Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

TENTANG KAIDAH "KITA BANTU-MEMBANTU DALAM              (2/2)
MASALAH YANG KITA SEPAKATI, DAN BERSIKAP TOLERAN
DALAM MASALAH YANG KITA PERSELISIHKAN"    Dr. Yusuf Qardhawi
 
Misalnya saja dilalah amr (petunjuk perintah). Apakah sighat
amr  (perintah)  itu  menunjukkan wajib? Atau mustahab? Atau
boleh  jadi  wajib  dan  boleh  jadi  mustahab?  Atau  tidak
menunjukkan  suatu  hukum  pun  kecuali jika disertai dengan
qarinah (indikasi)  tertentu?  Atau  apakah  hukum  perintah
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah itu berbeda?
 
Kurang  lebih,  ada tujuh pendapat mengenai dilalah amr yang
dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih,  yang  masing-masing
mempunyai dalil dan argumentasi.
 
Misalnya mengenai hadits:
 
"Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot." (HR Bukhari)
 
"Sesungguhnya  orang-orang  Yahudi  dan  Nasrani  tidak  mau
menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan  mereka."
(HR Bukhari)
 
"Barangsiapa yang mempunyai kelebihan tempat kendaraan, maka
hendaklah ia memberikannya kepada orang yang tidak mempunyai
kendaraan."
 
"Sebutlah  nama  Allah,  dan makanlah dengan tangan kananmu,
dan makanlah dari apa yang dekat denganmu." (HR Bukhari)
 
Apakah perintah-perintah dalam hadits  di  atas  menunjukkan
hukum  wajib,  mustahab,  atau  untuk  membimbing saja? Atau
masing-masing perintah  mempunyai  hukum  tersendiri  sesuai
dengan petunjuk susunan kalimat dan indikasinya?
 
Demikian  pula  tentang  dilalah  nahyu  (larangan).  Apakah
larangan itu menunjukkan hukum haram, makruh,  atau  mungkin
haram dan mungkin makruh, atau tidak menunjukkan suatu hukum
kecuali jika disertai dengan  qarinah  khusus?  Atau  apakah
hukum  yang  dimunculkan  oleh  larangan dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah itu berbeda?
 
Dalam masalah ini juga ada tujuh pendapat  sebagaimana  yang
dimuat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
 
Disamping  itu,  juga  terdapat  perbedaan pendapat mengenai
'aam dan khash, mutlaq  dan  muqayyad,  mantuq  dan  mafhum,
muhkam dan mansukh, dan sebagainya.
 
Karena itu, kadang-kadang ada masalah yang dari segi prinsip
telah   disepakati,    tetapi    dari    segi    pelaksanaan
diperselisihkan.   Kadang-kadang   keduanya   telah  sepakat
tentang boleh dan  adanya  nasakh,  namun  berbeda  pendapat
dalam nash tertentu. Apakah dia mansukh atau tidak?
 
Contohnya,  hadits:  "Telah  berbuka orang yang membekam dan
yang dibekam"1 dan hadits tentang jatuhnya talak  tiga  yang
diucapkan  sekaligus dengan dihitung sebagai talak satu saja
pada zaman Rasulullah saw., Abu Bakar,  dan  pada  permulaan
kekuasaan Umar.
 
Kadang-kadang  kedua  belah  pihak  telah  sepakat bahwa ada
sebagian  perkataan  dan  perbuatan  dari  Nabi  saw.  dalam
kapasitasnya  sebagai  imam  dan  pemimpin  umat  yang tidak
termasuk tasyri' umum yang abadi  bagi  umat,  tetapi  kedua
pihak  berbeda  pendapat  mengenai  perkataan atau perbuatan
tertentu, apakah termasuk kedalam bab ini ataukah tidak.
 
Misalnya apa yang disebutkan Imam al-Qarafi  dalam  kitabnya
Al-Faruq dan Al-Ahkam mengenai sabda Nabi saw.:
 
"Barangsiapa membunuh seseorang (kafir), maka ia berhak atas
barangnya (pakaiannya, senjatanya, kendaraannya)."
 
"Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati,  maka  tanah
itu untuknya."
 
Apakah  datangnya  hadits  ini  sebagai  tabligh  dari Allah
sehingga ia  merupakan  tasyri'  umum  yang  abadi?  Ataukah
datang  dari beliau saw. dalam kapasitasnya sebagai pemimpin
umat dan kepala  negara  serta  sebagai  panglima  tertinggi
dalam  peperangan,  sehingga  hukum  yang dikandungnya tidak
dapat dilaksanakan kecuali jika ada ketetapan dari  panglima
atau penguasa?
 
Para  fuqaha  berbeda  pendapat tentang mekanismenya, karena
itu mereka juga berbeda pendapat mengenai hukumnya.
 
Adakalanya kedua pihak  sepakat  bahwa  diantara  sabda  dan
tindakan  Rasulullah  saw.  itu  ada yang tidak termasuk bab
tasyri' agama yang bersifat ta'abbudi,  melainkan  merupakan
urusan  dunia  yang  diserahkan  kepada  kemampuan dan usaha
manusia. Misalnya,  sabda  beliau  yang  diriwayatkan  dalam
kitab ash-Shahih:
 
"Kamu lebih mengerti tentang urusan duniamu."
 
Namun,   mereka   berbeda  pendapat  tentang  perkataan  dan
tindakan tertentu, apakah ia termasuk urusan dunia yang kita
tidak diwajibkan mengikutinya, ataukah termasuk urusan agama
yang kita tidak boleh  keluar  daripadanya.  Misalnya,  yang
berkenaan  dengan  beberapa  masalah  medis  yang disebutkan
dalam beberapa hadits, yang oleh  Imam  ad-Dahlawi  dianggap
sebagai  urusan  dunia, sementara oleh yang lain dianggapnya
sebagai urusan agama dan syara' yang wajib dipatuhi.
 
Ada pula sebab terpenting yang memicu  terjadinya  perbedaan
pendapat   dalam   menafsirkan   dan  memahami  nash,  yaitu
perbedaan  antara  madrasah  "azh-Zhawahir"   dan   madrasah
"al-Maqashid,"  yakni lembaga pendidikan yang berpegang pada
zhahir nash dan terikat dengan bunyi teks dalam memahaminya,
serta  lembaga  pendidikan yang mementingkan kandungan nash,
jiwa, dan maksud/tujuannya. Begitu pentingnya maka  sehingga
kadang-kadang  ia keluar dari zhahir dan harfiyah nash, demi
mewujudkan apa yang dipandangnya sebagai maksud  dan  tujuan
nash.
 
Kedua  madrasah  (lembaga  pendidikan)  ini  senantiasa  ada
didalam kehidupan dalam segala urusan.  Bahkan  dalam  hukum
atau  undang-undang  wadh'iyyah  (buatan  manusia) juga kita
dapati para pemberi penjelasan berbeda pendapat antara  yang
satu  dan  yang lain. Ada yang menekankan bunyi teks dan ada
yang menitikberatkan pada kandungannya,  atau  antara  pihak
yang mempersempit dan memperluas.
 
Islam   -   sebagai   agama  waqi'i  (realistis)  -  memberi
kelapangan kepada kedua madrasah itu  dan  tidak  menganggap
salah   satunya   keluar   dari   Islam,  meskipun  Madrasah
"al-Maqashid"   itulah   menurut    pendapat    kami    yang
mengungkapkan hakikat Islam, dengan syarat tidak mengabaikan
nash-nash juz'iyyah secara keseluruhan.
 
Dalam  sunnah  Rasul  saw.  sendiri  terdapat  sesuatu  yang
mendukung  diterimanya  perbedaan pendapat semacam ini dalam
suatu peristiwa yang terkenal, yaitu peristiwa  shalat  asar
di Bani Quraizhah, setelah usai perang Ahzab.
 
Imam  Bukhari  meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda pada hari perang Ahzab:
 
"Jangan sekali-kali seseorang melakukan shalat asar  kecuali
di (perkampungan) Bani Quraizhah."
 
Sebagian mereka mendapatkan waktu ashar ditengah perjalanan.
Lalu mereka berkata, "Kami tidak akan  shalat  asar  kecuali
setelah  kami  datang  di Bani Quraizhah." Dan sebagian lagi
berkata, "Kami akan melakukan shalat asar, karena bukan  itu
yang  dimaksudkan  Rasulullah  saw. terhadap kita." Kemudian
peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah saw., maka beliau
tidak mencela salah satunya."2
 
Al-Allamah  Ibnul  Qayyim  berkata  di  dalam kitabnya Zadul
Ma'ad sebagai berikut:
 
"Para fuqaha berbeda  pendapat:  manakah  yang  benar.  Satu
golongan  mengatakan,  'Orang  yang  mengakhirkan  (menunda)
shalatnya itulah yang benar. Seandainya kami bersama mereka,
niscaya  kami  juga  mengakhirkannya sebagaimana yang mereka
lakukan, dan  tidaklah  kami  melakukan  shalat  kecuali  di
kampung   Bani   Quraizhah   demi  melaksanakan  perintahnya
(Rasul), dan meninggalkan takwil  yang  bertentangan  dengan
zhahir.'
 
Golongan  lain  berkata,  'Bahkan orang-orang yang melakukan
shalat  di  tengah  perjalanan  pada  waktunya  itulah  yang
mendapatkan  keunggulan.  Mereka berbahagia mendapatkan tiga
keutamaan sekaligus, yakni bersegera  melaksanakan  perintah
Rasul  untuk  keluar,  bersegera mendapatkan keridhaan Allah
dengan  melakukan  shalat  pada  waktunya,   dan   bersegera
menjumpai kaum yang dituju.'
 
Dengan   demikian,   mereka   memperoleh   keutamaan  jihad,
keutamaan  shalat   pada   waktunya,   mengerti   apa   yang
dikehendaki,  dan  mereka  lebih  pandai daripada yang lain.
Apalagi shalatnya itu  adalah  shalat  asar  yang  merupakan
shalat  wustha  berdasarkan  nash Rasulullah saw. yang sahih
dan sharih (jelas). Nash seperti itu tidak dapat ditolak dan
disangkal  lagi.  Ia  merupakan  sunnah yang datang menyuruh
manusia  untuk  memeliharanya,  bersegera   kepadanya,   dan
melaksanakan     pada     awal     waktunya.     Barangsiapa
meninggalkannya, ia akan rugi  seperti  ia  kehilangan  anak
istrinya   (keluarganya)   dan   hartanya.3  Jadi,  hal  ini
merupakan perintah yang tidak diterapkan pada amalan lain.
 
Adapun  orang-orang  yang  mengakhirkannya,   mungkin   saja
dimaafkan  atau  diberi  satu  pahala karena berpegang teguh
pada zhahir nash dan bermaksud mejalankan  perintah.  Namun,
tidak  bisa  dikatakan mereka benar dan orang yang bersegera
melakukan  shalat  serta  jihad  itu  salah.   Mereka   yang
melaksanakan   shalat   di   tengah   jalan,  berarti  telah
menghimpun  antara  beberapa  dalil  dan   mendapatkan   dua
keutamaan.  Kalau  mereka  mendapatkan dua pahala, maka yang
lain pun mendapatkan pahala.  Mudah-mudahan  Allah  meridhai
mereka."4
 
Maksud  dari  semua  penjelasan  itu ialah: bahwa orang yang
menentang kita dalam masalah yang ada nashnya  (yang  qath'i
tsubut  dan  dilalah-nya),  maka ia tidak boleh kita tolerir
sama  sekali.  Sebab,   masalah-masalah   qath'iyyah   (yang
didasarkan  pada  dalil-dalil  qath' tsubut dan dilalah-nya)
bukanlah  lapangan  ijtihad,  karena  sesungguhnya  lapangan
ijtihad  hanyalah  dalam  masalah-masalah  zhanniyyah  (yang
didasarkan pada dalil zhanni).
 
Membuka  pintu  ijtihad  untuk  masalah-masalah   qath'iyyah
berarti  membuka  pintu  kejahatan dan fitnah atas umat. Hal
itu tidak  ada  yang  mengetahui  akibatnya  kecuali  Allah,
karena  qath'iyyat itulah yang menjadi tempat kembali ketika
terjadi  pertentangan  dan  perselisihan.  Apabila   masalah
qath'iyyah  ini menjadi ajang pertentangan dan perselisihan,
maka sudah tidak ada lagi ditangan  kita  ini  sesuatu  yang
kita jadikan tempat berhukum dan kita jadikan sandaran.
 
Telah  saya  peringatkan  dalam  beberapa  kitab  saya bahwa
diantara  fitnah  dan  pemikiran  yang  sangat  membahayakan
kehidupan  agama  dan  peradaban  kita ialah memutarbalikkan
masalah-masalah   qath'iyyah    sebagai    zhanniyyah    dan
perkara-perkara    (dalil-dalil)    yang    muhkam   sebagai
mutasyabihah
 
Bahkan adakalanya menentang sebagian masalah qath'iyyah  itu
termasuk  kafir  yang  terang-terangan,  yaitu  bila  sampai
mengenai apa yang dinamakan  oleh  ulama-ulama  kita  dengan
istilah  "al-ma'lum  minad-din  bidh-dharurah"  (yang  sudah
diketahui dari agama  dengan  pasti).  Maksudnya,  apa  yang
telah  disepakati  hukumnya  oleh  umat Islam, dan sama-sama
diketahui oleh orang pandai dan orang awam, seperti fardunya
zakat  dan  puasa,  haramnya  riba  dan  minum  khamar,  dan
lain-lain yang merupakan ketentuan Dinul Islam yang pasti.
 
Adapun terhadap orang  yang  berbeda  pendapat  dengan  kita
mengenai  nash yang zhanni - karena satu atau beberapa sebab
- kita perlu bersikap toleran meskipun kita tidak sependapat
dengan  mereka  Mengenai sebab-sebab itu telah saya sebutkan
atau bisa juga melihat uraian Syekhul  Islam  Ibnu  Taimiyah
dalam  kitabnya Raf'ul-Malam 'an Aimmatil-A'lam. Dalam kitab
ini beliau menyebutkan  sepuluh  sebab  atau  alasan,  namun
beliau  tidak  menggunakan  nash  atau  hadits tertentu. Ini
menunjukkan keluhuran ilmu dan kesadaran beliau r.a..
 
Begitulah  seharusnya  sikap  kita,  yaitu   sikap   tasamuh
(toleran)  terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan
kita selama mereka mempunyai sandaran  yang  mereka  jadikan
pegangan  dan  mereka merasa mantap dengannya, walaupun kita
berbeda pendapat dengan  mereka  dalam  mentarjih  apa  yang
mereka tarjihkan.
 
Betapa  banyak  pendapat  yang  pada mulanya dianggap lemah,
ditinggalkan, atau dianggap aneh, ganjil,  kemudian  menjadi
kuat   setelah   Allah   menyediakan   untuknya  orang  yang
menolongnya, menguatkannya, dan mempopulerkannya. Salah satu
contoh  dapat kita lihat dengan jelas pendapat-pendapat Imam
Ibnu Taimiyah, khususnya  dalam  masalah-masalah  talak  dan
yang  berhubungan  dengannya. Banyak ulama muslimin dan ahli
fatwa yang menyukai  fatwa-fatwa  beliau  dan  menjadikannya
acuan  (padahal  sebelumnya  pendapat  itu tertolak). Dengan
fatwa-fatwanya itu  Allah  menyelamatkan  keluarga  muslimah
dari  kehancuran  dan  keruntuhan.  Dan  dalam  waktu  dekat
menjadi contoh bagi pendapat-pendapat yang dianggap aneh dan
menyimpang  dari  kebenaran,  termasuk  dalam  kerajaan Arab
Saudi.
 
Akhirnya, segala puji kepunyaan Allah, Tuhan semesta alam.
 
Catatan:
1 Maksudnya: batal puasa orang yang membekam dan dibekam. (penj.).
2 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam "Kitab al-Maghazi," bab
  "Marji'in Nabiyyi minal Ahzab wa Makhrajihi ila Bani
  Quraizhah" (Fathul Bari: 4119). Diriwayatkan juga oleh
  Muslim dalam bab "al-Jihad" (1770) dan shalatnya dikatakan
  shalat zuhur. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalan Ka'ab
  bin Malik dan Aisyah yang mengatakan bahwa shalatnya adalah
  shalat asar, sebagaimana disebutkan dalam Fat-hul Bari, 7:
  408-409.
3 Diriwayatkan oleh Bukhari (2: 26, 53) dari hadits
  Buraidah: "Barangsiapa yang meninggalkan shalat asar, maka
  gugurlah amalannya." Dan diriwayatkan oleh Muslim (626) dari
  hadits Ibnu Umar: "Barangsiapa tidak melakukan shalat asar,
  maka seakan-akan dia kehilangan keluarga dan hartanya." Ini
  juga disebutkan dalam Bukhari (4:24)
4 Zadul Ma'ad, 3: 131.
                                                (Bagian 1/2)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team