
 
Pendapat  yang  kuat  menyebutkan  bahwa  janin  setelah genap
berusia empat bulan adalah manusia hidup yang  sempurna.  Maka
melakukan  tindak  kejahatan terhadapnya sama dengan melakukan
tindak kejahatan terhadap anak yang sudah dilahirkan.
 
Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami
kondisi  yang  sangat  buruk  dan  membahayakan biasanya tidak
bertahan hidup setelah  dilahirkan,  sebagaimana  sering  kita
saksikan,  dan  sebagaimana  dinyatakan oleh para spesialisnya
sendiri.
 
Hanya saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya.
Saya  kemukakan  disini  suatu  peristiwa  yang  saya terlibat
didalamnya, yang  terjadi  beberapa  tahun  silam.  Yaitu  ada
seorang  teman  yang  berdomisili  di  salah satu negara Barat
meminta  fatwa  kepada  saya  sehubungan  para  dokter   telah
menetapkan  bahwa janin yang dikandung istrinya --yang berusia
lima bulan-- akan lahir dalam  kondisi  yang  amat  buruk.  Ia
menjelaskan  bahwa  pendapat  dokter-dokter  itu hanya melalui
dugaan yang kuat, tidak  ditetapkan  secara  meyakinkan.  Maka
jawaban  saya  kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah
dan menyerahkan ketentuan  urusan  itu  kepadaNya,  barangkali
dugaan  dokter  itu  tidak  tepat. Tidak terasa beberapa bulan
berikutnya saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang  berisi
foto  seorang  anak  yang  molek  yang  disertai komentar oleh
ayahnya yang berbunyi demikian:
 
"Pamanda yang terhormat,
 
Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur  kepada  Allah
Ta'ala,  bahwa  engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari
pisau  para  dokter  bedah.  Fatwamu   telah   menjadi   sebab
kehidupanku,  karena  itu saya tidak akan melupakan kebaikanmu
ini selama saya masih hidup."
 
Kemajuan  ilmu  kedokteran  sekarang  telah  mampu  mendeteksi
kerusakan  (cacat)  janin  sebelum berusia empat bulan sebelum
mencapai tahap  ditiupkannya  ruh.  Namun  demikian,  tidaklah
dipandang  akurat  jika  dokter  membuat  dugaan bahwa setelah
lahir nanti si janin (anak)  akan  mengalami  cacat  --seperti
buta,  tuli, bisu-- dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan
digugurkannya  kandungan.  Sebab   cacat-cacat   seperti   itu
merupakan  penyakit  yang  sudah  dikenal  di  masyarakat luas
sepanjang kehidupan manusia dan disandang banyak  orang,  lagi
pula  tidak  menghalangi  mereka  untuk bersamasama orang lain
memikul  beban  kehidupan  ini.  Bahkan  manusia  banyak  yang
mengenal  (melihat)  kelebihan para penyandang cacat ini, yang
nama-nama mereka terukir dalam sejarah.
 
Selain itu, kita tidak boleh mempunyai  keyakinan  bahwa  ilmu
pengetahuan  manusia  dengan segala kemampuan dan peralatannya
akan dapat mengubah tabiat kehidupan manusia yang diberlakukan
Allah sebagai ujian dan cobaan:
 
    "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
    setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya
    ..." (al-Insan: 2)
 
    "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada
    dalam susah payah." (al-Balad: 4)
 
Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi  pada  zaman  kita
sekarang  ini  telah  turut  andil  dalam memberikan pelajaran
kepada   orang-orang   cacat   untuk   meraih   keberuntungan,
sebagaimana   keduanya  telah  turut  andil  untuk  memudahkan
kehidupan mereka.  Dan  banyak  diantara  mereka  (orang-orang
cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan seperti
orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan  sunnah-Nya  Allah
mengganti  mereka  dengan  beberapa karunia dan kemampuan lain
yang luar biasa.
 
Allah berfirman dengan kebenaran,  dan  Dia-lah  yang  memberi
petunjuk ke jalan yang lurus.
 
CATATAN KAKI:
 
  1 Fatwa ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang
    diajukan oleh Yayasan Islam untuk Ilmu-ilmu Kedokteran,
    di Kuwait, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh para
    fuqaha dan para dokter tentang berbagai masalah
    kedokteran yang bersentuhan dengan pandangan syara'.
 
  2 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, hlm. 550.
 
  3 Ibid., juz 6, hlm. 556-557.
 
  4 Al-Muhalla, juz 11.
 
  5 Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya, "Kitab
    al-Qadar," "Bab Kaifiyyatu Khalqil-Adamiyyi fi Bathni
    Ummihi," hadits nomor 2645.
 
  6 Yang mengagumkan, ilmu kandungan dan anatomi setelah
    mengalami kemajuan seperti sekarang menetapkan bahwa
    janin setelah berusia empat puluh dua malam memasuki
    tahap baru dan perkembangan yang lain.
 
  7 Fathul-Bari juz 14, hlm. 284, terbitan al-Halabi.
 
  8 Sebagian ulama Syafi'iyah --sebagaimana disebutkan
    dalam Hasyiyah asy-Syarwani 'ala Ibni Qasim, juz 9 hlm.
    4-- menganggap bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan
    menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh. Ini
    benar-benar kekeliruan terhadap beliau dan mazhab
    beliau. Kitab-kitab mazhab Hanafi menentang pendapat
    ini.
 
  9 Fathul-Bari, juz 11, hlm. 222, terbitan al-Halabi.
 
 10 Nihayah al-Muhta; karya ar-Ramli, juz 8, hlm. 416
    terbitan al-Halabi.
 
 11 Al-Bahrur-Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm 233
    Darul-Ma'rifah, Beirut.
 
 12 Fathul-Qadir, juz 2 hlm 495, terbitan Bulaq.
 
 13 Ad-Durrul-Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu Abidin 'Alaih,
    juz 2, hlm. 380. terbitan Bulaq.
 
 14 Ihya 'Ulumuddin, "Bagian Ibadat," "Kitab Nikah,"
    hlm. 737, terbitan Asy-Sya'b.
 
 15 Al-Bahrur Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm. 233.
 
-----------------------                      (Bagian 1/2, 2/2)
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team