Al Qur'an & Sunnah | |
SYAHADAH (PERSAKSIAN)Di dalam Al Qur'an, ayat tentang hutang piutang, yang Allah SWT perintahkan kepada kita agar mencatat hutang untuk lebih berhati-hati, Allah SWT berfirman:
Dengan demikian, maka Al Qur'an telah menjadikan persaksian laki-laki sama dengan persaksian dua perempuan, sebagaimana juga ketetapan para fuqaha' bahwa persaksian kaum wanita itu tidak diterima di dalam had dan qishash. Alhamdulillah, perbedaan ini bukanlah karena mengurangi bobot kemanusiaan wanita atau mengurangi kemuliaannya, akan tetapi disebabkan karena fithrah dan karakternya yang mengharuskan demikian. Biasanya wanita itu tidak bisa disibukkan dengan urusan harta dan muamalah pemerintahan. Akan tetapi mereka lebih cenderung dan cocok dengan urusan kewanitaan seperti urusan rumah tangga dan mendidik anak-anak sebagai seorang ibu dan istri bagi suaminya. Atau disibukkan dengan aktifitas mempersiapkan diri untuk menikah jika ia seorang yang masih gadis. Karena itu maka kemampuan penalaran mereka terbatas dalam memikirkan urusan-urusan muamalah. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang melakukan hutang piutang apabila ingin meyakinkan perjanjiannya, agar disaksikan oleh dua orang lelaki atau satu lelaki dengan dua wanita. Al Qur'an mengingatkan alasan dari ketetapan itu, yaitu apabila yang satu lupa, maka yang lain mengingatkan. Sebagaimana juga pendapat mayoritas fuqaha' yang tidak menganggap sah kesaksian wanita di dalam masalah hudud dan qishash, hal itu untuk rnenjauhkan wanita dari interaksi dengan kekerasan dan kriminalitas serta permusuhan terhadap jiwa, harta dan kehormatan. Selain itu jika wanita ikut menyaksikan kriminalitas seringkali memejamkan kedua matanya dan lari sambil menjerit sehingga sulit untuk menjelaskan kriminalitas tersebut secara detail dan nyata. Hal ini disebabkan perasaannya tidak kuat untuk menahan dalam kondisi seperti itu. Para fuqaha' berpendapat, bahwa boleh kita menjadikan wanita sebagai saksi -walaupun seorang diri- dalam hal-hal yang khusus menyangkut dunia kewanitaan, seperti menyusui, keperawanan, janda, haidh, dan kelahiran anak, atau yang lain-lainnya yang khusus diketahui oleh kaum wanita. Betapapun hukum ini belum menjadi kesepakatan para ulama, Madzhab 'Atha' dari kalangan Tabi'in telah mengambil kesaksian wanita. Sebagian ulama fiqih berpendapat bolehnya kita mengambil kesaksian wanita di dalam hukum pidana di masyarakat yang di sana tidak ada kaum pria. Seperti di kolam renang khusus wanita, rias penganten (salon), dan lainnya yang mana biasanya dikhususkan untuk kaum wanita saja. Misalnya jika ada salah seorang wanita yang menyakiti wanita lainnya, atau bahkan pembunuhan, kemudian hal itu disaksikan oleh beberapa saksi dari kaum wanita itu sendiri, maka apakah persaksian mereka itu ditiadakan sekedar karena mereka kaum wanita? Ataukah harus disaksikan oleh kaum pria, sementara kasus itu berada di suatu tempat yang tidak dihadiri oleh kaum pria? Maka yang benar adalah bahwa persaksian mereka kaum wanita itu dianggap sah, selama mereka itu adil, teliti dan faham. | |
| |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |