Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

FITNAH DAN SUARA WANITA              Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Sebagian  orang  berprasangka  buruk  terhadap  wanita.
Mereka  menganggap wanita sebagai sumber segala bencana
dan fitnah. Jika terjadi suatu bencana, mereka berkata,
"Periksalah   kaum   wanita!"   Bahkan  ada  pula  yang
berkomentar,   "Wanita   merupakan   sebab   terjadinya
penderitaan  manusia  sejak  zaman bapak manusia (Adam)
hingga sekarang, karena wanitalah yang  mendorong  Adam
untuk memakan buah terlarang hingga dikeluarkannya dari
surga dan terjadilah penderitaan dan kesengsaraan  atas
dirinya dan diri kita sekarang."
 
Anehnya,  mereka  juga  mengemukakan  dalil-dalil agama
untuk menguatkan pendapatnya  itu,  yang  kadang-kadang
tidak  sahih,  dan adakalanya - meskipun sahih - mereka
pahami   secara   tidak   benar,    seperti    terhadap
hadits-hadits  yang  berisi  peringatan terhadap fitnah
wanita, misalnya sabda Rasulullah saw:
 
"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku  suatu  fitnah  yang
lebih  membahayakan  bagi  laki-laki  daripada (fitnah)
perempuan."
 
Apakah maksud hadits tersebut  dan  hadits-hadits  lain
yang  seperti itu? Hadits-hadits tersebut kadang-kadang
dibawakan oleh para  penceramah  dan  khatib,  sehingga
dijadikan  alat oleh suatu kaum untuk menjelek-jelekkan
kaum   wanita   dan   oleh    sebagian    lagi    untuk
menjelek-jelekkan Islam. Mereka menuduh Islam itu dusta
(palsu)  karena  bersikap  keras  terhadap  wanita  dan
kadang-kadang bersikap zalim.
 
Mereka  juga  mengatakan,  "Sesungguhnya suara wanita -
sebagaimana wajahnya - adalah  aurat.  Wanita  dikurung
dalam rumah sampai meninggal dunia."
 
Kami  yakin  bahwa  tidak ada agama seperti Islam, yang
menyadarkan kaum wanita, melindunginya,  memuliakannya,
dan  memberikan  hak-hak  kepadanya.  Namun, kami tidak
memiliki penjelasan dan dalil-dalil sebagai yang Ustadz
miliki.   Karena   itu,  kami  mengharap  ustadz  dapat
menjelaskan makna dan maksud hadits-hadits  ini  kepada
orang-orang yang tidak mengerti Islam atau berpura-pura
tidak mengerti.
 
Semoga Allah menambah  petunjuk  dan  taufik-Nya  untuk
Ustadz  dan  menebar  manfaat  ilmu-Nya melalui Ustadz.
Amin.
 
JAWABAN
 
Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit  atau  agama
bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan
haknya, dan  menyayanginya.  Islam  memuliakan  wanita,
memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai manusia.
Islam  memuliakan  wanita,   memberikan   haknya,   dan
memeliharanya sebagai anak perempuan.
 
Islam   memuliakan   wanita,   memberikan  haknya,  dan
memeliharanya sebagai istri. Islam  memuliakan  wanita,
memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai ibu. Dan
Islam  memuliakan  wanita,   memberikan   haknya,   dan
memelihara    serta   melindunginya   sebagai   anggota
masyarakat.
 
Islam memuliakan wanita  sebagai  manusia  yang  diberi
tugas  (taklif)  dan  tanggung  jawab yang utuh seperti
halnya laki-laki, yang kelak  akan  mendapatkan  pahala
atau  siksa  sebagai  balasannya.  Tugas yang mula-mula
diberikan  Allah  kepada  manusia  bukan  khusus  untuk
laki-laki,  tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan
istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)
 
Perlu diketahui bahwa tidak ada satu  pun  nash  Islam,
baik   Al-Qur'an   maupun   As-Sunnah   sahihah,   yang
mengatakan bahwa  wanita  (Hawa;  penj.)  yang  menjadi
penyebab  diusirnya  laki-laki  (Adam)  dari  surga dan
menjadi  penyebab  penderitaan  anak   cucunya   kelak,
sebagaimana  disebutkan  dalam  Kitab  Perjanjian Lama.
Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama
yang  dimintai  pertanggungjawaban (lihat kembali surat
Thaha: 115-122).
 
Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam  yang
merendahkan   kaum   wanita   dengan   cara  mengurangi
hak-haknya  serta  mengharamkannya  dari  apa-apa  yang
telah   ditetapkan   syara'.  Padahal,  syari'at  Islam
sendiri telah menempatkan  wanita  pada  proporsi  yang
sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan,
sebagai anak perempuan,  sebagai  istri,  atau  sebagai
ibu.
 
Yang  lebih  memprihatinkan,  sikap  merendahkan wanita
tersebut sering  disampaikan  dengan  mengatas  namakan
agama  (Islam),  padahal  Islam  bebas  dari semua itu.
Orang-orang yang bersikap  demikian  kerap  menisbatkan
pendapatnya  dengan  hadits  Nabi  saw.  yang berbunyi:
"Bermusyawarahlah   dengan   kaum    wanita    kemudian
langgarlah (selisihlah)."
 
Hadits   ini  sebenarnya  palsu  (maudhu').  Tidak  ada
nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya  ditinjau
dari segi ilmu (hadits).
 
Yang  benar,  Nabi  saw.  pernah  bermusyawarah  dengan
istrinya,  Ummu  Salamah,  dalam  satu  urusan  penting
mengenai   umat.   Lalu   Ummu   Salamah   mengemukakan
pemikirannya, dan  Rasulullah  pun  menerimanya  dengan
rela  serta  sadar,  dan  ternyata dalam pemikiran Ummu
Salamah terdapat kebaikan dan berkah.
 
Mereka,  yang  merendahkan  wanita  itu,  juga   sering
menisbatkan  kepada  perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa
"Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala  kejelekan
itu berpangkal dari wanita."
 
Perkataan  ini  tidak  dapat  diterima  sama sekali; ia
bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.1
 
Bagaimana  bisa  terjadi  diskriminasi   seperti   itu,
sedangkan  Al-Qur'an selalu menyejajarkan muslim dengan
muslimah,  wanita  beriman  dengan  laki-laki  beriman,
wanita  yang  taat  dengan  laki-laki  yang  taat,  dan
seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.
 
Mereka juga mengatakan bahwa suara  wanita  itu  aurat,
karenanya   tidak   boleh  wanita  berkata-kata  kepada
laki-laki selain suami  atau  mahramnya.  Sebab,  suara
dengan  tabiatnya  yang  merdu dapat menimbulkan fitnah
dan membangkitkan syahwat.
 
Ketika kami tanyakan dalil yang dapat  dijadikan  acuan
dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.
 
Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan
laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw.  dari
balik    tabir?   Bukankah   isteri-isteri   Nabi   itu
mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang  lebih  berat
daripada  istri-istri  yang lain, sehingga ada beberapa
perkara  yang  diharamkan  kepada  mereka  yang   tidak
diharamkan  kepada selain mereka? Namun demikian, Allah
berfirman:
 
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri  Nabi),  maka mintalah dari belakang tabir
..."(al-Ahzab: 53)
 
Permintaan atau  pertanyaan  (dari  para  sahabat)  itu
sudah  tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin
(ibunya kaum mukmin: istri-istri  Nabi).  Mereka  biasa
memberi  fatwa  kepada  orang yang meminta fatwa kepada
mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang  yang
ingin mengambil hadits mereka.
 
Pernah  ada  seorang  wanita  bertanya kepada Nabi saw.
dihadapan kaum laki-laki.  Ia  tidak  merasa  keberatan
melakukan  hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan
pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar
ketika  Umar  sedang  berpidato  di  atas  mimbar. Atas
sanggahan itu, Umar  tidak  mengingkarinya,  bahkan  ia
mengakui   kebenaran   wanita   tersebut  dan  mengakui
kesalahannya  sendiri  seraya  berkata,  "Semua   orang
(bisa) lebih mengerti daripada Umar."
 
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang
syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.)  yang  berkata
kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:
 
"...   Sesungguhnya  bapakku  memanggil  kamu  agar  ia
memberi balasan terhadap  (kebaikan)-mu  memberi  minum
(ternak) kami ..." (al-Qashash: 25)
 
Sebelum  itu,  wanita tersebut dan saudara perempuannya
juga berkata kepada Musa ketika  Musa  bertanya  kepada
mereka:
 
"...  Apakah  maksudmu  (dengan  berbuat begitu)? Kedua
wanita  itu  menjawab,  'Kami  tidak  dapat  meminumkan
(ternak   kami),  sebelum  penggembala-penggembala  itu
memulangkan (ternaknya), sedangkan  bapak  kami  adalah
orang tua yang telah lanjut usianya." (al-Qashash: 23)
 
Selanjutnya,  Al-Qur'an  juga  menceritakan kepada kita
percakapan  yang  terjadi  antara  Nabi  Sulaiman  a.s.
dengan  Ratu  Saba,  serta  percakapan sang Ratu dengan
kaumnya yang laki-laki.
 
Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi  sebelum
kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak
menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.
 
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan  pembicaraan
untuk    menarik   laki-laki,   yang   oleh   Al-Qur'an
diistilahkan      dengan       al-khudhu       bil-qaul
(tunduk/lunak/memikat   dalam  berbicara),  sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah:
 
"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian  tidaklah  seperti
wanita  yang  lain,  jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk dalam  berbicara  sehingga  berkeinginanlah
orang  yang  ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)
 
Allah melarang khudhu,  yakni  cara  bicara  yang  bisa
membangkitkan    nafsu    orang-orang    yang   hatinya
"berpenyakit." Namun, dengan ini  bukan  berarti  Allah
melarang   semua   pembicaraan   wanita  dengan  setiap
laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:
 
"Dan ucapkanlah perkataan yang baik"
 
Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami
hadits   dengan   salah.   Hadits-hadits   yang  mereka
sampaikan antara lain yang  diriwayatkan  Imam  Bukhari
bahwa Nabi saw. bersabda:
 
"Tidaklah  aku  tinggalkan  sesudahku suatu fitnah yang
lebih membahayakan  bagi  laki-laki  daripada  (fitnah)
wanita."
 
Mereka  telah  salah  paham.  Kata  fitnah dalam hadits
diatas mereka artikan  dengan  "wanita  itu  jelek  dan
merupakan  azab,  ancaman, atau musibah yang ditimpakan
manusia   seperti   ditimpa    kemiskinan,    penyakit,
kelaparan,   dan  ketakutan."  Mereka  melupakan  suatu
masalah yang  penting,  yaitu  bahwa  manusia  difitnah
(diuji)  dengan  kenikmatan lebih banyak daripada diuji
dengan musibah. Allah berfirman:
 
"...  Kami  akan  menguji  kamu  dengan  keburukan  dan
kebaikan  sebagai  cobaan (yang sebenar-benarnya) ...."
(al-Anbiya: 35)
 
Al-Qur'an juga menyebutkan harta dan anak-anak  -  yang
merupakan  kenikmatan  hidup  dunia  dan perhiasannya -
sebagai  fitnah  yang  harus  diwaspadai,   sebagaimana
firman Allah:
 
"Sesungguhnya  hartamu  dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu)..." (at-Taghabun: 15)
 
"Dan  ketabuilah  bahwa  hartamu  dan  anak-anakmu  itu
hanyalah sebagai cobaan ..." (al-Anfal: 28)
 
Fitnah  harta  dan  anak-anak  itu  ialah kadang-kadang
harta atau anak-anak melalaikan manusia dari  kewajiban
kepada  Tuhannya  dan  melupakan akhirat. Dalam hal ini
Allah berfirman:
 
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah  harta-hartamu
dan  anak-anakmu  melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang membuat demikian, maka  mereka  itulah
orang-orang yang rugi." (al-Munaafiqun: 9)
 
Sebagaimana  dikhawatirkan  manusia akan terfitnah oleh
harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah
oleh  wanita,  terfitnah  oleh  istri-istri mereka yang
menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan,  dan
menyibukkan   mereka   dengan   kepentingan-kepentingan
khusus (pribadi/keluarga) dan  melalaikan  mereka  dari
kepentingan-kepentingan    umum.   Mengenai   hal   ini
Al-Qur'an memperingatkan:
 
"Hai   orang-orang   beriman,   sesungguhnya   diantara
istri-istrimu  dan  anak-anakmu  ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka  ..."
(at-Taghabun: 14)
 
Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi
alat  untuk  membangkitkan  nafsu  dan  syahwat   serta
menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini
merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan  dapat
menghancurkan   akhlak,   mengotori   harga  diri,  dan
menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.
 
Peringatan untuk berhati-hati  terhadap  wanita  disini
seperti    peringatan   untuk   berhati-hati   terhadap
kenikmatan harta,  kemakmuran,  dan  kesenangan  hidup,
sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:
 
"Demi  Allah,  bukan  kemiskinan yang aku takutkan atas
kamu,  tetapi  yang  aku  takutkan  ialah   dilimpahkan
(kekayaan)  dunia  untuk  kamu  sebagaimana dilimpahkan
untuk   orang-orang   sebelum   kamu,    lantas    kamu
memperebutkannya      sebagaimana     mereka     dahulu
berlomba-lomba  memperebutkannya,  lantas  kamu  binasa
karenanya  sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya."
(Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)
 
Dari hadits ini tidak  berarti  bahwa  Rasulullah  saw.
hendak  menyebarkan  kemiskinan,  tetapi  beliau justru
memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan  itu,
dan  mendampingkan  kemiskinan  dengan  kekafiran. Juga
tidak  berarti  bahwa  beliau  tidak  menyukai  umatnya
mendapatkan  kelimpahan  dan  kemakmuran  harta, karena
beliau sendiri pernah bersabda:
 
"Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik"  (HR.
Ahmad  4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2,
dan Hakim mengesahkannya  menurut  syarat  Muslim,  dan
komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)
 
Dengan  hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan
lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan
(kehidupan)  yang  licin dan berbahaya agar kaki mereka
tidak terpeleset dan terjatuh  ke  dalam  jurang  tanpa
mereka sadari.
 
Catatan kaki:
 
1 Perkataan ini sudah kami sangkal dalam
  Fatwa-fatwa Kontemporer  jilid I ini.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team