Fiqh Prioritas

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PRIORITAS DALAM PENDAPAT-PENDAPAT FIQH
--------------------------------------

PADA pembahasan terdahulu, kami  telah  menyebutkan  prioritas
pemahaman atas hafalan, prioritas tujuan atas bentuk lahirian,
prioritas ijtihad atas taqlid, dan kini kita menginjak  kepada
hukum-hukum  syari'ah  yang  bersifat  ijtihadi, dan pendapat-
pendapat   fiqh   yang   bermacam-macam   dan    berbeda-beda.
Bagaimanakah  kita menerima satu pendapat dan menyisihkan yang
lain, mendahulukan  sebagian  pendapat  itu  dan  mengakhirkan
sebagian yang lain.

Sesungguhnya  pemilihan terhadap pendapat yang kita terima itu
tidak dapat dilakukan secara acak  (random),  dengan  tindakan
yang  ngawur;  di  samping itu kita tidak boleh mengikuti hawa
nafsu; tetapi semua tindakan yang akan kita lakukan harus  ada
ukuran yang dapat ditujuk dan dijadikan pedoman.

Dalam  berbagai  buku usul fiqh, persoalan ini dibahas panjang
lebar dan berkisar pertimbangan dan penentuan yang lebih  kuat
(atau   lebih  tepatnya  pen-tarjih-an);  dua  persoalan  yang
seringkali diistilahkan dengan kontradiksi  (at-ta'arudh)  dan
penerimaan yang lebih kuat (at-tarjih).

Sebagaimana  kontradiksi  yang  dihadapi oleh para imam hadits
dalam 'ulum al-hadits yang berkaitan  dengan  sebagian  sunnah
dengan sebagian yang lain.

Akan  tetapi,  saya  di  sini hendak mengingatkan beberapa hal
yang saya anggap  sangat  penting,  khususnya  yang  berkaitan
dengan  kehidupan  nyata kita pada masa kini, berupa pemikiran
yang amat dinamis, dan  pandangan  yang  saling  bertentangan,
baik  yang terjadi antara kaum Muslimin dan musuh-musuh mereka
yang telah "ter-Barat-kan" atau  para  pendukung  sekularisme;
serta   pertentangan   yang  terjadi  antara  berbagai  mazhab
pemikiran dan gerakan Islam.  Apalagi  bila  pertentangan  itu
terjadi  pada  orang-orang  yang bergerak dalam bidang da'wah,
perbaikan, dan kebajikan Islam, yang  memiliki  bermacam-macam
tujuan, metodologi yang saling bertentangan, dan kelompok yang
sangat berbeda-beda.

Pandangan-pandangan manakah yang tidak  boleh  dipertentangkan
sama  sekali,  dan tidak menerima pendapat yang lain, sehingga
secara mutlak tidak ada toleransi yang diberikan olehnya?

Lalu pandangan-pandangan mana yang memberi --dengan kadar yang
tidak  banyak--  celah untuk toleransi itu? Dan pandangan mana
pula yang banyak memberikan peluang untuk berbeda pendapat dan
bertoleransi?

MEMBEDAKAN ANTARA DALIL QATH'I DAN DALIL ZHANNI

Para  ulama  sepakat  bahwa  sesuatu keputusan yang ditetapkan
melalui ijtihad tidak sama dengan ketetapan yang berasal  dari
nash;  dan  apa  yang  telah  ditetapkan  oleh  nash  kemudian
didukung oleh ijma' yang meyakinkan tidak sama dengan apa yang
ditetapkan  oleh  nash  tetapi  masih  mengandung perselisihan
pendapat. Perbedaan pendapat yang terjadi menunjukkan bahwa ia
adalah  masalah  ijtihad. Sedangkan dalam masalah ijtihadiyah,
tidak boleh terjadi saling mengingkari antara ulama yang  satu
dengan  yang  lainnya.  Akan  tetapi  sebagian  ulama memiliki
peluang untuk mendiskusikannya dengan sebagian yang lain dalam
suasana   saling  menghormati.  Selain  itu,  apa  yang  telah
ditetapkan oleh nash juga banyak berbeda dari segi apakah nash
itu sifatnya qath'i (definitif) atau hanya zhanni.

Masalah-masalah  yang qath'i dan zhanni berkaitan dengan tetap
(tsubut)nya nash dan penunjukan(dilalah)-nya.

Di antara nash-nash itu  ada  yang  ketetapannya  zhanni,  dan
penunjukkannya juga zhanni.

   * Ada yang ketetapannya zhanni, dan penunjukkannya qath'i;
   
   * Ada yang ketetapannya qath'i, dan penunjukkannya zhanni;
     dan
   
   * Ada yang ketetapannya qath'i, dan penunjukannya juga
     qath'i.

Ketetapan yang bersifat zhanni  ini  khusus  berkaitan  dengan
sunnah yang tidak mutawatir. Dan sunnah mutawatir ialah sunnah
yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok  orang
yang  lain, dari awal mata rantai periwayatan hingga akhirnya,
sehingga tidak ada kemungkinan  bagi  mereka  untuk  melakukan
kebohongan. Sedangkan sunnah Ahad tidak seperti itu.

Di  antara ulama ada yang berkata, "Sesungguhnya yang dianggap
mutawatir itu ialah hadits  'aziz.  Tetapi  hampir  tidak  ada
hadits  'aziz yang mencapai derajat mutawatir. Tetapi ada pula
ulama yang memberikan kelonggaran lebih dari itu, sehingga dia
memasukkan  hadits-hadits  dha'if  kepadanya,  yang tentu saja
ditolak oleh Bukhari dan Muslim. Oleh  karena  itu,  hendaknya
berhati-hati orang yang mengatakan bahwa suatu hadits dianggap
mutawatir    jika    dia    tidak    memiliki    bukti    bagi
ke-mutawatir-annya.

Ada  ulama  yang menggolongkan kepada mutawatir, hadits-hadits
yang memiliki sifat  hampir  sama  dengan  mutawatir;  seperti
hadits  yang  diterima  oleh suatu umat. Seperti hadits-hadits
dalam Shahih Bukhari Muslim yang  tidak  ditentang  oleh  para
ulama yang memiliki kompetensi dalam bidang itu.

Dan  penunjukan  yang  bersifat  zhanni  mencakup  sunnah  dan
al-Qur'an secara bersamaan. Kebanyakan nash yang  ada  padanya
mengandung  berbagai  macam  pemahaman  dan penafsiran, karena
ungkapan yang dipergunakan pada keduanya  sudah  barang  tentu
ada  yang  hakiki  dan  ada  yang  berbentuk  kiasan, ada yang
bersifat khusus dan ada pula  yang  bersifat  umum,  ada  yang
mutlak  dan  ada  yang terikat, ada yang berindikasi kesamaan,
ada yang berindikasi kandungan yang sama, dan  ada  pula  yang
berindikasi sejajar.

Kebanyakan   pemahaman  manusia  tunduk  kepada  akal  pikiran
manusia,   kondisi,   dan   kecenderungan    psikologis    dan
intelektualnya. Oleh sebab itu, orang yang keras akan memahami
nash dengan pemahaman yang berbeda  dengan  orang  yang  biasa
saja.  Oleh  karena  itu  dalam  warisan pemikiran Islam, kita
mengenal  kekerasan  (keketatan)  Ibn  Umar,  dan   keringanan
(kemudahan) Ibn 'Abbas. Orang yang mempunyai wawasan yang luas
akan  berbeda  sama  sekali  pandangannya  dengan  orang  yang
berwawasan  sempit.  Di samping itu, maksud yang terkandung di
dalam nash ada yang dipahami tidak seperti  yang  tampak  dari
segi lahiriahnya secara harfiyah, di mana segi lahiriahnya ini
seringkali malah stagnan. Masalah  perintah  shalat  Ashar  di
Bani   Quraizhah  merupakan  dalil  yang  sangat  jelas  untuk
menerangkan persoalan di atas.

Allah Maha Bijaksana untuk membuat nash yang beragam itu, agar
mencakup  kehidupan manusia secara luas, dengan orientasi yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, Allah menurunkan kitab suci-Nya
yang  abadi,  di  dalamnya ada ayat yang muhkamat (yang terang
dan tegas artinya) yang merupakan pokok-pokok  isi  al-Qur'an,
dan  ada  pula  ayat-ayat  yang  mutasyabihat (yang mengandung
beberapa pengertian).

Sekiranya Allah ingin mengumpulkan manusia pada satu pemahaman
atau  satu  pandangan  saja,  maka  Dia  akan menurunkan kitab
suci-Nya dengan ayat-ayat  yang  seluruhnya  muhkamat,  dengan
seluruh nashnya yang pasti.

Seluruh  al-Qur'an  tidak  diragukan  lagi  bahwa ketetapannya
bersifat pasti, akan tetapi  kebanyakan  ayat-ayatnya  --dalam
masalah   yang   kecil  (juz'iyyat)--  penunjukannya  bersifat
zhanni;  dan  inilah  yang  menyebabkan  para  fuqaha  berbeda
pendapat dalam mengambil suatu kesimpulan hukum.

Akan  tetapi untuk masalah-masalah yang besar, seperti masalah
ketuhanan,  kenabian,  pahala,  pokok-pokok   aturan   ibadah,
pokok-pokok  aturan moralitas (yang berkaitan dengan perbuatan
baik  maupun  perbuatan  yang  buruk),  hukum-hukum   mendasar
mengenai  keluarga  dan  warisan, hudud dan qisas, dan lainnya
telah dijelaskan dalam ayat yang muhkamat,  yang  tidak  dapat
dipertentangkan  lagi, sehingga semua orang memiliki pandangan
yang sama.

Persoalan-persoalan  di  atas  juga  ditegaskan  kembali  oleh
sunnah  Nabi  saw,  yang  berupa  perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan  darinya;  selain  ditetapkan  oleh  konsensus  para
ulama,  yang  disesuaikan  dengan praktek yang harus dilakukan
oleh umat.

Atas dasar itu, kita tidak  boleh  mencampurkan  --baik  dalam
kondisi  tidak  mengetahui  atau dengan sengaja melakukannya--
antara sebagian nash dengan sebagian yang lain.

Seseorang  dapat  dimaafkan  jika  dia   menolak   nash   yang
ketetapannya  bersifat  zhanni,  jika dia mempunyai dalil yang
menunjukkan bahwa dalil itu tidak pasti.

Seseorang juga dimaafkan apabila dia  menolak  suatu  pendapat
yang berdasarkan nash yang penunjukannya bersifat zhanni; atau
untuk memberikan  suatu  penafsiran  baru  yang  belum  pernah
dilakukan  oleh  generasi  ulama terdahulu; tentu saja apabila
penafsiran seperti itu mungkin dilakukan.

Kadangkala seseorang tidak dimaafkan karena melakukan ini  dan
itu  ketika dia menolak nash yang bersifat zhanni, apabila dia
sengaja menghindarinya atau mencari  yang  paling  mudah  bagi
dirinya.  Namun tindakan ini tidak sampai membuatnya kafir dan
mengeluarkannya  dari  agama  ini  karena  tindakan  tersebut.
Paling  jauh,  dia  dianggap  melakukan  bid'ah,  atau dituduh
melakukan  bid'ah,  dan   keluar   dari   jalan   yang   biasa
dipergunakan   oleh   Ahlussunnah;  dan  Allah-lah  yang  akan
memperhitungkan apa yang dilakukan olehnya. Tindakan ini tidak
boleh  dilakukan oleh sembarang orang, yang boleh melakukannya
hanyalah mahaqqiq (peneliti) yang  benar-benar  memiliki  ilmu
dalam bidang tersebut.

Orang yang benar-benar dianggap sebagai keluar dari Islam, dan
perkataannya  mesti  diabaikan  ialah   orang   yang   menolak
nash-nash   yang  bersifat  qath'i  dari  segi  ketetapan  dan
penunjukannya secara bersamaan. Walaupun jumlah  orang  serupa
ini  tidak  banyak,  namun  masalah ini dianggap sangat serius
dalam urusan agama. Karena  sesungguhnya  orang-orang  seperti
ini  akan  mengacaukan  kesatuan aqidah, pemikiran, emosi, dan
ilmu kaum Muslimin.  Padahal  hal-hal  seperti  ini  merupakan
pemutus   hukum   sekaligus  menjadi  rujukan  apabila  mereka
berselisih pendapat. Apabila hal-hal  tersebut  sendiri  masih
dipertentangkan  dan  diperselisihkan, maka apalagi yang dapat
dijadikan sebagai rujukan oleh manusia.

Oleh karena itu, melalui berbagai buku kami, kami mengingatkan
adanya  perang  pemikiran  yang berusaha mengubah hal-hal yang
qath'i kepada zhanni, mengubah hal-hal  yang  muhkamat  kepada
mutasyabihat;  sebagaimana  orang-orang  yang  menentang  ayat
pengharaman khamar:

   "... sesungguhnya meminum khamar, berjudi, (berkorban
   untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah
   perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
   perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
   keberuntungan." (al-Maidah: 90)

Mereka meragukan penunjukan  yang  ditunjukan  oleh  perkataan
"maka  jauhilah  perbuatan-perbuatan  itu" bahwa perkataan ini
bukan menunjukkan kepada pengharaman.

Orang-orang seperti ini sama dengan orang-orang yang menentang
pengharaman  riba,  pengharaman  daging  babi,  dan orang yang
menentang pemberian warisan kepada perempuan,  atau  pemberian
kekuasaan penuh kepada laki-laki di dalam keluarga, atau orang
yang menentang wajibnya penggunaan jilbab (penggunaan kerudung
dan  pakaian  yang  menutup  aurat  perempuan),  dan lain yang
ditunjukkan oleh  nash-nash  yang  ketetapan  dan  indikasinya
bersifat  qath'i, atau ditetapkan melalui konsensus umat, yang
telah menjadi fiqh dan amalan,  teori  dan  praktek  umat  ini
selama empat belas abad lamanya.

Sesungguhnya   perkara-perkara  agama  yang  sudah  jelas  ini
dikatakan oleh para ulama  sebagai  "Aksiomatika"  (Badahiyat)
yang diketahui secara menyeluruh oleh semua kaum Muslimin baik
yang khusus maupun  orang  awamnya,  tanpa  harus  dikemukakan
dalil  untuk  masalah-masalah  tersebut,  karena  sesungguhnya
dalilnya banyak dan sudah lazim diketahui, serta telah merasuk
di dalam perasaan umat.

Untuk  hal-hal  seperti  itulah  orang yang menentang dianggap
kafir.  Sebelum  anggapan  itu  dikenakan   kepadanya,   harus
disampaikan  dahulu  hujjah kepadanya, kemudian bila dia masih
tetap pada keyakinannya seperti itu, maka dia tidak  dimaafkan
lagi,  dan  setelah  itu dia harus dikeluarkan dari tubuh umat
ini, lalu dilepaskan sama sekali.

Kita perlu memusatkan pikiran kepada hal-hal qath'i yang telah
disepakati  oleh  umat, dan bukan hal-hal yang bersifat zhanni
yang masih diperselisihkan.  Yang  membuat  umat  tidak  punya
peran  adalah  pengabaiannya  akan  hal-hal  yang  qath'i. Dan
'peperangan' yang  terjadi  antara  penganjur-penganjur  Islam
hari  ini  di  seluruh  dunia  Islam  dan  penganjur-penganjur
sekularisme yang tidak beragama hanya  berkisar  pada  hal-hal
yang  bersifat qath'i; seperti hal-hal yang bersifat qath'i di
dalam aqidah, syariah, pemikiran dan perilaku manusia.

Sesungguhnya hal-hal yang qath'i  seperti  ini  wajib  menjadi
dasar  bagi  pemahaman  dan  pengetahuan;  menjadi  dasar bagi
da'wah dan informasi; dasar bagi  pendidikan  dan  pengajaran;
dan dasar bagi keberadaan Islam secara menyeluruh.

Sebenarnya  hal-hal  yang dianggap paling membahayakan didalam
da'wah Islam dan kebajikan  Islam  ialah  bergulirnya  manusia
secara  terus-menerus  kepada  persoalan-persoalan  khilafiyah
yang tidak akan ada habis-habisnya, serta akan selalu  membuat
suasana  panas  di  sekitarnya,  dan  akan  mengkotak-kotakkan
manusia  sesuai  dengan  pandangan  yang  mereka  anut,  serta
menentukan layak tidaknya seseorang atas dasar hal tersebut.

Sebetulnya  kami  telah  menjelaskan dalil-dalil qath'i ini di
dalam  buku  kami,  as-Shahwah  bayn  al-Ikhtilaf   al-Masyru'
wat-Tafarruq   al-Madzmum,   walaupun   sebenarnya   perbedaan
pendapat seperti itu merupakan sesuatu yang  penting,  rahmat,
dan kekayaan umat. Kita tidak mungkin menghilangkannya.

Perkataan  saya  ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh sama
sekali berbicara tentang masalah khilafiyah, dan tidak mungkin
menetapkan  satu pendapat pada masalah aqidah, atau fiqh, atau
perilaku manusia. Ini sesuatu yang  mustahil.  Jika  demikian,
lalu  apa  yang  dilakukan  oleh para ulama kalau mereka tidak
boleh membenarkan, menyalahkan, menerima dan memilih?

Sesuatu yang tidak saya inginkan ialah kita mencurahkan segala
perhatian  kepada persoalan tersebut, sehingga kita disibukkan
kepada hal-hal  yang  diperselisihkan  lebih  banyak  daripada
hal-hal  yang  telah  disepakati.  Kita  mencurahkan perhatian
kepada yang zhanni, sedangkan  manusia  menyimpang  dari  yang
qath'i.

Adalah    salah   dan   berbahaya   jika   kita   mengemukakan
masalah-masalah yang  diperselisihkan  dengan  sengit  sebagai
masalah-masalah   yang   bisa   diterima   dan   tidak   perlu
dipertentangkan seraya  mengesampingkan  pendapat  orang  lain
yang  memiliki  pandangan dan dalilnya, bagaimanapun bentuknya
pendapat yang kita miliki.

Seringkali, pendapat orang selain  kita  itu  adalah  pendapat
jumhur  di kalangan para ulama umat ini. Walaupun mereka tidak
ma'shum dan ijma' mereka tidak absolut,  tetapi  ijma'  mereka
tidak boleh diremehkan.

Seperti  orang-orang  yang  menganjurkan  wajibnya  penggunaan
cadar  (penutup  muka)  dan  kerudung  yang  panjang,   dengan
anggapan  bahwa  pendapat mereka adalah paling benar dan tidak
mengandung  kesalahan.  Mereka  sangat   tidak   suka   kepada
orang-orang yang menentang pendapat mereka, padahal sebetulnya
para penganjur itu berselisih pendapat dengan jumhur ulama dan
fuqaha  yang  lebih  besar  jumlahnya;  di samping mereka juga
bertentangan dengan dalil-dalil yang  jelas  dan  terang  dari
al-Qur'an dan sunnah, serta amalan para sahabat.

Ada  seorang  juru  da'wah  yang  sangat menyedihkan hati saya
dalam  sebuah  khotbahnya  yang  masih  ada  rekamannya.   Dia
mengatakan, "Sesungguhnya perempuan yang membuka wajahnya sama
dengan perempuan yang membuka farjinya."  Ini  adalah  sesuatu
yang  sangat  berlebihan,  yang  tidak patut keluar dari orang
yang memiliki pemahaman dan wawasan yang luas.

Pada kesempatan ini  saya  ingin  mengingatkan,  "Sesungguhnya
pendapat  sebagian  ulama  ada  yang  dianggap aneh pada suatu
lingkungan dan masa  tertentu,  karena  pendapat  itu  mungkin
lebih  cepat  mendahulu  zamannya, tetapi pada zaman yang lain
ada  orang  yang  menguatkan  pendapatnya  dan  menyiarkannya,
sehingga  pendapat itu menjadi pendapat yang boleh diandalkan,
sebagaimana yang terjadi dengan  berbagai  pendapat  Imam  Ibn
Taimiyah rahimahumullah".
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team