| |
|
MEMBEDAKAN ANTARA KEKUFURAN, KEMUSYRIKAN, DAN KEMUNAFIQAN YANG BESAR DAN YANG KECIL SATU hal yang sangat penting di sini ialah kemampuan untuk membedakan tingkat kekufuran, kemusyrikan, dan kemunafiqan. Setiap bentuk kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan ini ada tingkat-tingkatnya. Akan tetapi, nash-nash agama menyebutkan kekufuran, kemusyrikan, dan kemunafiqan hanya dalam satu istilah, yakni kemaksiatan; apalagi untuk dosa-dosa besar. Kita mesti mengetahui penggunaan istilah-istilah ini sehingga kita tidak mencampur adukkan antara berbagai istilah tersebut, sehingga kita menuduh sebagian orang telah melakukan kemaksiatan berupa kekufuran yang paling besar (yakni ke luar dari agama ini) padahal mereka sebenarnya masih Muslim. Dengan menguasai penggunaan istilah itu, kita tidak menganggap suatu kelompok orang sebagai musuh kita, lalu kita menyatakan perang terhadap mereka, padahal mereka termasuk kelompok kita, dan kita juga termasuk dalam kelompok mereka; walaupun mereka termasuk orang yang melakukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk menangani masalah ini sebaiknya kita mengaca pada peribahasa Arab: "Hidungmu adalah bagianmu, walaupun hidung itu pesek." KEKUFURAN BESAR DAN KEKUFURAN KECIL Sebagaimana diketahui bahwasanya kekufuran yang paling besar ialah kekufuran terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya, sebagaimana yang telah kami sebutkan di muka sehubungan dengan kekufuran orang-orang atheis; atau kekufuran terhadap kerasulan Muhammad saw sebagaimana kekufuran yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nasrani. Mereka dikategorikan sebagai orang-orang kafir terhadap kerasulan Muhammad dalam hukum-hukum dunia Adapun balasan yang akan diterima oleh mereka, tergantung kepada sejauh mana rintangan yang pernah mereka lakukan terhadap Rasulullah saw setelah dijelaskan bahwa beliau adalah Rasulullah saw; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisa': 115) Adapun bagi orang yang belum jelas kebenaran baginya, karena dakwah Islam belum sampai kepada mereka, atau telah sampai tetapi tidak begitu jelas sehingga dia tidak dapat memandang dan mempelajarinya, maka dia termasuk orang-orang yang dimaafkan. Allah SWT berfirman: "... dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (al-Isra,: 15) Diyakini bahwasanya kaum Muslimin bertanggung jawab --sampai kepada batas yang sangat besar-- terhadap kesesatan bangsa-bangsa di muka bumi; kebodohan mereka akan hakikat Islam; dan keterjerumusan mereka kepada kebathilan musuh Islam. Kaum Muslimin harus berusaha dengan keras dan sungguh-sungguh untuk menyampaikan risalah Islam, menyebarkan dakwah mereka kepada setiap bangsa dengan bahasa mereka, sehingga mereka mendapatkan penjelasan mengenai Islam dengan sejelasjelasnya, dan panji risalah Muhammad dapat ditegakkan. Sedangkan kekufuran yang kecil ialah kekufuran yang berbentuk kemaksiatan terhadap agama ini, bagaimanapun kecilnya. Misalnya orang yang sengaja meninggalkan shalat karena malas, dengan tidak mengingkari dan tidak mencelanya. Orang seperti ini, menurut jumhur ulama adalah orang yang berbuat maksiat, atau fasiq, dan tidak kafir; walaupun dalam beberapa hadits dikatakan sebagai kafir. Sebagaimana hadits: "Batas antara kami dan mereka adalah shalat." "Barangsiapa yang meninggalkannya, maka dia termasuk kafir."3 "Batas antara seseorang dengan kekufuran ialah meninggalkan shalat."4 Ibn Hazm --dengan Zhahiriyahnya-- tidak mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat termasuk kafir... Selain itu, ada riwayat yang berasal dari Imam Ahmad tidak mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu adalah kafir. Tetapi dia dihukumi sebagai orang kafir, kalau imam atau qadhi telah memanggilnya dan memintanya untuk bertobat, kemudian dia enggan menuruti permintaan itu. Imam Ibn Qudamah mendukung pendapat tersebut dan mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir --asal orang itu tidak mengingkarinya dan tidak mengabaikannya. Jika dia dibunuh karena meninggalkan shalat, maka hal itu adalah sebagai pelaksanaan hudud dan bukan karena kafir. Ada riwayat lain yang juga berasal dari Ahmad, yang dipilih oleh Abu Abdillah bin Battah, yang tidak setuju dengan pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Abu Abdillah mengatakan, "Inilah pendapat mazhab, dan tidak ada pendapat yang bertentangan dengannya dalam mazhab ini." Ibn Qudamah mengatakan, "Ini merupakan pendapat kebanyakan fuqaha, dan juga pendapat Abu Hanifah, Malik dan Syafi'i..." seraya mengutip hadits-hadits yang disepakati ke-shahih-annya 5 yang mengharamkan api neraka atas orang yang mengatakan: "Tiada tuhan selain Allah," dan orang yang mengatakannya akan dikeluarkan darinya; karena di dalam hati orang ini masih ada kebaikan sebesar biji gandum. Selain itu, Ibn Qudamah juga berargumentasi dengan qaul para sahabat dan konsensus kaum Muslimin yang mengatakan, "Sesungguhnya kami belum pernah mengetahui pada suatu zaman yang telah berlalu ada seseorang yang meninggalkan shalat kemudian dia tidak dimandikan dan dishalatkan ketika meninggal dunia, kemudian tidak dikubur di kuburan kaum Muslimin; atau yang ahli warisnya tidak boleh mewarisi dirinya, atau dia mewarisi keluarganya yang telah meninggal dunia; atau ada dua orang suami istri yang dipisahkan karena salah seorang di antara keduanya meninggalkan shalat, padahal orang yang meninggalkan shalat sangat banyak. Kalau orang yang meninggalkan shalat dianggap sebagai kafir, maka akan jelaslah hukum yang berlaku atas mereka." Ibn Qudamah menambahkan, "Kami belum pernah mengetahui pertentangan yang terjadi antara kaum Muslimin tentang orang-orang yang meninggalkan shalat bahwa mereka wajib mengqadhanya. Sampai kalau dia murtad, dia tidak wajib mengqadha shalat dan puasanya. Adapun hadits-hadits terdahulu (yang menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat dianggap kafir), maka sesungguhnya hadits tersebut ingin memberikan tekanan yang lebih berat dan menyamakannya dengan kekufuran, dan bukan ungkapan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasulullah s aw, "Mencela orang Muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran."6 "Barangsiapa berkata kepada saudaranya, 'Hai kafir, maka sesungguhnya kalimat ini akan kembali kepada salah seorang di antara mereka."7 Ungkapan-ungkapan seperti itu sebetulnya dimaksudkan untuk memberikan tekanan dan ancaman, dan pendapat terakhir inilah yang paling tepat di antara dua pendapat di atas. Wallah a'lam.8 PENJELASAN IMAM IBN AL-QAYYIM Dalam buku al-Madarij, imam Ibn al-Qayyim berkata, "Kekufuran itu adalah dua macam: kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar adalah penyebab kekalnya seseorang di api nereka, sedangkan kufur kecil hanya menyebabkan ancaman Allah SWT dan tidak kekal di api neraka." Sebagaimana dijelaskan oleh sabda Nabi saw, "Ada dua hal yang menyebabkan kekafiran dalam umatku: yaitu orang yang menyesali nasabnya dan orang yang berkhianat."9 Dalam as-Sunan, Nabi saw bersabda, "Barangsiapa mendatangi istrinya dari duburnya, maka dia telah ingkar dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad." 10 Dalam hadits yang lain, Nabi saw bersabda, "Barangsiapa datang kepada dukun atau peramal, kemudian dia mempercayai apa yang dia katakan, maka dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad." 11 "Janganlah kamu menjadi kafir lagi sesudahku, kemudian sebagian dari kamu memukul leher sebagian yang lain."12 Berikut ini ada baiknya kami kemukakan tentang penakwilan Ibn Abbas dan para sahabat yang lainnya terhadap firman Allah SWT: "Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (al-Ma'idah: 44) Ibn Abbas berkata, "Bukan kafir yang mengakibatkan pindahnya agama, tetapi kalau dia melalukannya maka dia dianggap kafir, dan tidak seperti orang yang kafir terhadap Allah dan hari akhir." Begitu pula pendapat Thawus. Atha' berkata, "Yang serupa itu adalah kekufuran di bawah kekufuran kezaliman di bawah kezaliman, dan kefasiqan di bawah kefasiqan." Sebagian dari mereka ada yang mentakwilkan ayat meninggalkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai orang yang ingkar kepada-Nya. Ini adalah pendapat Ikrimah. Penakwilan ini tidak dapat diterima karena sesungguhnya ingkar kepada-Nya adalah kufur. Diantara mereka ada yang menakwilkan bahwa meninggalkan hukum yang dimaksudkan oleh ayat di atas ialah meninggalkan hukum dengan seluruh ayat yang diturunkan oleh Allah SWT. Dia menambahkan: "Termasuk di dalamnya ialah hukum yang berkaitan dengan tauhid dan Islam." Ini adalah penakwilan Abd al-Aziz al-Kinani, yang merupakan penakwilan yang jauh juga. Karena sesungguhnya ancamannya diberikan kepada orang yang menafikan hukum yang telah diturunkan olehnya, yang mencakup penafian dalam kadar yang banyak (semuanya) atau hanya sebagian saja. Ada juga orang yang menakwilkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang dimaksudkan ialah menetapkan hukum yang bertentangan dengan nash, dengan sengaja, bukan karena tidak mengetahui atau karena salah takwil. Begitulah yang dikisahkan oleh al-Baghawi dari para ulama pada umumnya. Ada yang mentakwilkan bahwa yang dimaksudkan oleh ayat itu ialah para ahli kitab. Yaitu pendapat Qatadah, al-Dhahhak, dan lain-lain. Dan ini dianggap sebagai penakwilan yang cukup jauh, karena bertentangan dengan bentuk lahiriah lafal tersebut sehingga ia tidak dapat ditakwilkan seperti itu.13 Ada pula yang berpendapat: "Hal itu adalah kufur yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama ini." Yang benar ialah bahwa sesungguhnya memutuskan hukum dengan sesuatu yang tidak diturunkan oleh Allah SWT mengandung dua kekufuran, kecil dan besar, melihat keadaan hakimnya. Kalau dia berkeyakinan bahwa wajib baginya untuk menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dalam suatu masalah, kemudian dia mengetahui bahwa menyimpang darinya dianggap sebagai suatu kemaksiatan, dan dia juga mengakui bahwa hal itu akan mendapatkan siksa, maka tindakan ini termasuk kufur kecil. Jika dia berkeyakinan bahwa tidak wajib baginya menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dalam suatu masalah, kemudian dia merasa bebas untuk menetapkan hukum tersebut --padahal dia yakin bahwasanya ada hukum Allah dalam masalah tersebut-- maka tindakan ini dianggap sebagai kekufuran besar. Jika dia tidak tahu dan dia melakukan kesalahan, maka dia dianggap bersalah dan dihukum sebagai orang yang memiliki dua kesalahan. Maksudnya, sesungguhnya semua kemaksiatan merupakan satu bentuk kekufuran kecil. Ia bertolak belakang dengan kesyukuran, yakni bekerja untuk melakukan ketaatan. Upaya untuk menetapkan hukum itu sendiri boleh jadi merupakan satu bentuk kesyukuran, atau kekufuran, atau yang lain, yaitu tidak syukur atau tidak kufur.... Wallah a'lam.14 KEMUSYRIKAN BESAR DAN KEMUSYRIKAN KECIL Sebagaimana adanya pembagian kategori besar dan kecil dalam kekufuran, begitu pula dalam kemusyrikan. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Kemusyrikan yang besar telah diketahui bersama, sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Qayyim: "Yaitu mempersekutukan sesuatu dengan Allah SWT. Mencintai sesuatu sebagaimana dia mencintai Allah. Inilah kemusyrikan yang setara dengan kemusyrikan karena menyamakan tuhan-tuhan orang musyrik dengan Tuhan alam semesta. Dan oleh karena itu, mereka berkata kepada tuhan-tuhan mereka ketika di neraka kelak, 'Demi Allah, sungguh kita dahulu di dunia dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan alam semesta.'"l5 Kemusyrikan seperti ini tidak dapat diampuni kecuali dengan tobat kepada-Nya, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya..." (an-Nisa': 48) Dapat diampuni kalau seseorang tidak mengetahui bahwa amalan itu adalah amalan jahiliyah dan musyrik, yang sangat dicela oleh al-Qur'an, sehingga dia terjerumus ke dalamnya, mengakui kebenarannya, dan menganjurkan orang kepadanya, serta menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Dia tidak tahu bahwa apa yang sedang dia lakukan adalah pekerjaan orang jahiliyah, atau orang yang serupa dengannya, atau orang yang lebih jahat daripada mereka atau di bawah mereka. Karena ketidaktahuannya, hatinya menentang Islam, menganggap kebaikan sebagai kemungkaran, dan menganggap kemungkaran sebagai kebaikan; menganggap sesuatu yang bid'ah sebagai Sunnah, dan menganggap sunnah sebagai bid'ah; mengkafirkan orang lain yang beriman dan bertauhid, serta menganggap bid'ah orang-orang yang mengikuti R3Sulullah saw, orang-orang yang menjauhi hawa nafsu dan segala bentuk bid'ah. Oleh sebab itu, barangsiapa yang memiliki mata hati yang hidup, maka dia akan melihat kebenaran itu dengan mata kepalanya sendiri. Ibn al-Qayyim berkata, "Sedangkan kemusyrikan kecil adalah seperti riya', memamerkan diri kepada makhluk Allah, bersumpah dengan selain Allah, sebagaimana ditetapkan oleh hadits Nabi saw yang bersabda, "Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah musyrik." 16 Dan ucapan seseorang kepada orang lain: 'Kalau Allah menghendaki dan engkau menghendaki'; 'Ini berasal dari Allah dan dari engkau'; 'Aku bersama Allah dan engkau'; 'Kepada siapa lagi aku bergantung kecuali kepada Allah dan engkau'; 'Aku bertawakkal kepada Allah dan kepadamu'; 'Jika tidak ada kamu, maka tidak akan terjadi begini dan begitu'; dan ucapan-ucapan seperti ini dapat dikategorikan sebagai kemusyrikan besar, terpulang kepada orang yang mengatakannya dan tujuannya. Nabi saw bersabda kepada seorang lelaki yang berkata kepadanya: "Kalau Allah SWT dan engkau menghendakinya." Maka Nabi saw bersabda, "Apakah engkau hendak menjadikan diriku, sebagai sekutu Allah? Katakan: "Kalau Allah sendiri menghendaki."" Ucapan seperti ini adalah yang paling ringan dibandingkan dengan ucapan yang lainnya. Di antara bentuk kemusyrikan lainnya ialah sujudnya seorang murid kepada syaikhnya. Orang yang bersujud, dan orang yang disujudi dianggap sama-sama melakukan kemusyrikan. Bentuk yang lainnya yaitu mencukur rambut untuk syaikhnya, karena sesungguhnya hal ini dianggap sebagai penyembahan terhadap selain Allah, dan tidak ada yang berhak mendapatkan penyembahan dengan cara mencukur rambut kecuali dalam ibadah kepada Allah SWT saja. Bentuk kemusyrikan yang lainnya ialah bertobat kepada syaikh. Ini adalah suatu kemusyrikan yang besar. Karena sesungguhnya tobat tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah SWT. Seperti shalat, puasa, dan haji. Ibadah-ibadah ini hanya khusus untuk Allah SWT saja. Dalam al-Musnad disebutkan bahwa kepada Rasulullah saw didatangkan seorang tawanan, kemudian dia berkata, "Ya Allah, sesunggguhnya aku bertobat kepada-Mu dan tidak bertobat kepada Muhammad." Maka Rasulullah saw bersabda, "Dia telah mengetahui hak untuk yang berhak memilikinya." Tobat adalah ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah SWT sebagaimana sujud dan puasa. Bentuk kemusyrikan lainnya ialah bernazar kepada selain Allah, karena sesungguhnya hal ini termasuk kemusyrikan dan dosanya lebih besar daripada dosa bersumpah atas nama selain Allah . Kalau ada orang yang bersumpah dengan selain Allah dianggap musyrik, maka bagaimana halnya dengan orang yang bernazar untuk selain Allah? Dalam as-sunan ada hadits yang berasal dari Uqbah bin 'Amir dari Rasulullah saw yang bersabda, "Nazar adalah sumpah." Di antara bentuk kemusyrikan yang lainnya ialah takut kepada selain Allah, bertawakkal kepada selain Allah, dan beramal karena selain Allah, tunduk dan merendahkan diri kepada selain Allah, meminta rizki kepada selain Allah, dan memuji kepada selain Allah karena memberikan sesuatu kepadanya dan tidak memuji kepada Allah SWT, mencela dan marah kepada Allah karena belum mendapat rizki, dan belum ditakdirkan untuk mendapatkannya, menisbatkan nikmat-nikmat-Nya kepada selain Allah, dan berkeyakinan bahwa di alam semesta ini ada sesuatu yang tidak dijangkau oleh kehendak-Nya." 17 KEMUNAFIQAN BESAR DAN KEMUNAFIQAN KECIL Kalau di dalam kekufuran dan kemusyrikan ada yang besar dan ada juga yang kecil, maka begitu pula halnya dengan kemunafiqan. Ia juga ada yang besar dan ada pula yang kecil. Kemunafiqan besar adalah kemunafiqan yang berkaitan dengan aqidah, yang mengharuskan pelakunya tetap tinggal selama-lamanya di dalam neraka. Bentuknya ialah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan Islam. Beginilah bentuk kemunafiqan pada zaman Nabi saw, yang ciri-cirinya disebutkan di dalam al-Qur'an dan di jelaskan kepada hamba-hamba yang beriman, agar mereka berhati-hati terhadap orang-orang munafiq, sehingga mereka sedapat mungkin menjauhi perilaku mereka. Sedangkan kemunafiqan kecil ialah kemunafiqan dalam amal perbuatan dan perilaku, yaitu orang yang berperilaku seperti perilaku orang-orang munafiq, meniti jalan yang dilalui oleh mereka, walaupun orang-orang ini sebenarnya memiliki aqidah yang benar. Inilah sebenarnya yang diingatkan oleh beberapa hadits yang shahih. "Ada empat hal yang apabila kamu berada di dalamnya, maka kamu dianggap sebagai orang munafiq murni. Dan barangsiapa yang mempunyai salah satu sifat tersebut, maka dia dianggap sebagai orang munafiq hingga ia meninggalkan sifat tersebut. Yaitu apabila dia dipercaya dia berkhianat, apabila berbicara dia berbohong, dan apabila membuat janji dia mengingkari, apabila bertengkar dia melakukan kecurangan." 18 Hadits yang lain menyebutkan, "Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga: Apabila bicara, dia berbohong; apabila berjanji dia mengingkarinya; dan apabila dipercaya, dia berkhianat."19 Dalam riwayat Muslim disebutkan: "Walaupun dia berpuasa, shalat, dan mengaku bahwa dia Muslim." 20 Hadits-hadits ini dan hadits-hadits yang serupa dengannya menjadikan para sahabat mengkhawatirkan bahwa diri mereka termasuk golongan munafiq. Sehingga al-Hasan berkata, "Tidak ada yang takut kecuali omng mu'min dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali orang munafiq." Bahkan, Umar berkata kepada Hudzaifah yang pernah diberi penjelasan oleh Nabi saw mengenai ciri-ciri orang munafiq: "Apakah diriku termasuk golongan mereka?" Umar r.a. pernah memperingatkan adanya orang munafiq yang cerdik pandai, sehingga ada orang yang bertanya, "Bagaimana mungkin ada orang munafiq yang pandai?" Dia menjawab: "Pandai lidahnya, tetapi bodoh hatinya." Sebagian sahabat berkata, "Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dan kekhusyu'an orang munafiq?" Lalu ada orang yang berkata kepada mereka, "Bagaimanakah bentuknya kekhusyu'an orang munafiq itu?" Dia menjawab, "Badannya kelihatan khusyu' tetapi hatinya tidak khusyu'." 21 DOSA-DOSA BESAR Setelah kekufuran dan berbagai tingkatannya, maka di bawahnya ada kemaksiatan, yang terbagi menjadi dosa-dosa besar, dan dosa-dosa kecil. Dosa besar ialah dosa yang sangat berbahaya, yang dapat menimbulkan kemurkaan, laknat Allah, dan neraka Jahanam. Orang yang melakukannya kadang-kadang harus dikenai hukum had di dunia ini. Para ulama berselisih pendapat dalam memberikan batasan terhadap dosa besar ini. Barangkali yang paling dekat ialah kemaksiatan yang pelakunya dapat dikenakan had di dunia, dan diancam dengan ancaman yang berat di akhirat kelak, seperti masuk neraka, tidak boleh memasuki surga, atau mendapatkan kemurkaan dan laknat Allah SWT. Itulah hal-hal yang menunjukkan besarnya dosa itu. Ada pula nash-nash agama yang menyebutkan batasannya secara pasti dan mengatakannya ada tujuh 22 macam dosa besar setelah kemusyrikan; yaitu: Membunuh orang yang diharamkan oleh Allah untuk membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar; sihir; memakan riba; memakan harta anak yatim; menuduh perempuan mukmin melakukan zina; melakukan desersi dalam peperangan. Sedangkan hadits-hadits shahih lainnya menyebutkan: Menyakiti kedua hati orang tua, memutuskan tali silaturahim, menyatakan kesaksian yang palsu, bersumpah bohong, meminum khamar, berzina, melakukan homoseksual, bunuh diri, merampok, mempergunakan barang orang lain secara tidak benar, mengeksploitasi orang lain, menyogok, dan meramal. Termasuk dalam kategori dosa besar ini ialah meninggalkan perkara-perkara fardu yang mendasar, seperti: meninggalkan shalat, tidak membayar zakat, berbuka tanpa alasan di bulan Ramadhan, dan tidak mau melaksanakan ibadah haji bagi orang yang memiliki kemampuan untuk pergi ke tanah suci. Dosa-dosa besar yang disebutkan oleh pelbagai hadits banyak sekali macamnya. Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh hadits, "Tidakkah telah saya beritahukan kepada kamu semua mengenai dosa-dosa besar?"23 Kemudian beliau menyebutkan berbagai dosa besar setelah kemusyrikan: menyakiti hati kedua orangtua, dan mengucapkan persaksian yang palsu. Dalam sebuah hadits shahih dikatakan bahwa Nabi saw bersabda. "Sesungguhnya, yang termasuk salah satu dosa besar ialah orang yang melaknat kedua orang tuanya." Kemudian ada seorang sahabat yang bertanya: "Bagaimana mungkin seseorang dapat melaknat kedua orang tuanya?" Nabi saw menjawab, "Seorang lelaki, mencela ayah seorang lelaki, yang lainnya, kemudian lelaki yang ayahnya dicela itu mencela ayah orang yang mencelanya, dan mencela ibunya."24 Yakni orang yang ayahnya dicela itu, kemudian membalasnya dengan mencela ayah dan ibunya. Hadits Nabi saw menganggap bahwa pencelaan terhadap kedua orangtua secara tidak langsung termasuk salah satu jenis dosa besar, dan bukan hanya termasuk sesuatu yang diharamkan; lalu bagaimana halnya dengan orang yang langsung mencela dan menyakiti hati kedua orangtuanya? Bagaimana halnya dengan orang yang langsung menyiksa dan memukul kedua orang tuanya? Bagaimana pula dengan orang yang membuat kehidupan mereka bagaikan neraka jahim karena kekerasan dan perbuatan yang menyakitkan hati? Syariah agama ini telah membedakan antara kemaksiatan yang didorong oleh suatu kelemahan dan kemaksiatan yang didorong oleh kezaliman. yang pertama ialah bagaikan zina, dan yang kedua ialah bagaikan riba. Dari riba adalah dosa yang paling berat di sisi Allah SWT, sehingga al-Qur'an tidak pernah mengatakan sesuatu maksiat sebagaimana yang dikatakannya dalam hal riba: "... dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang- orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu ..." (al-Baqarah: 278-279) Rasulullah saw yang mulia melaknat orang yang memakan riba, orang yang menyuruh orang lain memakan riba, penulisnya, dan kedua saksi atas perbuatan riba itu, sambil bersabda, "Satu dirham riba yang dimakan oleh seorang lelaki dan dia mengetahui, maka hal itu lebih berat daripada tiga puluh enam kali berzina."25 Dan beliau membagi riba menjadi tujuh puluh macam, atau tujuhpuluh dua atau tujuh puluh tiga macam. Yang paling rendah dari berbagai macam bentuk itu ialah seorang lelaki yang menikahi ibunya.26 Catatan Kaki: 3 Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibn Hibban, dan Hakim dari Buraidah, sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (4143) 4 Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Jabir, ibid., (2848) 5 Lihatlah hadits~hadits ini dalam al-Mughni, 3:356; yang ditahqiq oleh Dr. Taraki dan Dr. Halwa. 6 Muttafaq 'Alaih dari Ibn Mas'ud, al-Lu'lu' wa al-Marjan (43) 7 Muttafaq 'Alaih dari Ibn Umar, ibid., 39 8 Lihat al-Mughni, 3:351-359 9 Diriwayatkan oleh Ahmad, dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. (Shahih al-Jami' as-Shaghir: 138). 10 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3904); Tirmidzi (135); dan Ibn Majah (939). 11 Diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim, dari Abu Hurairah r.a. (Shahih al-Jami' as-Shaghir). 12 Muttafaq 'Alaih dari Jarir dan Ibn Umar, sebagaimana disebutkan dalam al-Lu'lu'wal-Marjan (44) dan (45). 13 Lihat rincian yang berkaitan dengan masalah ini dalam fatwa- fatwa yang terperinci dalam buku kami yang berjudul, Fatawa Mu'ashirah, juz 2, bagian Fatwa: al-Hukm bi ghair ma Anzala Allah. 14 Lihat Madarij as-Salikin, 1: 335-337 15 Surat as-Syu'ara', 97-98 16 Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim dari Ibn Umar (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 8462) 17 Lihat Madarij as-Salikin, 1:344-346. 18 Muttafaq 'Alaih, dari Abdullah bin Umar; al-Lu'lu' wal-Marjan (37). 19 Muttafaq 'Alaih, dari Abu Hurairah r.a., ibid., (38). 20 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. dalam kitab al-Iman, 109, 110. 21 Madarij al-Salikin, 1: 358 22 Lihat makalah kami yang membahas tentang kemurtadan dan cara mengatasinya dalam masyarakat Islam; di dalam buku kami yang berjudul Malaamih al-Majtama' al-Muslim al-ladzi, Nansyuduh, bagian al-'Aqidah wa al-Iman, penerbit Maktabah Wahbah, Kairo. 23 Ada riwayat dari Abu Hurairah r.a. dalam as-Shahihain dan lain-lain, yang mengisyaratkan tentang 41 dosa besar ini, yaitu hadits: "Jauhilah tujuh macam dosa besar (atau hal-hal yang dapat membinasakan)." Al-Lu'lu' wa al-Marjan (56). 24 Hadits Abu Bakar, yang diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih; al-Lu'lu' wa al-Marjan (54). 25 Diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dari Abdullah bin Hanzhalah, sebagaimane disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir. 26 Diriwayatkan oleh Thabrani dari al-Barra'; al-Hakim dari Ibn Mas'ud; Ibn Majah dari Abu Hurairah r.a. sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (3537) (3539) dan (3541) ------------------------------------------------------ FIQH PRIORITAS Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah Dr. Yusuf Al Qardhawy Robbani Press, Jakarta Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |