Fiqh Prioritas

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IMAM AL-GHAZALI DAN FIQH PRIORITAS
 
DI ANTARA ulama yang memberikan perhatian  besar  kepada  fiqh
prioritas  dan  mengkritik  cara  hidup masyarakat Muslim yang
berlebih-lebihan ialah Imam al-Ghazali. Hal ini tampak  dengan
jelas  dalam  ensiklopedianya,  al-Ihya' 'Ulum al-Din. Pembaca
buku ini akan menemukan pembahasan  tersebut  pada  seperempat
buku,  dan  juga  buku  al-Arba'in-nya. Lebih jelas lagi dalam
bukunya, Dzamm al-Ghurur, yang merupakan bagian kesepuluh dari
al Muhlikat.
 
Di  dalam kajian itu disebutkan berbagai kelompok manusia yang
tertipu tetapi mereka tidak menyadarinya.
 
Al-Ghazali   menyebut   orang-orang   yang    memiliki    ilmu
pengetahuan,   ahli   ibadah  dan  amalan,  orang-orang  sufi,
orang-orang kaya dan, juga orang-orang awam.  Dia  menyebutkan
ketertipuan   orang-orang  dari  masing-masing  kelompok,  dan
bagaimana  mereka  tertipu  oleh  hawa  nafsu   mereka,   atau
bagaimana   setan-setan  mereka  memperindah  perbuatan  buruk
mereka, sehingga  mereka  melihatnya  sebagai  perbuatan  yang
baik.  Setan  telah  memberikan  sifat dan gambaran yang baru,
yang harus mereka ikuti.
 
Saya menganggap cukup untuk menyebutkan dua contoh kritikannya
yang mendalam dan arif, untuk melihat sejauh mana pemahamannya
terhadap agama Allah, dan pemahamannya terhadap dunia manusia,
serta  kemauan kerasnya untuk memperbaiki keadaan manusia dari
segi lahiriah dan batiniah  mereka,  di  samping  perhatiannya
pada fiqh prioritas.
 
CONTOH KETIMPANGAN DALAM MEMBUAT PERINGKAT AMALAN SYARI'AH
 
Contoh  pertama  ialah  kelompok  orang-orang  beragama   yang
tertipu,  di  antara  para  ahli  ibadah  dan  amal perbuatan.
Al-Ghazali berkata,
 
   "Di antara mereka adalah kelompok orang-orang yang
   meremehkan perkara-perkara fardhu dan menyibukkan diri
   dengan masalah fadhail dan nawafil. Bahkan mungkin
   sekali mereka memperdalam perkara-perkara fadhail
   sehingga mereka berani melakukan permusuhan dan
   tindakan yang melampaui batas. Seperti orang yang
   dikalahkan oleh keraguan dalam berwudhu sehingga dia
   sangat berlebihan dalam melakukannya, dan tidak puas
   dengan air yang dianggap suci menurut fatwa syari'ah.
   Dia menilai hal-hal yang jauh dari najis menjadi dekat.
   Tetapi apabila dia memakan makanan yang halal dia
   menilai hal-hal yang dekat kepada haram menjadi jauh.
   Dan bahkan dia memakan makanan yang betul-betul
   haram.22
 
Ada  lagi  kelompok  yang  sangat  tamak  untuk   melaksanakan
perkara-perkara    yang    hukumnya   sunnah,   tetapi   tidak
menghiraukan kepada perkara-perkara yang hukumnya fardhu. Anda
dapat melihat orang yang termasuk di dalam kelompok ini begitu
gembira bila dapat melaksanakan shalat  Dhuha,  shalat  malam,
dan  perkara-perkara  sunnah  lainnya, tetapi dia tidak pernah
merasakan nikmatnya perkara fardhu,  serta  tidak  bersemangat
untuk  segera  melaksanakan  perkara ini di awal waktunya. Dia
lupa terhadap sabda  Rasulullah  saw  yang  diriwayatkan  dari
Tuhannya,
 
   "Tidak ada sesuatu yang dapat dipergunakan oleh
   seseorang mendekatkan diri kepada-Ku seperti apa yang
   Saya fardhukan kepada mereka."23
 
Mengabaikan urutan prioritas pada  perkara-perkara  yang  baik
adalah termasuk keburukan.
 
Bahkan,   telah  ditetapkan  adanya  dua  macam  fardhu  dalam
kehidupan manusia. Pertama, yang  terluput,  dan  kedua  tidak
terluput.  Atau  adanya dua keutamaan. Pertama, ialah kategori
fardhu yang sempit waktunya, dan kedua ialah  kategori  fardhu
yang luas waktunya. Apabila dia tidak menjaga urutan prioritas
tersebut, maka dia akan tertipu dan sia-sia.
 
Contoh-contoh yang lainnya sangat banyak dan  tidak  terhitung
jumlahnya;   karena   sesungguhnya  kemaksiatan  dan  ketaatan
merupakan dua hal yang sangat jelas. Hanya saja  masalah  yang
cukup rumit ialah mendahulukan sebagian ketaatan atas sebagian
yang lain.  Seperti  mendahulukan  hal-hal  yang  fardhu  atas
hal-hal  yang  sunnah;  mendahulukan  fardhu  ain  atas fardhu
kifayah; mendahulukan fardhu kifayah yang tidak ada orang yang
mengerjakannya  atas  fardhu kifayah yang sudah ada orang yang
mengerjakannya; mendahulukan fardhu ain  yang  paling  penting
atas hal-hal yang kurang penting; dan mendahulukan urusan yang
sudah mendesak atas urusan yang masih  longgar  waklunya.  Hal
ini   adalah   seperti   mendahulukan   kepentingan  ibu  atas
kepentingan ayah; karena Sesungguhnya  ketika  Rasulullah  saw
ditanya  oleh  seorang  sahabat,  "Kepada  Siapakah  aku harus
berbuat baik wahai Rasulullah?" Rasul menjawab, "Ibumu." Orang
itu  bertanya  lagi,  "Kemudian kepada siapa?" Rasul menjawab,
"Ibumu." Dia bertanya  lagi,  "Kemudian  kepada  siapa  lagi?"
Rasul  menjawab,  "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian kepada
siapa lagi?" Rasul  menjawab,  "Ayahmu."  Dia  bertanya  lagi,
"Kemudian kepada siapa lagi?" Rasul menjawab, "Kemudian kepada
yang lebih dekat lagi dan kepada yang lebih dekat lagi." 24
 
Oleh sebab itu, kita mesti memulai menjalin  tali  silaturahim
dengan  kerabat  yang  paling  dekat.  Dan  jika  ada kesamaan
kedekatan mereka, maka kepada yang  lebih  perlu,  jika  masih
sama  lagi,  maka  kita  harus memilih yang lebih bertaqwa dan
lebih wara'.
 
Begitu pula  orang  yang  harta  bendanya  tidak  cukup  untuk
memberikan  nafkah kepada kedua orangtua dan ibadah haji, maka
barangkali dia  dapat  melaksanakan  ibadah  haji  tetapi  dia
tertipu.  Seharusnya  dia  mendahulukan  hak kedua orangtuanya
daripada melakukan ibadah haji. Dan inilah yang disebut dengan
melakukan fardhu yang lebih penting atas fardhu yang lainnya.
 
Contoh  lainnya  sangat  banyak,  misalnya  apabila  seseorang
membuat janji, dan telah masuk waktu  shalat  Jumat,  kemudian
shalat  Jumatnya  tertinggal,  maka  kesibukan  untuk menepati
janji "ketika itu" dianggap sebagai kemaksiatan, walaupun  ini
merupakan salah satu bentuk ketaatan dari dirinya.
 
Begitu  pula seseorang yang pakaiannya terkena najis, kemudian
dia marah kepada  kedua  orangtuanya  dan  keluarganya  karena
najis  tersebut.  Maka  sesungguhnya najis itu perlu dihindari
dan  menyakiti  hati  kedua  orangtua  juga  harus  dihindari.
Menghindarkan  diri  dari menyakiti hati orangtua adalah lebih
penting daripada menghindarkan najis seperti itu.
 
Contoh-contoh benturan antara  larangan  dan  ketaatan  sangat
banyak.  Orang yang tidak menjaga urutan prioritas dalam semua
persoalan di atas,  maka  ia  akan  tertipu.  Ketertipuan  ini
merupakan masalah yang sangat pelik, karena sesungguhnya orang
yang tertipu itu berada di  dalam  ketaatan,  hanya  saja  dia
kurang  waspada  terhadap ketaatan yang dapat menjelma menjadi
kemaksiatan, Karena ia meninggalkan ketaatan  yang  wajib  dan
lebih penting."25
 
Itulah   persoalan   paling   penting   yang  disebutkan  oleh
al-Ghazali, ahli fiqh  itu,  dan  betapa  perlunya  para  juru
da'wah kebangkitan Islam kepada fiqh dan kesadaran al-Ghazali.
Sejak munculnya isu kebangkitan Islam dan organisasi keagamaan
saya  telah  mempergunakan  konsep  itu yang saya sebut dengan
"fiqh urutan pekerjaan", karena  setiap  amalan  harus  diberi
'kredit'  syari'ah  nya,  dan  ditempatkan  pada "anak tangga"
perkara-perkara yang diperintahkan atau dilarang.  Saya  belum
pernah  membaca  tulisan  seperti  yang dibuat oleh al-Ghazali
yang demikian mendalam dan jelas.  Dia  mempergunakan  istilah
yang  sangat  menonjol,  yaitu  "meninggalkan urutan prioritas
pada perkara-perkara yang baik dari sejumlah  keburukan."  Dan
banyak lagi contoh lainnya yang dapat kita peroleh dari uraian
yang dibuatnya.
 
MEMBELANJAKAN HARTA PADA SESUATU YANG KURANG DIPRIORITASKAN
 
Contoh  lainnya,   yaitu   perbuatan   yang   dilakukan   oleh
orang-orang  kaya,  dan  tertipu.  Orang  yang tergolong dalam
kelompok ini ada bermacam-macam.  Salah  satunya  ialah  orang
yang   sangat   berambisi   untuk   membangun   masjid-masjid,
sekolah-sekolah,  jembatan-jembatan,  yang  tampak  pada  mata
orang  banyak,  kemudian  mereka  mengukirkan nama-nama mereka
pada batu prasasti, agar nama mereka senantiasa  diingat,  dan
tetap  dikenang  walaupun  mereka telah meninggal dunia, serta
diketahui  bahwa  itulah  hasil  peninggalan  mereka.   Mereka
menyangka  bahwa dengan melakukan perbuatan seperti itu mereka
berhak mendapatkan ampunan dari Allah  SWT,  namun  sebenarnya
mereka tertipu dalam dua hal.
 
Pertama,   mereka   membangun  proyek-proyek  itu  dari  harta
kekayaan yang mereka peroleh  melalui  kezaliman,  perampasan,
dan  sogokan  (risywah),  serta  dari  hal-hal yang terlarang.
Dengan cara  pencarian  harta  kekayaan  seperti  ini  berarti
mereka  telah mendapatkan satu kemurkaan dari Allah SWT, serta
kemurkaan ketika menafkahkannya.  Seharusnya  mereka  mencegah
diri  untuk  tidak  mencari harta kekayaan dengan cara seperti
itu. Dan apabila mereka  telah  melakukan  kemaksiatan  kepada
Allah  untuk  memperoleh harta kekayaan itu, maka mereka harus
bertobat  dan  kembali  kepada  Allah,   mengembalikan   harta
kekayaan  itu  kepada  orang  yang  berhak  memilikinya. Yaitu
dengan cara mengembalikan barangnya  atau  menggantikan  nilai
barang  tersebut  apabila  mereka  tidak  dapat  mengembalikan
barangnya.   Jikapun   mereka   tidak   dapat    mengembalikan
barang-barang   itu   kepada  pemiliknya,  maka  mereka  wajib
mengembalikannya kepada para ahli warisnya.  Jika  orang  yang
dizalimi  itu  tidak  mempunyai  ahli  waris,  maka  dia harus
menafkahkan harta itu untuk kemaslahatan yang paling  penting.
Dan barangkali tindakan yang paling penting ialah mengentaskan
kemiskinan.  Akan   tetapi,   sayang   sekali   mereka   tidak
melakukannya,  karena khawatir bahwa perbuatannya tidak banyak
diketahui oleh  mata  manusia.  Dan  oleh  karena  itu  mereka
mendirikan    bangunan,    dengan   tujuan   memamerkan   amal
perbuatannya,  dan  memperoleh  pujian  dari  manusia,   serta
berambisi  untuk  mengekalkan amal perbuatannya agar pada masa
yang sama namanya juga ikut terabadikan.
 
Kedua,  mereka  menyangka  bahwa  amal  perbuatan  itu  mereka
lakukan  dengan  ikhlas, dan bertujuan baik karena menafkahkan
harta kekayaan untuk  membangun  gedung-gedung.  Akan  tetapi,
kalau  salah  seorang  di antara mereka diminta sumbangan satu
dinar, dan namanya tidak diabadikan sebagai  penyumbang,  maka
hatinya  tidak  hendak memberikan sumbangan itu, padahal Allah
SWT Maha Mengetahui amal  perbuatannya  baik  namanya  ditulis
sebagai  penyumbang  atau  tidak.  Misalkan  orang  itu  tidak
memerlukan pujian orang, tapi hanya karena Allah, maka mengapa
dia harus berlaku seperti itu.
 
KESIBUKAN ORANG KAYA DENGAN IBADAH FISIK
 
Kelompok lainnya ialah orang-orang kaya  yang  sibuk  menumpuk
dan  menyimpan  harta  kekayaannya  tapi sangat pelit (bakhil)
untuk membelanjakan harta kekayaan tersebut.  Kemudian  mereka
menyibukkan   diri   dengan  ibadah-ibadah  fisik  yang  tidak
memerlukan biaya. Seperti berpuasa pada siang hari,  melakukan
shalat   malam,   dan   mengkhatamkan   al-Qur'an.  Sebenarnya
orang-orang seperti ini tertipu, sebab kebakhilan yang  sangat
merusak telah menguasai relung batiniah mereka. Seharusnya dia
dapat memasuki ketinggian  derajat  dengan  menafkahkan  harta
kekayaannya,  tetapi  dia  sibuk  mencari suatu kelebihan yang
sepatutnya tidak perlu dia lakukan. Perumpamaan orang  seperti
ini  adalah  seperti  orang  yang pakaiannya dimasuki ular dan
hampir  binasa,  tetapi  dia  masih  menyibukkan  diri  dengan
memasak  jamu  untuk  menyembuhkan  penyakit  kuningnya. Lalu,
apakah orang yang mendekati kehancuran  karena  diracuni  oleh
ular masih memerlukan jamu?
 
Oleh  sebab  itu,  Ketika  ada  seseorang  yang berkata kepada
Bisyr, "Sesungguhnya Fulan  yang  kaya  itu  banyak  melakukan
puasa  dan  shalat,"  Bisyr  berkata  kepadanya, "Kasihan, dia
meninggalkan urusannya sendiri dan memasuki urusan orang lain.
Sesungguhnya  lebih baik bagi dirinya untuk memberikan makanan
kepada orang-orang yang kelaparan,  dan  menafkahkan  hartanya
untuk  orang-orang  miskin  daripada  dia  melaparkan  dirinya
sendiri, dan melakukan shalat untuk kepentingan dirinya. untuk
apa dia mengumpulkan dunia dan menahan harta kekayaan itu dari
fakir miskin?"
 
MEMBELANJAKAN HARTA UNTUK HAJI SUNNAH
 
Sesuatu yang  dianggap  aib  oleh  al-Ghazali  dalam  perilaku
orang-orang  kaya  umat  ini  ialah  bahwa sesungguhnya mereka
sangat berambisi membelanjakan uangnya untuk melakukan  ibadah
haji.  Sehingga mereka melakukan ibadah haji berkali-kali, dan
bahkan mereka meninggalkan tetangga-tetangganya kelaparan.
 
Oleh sebab itu, Ibn Mas'ud berkata, "Pada  akhir  zaman  nanti
banyak  orang  yang  melakukan ibadah haji tanpa sebab. Mereka
begitu mudah melakukan perjalanan ke Makkah,  mempunyai  rizki
yang  melimpah,  tetapi  mereka pulang kembali ke tanah airnya
dalam keadaan miskin dan tidak punya apa-apa. Hingga ada salah
seorang  di  antara  mereka  yang  untanya  tersesat di tengah
padang  pasir,  tetapi  tetangganya  yang  ada  di  sampingnya
terbelenggu   dan   dia  tidak  dapat  memberikan  pertolongan
kepadanya."
 
Seakan-akan Ibn Mas'ud  r.a.  melihat  kepada  apa  yang  akan
terjadi  pada  zaman  kita  sekarang ini melalui alam gaib dan
memberikan   ciri-cirinya   Abu   Nashr   al-Tammar   berkata,
"Sesungguhnya   ada  seorang  lelaki  yang  datang  dan  ingin
mengucapkan selamat tinggal kepada Bisyr bin al-Harits  sambil
berkata  "Aku  telah berniat melakukan ibadah haji, barangkali
engkau hendak memerintahkan sesuatu kepadaku."  Bisyr  berkata
kepadanya:  "Berapa  biaya  yang telah engkau persiapkan untuk
itu?" Dia menjawab, "Dua ribu dirham."
 
Bisyr berkata, "Apakah yang hendak engkau cari  dalam  hajimu?
Karena  zuhud,  rindu  kepada Baitullah, ataukah untuk mencari
keridhaan Allah SWT?"
 
Dia menjawab, "Saya hendak mencari keridhaan Allah SWT."
 
Bisyr berkata, "Kalau engkau hendak  mencari  keridhaan  Allah
SWT,   sementara   engkau   tetap   berada   di   rumahmu  dan
membelanjakan dua ribu dirham itu (bukan untuk berhaji), serta
engkau   merasa  yakin  bahwa  engkau  akan  dapat  memperoleh
keridhaan itu, maka apakah  engkau  akan  melakukannya  (haji)
juga?"
 
Dia menjawab, "Ya."
 
Bisyr  berkata,  "Pergilah,  dan  berikan  dua ribu dirham itu
kepada sepuluh kelompok manusia ini: orang yang berutang  agar
dia dapat membayar utang-utangnya; orang miskin agar dia dapat
bangkit kembali; orang yang  menanggung  pemeliharaan  anggota
keluarga  yang  banyak agar mereka tercukupi keperluannya; dan
pengasuh anak yatim  agar  dia  dapat  menggembirakan  mereka.
Kalau  hatimu  kuat,  berikanlah  uang  itu  kepada salah satu
kelompok   tersebut,   karena   sesungguhnya   usahamu   untuk
menggembirakan  hati  seorang  Muslim,  memberikan pertolongan
kepada orang yang  bersedih  hati,  menyelamatkan  orang  yang
sedang  dalam  keadaan  berbahaya,  memberikan  bantuan kepada
orang yang lemah, adalah lebih baik daripada seratus kali haji
yang  dilakukan setelah haji wajib dalam Islam. Berdirilah dan
berikanlah   uang   itu   kepada   mereka   sebagaimana   kami
memerintahkan  kepadamu.  Jika tidak, maka katakanlah apa yang
terdetik di dalam hatimu?"
 
Dia menjawab, "Wahai Abu Nashr, perjalananku lebih kuat  dalam
hatiku. "
 
Bisyr   lalu  tersenyum,  kemudian  mendekatinya  dan  berkata
kepadanya:  "Harta  kekayaan  yang  dikumpulkan  dari  kotoran
perniagaan  dan  syubhat,  membuat  hawa  nafsu  bertindak  di
dalamnya untuk memamerkan amal  shalehnya  Padahal  Allah  SWT
telah  berjanji  kepada  diri-Nya sendiri untuk tidak menerima
kecuali amal orang-orang yang bertaqwa kepada-Nya."26
 
   "... Ya tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami),
   sesungguhnya engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha
   Mengetahui." (al-Baqarah: 127).
 
Catatan kaki:
 
22 Lihat buku kami, ar-Rasul wa al-'Ilm, h. 2~23. Pen.
   Al-Risalah, Beirut, dan al-Sahwah, Kairo.
   
23 Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Abu Hurairah r.a.
   dengan lafal, "Tidak ada sesuatu yang dipergunakan oleh
   hamba-ku kepada diri-ku"
   
24 Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan al-Hakim yang men-shahih-kan
   hadits ini dari hadits Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari
   kakeknya. Ada hadits yang serupa ini dalam as-Shahihain,
   dengan lafal yang lain dari hadits Abu Hurairah r.a.
   
25 Ihya' 'Ulum al-Din, 3: 400-404, Pen. Dar al-Ma'rifah,
   Beitut.
   
26 Ibid., 3: 409; dan lihat buku kami yang berjudul al-Imam
   al-Ghazali bayn Madihihi wa Naqidihi, h. 81-93, Penerbit Dar
   al-Wafa'.
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team