Fiqh Prioritas

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PANDANGAN PARA PEMBARU TENTANG FIQH PRIORITAS

BARANGSIAPA melihat perjalanan  hidup  para  juru  da'wah  dan
pembaru  di zaman modern, maka. dia akan menemukan --dua aspek
amaliyah  mereka--  bahwa  setiap  orang  di   antara   mereka
memberikan   perhatian   tertentu   dalam  bidang  da'wah  dan
pembaruan, dan  memprioritaskannya  atas  hal-hal  yang  lain.
Perhatian  kepada  persoalan  tersebut menyita seluruh pikiran
dan usaha kerasnya, berdasarkan pemahamannya terhadap  hakikat
Islam   dari  satu  segi,  dan  pandangannya  terhadap  adanya
kekurangan dan kelemahan dalam  kehidupan  nyata  ummat  Islam
dari   segi   yang   lain,   serta   adanya   keperluan  untuk
menghidupkan, mengangkat dan membina ummat.

IMAM MUHAMMAD BIN ABD AL-WAHHAB

Prioritas dalam da'wah Imam  Muhammad  bin  Abd  al-Wahhab  di
Jazirah  Arabia  ialah  pada  bidang aqidah, untuk menjaga dan
melindungi  tauhid  dari  berbagai  bentuk   kemusyrikan   dan
khurafat  yang  telah  mencemari  sumbernya  dan membuat keruh
kejernihannya. Dia menulis berbagai buku  dan  risalah,  serta
menyebarkan  dan  mempraktekkannya  dalam rangka menghancurkan
berbagai fenomena kemusyrikan.

AZ-ZA'IM MUHAMMAD AHMAD AL-MAHDI

Zaim Muhammad Ahmad al-Mahdi ialah seorang tokoh  dari  Sudan.
Prioritas   perjuangannya   ialah  mendidik  para  pengikutnya
bersikap keras dan melepaskan diri dari penjajahan Inggris dan
antek-anteknya.

SAYYID JAMALUDDIN

Prioritas  yang  ada  pada  Sayid  Jamaluddin al-Afghani ialah
membangunkan  ummat,  dan   menggerakkannya   untuk   mengusir
penjajah,  yang  merupakan  bahaya  bagi  kehidupan  agama dan
dunianya. Di samping itu, dia menyadarkan mereka  bahwa  ummat
Islam  adalah  satu,  memiliki kiblat, aqidah, arah dan tujuan
hidup yang satu pula.

Perjalanan hidup dan  pemikirannya  tampak  di  dalam  majalah
"al-Urwah   al-Wutsqa"  yang  diterbitkan  olehnya  dan  murid
sekaligus kawannya, yaitu Syaikh Muhammad Abduh.

IMAM MUHAMMAD ABDUH

Imam Muhammad Abduh sangat peduli dengan pembebasan  pemikiran
kaum  Muslim  dari  belenggu  taqlid, dan mengaitkannya dengan
sumber-sumber  Islam  yang  jernih;   sebagaimana   ditegaskan
sendiri  tentang dirinya dan tujuan-tujuannya: Suaraku lantang
dalam melakukan da'wah kepada dua perkara yang besar. Pertama,
membebaskan  pikiran  ummat dari belenggu taqlid, dan memahami
ajaran agama melalui jalan ulama-ulama salaf sebelum munculnya
berbagai perbedaan pendapat, serta menggali pengetahuan dengan
kembali  kepada  rujukan-rujukan  utamanya.  Di  samping   itu
pemahaman  tersebut  harus  diletakkan dalam pertimbangan akal
manusia  yang  telah   diciptakan   oleh   Allah   SWT   untuk
mengembalikan   manusia   dari   kesesatan,   dan   mengurangi
kesalahan,  agar  rahmat  Allah  SWT  menjadi  sempurna  dalam
menjaga  tatanan hidup manusia. Dengan jalan ini, akal pikiran
manusia dapat dianggap sebagai partner dalam ilmu pengetahuan,
pendorong ke arah pengkajian rahasia-rahasia alam semesta, dan
penyebab adanya penghargaan  terhadap  berbagai  hakikat  yang
tidak  berubah.  Akal  pikiran  manusia  dapat  dituntut untuk
memberikan pemecahan terhadap hakikat tersebut sehingga  dapat
dipergunakan  untuk mendidik jiwa manusia dan memperbaiki amal
perbuatan  mereka.  Semua  hal  di  atas  dalam   pandangannya
merupakan  satu  perkara. Namun, apa yang dilakukan oleh Abduh
ini ditentang oleh dua kelompok besar yang terdapat  di  dalam
tubuh ummat; yaitu para mahasiswa ilmu-ilmu agama dan kelompok
yang sefaham dengan mereka, serta para mahasiswa dalam  bidang
ilmu-ilmu  modern  dan  sejenisnya.  Kedua,  memperbaiki  gaya
bahasa Arab.

Ada hal lain, di mana saya juga ikut menjadi  penyerunya  yang
kebanyakan  manusia  tidak  mengetahuinya karena memang mereka
dijauhkan  darinya,  padahal  persoalan  itu  merupakan  tiang
penyangga   kehidupan  sosial  mereka,  sehingga  tanpa  tiang
penyangga itu kehidupan sosial mereka akan lemah tak  berdaya.
Persoalan  itu  ialah  pemisahan  antara  hak pemerintah untuk
ditaati oleh rakyat dan hak rakyat untuk  memperoleh  keadilan
dari  pemerintah...  Sesungguhnya,  seorang penguasa, walaupun
harus ditaati, tetapi dia adalah manusia yang  bisa  melakukan
kesalahan  dan  dikalahkan  oleh hawa nafsunya. Sementara itu,
tidak ada sesuatu yang efektif  dalam  menghentikan  kesalahan
dan kesewenang-wenangannya selain dari nasihat ummat kepadanya
baik berupa perkataan  maupun  perbuatan.  Kita  harus  berani
menyuarakan   hati   kita   dengan  lantang  untuk  menghadapi
kediktatoran dan kezaliman, tangan  besi,  dan  kezaliman,  di
saat semua orang menjadi tak berdaya menghadapinya.~

IMAM HASAN AL-BANNA,

Imam  Syahid  Hasan  al-Banna,  memberi  perhatian yang sangat
besar terhadap upaya meluruskan pemahaman Islam,  ummat  Islam
dan  mengembalikan hal-hal yang telah dibuang oleh orang-orang
yang ter-Barat-kan dan para pengikut sekularisme.

Mereka menginginkan aqidah tanpa syari'ah, agama tanpa negara,
kebenaran tanpa kekuatan, perdamaian --penyerahan diri-- tanpa
perjuangan, tetapi al-Banna, menginginkan Islam sebagai aqidah
dan  syari'ah,  agama  dan  negara,  kebenaran  dan  kekuatan,
perdamaian dan perjuangan, al-Qur'an dan pedang.

Hasan al-Banna, berusaha dengan  gigih  memberikan  penjelasan
kepada  ummat  bahwa  politik merupakan bagian dari Islam, dan
sesungguhnya kemerdekaan adalah salah satu  kewajibannya.  Dia
juga  memberikan perhatian yang besar untuk membentuk generasi
muda Muslim yang istiqamah  terhadap  dirinya,  Allah  sebagai
tujuannya,  Islam  jalannya,  dan Muhammad sebagai teladannya.
Generasi yang memahami Islam secara  mendalam,  memiliki  iman
yang  kuat, menjalin hubungan (silah) yang erat satu sama lain
, yang mengamalkan ajaran itu dalam dirinya  sendiri,  bekerja
dan  berjuang untuk mencapai kebangkitan Islam, serta berusaha
mewujudkan  kehidupan  yang  Islami  di  masyarakatnya.  Untuk
mencapai tujuan tersebut, dia harus menyatukan ummat dan tidak
memecah  belahnya.  Oleh  sebab  itu,  dia  tidak  memunculkan
isu-isu  yang  dapat  memecah  belah  barisan  kaum  Muslimin,
memecah belah kalimatnya,  dan  membagi-bagi  manusia  menjadi
berbagai kelompok dan golongan. Untuk itu, dalam pandangannya,
ummat Islam harus disatukan dalam  satu  landasan  Islam  yang
universal.

Dalam  catatan  hariannya disebutkan bahwa kesadaran untuk itu
telah ada sejak masa mudanya, yaitu ketika  dia  berusia  awal
dua  puluhan.  Dia  berpendirian  bahwa  anak-anak ummat dapat
disatukan pada landasan aqidah,  syari'ah  dan  akhlak,  serta
dijauhkan  dari  perselisihan  pendapat  pada  masalah-masalah
furu'iyah yang tidak akan ada habis-habisnya.

Adalah sebuah sudut masjid kecil tempat al-Banna, menyampaikan
pelajaran-pelajarannya. Di situlah dia mengatakan,

   "Inilah sudut yang kedua, yang dibangun oleh Haji
   Musthafa sebagai upaya pendekatan dirinya kepada Allah
   SWT. Di situ para pelajar menimba ilmu pengetahuan,
   belajar ayat-ayat Allah dan hikmah dengan penuh
   persaudaraan dan kejernihan hati."

Tidak lama kemudian, tersebarlah ke  seluruh  pelosok  tentang
adanya  kegiatan  belajar  tersebut,  yang  disampaikan antara
waktu Maghrib dan Isya'; kemudian  setelah  itu  mereka  dapat
pergi  ke  warung  kopi,  sehingga  banyak  orang  yang hendak
mengikutinya. Di  antara  mereka  ada  orang-orang  yang  suka
memperdebatkan masalah-masalah khilafiyah, dan perkara-perkara
yang dapat menimbulkan fitnah.

   "Pada suatu hari saya merasakan adanya sesuatu yang
   aneh, suasana pertengkaran, keributan, dan perpecahan.
   Saya melihat para pendengar dalam ceramah yang saya
   sampaikan telah terpecah menjadi kelompok-kelompok, dan
   mengambil tempat sendiri-sendiri. Sehingga sebelum saya
   mulai ceramah, saya dikejutkan oleh satu pertanyaan,
   'Bagaimanakah pendapat ustadz tentang tawassul?'
   Kemudian saya menjawabnya, 'Wahai saudaraku, saya kira
   Anda tidak hanya ingin bertanya kepadaku tentang
   masalah itu saja, tetapi Anda hendak bertanya kepadaku
   tentang masalah shalat, salam setelah adzan, membaca
   surat al-Kahfi pada hari Jum,at, penggunaan kata sayyid
   untuk Rasulullah saw dalam tasyahhud, tentang nasib
   kedua orangtua Nabi saw, di manakah tempat mereka, di
   surga atau neraka? Dan juga tentang bacaan al-Qur'an
   yang dikirimkan kepada orang yang meninggal dunia
   apakah pahalanya sampai kepadanya ataukah tidak? Juga
   pertemuan yang diadakan oleh para ahli tarikat, apakah
   itu kemaksiatan ataukah pendekatan kepada Allah SWT?
   Masalah-masalah khilafiyah ini merupakan penyebar
   fitnah dan perselisihan pendapat yang sangat dahsyat di
   antara mereka.' Karenanya, orang yang bertanya itu
   merasa heran, lalu dia berkata, 'Ya, saya menginginkan
   jawaban untuk semua pertanyaan itu.'"

Saya berkata kepada orang itu, "Aku  bukanlah  seorang  ulama,
akan tetapi aku adalah seorang guru yang terpelajar yang hafal
beberapa ayat al-Qur'an, sebagian hadits Nabi saw, hukum-hukum
agama  yang  saya  peroleh dari beberapa buku, dan aku berbaik
hati mengajarkannya kepada orang banyak. Apabila engkau keluar
bersama  diriku  untuk  membicarakan masalah-masalah itu, maka
sesungguhnya engkau telah mengeluarkanku dari majelis ini. Dan
siapa  yang  berkata  bahwa  dia  tidak tahu berarti dia telah
memberikan fatwa. Jika kamu merasa tertarik terhadap apa  yang
aku  katakan,  dan  melihat  ada  kebaikan  di  dalamnya, maka
dengarkanlah apa yang saya sampaikan dengan penuh rasa syukur,
dan  apabila  engkau  hendak  memperluas lagi pengetahuan itu,
maka  bertanyalah  kepada  ulama-ulama  selain   diriku   yang
memiliki  kelebihan  dan  spesialisasi.  Mereka  mungkin dapat
memberikan kepuasan yang engkau  cari,  sedangkan  diriku  ini
tidak  lain  hanyalah penyampai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya
Allah tidak akan memberikan  beban  kepada  seseorang  kecuali
sesuai   dengan   kemampuannya."  Orang  itu  kemudian  merasa
terpukul dengan jawaban itu,  dan  tidak  mendapatkan  jawaban
atas  pertanyaan  yang  dia  sampaikan.  Begitulah  cara  yang
sengaja  saya  lakukan  dalam  memberikan  jawaban  kepadanya,
dengan  berkelakar. Semua orang --atau kebanyakan --yang hadir
pada pertemuan itu merasa puas hati dengan adanya penyelesaian
seperti itu.

Akan   tetapi,  saya  tidak  ingin  menyia-nyiakan  kesempatan
tersebut. Saya berpaling ke arah mereka sambil berkata, "Wahai
saudara-saudaraku,  aku  menyadari  sepenuhnya  kepada saudara
kita yang bertanya itu, dan kebanyakan saudara yang  hadir  di
majelis  ini.  Menyadari sepenuhnya apa yang ada di balik itu,
yaitu  untuk  mengetahui  siapakah  guru  baru  ini  dan  dari
golongan manakah dia? Apakah dia termasuk golongan Syaikh Musa
ataukah  dari  golongan  Syaikh  Abd  al-Sami'?   Sesungguhnya
pengetahuan  tersebut  sama sekali tidak akan bermanfaat untuk
kamu semua, karena kamu telah bergelimang dalam fitnah  selama
delapan     puluh     tahun,     dan    itu    sudah    cukup.
Pertanyaan-pertanyaan di atas telah diperselisihkan oleh  kaum
Muslimin  selama  ratusan  tahun  dan mereka hingga kini tetap
berselisih pendapat. Sesungguhnya Allah akan rela kepada  kita
apabila  kita  saling  mencintai  dan  bersatu, dan tidak suka
kepada kita apabila berselisih pendapat  dan  berpecah  belah.
Saya  berharap  bahwa  kamu  semua  sekarang  ini mau berjanji
kepada Allah SWT untuk meninggalkan perkara-perkara  tersebut,
dan berusaha keras untuk belajar pokok-pokok dan kaidah agama,
mengamalkan akhlak, sifat-sifat  yang  baik,  pengarahan  yang
menyatukan  ummat,  melakukan  perkara-perkara yang difardukan
dan disunnahkan kepada kita, dan kita tinggalkan  mencari-cari
masalah  dan  memperdalam  masalah  khilafiyah,  sehingga jiwa
semua kaum Muslimin menjadi jernih, dengan  satu  tujuan  yang
hendak  kita  capai, yaitu mencari kebenaran dan bukan sekadar
mencari kemenangan berpendapat. Dengan cara seperti  itu  kita
dapat  belajar  bersama-sama  dalam  suasana penuh rasa cinta,
saling percaya, kesatuan dan keikhlasan.  Saya  juga  berharap
kamu  semua  dapat  menerima  pandangan saya ini, dan berjanji
kepada saya untuk melakukan perkara di atas."

   "Hendaknya kita tidak keluar dari pelajaran ini kecuali
   kita masih memegang janji setia antara kita, dan
   hendaknya kita saling bekerja sama serta berkhidmat
   untuk Islam yang mulia, menyingkirkan segala bentuk
   perselisihan pendapat, menghormati pendapat kita
   masing-masing sehingga Allah memutuskan perkara yang
   mesti dilaksanakan."

Pelajaran di sudut  (zawiyah)  masjid  itu  terus  berlangsung
dalam  suasana  yang  jauh  dari pereselisihan pendapat berkat
taufiq dari Allah. Suasana  pada  majelis  itu  semakin  baik,
karena  setiap topik dalam pengajian tersebut dikaitkan dengan
makna persaudaraan  antara  orang-orang  yang  beriman,  untuk
memantapkan  persaudaraan  dalam  jiwa mereka. Di samping itu,
masalah   khilafiyah   senantiasa   ditekankan   untuk   tidak
diperdalam  dalam perdebatan di antara mereka. Dengan demikian
timbul rasa untuk saling menghormati dan menghargai di  antara
mereka.  Cara  seperti itu saya pergunakan sebagai contoh dari
para ulama salaf yang  shaleh,  yang  wajib  kita  tiru  dalam
memberikan  toleransi dan menghormati pendapat yang berbeda di
antara kita.

Saya sebutkan satu contoh yang sangat  praktis,  saya  berkata
kepada   mereka,   "Siapakah  di  antara  kamu  sekalian  yang
bermazhab Hanafi?" Kemudian ada salah seorang di antara mereka
yang  datang  kepadaku.  Lalu  aku  berkata lagi, "Siapakah di
antara kamu yang bermazhab Syafi'i?" Ada seseorang  yang  maju
kepadaku.  Setelah  itu  aku  berkata kepada mereka, "Aku akan
shalat dan menjadi imam bagi kedua  orang  saudara  kita  ini.
Bagaimana  kamu membaca surat al-Fatihah wahai pengikut mazhab
Hanafi?" Dia menjawab, "Aku diam dan  tidak  membacanya."  Aku
bertanya   lagi,   "Dan  bagaimana  engkau  wahai  kawan  yang
bermazhab Syafi'i?"  Dia  menjawab,  "Aku  harus  membacanya."
Kemudian  aku berkata lagi, "Setelah kita selesai shalat, maka
bagaimanakah pendapatmu wahai pengikut mazhab Syafi' i tentang
shalat  yang  dilakukan oleh saudaramu yang bermazhab Hanafi?"
Dia  menjawab,  "Batal,  karena  dia   tidak   membaca   surat
al-Fatihah,  padahal  membaca  al-Fatihah  termasuk salah satu
rukun  shalat."  Aku  bertanya  lagi,  "Dan   bagaimana   pula
pendapatmu  wahai  kawan  yang bermazhab Hanafi tentang shalat
yang dilakukan oleh saudara kita yang bermazhab Syafi'i?"  Dia
menjawab,   "Dia  telah  melakukan  sesuatu  yang  makruh  dan
mendekati haram, karena sesungguhnya membaca surat  al-Fatihah
pada  saat  seseorang  menjadi  ma'mum adalah makruh tahrimi."
Lalu aku berkata, "Apakah salah seorang di antara kamu  berdua
memungkiri  yang  lain?"  Kedua  orang  itu menjawab, "Tidak."
Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang hadir  di  situ,
"Apakah   kamu  memungkiri  salah  seorang  di  antara  mereka
berdua?"  Mereka  menjawab,   "Tidak."   Lalu   aku   berkata,
"Subhanallah,  kamu  semua dapat diam dalam menghadapi masalah
seperti ini, padahal ini adalah perkara yang berkaitan  dengan
batal  dan sahnya shalat; pada saat yang sama kamu tidak dapat
memberikan toleransi kepada orang yang dalam shalatnya membaca
"Allahumma  shalli  ala  Muhammad" atau "Allahumma shalli 'ala
sayyidina  Muhammad"  dalam  tasyahud,   serta   menjadikannya
sebagai  bahan  perselisihan  pendapat  yang  sangat dahsyat."
Metode  seperti  itu  sangat  berkesan,  karena  mereka  dapat
mempertimbangkan sikap sebagian orang atas sebagian yang lain,
dan mengetahui bahwa agama Allah SWT sangat  luas  dan  mudah,
serta  tidak  ditentukan  oleh  pendapat  satu orang atau satu
kelompok.  Semua  amalan  itu  ditujukan  kepada   Allah   dan
Rasul-Nya,  kepada jamaah kaum Muslimin dan imam mereka, kalau
mereka dianggap memiliki jamaah dan imam. 2

IMAM AL-MAUDUDI

Imam Abu al-A'la al-Maududi memberikan prioritas perjuangannya
dalam  memerangi  "jahiliyah"  modern,  mengembalikan  manusia
kepada agama dan ibadah  dengan  maknanya  yang  komprehensif,
tunduk  kepada  kekuasaan  Allah  saja,  dan menolak kekuasaan
segala makhluk-Nya, bagaimanapun kedudukan dan  tugas  mereka.
Baik  mereka sebagai pemikir, ataupun sebagai pemegang kendali
politik. Dia  juga  memberikan  perhatian  kepada  pembentukan
peradaban  Islam yang eksklusif, menolak pemikiran Barat dalam
bidang  peradaban,  ekonomi,  politik,   kehidupan   individu,
keluarga dan masyarakat. Metode seperti ini harus dipergunakan
untuk mengadakan revolusi atau perubahan secara besar-besaran.
Pandangannya  tercermin  dalam  berbagai  buku dan risalahnya,
yang mengungkapkan tentang filsafat da'wahnya kepada Islam dan
ide-ide  pembaruannya. Jamaahnya mengapresiasi dan menyebarkan
pikiran-pikirannya.

AS-SYAHID SAYID QUTHUB

As-Syahid  Sayid  Quthub  memberikan  prioritas  pada   aqidah
sebelum   terciptanya  tatanan  hukum  Islam  dan  terwujudnya
kekuasaan Allah di muka bumi. Itulah yang sering dia  sebutkan
dan  sangat  ditekankan dalam buku-butu karangannya, khususnya
buku  al-Zhilal.  Sebagian  orang  menyangka  bahwa  pemikiran
'kekuasaan'  merupakan  pemikiran yang dicetuskan oleh Maududi
dan  Sayid  Quthub.  Dugaan  ini  sama  sekali  tidak   benar.
Pemikiran  ini adalah suatu perkara yang telah disepakati oleh
para ahli usul fiqh ketika mereka membahas tentang 'kekuasaan'
yang  menjadi  salah  satu pokok bahasan dalam usul fiqh, yang
menyatakan,  "Sesungguhnya  penguasa  (penentu  hukum)  adalah
Allah,  tidak  ada  penentu hukum selain Dia. Dan sesungguhnya
Rasulullah saw yang mulia adalah  penyampai  hukum  tersebut."
Pemikiran seperti ini merupakan salah satu anasir dalam tauhid
yang disebutkan oleh al-Qur'an sebagai berikut:

   "Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah,
   padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Qur'an)
   kepadamu dengan terperinci..." (al-An'am: 114)

As-Syahid   juga   memberikan   perhatian   kepada   pelurusan
"pandangan aqidah" Islam, karena menurutnya tidak mungkin kita
dapat melakukan pelurusan amalan  yang  dilakukan  oleh  suatu
generasi  muda  kalau pandangan hidup mereka rusak atau sakit.
Kapankah bayangan dapat lurus kalau tongkatnya bengkok?

Atas dasar pemikiran itu dia menolak segala bentak 'jahiliyah'
modern   dalam   seluruh   bidang   kehidupan.  Dalam  aqidah,
pemikiran,  perilaku,  kehidupan   individu,   keluarga,   dan
masyarakat.  Dia  menganggap  bahwa  masyarakat  yang  ada  di
negara-negara  dunia  --di  antaranya  negara-negara   Islam--
adalah  masyarakat  jahiliyah, karena mereka menolak kekuasaan
Allah, yakni kekuasaan yang merujuk kepada batasan yang  telah
ditetapkan oleh syari'ah dan hukum Islam, meletakkan nilai dan
pertimbangan yang telah ditetapkan oleh Islam, atau aturan dan
konsep-konsepnya,  yang semuanya menjadi dasar bagi perjalanan
hidup manusia dan masyarakat. Semua bentuk pengakuan kekuasaan
kepada  selain Allah merupakan perampasan terhadap Allah dalam
hal penentuan syari'ah-Nya untuk makhluk-Nya.

Perkara yang bersifat umum ini  harus  diberi  prioritas  atas
perkara  yang  lain,  didahulukan  atas  setiap persoalan yang
sifatnya parsial yang diperjuangkan dengan gigih oleh sebagian
kaum  Muslimin  yang  baik;  seperti  melarang  dari  sebagian
kemungkaran, tetapi melalaikan kemungkaran yang  lebih  besar,
yang dijadikan dasar bagi berdirinya suatu masyarakat.

Ada baiknya pada kesempatan ini saya kutipkan satu bagian dari
tafsir al-Zhilal, yang memberikan komentar terhadap  apa  yang
disebutkan oleh al-Our'an tentang bani Israil.

   "Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
   mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah
   apa yang selalu mereka perbuat itu" (al-Ma'idah: 79)

Sesungguhnya perjuangan yang  gigih,  pengorbanan  yang  mulia
harus  diarahkan pertama-tama untuk mendirikan masyarakat yang
baik... masyarakat yang baik ialah masyarakat yang berdiri  di
atas  jalan  Allah...  sebelum  berjuang  dan  berkorban untuk
melakukan perbaikan terhadap masalah-masalah yang kecil,  yang
bersifat  pribadi dan individual, melalui cara amar ma'ruf dan
nahi mungkar.

Sesungguhnya tidak ada gunanya  sama  sekali  melakukan  usaha
dalam hal yang kecil-kecil dan parsial ketika semua masyarakat
rusak, kejahiliyahan merajalela, masyarakat berjalan bukan  di
jalan  Allah,  dan  ketika syari'ah yang dipergunakannya bukan
syari'ah Allah. Ketika itulah kita harus  memulai  usaha  kita
dari  dasar, menumbuhkan akar. Semua perjuangan dan usaha kita
harus diarahkan untuk mewujudkan kekuasaan Allah di muka  bumi
ini...  Manakala kekuasaan ini telah terwujudkan, maka perkara
amar ma'ruf nahi mungkar dapat  dibangun  pada  landasan  yang
telah dibuat itu.

Usaha  ini memerlukan kepada keimanan, dan pengetahuan tentang
hakikat iman, serta peranannya dalam  tatanan  hidup  manusia.
Iman   dalam   hal   ini   menjadikan  seluruh  ketergantungan
disandarkan kepada Allah  SWT,  yang  menciptakan  kepercayaan
bahwa Dia akan memberikan pertolongan dalam melakukan kebaikan
--walaupun untuk ini memakan masa yang cukup  panjang--  serta
membuat  pahala  di  sisi-Nya.  Oleh  sebab  itu,  orang  yang
melakukan tugas tersebut tidak boleh menunggu balasan di  muka
bumi  ini,  penghargaan  dari  masyarakat  yang  tersesat, dan
dukungan dari para pengikut jahiliyah di mana pun berada.

Sesungguhnya semua nash-nash al-Qur'an dan  hadits  Nabi  saw,
yang  menyebutkan  perkara amar ma'ruf dan nahi mungkar selalu
berbicara tentang kewajiban seorang  Muslim  dalam  masyarakat
Muslim  yang mengakui bahwa kekuasaan itu hanyalah milik Allah
SWT;   masyarakat   yang    menetapkan    hukum    berdasarkan
syari'ah-Nya;  walaupun  kadang-kadang  masih terjadi tindakan
hukum sewenang-wenang, dan masih tersebarnya perbuatan dosa di
dalamnya.

Begitulah,  kita  menemukan  sabda Rasulullah saw, "Perjuangan
yang paling utama ialah mengucapkan kalimat yang hak di  depan
pemimpin  yang  zalim."  Dia  dapat dikatakan sebagai pemimpin
kalau dia mengakui kekuasaan Allah dan menetapkan hukum dengan
syari'ah-Nya.    Seseorang   yang   tidak   menetapkan   hukum
berdasarkan syari'ah Allah SWT maka dia tidak dapat  dikatakan
sebagai pemimpin, karena Allah SWT berfirman:

   "... barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
   diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
   orang-orangyang kafir." (al-Ma'idah: 44)

Masyarakat-masyarakat jahiliyah yang  tidak  menetapkan  hukum
berdasarkan  syari'ah  Allah,  adalah  pelaku kemungkaran yang
paling besar, pelaku kemungkaran yang  menjadi  sumber  segala
bentuk  kemungkaran...  Masyarakat  ini dapat dianggap menolak
ketuhanan Allah, karena menolak syari'ah-Nya  dalam  kehidupan
manusia...  Kemungkaran  paling  besar, mendasar, dan mengakar
inilah yang harus dilenyapkan  terlebih  dahulu  sebelum  kita
memberantas  pelbagai  bentuk kemungkaran kecil yang bercabang
darinya.

Sesungguhnya upaya para pejuang, perjuangan  orang-orang  yang
shaleh memerangi kemungkaran yang kecil akan sia-sia dan tidak
ada gunanya, karena kemungkaran itu bersumber dari kemungkaran
yang  pertama,  yang  paling  besar...  yakni kemungkaran yang
berbentuk keberanian terhadap  Allah  SWT,  menolak  ketuhanan
Allah,  menolak syari'ah-Nya dalam kehidupan ini. Sesungguhnya
tidak  ada  gunanya  bagi  kita  memerangi   berbagai   bentuk
kemungkaran  yang  bersumber  dari  kemungkaran  utama, karena
kemungkaran kecil itu hanya merupakan buah darinya.

Lalu dengan apakah kita memberikan  keputusan  hukum  terhadap
orang  yang  melakukan kemungkaran? Timbangan apakah yang kita
pergunakan untuk menimbang  amal  perbuatan  mereka,  sehingga
kita  dapat  mengatakan: "Ini perbuatan mungkar, maka jauhilah
ia"? Mungkin sekali Anda mengatakan, "Sesungguhnya ini  adalah
perbuatan  mungkar,"  kemudian pada kala yang sama muncul dari
berbagai arah orang yang menyergah  Anda,  (mengatakan  kepada
Anda) "Tidak, sesungguhnya ini bukan perbuatan mungkar." Suatu
perbuatan  dapat  dianggap  sebagai  kemungkaran  pada   zaman
tertentu,  kemudian  dunia  berkembang  dan masyarakat menjadi
maju, sehingga istilah untuk kemungkaranpun ikut bergeser.

Oleh sebab itu, harus ada timbangan dan ukuran yang tetap yang
kita  pergunakan  sebagai rujukan untuk menilai amal perbuatan
manusia. Harus ada nilai yang diakui, yang dapat kita  jadikan
sebagai   ukuran  untuk  perbuatan  baik  dan  juga  perbuatan
mungkar. Dari manakah kita mengambil nilai-nilai tersebut? Dan
dari manakah kita mendatangkan timbangan itu?

Apakah  dari  hasil  rekayasa manusia, adat istiadat, dan hawa
nafsu mereka, yang tidak tetap  dan  berubah-ubah  keadaannya?
Kalau   demikian,  berarti  kita  telah  terjerumus  ke  dalam
kebimbangan dan kesesatan yang tidak ada petunjuk di dalamnya.
Oleh   sebab   itu,  kita  mesti  membangun  timbangan...  dan
timbangan itu harus tetap, dan tidak dapat  diguncangkan  oleh
hawa nafsu manusia.

TIMBANGAN YANG TETAP ITU ADALAH TIMBANGAN ALLAH SWT.

Apa   yang   akan  terjadi  kalau  masyarakat  tidak  mengenal
kekuasaan Allah? Dan  apa  yang  terjadi  kalau  mereka  tidak
menetapkan hukum berdasarkan syari'ah-Nya? Dan bahkan apa yang
akan terjadi  kalau  masyarakat  menghina,  mencemoohkan,  dan
mengingkari  orang  yang  mengajaknya  kepada jalan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT?

Jangan sampai ada perjuangan yang sia-sia, tidak  berguna  dan
hampa.  Yakni  jangan  ada  masyarakat  yang  menyuruh  kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran, dalam perkara-perkara kecil
di  dalam  kehidupan mereka berdasarkan pertimbangan dan nilai
yang berbeda-beda, dan diperselisihkan oleh pendapat dan  hawa
nafsu mereka.

Oleh  sebab  itu,  pertama-tama  harus  ada  kesepakatan  yang
prinsipil terhadap masalah hukum,  timbangan,  dan  kekuasaan,
yang  dapat  dijadikan  sebagai  rujukan bagi orang-orang yang
berselisih pendapat dalam pandangan dan hawa nafsu mereka.

Mau tidak mau, harus  ada  amar  ma'ruf  kepada  perkara  yang
paling  besar.  Yaitu  pengakuan  terhadap kekuasaan Allah dan
jalan  hidup  yang  ditentukan  oleh-Nya;   serta   pencegahan
terhadap   kemungkaran  yang  paling  besar,  yaitu  penolakan
terhadap ketuhanan Allah, penolakan terhadap syari'ah-Nya bagi
kehidupan  ini...  Setelah  kita  membangun landasan itu, kita
dapat mendirikan bangunan di atasnya. Oleh sebab itu, kekuatan
yang  terpecah-pecah  sekarang  ini  harus  disatukan semuanya
menuju kepada satu  arah  untuk  membangun  landasan  yang  di
atasnya dapat didirikan bangunan.

Kadang-kadang  manusia  terlalu memuji dan kagum kepada orang-
orang yang baik, yang berjuang dengan gigih untuk melaksanakan
amar  ma'ruf  dan  nahi  mungkar,  dalam  hal-hal  yang kecil,
padahal dasar yang menjadi landasan hidup  masyarakat  Muslim,
dan tegakaya amar ma'ruf dan nahi mungkar itu terlupakan.

Lalu, apakah ada artinya engkau melarang manusia untuk memakan
makanan yang  haram,  misalnya,  pada  suatu  masyarakat  yang
ekonominya  didasarkan  kepada  riba,  sehingga  seluruh harta
kekayaan yang ada di dalam masyarakat itu menjadi  haram,  dan
tidak  ada  lagi  seseorang  yang  dapat  memakan makanan yang
halal... Semua itu karena aturan  sosial  dan  ekonomi  mereka
tidak  didasarkan  kepada  syari'ah  Allah, atau karena mereka
menolak ketuhanan Allah dengan menolak penerapan  syari'ah-Nya
dalam kehidupan ini.

Apa  artinya  kalau kita melarang manusia melakukan kefasikan,
misalnya, dalam suatu masyarakat yang  undang-undangnya  tidak
menganggap  perzinaan  sebagai suatu kejahatan --kecuali dalam
kondisi yang sangat terpaksa--  dan  tidak  mengenakan  sanksi
terhadap pelakunya yang sesuai dengan syari'ah Allah SWT. Jika
demikian, hal itu  dianggap  menolak  ketuhanan  Allah  dengan
menolak penerapan syari'ah-Nya dalam kehidupan ini.

Apa artinya kalau kita melarang manusia untuk bermabuk-mabukan
dalam masyarakat yang undang-undangnya  membolehkan  peredaran
minuman  keras, dan tidak memberikan sanksi kepada orang-orang
yang jelas mabuk di tengah-tengah keramaian manusia. Ia  tidak
diberi sanksi dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah,
karena masyarakat itu tidak mengakui prinsip kekuasaan Allah.

Apa artinya, kita melarang manusia menghina agama dalam  suatu
masyarakat  yang  tidak  mengakui  kekuasaan  Allah, dan tidak
menyembah-Nya. Masyarakat yang menyembah pelbagai tuhan selain
Dia.     Masyarakat     yang     menurunkan    syari'ah    dan
undang-undang-Nya,   tatanan   dan   aturan-Nya,   nilai   dan
timbangan-Nya.  Orang  yang menghina dan yang dihina sama-sama
bukan berada dalam agama Allah SWT,  karena  mereka  sama-sama
menurunkan   syari'ah   dan   undang-undang-Nya,   dan   tidak
meletakkannya sebagai satu nilai dan timbangan.

Apa artinya menyuruh orang melaksanakan kebaikan dan  mencegah
kemungkaran   dalam  kondisi  seperti  ini?  Dan  apa  gunanya
melarang  orang  untuk  melakukan  dosa-dosa  besar  dan  juga
dosa-dosa  kecil  lainnya,  kalau dosa yang sangat besar tidak
ada larangan... yakni kufur terhadap Allah dan  menolak  jalan
hidup yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Sesungguhnya  persoalannya  lebih besar, lebih luas, dan lebih
dalam daripada apa yang telah diperjuangkan  oleh  orang-orang
yang  "berhati  baik" itu. Sesungguhnya dalam masa seperti ini
kita tidak perlu memberikan perhatian  kepada  perkara-perkara
furu'iyah  bagaimanapun  besarnya masalah itu, walaupun sampai
melanggar   batas   yang   ditetapkan   oleh   Allah,   karena
sesungguhnya   batas   yang  telah  ditetapkan  oleh-Nya  pada
prinsipnya adalah mengakui kekuasaan-Nya tanpa kekuasaan  yang
lainnya.  Apabila  pengakuan  itu  belum ada dan belum menjadi
kenyataan,  di  mana  syari'ah  Allah   SWT   diakui   sebagai
satu-satunya  sumber  dalam  penetapan  hukum,  dan  Allah SWT
merupakan satu-satunya sumber kekuasaan... Segala  usaha  yang
diupayakan  dalam  perkara  cabang dianggap sia-sia, dan semua
usaha dalam masalah furu'iyah tidak ada gunanya... Kemungkaran
yang  paling  besar lebih utama untuk diberantas dan ditangani
daripada segala bentuk kemungkaran yang lain. 3

USTADZ MUHAMMAD AL-MUBARAK

Di antara tokoh pembaru  Islam  yang  tergerak  hatinya  untuk
menerapkan  fiqh  prioritas  ialah seorang tokoh pemikir Islam
dari Syria yang terkenal. Ia adalah Ustadz  Muhammad  Mubarak.
Ia  berbicara  tentang  satu  sisi  yang  sangat penting dalam
perkara ini dengan mendalam dalam bukunya,  al-Fikr  al-Islami
al-Hadits  fi  Muwajahah  al-Afkar  al-Gharbiyyah,  yang  pada
hakikatnya merupakan kumpulan kajian dan kuliah yang ia  tulis
atau ia sampaikan pada berbagai kesempatan.

Dalam  bukunya  itu,  dia  banyak  berbicara  tentang  "Aturan
Peringkat  Kerja  dalam  Islam"  yang  saya   kutipkan   dalam
baris-baris berikut ini mengingat pentingnya masalah ini:

   "Ciri khas kesatuan aturan Islam harus disertai dengan
   kesatuan lain yang tidak kalah pentingnya dengan hal
   itu; yaitu kesatuan aturan peringkat kerja yang
   mengatur berbagai sektor kehidupan manusia dan
   nilainya. Harta kekayaan, kenikmatan, pekerjaan, akal
   pikiran, pengetahuan, kekuatan, ibadah, kekerabatan,
   kemanusiaan adalah nilai-nilai kehidupan. Islam
   menempatkan perkara-perkara di atas pada tempat
   tertentu dalam tatanan hidup dan tingkatan tertentu
   yang tidak boleh dilanggar oleh manusia sehingga tidak
   ada nilai yang terabaikan.
   
   Sesungguhnya salah satu bentuk penyimpangan dalam Islam
   ialah menggantikan tingkat kedudukan nilai-nilai
   tersebut dengan cara menambah atau menguranginya kepada
   nilai yang lain; sebagaimana yang terjadi pada
   akhir-akhir ini. Sesungguhnya penggantian nilai-nilai
   yang berlaku di dalam tatanan kehidupan ini dapat
   berupa perubahan peringkat amalan dengan acak, tanpa
   aturan, yang memberikan petunjuk yang samar kepada
   manusia, atau dengan cara bersenda gurau. Tindakan
   seperti itu adalah seperti mencampurkan berbagai obat,
   tanpa aturan, sehingga menyebabkan kerusakan, dan
   perubahan sifat dan karakteristik obat tersebut. Dan
   bahkan obat itu dapat berubah menjadi suatu bahan yang
   berbahaya dan mengandung racun.
   
   Kalau kita berasumsi membagi kehidupan ini menjadi
   seratus bagian, maka kita akan menemukan bahwa
   kekhususan ibadah dalam Islam itu terbagi menjadi
   beberapa bagian. Begitu pula halnya dengan perkara yang
   berkaitan dengan infaq, pencarian rizki, jihad, dan
   menikmati berbagai kelezatan hidup lainnya. Semuanya
   memiliki bagian tersendiri. Kalau masing-masing bagian
   itu kita ubah, lalu kita kurangi bagian jihad, dan kita
   tambah bagian ibadah, kemudian kita kurangi juga
   mencari rizki dan memberikan infaq, lalu kita menangkan
   penikmatan hidup sehingga kita menjadi orang yang
   lalai, maka berarti kita telah keluar dari aturan yang
   hakiki, keluar dari aturan Islam, dan kita juga
   dianggap menghilangkan keseimbangan nilai-nilai
   kehidupan yang telah ditetapkan olehnya (Islam).
   
   Maka orang Muslim yang "sempurna" pada beberapa kurun
   waktu terakhir ini adalah orang yang melakukan ibadah
   dengan maknanya yang sempit dan tidak memiliki
   kesibukan lainnya, yang senantiasa melakukan i'tikaf di
   masjid/mushalla dan senantiasa berdzikir dan membaca
   wirid. Sesungguhnya gambaran seperti ini sama sekali
   tidak sama dengan gambaran yang dahulu pernah dilakukan
   oleh Rasulullal saw yang mulia serta para sahabatnya
   yang mengikutinya. Walaupun ibadah merupakan bagian
   yang sangat mendasar dalam kehidupan mereka, tetapi
   jihad tetap memenuhi hati mereka. Jihad di jalan Allah
   untuk membebaskan masyarakat dari berbagai aqidah yang
   rusak dan menanamkan aqidah yang benar dalam hati
   mereka, serta membebaskan kezaliman orang-orang yang
   zalim, dan kediktatoran para diktator untuk memberikan
   perlindungan kepada orang-orang yang lemah dan
   menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia. Begitu
   pula kehidupan orang Muslim yang menyibukkan diri dalam
   perjuangan dan perbaikan masyarakat akan dianggap
   kurang apabila tidak disertai dengan ibadah sehingga
   hubungannya dengan Allah SWT tidak begitu erat.
   
   Para ahli fiqh kita terdahulu telah menyadari pemikiran
   ini, pemikiran mengenai adanya perbedaan tingkat dan
   persentase dalam amal perbuatan manusia, sehingga
   mereka meminta kepada kaum Muslimin untuk melakukan
   berbagai fardu dengan tertib sesuai dengan tingkat
   permintaan yang diajukan kepada mereka. Begitu pula
   pandangan mereka kepada perkara-perkara yang dilarang
   dan diharamkan. Mereka menempatkan tingkat pelarangan
   dan pengharamannya secara berperingkat-peringkat. Oleh
   sebab itu, tidaklah sama dosa yang dilakukan oleh
   seorang pejuang yang meninggalkan barisan perangnya
   sehingga dia membuka celah bagi masuknya musuh Islam
   dengan dosa meminum khamar dan memakan daging babi,
   padahal kedua perkara tersebut adalah haram. Banyak
   sekali ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw
   mengisyaratkan kepada pemikiran tersebut. Misalnya
   firman Allah SWT:
   
   "Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada
   orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus
   masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang
   beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad
   di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah..."
   (at-Taubah: 19)
   
   Begitu pula halnya dengan sabda Rasulullah saw ketika
   beliau ditanya tentang suatu amalan yang menyamai
   tingkat jihad di jalan Allah. Orang yang bertanya itu
   mengulangi dua atau tiga kali Kemudian Rasulullah saw
   bersabda, "Mereka tidak dapat menyamainya." Lalu beliau
   saw bersabda lagi, "Perumpamaan orang yang berjihad di
   jalan Allah, adalah seperti orang yang berpuasa, lalu
   melakukan qiyamul lail kemudian dia membaca ayat-ayat
   Allah dan tidak menghentikan puasa dan shalatnya
   sehingga orang yang berjuang itu kembali lagi ke
   rumahnya." 4

Dalam riwayat shahih disebutkan bahwa ada seorang sahabat yang
bertanya  kepada  Rasulullah  saw,  "Wahai Rasulullah, manusia
manakah yang paling utama?" Beliau saw menjawab, "Orang mu'min
yang  berjihad dengan jiwa dan harta bendanya di jalan Allah."
Kemudian beliau saw ditanya lagi, "Lalu  siapa  setelah  itu?"
Beliau  menjawab,  "Seseorang yang berada di suatu bangsa yang
bertaqwa  kepada  Allah,  kemudian  dia  meninggalkan  manusia
karena takut kejahatan mereka." 5

Ahmad  meriwayatkan  sabda  Rasulullah  saw  dengan sanad yang
shahih,

   "Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang sedangkan
   dia mengetahuinya, maka dosanya lebih berat daripada
   tiga puluh enam kali berzina." 6

Maka riba  adalah  jenis  kezaliman  dalam  harta  benda  yang
dosanya lebih berat daripada melakukan zina.

Kalau  kita  berusaha  mengumpulkan hadits-hadits seperti ini,
yang memberikan nilai suatu amalan dibandingkan dengan  amalan
lainnya,  maka  kita  akan menemukan berbagai peringkat amalan
itu secara matematis antara pelbagai nilai hidup.  Sebagaimana
sabda  Nabi  saw,  "Satu  hari yang dijalani oleh seorang Imam
yang adil adalah lebih utama daripada ibadah selama enam puluh
tahun." 7

   "Kelebihan seorang yang berilmu atas orang yang
   beribadah adalah seperti kelebihan diriku atas orang
   yang paling hina di antara kamu." 8
   
   "Seorang ahli fiqh adalah lebih berat bagi setan
   daripada seribu orang ahli ibadah." 9

Dari uraian tersebut jelaslah kesalahan orang yang  menumpukan
perhatiannya  kepada  satu perkara yang kadang-kadang dituntut
atau dilarang dalam Islam, tetapi dia tidak menghadapi perkara
yang jauh lebih penting daripada itu. Negara-negara Islam pada
zaman  ini  ditimpa  dua  bahaya  yang  sangat  besar;   yaitu
imperialisme  dan  atheisme;  atau penguasaan atas bumi mereka
sekaligus aqidah mereka. Harta kekayaan  material  musnah  dan
kehidupan  spiritual mereka terampas. Apabila negara itu telah
dapat dikuasai sepenuhnya dan aqidah mereka dapat dihancurkan,
maka  mereka  tidak  mungkin lagi mendirikan syiar-syiar agama
dan  melaksanakan   segala   perintahnya,   serta   menerapkan
hukum-hukumnya.  Oleh  sebab  itu,  para  penjajah mengalihkan
pikiran kaum Muslimin  kepada  persoalan-persoalan  yang  lain
sehingga  mereka memusatkan perhatian dan perjuangan mereka ke
sana sehingga melalaikan  persoalan  yang  lebih  penting  dan
mendasar;  dan  dengan cara seperti itu mereka dapat menguasai
negara-negara  Islam  secara  langsung  atau  tidak  langsung,
menghancurkan  aqidah Islam melalui berbagai cara, menyebarkan
pemikiran   dan   mazhab-mazhab   atheisme   dengan   berbagai
bentuknya.  Apakah  dalam keadaan seperti ini kita masih perlu
membagi-bagi kaum Muslimin kepada  kelompok  yang  berpendapat
bahwa   shalat   tarawih  delapan  rakaat  dan  kelompok  yang
berpendapat  dua  puluh  rakaat?  Dan  membagi  mereka  kepada
kelompok  yang berpendapat boleh mengulang-ulang shalat jamaah
dan  yang  tidak  mengatakannya?  Ataukah  kita  masih   perlu
melayani pertarungan antara sunnah dan bid'ah yang sama sekali
tidak menyentuh masalah aqidah?

Saya tidak berkata bahwa  perkara-perkara  seperti  itu  tidak
perlu   dibahas   lagi   secara   ilmiah,  tetapi  saya  hanya
mengatakan,  "Kita  hanya  perlu  mengambil  perhatian   kalau
seandainya  masalah  tersebut telah menyentuh aqidah kita. Dan
kita lebih baik memberikan perhatian kepada  cara  yang  benar
dalam   melakukan   ibadah.  Karena  sesungguhnya  ibadah  itu
tawqifi, tidak ditambah dan juga tidak dikurangi dari apa yang
telah  diperintahkan  oleh  Nabi  saw. Walaupun demikian, jika
terjadi suatu fitnah atau pergaduhan antara dua kelompok  kaum
Muslimin   maka   kita   wajib   meninggalkannya   karena  ada
kemungkaran yang lebih besar yang memecah belah kaum  Muslimin
menjadi  beberapa  bagian  dalam  keadaan  tertentu  dan dapat
melemahkan  kekuatan  mereka.  Sepatutnya  kita  tidak   perlu
menyibukkan  diri  kecuali  kepada persoalan yang mendasar dan
besar." 10

SYAIKH AL-GHAZALI

Di antara ulama yang memberikan perhatian  besar  kepada  fiqh
prioritas  melalui  pandangan,  pemikiran, dan penjelasan yang
diberikannya ialah seorang juru da'wah besar, Syaikh  Muhammad
al-Ghazali.  Ia  telah  memberikan perhatian yang sangat besar
kepada masalah ini dalam buku-buku yang  ditulisnya,  terutama
buku-buku  yang  ditulis  menjelang akhir hayatnya. Hal itu ia
lakukan dan  ia  beri  perhatian  karena  pengalamannya  dalam
melakukan da'wah di tengah-tengah manusia yang mengaku sebagai
orang Islam dan juru  da'wah  Islam,  yang  menjungkirbalikkan
pohon  Islam.  Mereka  menjadikan  pohon dan akarnya yang kuat
sebagai   ranting-ranting   yang   lemah,    dan    menjadikan
ranting-rantingnya  sebagai dedaunan yang menghembuskan angin,
dan  menjadikan  daun-daunnya  sebagai  akar,  yang   bertumpu
kepadanya seluruh pemikiran, perhatian, dan pekerjaan.

Pada kesempatan ini saya menganggap cukup mengutip sebuah teks
dari Syaikh al-Ghazali yang dapat  menggambarkan  sejauh  mana
pemahaman   dan  kesadarannya  terhadap  fiqh  prioritas,  dan
kesadarannya untuk menciptakan pandangan yang  menyeluruh  dan
seimbang   dalam   Islam,   sehingga   setiap  segala  sesuatu
mendapatkan  haknya  dan  ditempatkan  pada  tempatnya.  Dalam
sebuah  kajiannya  tentang  sebab-sebab  kehancuran  peradaban
Islam dan kemunduran ummat Islam setelah ia menjadi ummat yang
maju,  dengan  Judul  al-Tashwir  al-Juz'iy li al-Islam, dalam
bukunya  yang  berjudul  al-Da'wah   al-Islamiyyah   Tastaqbil
Qarnaha al-Khamis 'Asyar.

Dia  mengatakan,  "Iman  itu  ada  enam puluh macam lebih atau
tujuh puluh cabang lebih. Apakah  bagian-bagian  ini  tersusun
bertindih-tindih  antara  sebagian  dengan  sebagian yang lain
dengan begitu saja? Ataukah dia seperti barang  dagangan  yang
dibeli  oleh seseorang dari pasar kemudian diletakkan di dalam
tasnya  begitu  saja   sehingga   memudahkan   baginya   untuk
membawanya?     Tidak!    Sesungguhnya    bagian-bagian    itu
bertingkat-tingkat sesuai dengan kepentingan dan nilainya. Dan
setiap bagian mempunyai tempat yang tersendiri dan tidak dapat
diganggu oleh yang lainnya.

Bagan yang menggambarkan bagian-bagian iman ini serupa  dengan
bagan  organisasi pada suatu kementerian atau satu organisasi.
Di sana ada direktur, ada wakil-wakil direktur,  pekerja,  dan
ada  pula  pengawasnya.  Di antara bagian-bagian itu ada garis
hubungan  secara  timbal-balik,  garis  perintah   dan   garis
produktif.

Sesungguhnya bagian-bagian iman yang jumlahnya ada puluhan itu
seperti sebuah mobil yang  memiliki  bentuk,  kerangka,  stir,
bahan  bakar,  rem, lampu, kursi, dan lain-lain. Setiap bagian
darinya memiliki tugas dan nilai tersendiri.

Sejak peradaban Islam mulai muncul  di  permukaan,  telah  ada
rukun  iman  dan  perbuatan-perbuatan  sunnah, perkara-perkara
pokok dan cabang amalan hati dan amalan badaniah.

Satu hal yang terjadi pada sebagian manusia ialah  bahwa  satu
bagian   tertentu  dari  Islam  itu  menjalar  memakan  kepada
bagian-bagian  yang  lain  sebagaimana  luka  di  badan   yang
menjalar  dan menjangkiti bagian yang lain, sehingga tubuh itu
hancur semuanya.

Kelompok Khawarij merupakan kelompok yang pertama kali terkena
penyakit  pemikiran  ini,  dan  tidak  memahami Islam sehingga
mereka memerangi  Ali  atau  melepaskan  diri  dari  peristiwa
tahkim,  dan memerangi Umar bin Abd al-Aziz atau melaknat para
nenek moyangnya, para penguasa bani Umayyah.

Penguasaan pemikiran  tertentu  atas  manusia,  yang  memenuhi
kekosong  dirinya, akan menguasai dirinya dan tidak memberikan
tempat kepada pemikiran yang lain.

Saya  pernah  berjumpa  dengan  seorang  lelaki  yang  dikenal
sebagai  orang  yang  baik.  Dia bertanya kepada saya: "Apakah
engkau percaya dengan karamah Syaikh Fulan?" Saya menjawabnya:
"Saya  belum  pernah  membaca  riwayat  hidup Syaikh itu." Dia
berkata, "Saya akan membawakan kepadamu buku  yan  menjelaskan
riwayat   hidupnya."   Tidak   lama   kemudian  saya  berjumpa
dengannya, dan dia bertanya kepada saya,  "Bagaimana  pendapat
kamu?"  Saya  menjawab,  "Saya  lupa  membaca  buku  itu." Dia
bertanya, "Bagaimana?" Dengan tegas saya katakan: "Perkara itu
tidak  penting...  Apabila saya meninggal dunia dan saya tidak
tahu  sahabatmu  itu,  maka  sesungguhnya  Allah  tidak   akan
bertanya  kepadaku  tentang  dirinya dan karamahnya." Kemudian
dia  pergi  dariku  karena  aku  dianggap  tidak   mempercayai
berbagai karamah itu.

Saya  berjumpa  dengan  orang lain yang berkata: "Bagaimanakah
pendapatmu  tentang  musik?"  Saya  jawab:  "Kalau  musik  itu
patriotik,   membangkitkan  semangat  dan  pengorbanan,  tidak
apa-apa. Kalau musik sentimental yang  membangkitkan  semangat
atau  kasih  sayang  tidak  apa-apa...  Tetapi kalau musik itu
membangkitkan kesia-siaan dan pornografi, maka  tidak  boleh."
Orang itu kemudian pergi menjauh dari diri saya dan menganggap
bahwa saya menghalalkan untuk mendengarkan hal-hal yang haram.

Kedua orang itu beriman kepada sesuatu yang menjadi salah satu
bagian  agama  yang  menyeluruh. Dia menghukumi orang lain dan
keadaan orang lain berdasarkan ukuran dirinya.

'Luka' seperti inilah yang menjangkiti sebagian sisi  tertentu
dari  agama  ini.  Itulah sebabnya mengapa ada sejumlah fuqaha
yang  memiliki  pemikiran  cemerlang,  tetapi   mereka   tidak
mempunyai  'hati  ahli  ibadah'; atau orang sufi yang memiliki
'perasaan halus' tetapi tidak memiliki 'akal pikiran'  seperti
para fuqaha.

Itulah  sebabnya  mengapa  ada sejumlah ahli hadits yang hanya
menghalalkan nash-nashnya, tetapi mereka tidak meletakkan pada
proporsinya dan tidak pandai mengambil suatu kesimpulan hukum.

Itulah   pula  sebabnya  mengapa  ada  orang-orang  yang  yang
memiliki pemikiran cemerlang, tetapi  mereka  tidak  memiliki,
sandaran nash, untuk itu.

Itulah  pula  sebabnya mengapa ada sejumlah hakim yang bekerja
--sesuai  dengan  syarat-syarat  tertentu--  sebagai  pengayom
rakyat,   yang  sangat  rendah  kadar  ketaqwaan  mereka,  dan
orang-orang awamnya khusyu' dalam melakukan ibadah individual,
tetapi  apabila  sampai kepada suatu persoalan yang melibatkan
pemberian nasehat, perintah, larangan, dan  pertentangan  yang
menyebabkan  kemarahan  para penguasa itu, maka mereka berdiam
diri saja.

Itulah  pula  sebabnya  mengapa  ada  orang-orang  yang  tekun
beribadah,  yang tidak pernah lalai sedetikpun dalam melakukan
ketaatan dalam beribadah itu, tetapi  mereka  tidak  menyadari
setitik   pun   hikmah   dari   ibadah   tersebut   dan  tidak
memanfaatkannya  sebagai  bagian  dari  perilakunya.  Padahal,
shalat  dapat  menimbulkan  keteraturan dan kebersihan, tetapi
mereka tidak teratur dan kotor.

Padahal haji merupakan pengembaraan  yang  memenuhi  hati  dan
tubuh  manusia  dengan  rasa tenteram dan kasih sayang, tetapi
mereka di tengah-tengah melakukan ibadah haji  dan  sesudahnya
bersikap garang dan buruk.

Sesungguhnya da'wah Islam mengambil duri dari orang-orang yang
sedikit  pemahamannya,   tetapi   banyak   semangatnya,   yang
berangkat dengan akal pemikirannya yang tumpul kemudian mereka
tidak melakukan  pekerjaan  yang  baik,  dan  hanya  melakukan
perbuatan buruk.

Apakah  peranan yang dapat dimainkan oleh Islam pada diri para
pemuda yang sangat kaku terhadap masyarakat Eropa dan  Amerika
itu?  Mereka  mengenakan  jubah  putih,  duduk  di atas tanah,
memakan makanan dengan  tangan  mereka  kemudian  membersihkan
ujung  jemari  mereka  dengan mulut. Menurut pandangan mereka,
begitulah petunjuk dari Rasulullah saw yang mulia tentang cara
makan,  dan  sunnah  yang  harus  mereka lakukan sebagai upaya
penentangan Islam terhadap orang-orang Barat.

Apakah itu tata cara makan yang diajarkan oleh Islam?

Ketika orang-orang Eropa melihat seorang  lelaki  yang  hendak
minum,  mengambil  gelas, kemudian dia duduk --sebelum itu dia
berdiri-- untuk mengikuti tata cara minum, apakah  pemandangan
yang aneh ini yang menarik hati mereka untuk masuk Islam?

Mengapa  perkara-perkara  yang  remeh  ini ditampilkan padahal
perkara  ini  malah  dapat  menghalangi   jalan   Allah,   dan
menampilkan   Islam   dengan   cara  seperti  itu  akan  lebih
menggambarkan Islam berwajah garang?

Sesungguhnya    da'wah    kepada    Islam    tidak    menerima
perkara-perkara  khilafiyah  walaupun  hal itu dianggap sangat
penting oleh sebagian juru da'wah. Makan di atas  tanah,  atau
makan  dengan tangan merupakan masalah biasa dan bukan masalah
ibadah. Itulah yang  mereka  tampilkan  sebagai  wajah  Islam.
Kemudian  meletakkan  tutup  wajah  di  muka  perempuan adalah
perkara yang masih diterima dan ditolak, dan jangan  dijadikan
hal itu sebagai penampilan agama Allah kepada para hamba-Nya.

Renungkanlah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh Bukhari tentang
metoda da'wah Islam sebagaimana  yang  ditetapkan  oleh  Tuhan
yang  Maha Agung; yang diriwayatkan dari Yusuf bin Mahik, yang
berkata, "Sesungguhnya aku berada di sisi ' Aisyah ketika  ada
orang  Irak  yang  datang  dan bertanya kepadanya: 'Kain kafan
manakah yang lebih baik?'

'Aisyah menjawab, 'Celaka, apa yang engkau anggap  penting  di
situ.'

Dia berkata lagi, 'Wahai Umm al-Mu'minin, perlihatkan kepadaku
Mushafmu.'

'Aisyah berkata, 'Kenapa?'

Dia berkata: 'Barangkali aku dapat menyusun al-Qur'an  seperti
itu, karena al-Qur'an yang aku baca tidak tersusun.'

'Aisyah  berkata, 'Apa yang engkau anggap penting di situ. Dan
apa yang engkau baca  sebelumnya?  Sesungguhnya  yang  pertama
kali  diturunkan  ialah  golongan  surat-surat Mufashshal yang
menyebutkan sorga dan neraka kemudian ketika orang-orang sudah
mulai  cenderung  kepada Islam diturunkanlah perkara halal dan
haram.  Seandainya  yang  pertama   kali   diturunkan   ialah:
'janganlah kamu meminum khamar,' niscaya mereka berkata, 'Kami
tidak akan meninggalkan khamar.' Seandainya yang pertama  kali
turun  adalah  ayat  tentang  larangan  untuk berzina, niscaya
mereka  akan  berkata,  'Kam  tidak  akan  meninggalkan   zina
selama-lamanya.'  Sungguh ayat-ayat ini turun di Makkah kepada
Muhammad dan ketika itu aku masih kecil dan suka bermain.

   "Sebenarnya hari kiamat itulah adalah hari yang
   dijanjikan kepada mereka; dan kiamat itu lebih dahsyat
   dan lebih pahit" (al-Qamar: 46)

Surat al-Baqarah dan  surat  an-Nisa'  tidak  turun  kepadanya
kecuali  saya  bersama dengannya. Setelah itu 'Aisyah berkata,
'Kemudian saya keluarkan mushaf  untuknya  dan  saya  diktekan
surat itu kepadanya." 11

Akan  tetapi,  masih  banyak orang yang menyibukkan diri dalam
dunia  da'wah,  tetapi  mereka   tidak   memiliki   fiqh   dan
pengetahuan untuk itu, sehingga mereka menampilkan wajah agama
ini dengan buruk dan tidak baik. Di  antara  mereka  ada  yang
mencampuradukkan kekurangan itu dan kekurangan orang lain.

Kekurangan dalam da'wah terus berkembang sehingga saya melihat
para pengajar yang semu, yang menggambarkan Islam  dari  empat
sudut  saja, yaitu orang lelaki harus berjenggot, wanita harus
menutup wajahnya, penolakan untuk menggambar walaupun di  atas
kertas,   larangan  terhadap  lagu  dan  musik  walaupun  pada
munasabah (acara) yang sangat mulia dengan rangkaian kata-kata
yang sangat baik.

Saya  tidak ingin memutuskan hukum tertentu dalam perkara ini,
tetapi saya hanya ingin  agar  tindakan  itu  tidak  melampaui
batas,   dan   jangan  sampai  orang-orang  yang  melakukannya
menyangka bahwa itulah puncak pengabdian dalam agama,  padahal
perkara  itu  sebenarnya  adalah  perkara  kecil dan terbatas,
dimana peperangan untuk membelanya justru akan mematikan Islam
dan memporakporandakan ummatnya.

Demikianlah  kajian tentang fiqh prioritas yang saya ungkapkan
secara mendasar, komprehensif, dan terperinci sebagaimana yang
dianjurkan  oleh  para  tokoh  pembaruan  Islam. Saya berharap
bahwa  pemikiran  ini  menjadi  salah  satu  sumbangan   dalam
perkembangan  pemikiran Islam di zaman modern ini. Segala puji
bagi Allah di awal dan di akhir kajian ini.

   "Ya Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami
   lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
   engkau bebankan kepada kami beban yang berat
   sebagaimana engkau bebankan kepada orang-orang yang
   sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah engkau pikulkan
   kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
   maaflah kami; ampunilah kami, dan rahmatilah kami.
   engkau Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
   yang kafir" (al-Baqarah: 286).

Catatan kaki:

 1 Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustadz Imam Syaikh
   Muhammad Abduh, juzu' 1, h. 11-12, cetakan al-Manar, Kairo,
   1931.
   
 2 Mudzakkirat ad-Da'wah wa al-Da'iyah, hal. 58-60.
   
 3 Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, juz 6, h. 949-951, cet. Dar
   as-Syuruq.
   
 4 Muttafaq  'Alaih.
   
 5 Muttafaq Alaih
   
 6 Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab
   terdahulu.
   
 7 Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab
   terdahulu.
   
 8 Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab
   terdahulu.
   
 9 Diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Tirmidzi yang berkata, "Ini
   adalah hadits gharib yang tidak kami ketahui kecuali dari
   al-Walid bin Muslim. Ibn al-Jawzi berkata dalam al-'Ilal,
   "Hadits ini tidak shahih." Al, Iraqi berkata, "Isnad hadits
   ini lemah." Al-Albani berkata, "Hadits ini dha'if." Al-Jami'
   al-Shaghir, "Mawdhu'"
   
10 al-Fikr al-Islami al-Hadits, 65-69, Penerbit Dar al-Fikr.
   
11 Dikutip dari buku al-Da'wah al-Islamiyyah, h. 68-71
   
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team