Al Qur'an & Sunnah | |
WANITA SEBAGAI ANAKBangsa Arab di masa jahiliyah pesimis dengan kelahiran anak-anak wanita dan mereka merasa hina, sehingga ada salah seorang bapak yang berkata ketika dikaruniai anak wanita, "Demi Allah, ia bukan sebaik-baik anak, pertolongannya adalah hanya membuat tangis dan berbuat baiknya adalah pencurian." Ia bermaksud bahwa anak wanita tidak bisa menolong ayahnya dan keluarganya kecuali dengan jeritan dan tangis belaka, tidak dengan peperangan dan senjata, dan tidak bisa berbuat baik kepada keluarganya kecuali mengambil harta suaminya untuk keluarganya. Tradisi yang mereka wariskan memperbolehkan bagi seorang ayah untuk mengubur hidup-hidup anak puterinya, karena takut miskin atau menganggapnya sebagai aib besar di mata kaumnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an yang mengingkari perbuatan buruk itu:
Al Qur'an juga menggambarkan sikap para bapak ketika menyambut kelahiran anak-anak wanitanya:
Sebagian syari'at lama memberikan wewenang kepada seorang bapak untuk menjual anak perempuannya apabila ia berkeinginan. Seperti aturan "Hamurabi" yang memperbolehkan seorang ayah untuk menyerahkan anak perempuannya kepada orang lain untuk membunuhnya atau memilikinya, maka seorang ayah itu telah membunuh puteri orang lain. Islam datang dengan menganggap anak wanita seperti anak laki-laki yaitu merupakan pemberian dan karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, Allah berfirman:
Al Qur'an juga menjelaskan di dalam kisah-kisahnya bahwa sesungguhnya sebagian anak-anak perempuan itu lebih besar pengaruhuya dan lebih kekal kenangannya daripada kebanyakan anak laki-laki. Seperti dalam kisah Maryam puteri Imran yang telah dipilih oleh Allah SWT dan disucikan melebihi para wanita di seluruh alam semesta padahal ketika sang ibu mengandungnya, ia menginginkan agar anaknya lahir laki-laki sehingga bisa berkhidmah di Baitil Maqdis dan agar termasuk orang-orang shalih. Allah SWT berfirman:
Al Qur'an mengecam dengan keras terhadap orang-orang yang berkeras hati dan membunuh anak-anak mereka, baik anak laki-laki atau perempuan, Allah SWT berfirman:
Rasulullah SAW telah menjadikan surga sebagai balasan untuk setiap bapak yang baik dalam memperlakukan anak wanitanya dan bersabar untuk mendidik mereka dan baik dalam mendidiknya. Memelihara hak Allah atas mereka, hingga mereka dewasa atau mati karena membela mereka. Nabi SAW juga menjadikan kedudukan orang itu di sisinya SAW di surga yang penuh kenikmatan dan kekal abadi. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Barangsiapa yang merawat dua anak gadis hingga aqil baligh maka ia datang pada hari kiamat, sedangkan saya dan dia seperti ini." Kemudian Nabi merapatkan telunjuknya (artinya, saling berdekatan)." Ibnu Abbas RA meriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda:
Sebagian hadits menjelaskan bahwa pembalasan masuk surga itu diperuntukkan bagi seseorang (saudara laki-laki) yang memelihara saudara-saudara perempuannya atau dua saudara perempuannya juga. Sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa pembalasan llahi ini diperuntukkan juga bagi orang yang berbuat baik kepada anak wanitanya walaupun hanya satu. Di dalam haditsnya Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda:
Ibnu Abbas meriwayatkan hadits marfu':
Di dalam hadits Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
Dengan keterangan nash-nash yang sharih ini dan khabar gembira yang terus diulang-ulang dengan meyakinkan ini, maka kelahiran anak wanita bukanlah beban yang mesti ditakuti (dikhawatirkan). Bukan pula merupakan kenistaan yang dihindari, akan tetapi merupakan kenikmatan yang harus disyukuri dan rahmat yang diharapkan dan dicari. Karena dia merupakan karunia Allah SWT dan pahala-Nya yang besar. Dengan demikian maka Islam telah meniadakan tradisi mengubur anak wanita secara hidup-hidup untuk selamanya. Seorang anak perempuan di hati ayahnya telah memiliki posisi yang terhormat sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah SAW terhadap puterinya Fathimah RA, "Fathimah adalah bagian dari diriku, meragukan aku apa-apa yang meragukannya." Adapun kekuasaan ayah terhadap anak wanitanya maka tidak boleh melampaui batas dari kerangka pendidikan, pemeliharaan, pelurusan nilai-nilai agama dan moralitas anak. Sehingga di sini anak wanita itu diperlakukan seperti anak laki-laki, di mana orang tua memerintahkan kepada anak wanitanya itu untuk melakukan shalat apabila telah mencapai usia tujuh tahun, dan memukulnya karena meninggalkan shalat apabila telah berumur sepuluh tahun. Orang tua juga memisahkan tempat tidur anak wanitanya itu dari saudara laki-lakinya dan menekankan untuk berperilaku Islami, baik dalam berpakaian, berhias, ketika keluar rumah dan pada waktu berbicara. Pemberian nafkah orang tua kepada anak wanitanya itu hukumnya wajib hingga ia menikah. Sejak itu orang tua tidak lagi punya wevvenang untuk menjualnya atau menyerahkannya kepada orang lain untuk dimiliki dalam keadaan apa pun. Islam telah meniadakan jualbeli orang yang merdeka baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan apa pun. Kalaupun seandainya masih ada orang yang menjual atau menyerahkan anak wanitanya untuk dimiliki sehingga menjadi budak di tangan orang lain, maka anak itu hakikatnya tetap merdeka. Dia hanya sekedar dapat dimiliki, itu pun harus melalui pengesahan sesuai ketentuan Islam. Apabila seorang anak wanita itu memiliki harta secara khusus, maka tidak ada hak bagi ayahnya kecuali mempergunakan harta itu dengan baik. Dan tidak boleh bagi seorang ayah untuk menikahkan anak wanitanya dengan orang lain, supaya orang tersebut ganti menikahkan anak wanitanya dengan dia, inilah yang dinamakan nikah "Shighar," yaitu pernikahan tanpa mas kawin yang merupakan hak anak wanitanya, dan bukan hak ayahnya. Tidak boleh bagi seorang ayah menikahkan anak wanitanya yang sudah baligh dengan orang yang tidak disukai oleh anak tersebut. Tetapi ia harus meminta pendapat dari anaknya apakah mau menerima atau tidak. Apabila anak wanitanya itu seorang janda maka harus memperoleh persetujuannya dengan jelas, dan apabila dia seorang gadis yang pada umumnya adalah pemalu maka cukup dengan diamnya. Karena diamnya seorang gadis itu adalah tanda menerima. Akan tetapi jika ia berkata, "tidak" maka tidak ada kekuasaan baginya untuk memaksa anaknya agar menikah dengan orang yang tidak disukai.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari 'Aisyah ra, ia berkata, "Rasulullah bersabda, wanita gadis itu dimintai izin," aku berkata, "Sesungguhnya wanita gadis itu hisa dimintai izin tetapi ia pemalu. Nabi menjawab, "Izinnya adalah diamnya." Oleh karena itu ulama' mengatakan." Sebaiknya wanita gadis itu diberi tahu bahwa diamnya itu berarti izinnya."
Ini semua membuktikan bahwa sesungguhnya seorang ayah itu tak berbeda dengan lainnya di dalam wajibnya meminta ijin kepada wanita yang masih gadis dan pentingnya memperoleh persetujuan darinya. Di dalam shahih Muslim disebutkan, wanita gadis itu dimintai persetujuannya oleh ayahnya."
Hadits-hadits tersebut secara zhahir menunjukkan bahwa sesungguhnya meminta ijin wanita gadis atau janda itu merupakan syarat sah aqad. Sehingga apabila seorang ayah atau wali menikahkan wanita janda tanpa meminta ijin kepadanya maka akadnya batal dan ditolak, sehagaimana terdapat di dalam kisah Khansa binti Khaddam. Demikian juga berlaku pada wanita yang masih gadis ia berhak memilih menerima atau menolak. Maka akad juga menjadi batal sebagaimana kisah seorang gadis (di jaman Rasulullah SAW). Di antara keindahan syariat islam adalah, bahwa Islam memerintahkan kepada kita untuk meminta pendapat ibu dalam menikahkan anak wanitanya, sehingga pernikahan itu bisa berjalan dengan memperoleh ridha (persetujuan) dari semua pihak yang terkait.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa diperbolehkan bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa seijin ayahnya atau walinya, dengan syarat suaminya itu sekufu dengan dia. Pendapat ini tidak ada landasan dari hadits. Yang paling baik pernikahan itu harus melalui persetujuan ayah, ibu dan anaknya, sehingga tidak ada peluang untuk menjadi pembicaraan di sana sini atau menimbulkan permusuhan dan kebencian karena Allah SWT mensyariatkan pernikahan itu untuk memperoleh mawadah wa rahmah. Idealnya seorang ayah memilihkan untuk anak putrinya lelaki shalih yang dapat membahagiakan semua pihak. Dan hendaknya yang menjadi perhatian utama adalah akhlaq dan agamanya, bukan materi dan harta. Juga hendaknya orang tua tidak mempersulit proses pernikahan apabila ada seseorang yang melamar anaknya.
Dengan demikian maka Islam mengajarkan kepada setiap orang tua bahwa sesungguhnya anak wanita itu adalah "manusia" sebelum yang lainnya. Dia bukanlah benda mati yang diperjual-belikan atau ditukar dengan materi sebagaimana yang sering dilakukan oleh para orang tua di masa jahiliyah. Rasulullah SAW bersabda:
| |
| |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |