TASYRI' TIDAK HANYA TERBATAS PADA HUKUM PIDANA
Tasyri' (hukum) Islam tidak hanya terbatas pada hudud
(hukum pidana) sebagaimana difahami oleh kebanyakan orang
atau dilakukan oleh sebagian orang. Sesungguhnya hukum Islam
berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya dan manusia dengan sesamanya; antara keluarga dan
masyarakatnya; antara pemerintah dengan rakyatnya; antara
orang-orang kaya dan para fakir; antara pemilik modal dengan
pelaku usaha dan lain sebagainya, baik dalam keadaan damai
ataupun perang. Ia merupakan undang-undang (aturan) modern
dan administratif, ia merupakan dustur daulah selain juga
merupakan hukum agama. Dia adalah hukum yang menjangkau
seluruh aspek dan segi kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu Fiqih Islam itu meliputi ibadah dan
muamalah, hukum nikah dan waris, peradilan dan dakwaan, had,
qishash dan ta'zir, jihad dan mu'ahadaat (perjanjian), halal
dan haram, sunnah dan adab. Ia mengatur kehidupan manusia
dari mulai tata cara buang hajat bagi seseorang, hingga
bagaimana menegakkan khilafah dan imamah 'uzhma (imam yang
agung) bagi ummat.
Sesungguhnya hudud (hukuman dalam Islam) itu hiasan, ia
menandakan bahwa masyarakat Islam menolak perbuatan
kriminal, kapan pun dan dalam keadaan apa pun.
Hudud, sebagaimana disyari'atkan oleh Islam bukanlah
perbuatan kejam dan sadis (di luar perikemanusiaan)
sebagaimana difahami atau digambarkan oleh orang-orang
Kristen dan kaum Orentalis.
Sesungguhnya orang-orang Barat menganggap hukuman itu
suatu kekejaman dari dua sebab. Sebagaimana yang disebutkan
oleh Al Maududi dalam pembahasannya tentang hukuman bagi
pezina dalam kitabnya "Al Hijab." Beliau mengatakan:
"Sesungguhnya hati nurani orang Barat itu
menjadi terkejut (ngeri) terhadap hukuman seratus cambukan.
Hal ini tidak disebabkan mereka tidak suka untuk menyakiti
fisik manusia. Tetapi sebab yang sebenarnya adalah lebih
karena kekurang sempurnaan pertumbuhan akhlaq mereka, yang
semula zina itu dianggap suatu kehinaan yang kotor sekarang
telah dianggap permainan yang menyenangkan, di mana dua
insan bila mengumbar syahwatnya dalam waktu sesaat.
Perbuatan itu dimanfaatkan dan tidak dihisab
(diperhitungkan) kecuali jika perbuatan tersebut melanggar
kebebasan orang lain atau terkena hak-hak secara hukum
mereka. Bahkan ketika terjadi demikian pun, perzinaan itu
tidak mendapat hukuman kecuali di anggap kesalahan kecil
yang tidak mempengaruhi hak-hak seseorang, sehingga cukup
diberikan sanksi ringan atau denda.
Wajar bahwa kalau orang memahami zina dengan cara
seperti itu merasa jika hukuman seratus jilid dianggap suatu
kezhaliman dan kekejaman. Kalau saja syu'ur akhlaq (kepekaan
akhlaq) dan rasa sosial mereka meningkat dan mengetahui
bahwa sesungguhnya zina -baik di lakukan dengan suka rela
atau terpaksa, baik dengan wanita yang sudah menikah atau
yang masih gadis- adalah merupakan kriminalitas sosial yang
bahayanya akan kembali pada masyarakat dengan seluruh
keluarganya, niscaya pandangan mereka tentang hukuman itu
akan berubah dan mengakui wajibnya melindungi masyarakat
dari bahaya tersebut. Karena faktor yang mendorong seseorang
untuk berbuat zina itu kuat sekali, bahkan mengakar dalam
tabiat hewani mereka, sehingga tidak mungkin karakter itu
dihilangkan hanya dengan hukuman tahanan dan denda. Tidak
akan ada hasilnya memberantas zina dengan menggunakan
berbagai aturan itu semua. Adalah sesuatu yang tidak
diragukan bahwa melindungi berjuta-juta manusia dari
berbagai bahaya penyakit moral dengan menyakiti satu orang
atau dua orang dengan keras itu lebih baik daripada
memanjakan para pelaku kriminal dengan menjerumuskan seluruh
ummat pada bahaya yang tak terhingga besarnya, bahkan
diwarisi oleh generasi yang akan datang yang mereka tidak
turut berbuat dosa.
Ada lagi sebab yang membuat mereka menganggap bahwa
hukuman seratus cambukan itu sebagai hukuman yang kejam dan
zhalim. Yakni bahwa peradaban Barat, sebagaimana telah kami
terangkan, lebih mementingkan individu daripada masyarakat,
dan unsur-unsur yang ada padanya terangkai dengan persepsi
yang berlebihan terhadap hak-hak individu. Meskipun
kezhaliman individu terhadap kelompok dan masyarakat telah
demikian terasa dan Barat sendiri tidak mengingkari semua
fakta ini, tetapi setiap ada sanksi yang ditetapkan atas
individu yang berbuat salah demi untuk memelihara hak-hak
masyarakat, maka mereka justru merasa khawatir dan tidak
rela. Sehingga seluruh nasihat dan semangat mereka adalah
atas nama individu, bukan masyarakat.
Kemudian yang menjadi ciri khas orang-orang jahiliyah
Barat sebagaimana pada setiap zaman adalah bahwa mereka itu
lebih memperhatikan hal-hal yang bisa dilihat, daripada
perhatian mereka terhadap hal-hal yang logis meski tidak
terlihat. Oleh karena itu mereka menganggap kejam bahaya
yang menimpa kepada individu karena terlihat di depan mata
mereka dengan gambaran yang nyata, tetapi mereka tidak mampu
memahami bahaya besar yang akan menimpa masyarakat dan
generasi mendatang secara merata, dalam ruang lingkup yang
luas."
Saya ingin mengingatkan di sini bahwa sesungguhnya Islam
bersikap tegas dalam menghukumi kriminalitas dengan
kekerasan yang luar biasa, terutama dalam masalah zina.
Namun itu pun di zaman Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin tidak
langsung ditetapkan kecuali dengan adanya iqrar (pengakuan)
dari pelakunya. Sebagaimana dibuka kesempatan untuk
bertaubat, maka barangsiapa yang taubatnya sungguh-sungguh
maka gugurlah darinya hukuman menurut pendapat rajih
(terkuat). Gugurnya hukuman bukan berarti menggugurkan
hukuman secara keseluruhan, karena bisa jadi berpindah
menjadi ta'zir (hukuman yang mendidik) yang sesuai.
|