Al Qur'an & Sunnah | |
HARAMNYA PENDAPATAN DARI PEKERJAAN YANG KOTORKaidah ini merupakan penghias sekaligus penyempurna terhadap kaidah sebelumnya. Karena kerja yang dianjurkan oleh Islam dan diakui pengarah positifnya adalah kerja yang baik (halal) sesuai dengan syari'at. Adapun kerja yang kotor maka Islam telah melarangnya. Kerja yang kotor adalah kerja yang mengandung unsur kezhaliman dan merampas hak orang lain tanpa prosedur yang benar. Seperti ghashab, mencuri, penipuan, mengurangi takaran dan timbangan, menimbun di saat orang membutuhkan dan lain sebagainya. Atau memperoleh sesuatu yang tidak diimbangi dengan kerja atau pengorbanan yang setimpal, seperti riba, termasuk undian dan lain-lain. Atau harta yang dihasilkan dari barang yang haram, -seperti khamr, babi, patung, berhala, bejana yang diharamkan, anjing yang terlarang dan yang lainnya. Atau harta yang diperoleh dari cara kerja yang tidak dibenarkan menurut syari'at, seperti upah para dukun dan takang ramal, administrasi riba, orang-orang yang bekerja di bar-bar, diskotik dan tempat-tempat permainan yang diharamkan dan lain-lain. Rasulullah SAW bersabda:
Islam tidak menghargai bagusnya niat dan mulianya tujuan, apabila cara kerjanya diharamkan. Maka orang yang memperoleh harta riba untuk membangun masjid, madrasah, darul aitam atau yang lainnya, selamanya tidak sah menurut Islam. Dalam hadits shahih disebutkan
Dalam hadits lain disebutkan:
Sesuatu yang haram tetaplah haram menurut pandangan Islam, meskipun ada seorang qadhi yang menghalalkannya menurut zhahirnya dari bukti yang diperoleh. Allah SWT befirman:
Berkenaan dengan masalah tersebut Rasulullah SAW pernah bersabda dalam haditsnya:
Meskipun qadhinya adalah Rasulullah SAW namun beliau memutuskan sesuai dengan zhahirya sesuatu. Dengan demikian maka Islam telah menjadikan nurani seorang Muslim dan ketaqwaannya sebagai penjaga atas kehidupannya dalam berekonomi. Jika secara lahiriyah seorang qadhi telah memutuskan, maka sesungguhnya Allah selalu melihat atas segala hakikat dan rahasia. Lebih dari itu Islam telah melarang pemanfaatan orang-orang kuat atas orang yang lemah, seperti orang-orang yang memakan harta anak yatim, para suami memakan harta isteri, pemerintah makan harta rakyatnya dan para juragan yang memakan hak-hak buruhnya, atau para tuan tanah yang memakan keringat para petani. Di antara yang diperingatkan oleh Islam dengan keras adalah mengambil harta milik umum tanpa prosedur yang benar. Setiap orang dari putera bangsa memiliki hak, maka apabila ia mengambil secara tersembunyi atau merampas, berarti ia menzhalimi semua pihak dan mereka semua akan menjadi musuhnya di hari kiamat. Dari sinilah datang ancaman yang keras bagi orang yang menyembunyikan ghanimah (harta rampasan perang), Allah berfirman:
Harta milik umum itu diharamkan bagi para pejabat, sebagaimana dia juga diharamkan bagi karyawan bawah, maka tidak diperbolehkan bagi mereka untuk mengambil satu dirham pun atau yang lebih kecil dari itu, tanpa prosedur yang benar. Demikian juga tidak diperbolehkan bagi mereka memanfaatkan jabatan mereka untuk memperkaya diri dengan alasan bonus atau hadiah. Bagi setiap orang yang memiliki hati nurani dan memiliki akal yang jernih niscaya mengetahui bahwa itu namanya riswah (suap) dalam bentuknya yang tersamar. Ada seseorang yang ingin memberi hadiah kepada Umar bin Abdul Aziz, lalu beliau menolaknya, maka orang itu berkata kepada beliau, "Mengapa engkau menolak? Rasulullah SAW saja menerima hadiah." Maka beliau berkata, "Dahulu hadiah bagi Rasulullah SAW benar-benar hadiah, tetapi untuk yang ini adalah suap!" Rasulullah SAW pernah marah kepada pegawainya yang bemama Ibnul Lutbiyah, yaitu ketika dia baru kembali dari tugasnya memungut zakat. Dengan membawa sejumlah harta, kemudian ia berkata, "Ya, Rasulullah, ini untukmu dan ini untukku," maka Nabi SAW bersabda mengingkarinya:
Maksudnya hadiah itu tidaklah datang kepadanya karena pribadinya, bukan pula karena hubungan persahabatan, atau karena hubungan famili yang mendahului antara ia dengan orang yang memberi hadiah. Tetapi hadiah itu tidak datang kepadanya melainkan karena jabatannya, maka tidak ada hak baginya dalam hal ini. Oleh karena itu Islamlah yang pertama kali menerapkan terhadap para pejabat dan pemerintah tentang sebuah undang-undang, "Darimana kamu mendapatkan ini? Apakah dari hasil kerja, ataukah dari hasil yang tidak diperbolehkan oleh syari'at." Islam telah menyatakan haramnya cara bekerja yang kotor berdasarkan tujuan-tujuan sosial ekonomi sebagai berikut
| |
| |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |