Al Qur'an & Sunnah | |
SEDERHANA DALAM BERINFAQDi antara sesuatu yang menyempurnakan apa yang telah kita sebutkan di atas adalah apa yang ditekankan oleh Islam berupa mengatur pengeIuaran harta dan mendorong untuk sederhana dalam berinfaq. Inilah sifat yang dimiliki oleh 'lbadurrahman, Allah berfirman:
Tersirat juga dalam wasiat Luqman Al Hakim kepada puteranya, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Isra': 29. Sikap sederhana itu semakin ditekankan ketika pemasukan seseorang itu sangat minim, misalnya pada masa-masa paceklik dan kelaparan, sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Nabi Yusuf AS. Dengan cara menekan atau mengurangi pengeluaran pada tujuh tahun musim subur sehingga bisa disimpan dan dimanfaatkan ketika musim kering. Allah berfirman:
Kemudian memperkecil pengeluaran sekali lagi pada tujuh tahun kekeringan dengan keputusan darurat dan pendistribusian simpanan pada tahun-tahun krisis secara merata.
Ungkapan "Apa yang kamu simpan untuk menghadapinya" itu membuktikan bahwa apa yang dikeluarkan itu sesuai dengan perhitungan dan perencanaan. Ini menunjukkan kesederhanaan. Amirul Mukminin Umar Al Faruq pada tahun-tahun kesulitan benar-benar berkeinginan agar pada setiap rumah yang ada pada mereka sisa-sisa kemakmuran untuk menyalurkan sebagian darinya kepada orang yang susah kondisinya dan minim pemasukan mereka. Beliau berkata, "Sesungguhnya manusia tidak akan punah dengan separuh perut mereka,inilah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah SAW "Makanan satu orang mencukupi dua orang, dan makanan dua orang mencukupi empat orang." (HR. Muslim) Sesungguhnya kaidah Istikhlaf (peminjaman dari Allah) yang telah kami sebutkan sebelum ini menjadikan seorang Muslim terikat di dalam pengeluaran harta dan infaqnya, sebagaimana dia juga harus membatasi diri dalam menginvestasikan dan mengembangkan harta tersebut. Islam tidak melarang seorang Muslim terhadap kelayakan hidup, sebagaimana itu di larang oleh sebagian agama dan filsafat, seperti kaum Brahma di India dan Manawiyah di Persia dan Rawaqiyah Yunani dan kependetaan dalam agama Nasrani. Akan tetapi Islam melarang kita untuk "tidak mau menikmati" atau "berlebihan dalam menikmati" itu semua. Allah SWT berfirman:
Perbedaan antara tabdzir (pemborosan) dan israf (berlebihan) adalah, kalau israf itu melebihi batas dalam hal yang halal, tetapi tabdzir adalah berinfaq di dalam hal yang diharamkan, meskipun hanya satu dirham atau kurang dari itu. Dari sinilah kita wajib menjaga dan memperhatikan prinsip-prinsip dasar dalam berinfaq, antara lain sebagai berikut 1. Berinfaq kepada diri sendiri dan keluargaMaka tidak boleh bagi pemilik harta menahan tangannya dari berinfaq wajib terhadap diri dan keluarganya karena pelit dan bakhil, takut hidup melarat atau berpura-pura zuhud. Islam melarang kita untuk pelit dan memperingatkan akan hal itu dan menganggapnya sebagai sumber kerusakan yang merata. Rasulullah SAW bersabda: "Hati-hatilah (hindarkanlah dirimu) dari pelit, sesungguhnya ummat sebelum kamu itu rusak disebabkan sikap pelit. Pelit itu telah menyuruh mereka memutuskan hubungan maka mereka memutuskan, memerintahkan mereka antuk kikir, maka mereka kikir, dan menyuruh mereka untuk berbuat fujur (penyelewengan), maka mereka pun menyeleweng. (HR.Abu Dawud, dan Hakim) Islam juga melarang kita untuk bersikap seperti pendeta. Mereka mengharamkan kenikmatan yang halal seperti pakaian yang indah dan lain sebagainya. Padahal Allah menamakan pakaian yang indah sebagai "Perhiasan dan Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya" (Al A'raf: 32), sebagaimana Dia memberi nama makanan dan minuman dengan istilah, "Yang baik-baik dari rezeki" (Al A'raf: 32). Semua ini adalah penamaan yang bernilai memuji dan meridhai, bahkan Islam mengingkari terhadap orang yang mengharamkan hal-hal tersebut atas dirinya maupun orang lain. Allah SWT berfirman:
Rasulullah SAW bersabda:
2. Kewajiban berinfaq terhadap hak-hak yang harus ditunaikanTidak boleh bagi seseorang pelit terhadap hak-hak yang wajib ditunaikan dengan hartanya, baik itu hak-hak yang sudah tetap, seperti zakat, nafkah kedua orang tua dan kaum kerabat yang fakir, atau hak-hak yang secara insidental, seperti menyuguh tamu, meminjami orang yang memerIukan, menolong orang yang kesulitan (terpaksa, terjepit kebutuhan), memberikan bantuan atas musibah yang menimpa ummat atau negara (daerah, tempat tinggal mereka, seperti peperangan, kelaparan dan kebakaran, mencukupi orang-orang fakir di negerinya, yang mereka sangat memerlukan bantuan ma'isyah seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya. Islam menegaskan pentingnya hak-hak itu, sampai memperbolehkan penggunaan senjata demi membela hak-hak tersebut. Abu Bakar pernah berperang bersama para sahabat yang ada karena masalah tidak ditunaikannya kewajiban zakat oleh suatu kaum. "Nabi SAW juga memperbolehkan kepada tamu untuk mengambil hak suguhan dari orang yang ditempati, walaupun dengan kekuatan/kekerasan. Adalah wajib bagi kaum Muslimin untuk memperhatikan hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
Pada umumnya para fuqaha' memperbolehkan orang yang sangat memerlukan air dan makanan untuk memerangi orang yang menghalang-halangi keperluannya tanpa haq. 3. Keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaranWajib bagi seorang Muslim untuk menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluarannya. Jangan sampai ia menginfaqkan sepuluh, sementara pemasukannya delapan, sehingga terpaksa harus hutang dan menanggung beban dari orang yang menghutangi. Sesungguhnya hutang itu membawa keresahan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Rasulullah SAW sendiri mohon perlindungan kepada Allah dari jeratan hutang, dengan alasan bahwa seseorang itu kalau berhutang, bisa saja ia berbicara lalu berbohong, ia berjanji lalu mengingkari, sebagaimana disebutkan di dalam shahih Bukhari. Maka infaq seseorang yang melebihi dari kemampuan harta dan pemasukannya adalah termasuk israf (berlebihan) yang tercela. Allah SWT berfirman:
Rasulullah SAW bersabda:
Ini adalah berinfaq dalam hal yang mubah, adapun hal-hal yang diharamkan, maka setiap dirham yang diinfakkan adalah termasuk dalam tabdzir (pemborosan). Adapun dalam hal-hal ketaatan, seperti shadaqah, jihad dan proyek-proyek sosial, maka tidak ada israf di dalamnya selama tidak menelantarkan hak yang lebih wajib dari itu semua. Seperti hak keluarganya atau hak orang yang hutang kepadanya atau nafkah yang wajib untuk dipenuhi baginya dan lain-lain. Oleh karena itu ketika dikatakan kepada sebagian orang dermawan dari kaum munafikin dalam hal amal shalih, "Tidak ada kebaikan dalam israf (berlebihan)," maka jawabannya, "Tidak ada israf dalam kebaikan." Islam memberikan kepada hakim (penguasa) wewenang untuk menahan atau mengatur keuangan atas setiap orang yang bodoh dan sering merusak, di mana dia mempergunakan harta tidak secara tepat. Hal ini karena ummat mempunyai hak atas harta tersebut, maka memeliharanya akan membawa manfaat bagi ummat dan membiarkannya akan membawa madharat bagi ummat. Oleh karena itu Allah SWT menyandarkan harta orang-orang bodoh (yang belum mengerti itu) kepada ummat. Allah berfirman:
4. Memerangi kemewahan dan para pelakunyaSatu lagi jenis berlebihan (israf) yang diharamkan oleh Islam dan akan terus diperangi karena dia dianggap dapat merusak kehidupan individu dan masyarakat. Itulah yang dinamakan "At-Taraf" (kemewahan), yaitu terlampau berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan dan berbagai sarana hiburan, serta segala sesuatu yang dapat memenuhi perut dari berbagai jenis makanan dan minuman serta apa saja yang bisa menghiasi tubuh dari perhiasan dan kosmetik, atau apa saja yang memadati rumah dari perabot dan hiasan, seni dan patung serta berbagai peralatan dari emas dan perak dan sebagainya. Sesungguhnya Al Qur'an menganggap kemewahan sebagai penghambat pertama yang akan menghalang-halangi manusia untuk mengikuti yang kebenaran (Al haq). Karena sesungguhnya kemewahan itu tidak akan membiarkan para pelakunya leluasa tanpa belenggu syahwat mereka. Maka barangsiapa yang mengajak mereka ke arah selain itu, niscaya mereka akan memusuhi dan memeranginya. Allah berfirman,
Kemewahan itu memiliki beberapa akibat yang tidak bisa atau sulit dihindari oleh pelakunya seperti bermain-main, iseng dan pornografi. Kemudian menyebarluaskan degradasi moral yang itu bisa berakibat kepada pudarnya ikatan akhlaq serta meluasnya pengaruh hawa nafsu di kalangan ummat. Akibat lain adalah timbulnya kesenjangan, karena banyak orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan primer mereka, sementara sekelompok kecil dari kalangan tertentu menikmati sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga, di antara kebutuhan sekunder, bahkan lebih dari itu. Dari sinilah maka seluruh masyarakat terancam oleh kehancuran dan siksa, akibat orang-orang yang berbuat kemewahan karena kemewahannya. Dan yang lain di luar mereka mendapat hal yang sama karena diam atau loyalitasnya terhadap mereka. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Al Qur'an telah menceritakan kepada kita bahwa hamba kemewahan merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab atas musibah yang menimpa kebanyakan ummat sebagai peringatan dari Allah. Sehingga mereka tidak memperoleh kemenangan, bahkan benar-benar mendapat adzab. Allah SWT berfirman,
| |
| |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |