Fiqh Prioritas

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

I.A. PENDAHULUAN
oleh Dr. Yusuf Al Qardhawy

DI ANTARA konsep terpenting dalam fiqh kita sekarang ini ialah
apa  yang  sering saya utarakan dalam berbagai buku saya, yang
saya namakan dengan  "fiqh  prioritas"  (fiqh  al-awlawiyyat).
Sebelum  ini  saya mempergunakan istilah lain dalam buku saya,
al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatharruf,  yaitu
fiqh urutan pekerjaan (fiqh maratib al-a'mal).

Yang  saya  maksud  dengan  istilah  tersebut ialah meletakkan
segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum,
nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan
harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari'ah yang shahih,
yang  diberi  petunjuk  oleh  cahaya wahyu, dan diterangi oleh
akal.

   "... Cahaya di atas cahaya..." (an-Nuur: 35)

Sehingga sesuatu yang tidak penting,  tidak  didahulukan  atas
sesuatu  yang  penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan
atas sesuatu yang  lebih  penting.  Sesuatu  yang  tidak  kuat
(marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat (rajih). Dan
sesuatu "yang biasa-biasa" saja tidak didahulukan atas sesuatu
yang utama, atau yang paling utama.

Sesuatu  yang  semestinya  didahulukan  harus didahulukan, dan
yang semestinya  diakhirkan  harus  diakhirkan.  Sesuatu  yang
kecil  tidak  perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak
boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di  tempatnya
dengan  seimbang  dan  lurus,  tidak  lebih  dan tidak kurang.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

   "Dan Allah SWT telah meninggikan langit dan Dia
   meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan
   melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah
   timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
   neraca itu." (ar-Rahman:7-9)

Dasarnya ialah bahwa sesungguhnya nilai,  hukum,  pelaksanaan,
dan  pemberian  beban  kewajiban menurut pandangan agama ialah
berbeda-beda satu dengan lainnya. Semuanya tidak  berada  pada
satu tingkat. Ada yang besar dan ada pula yang kecil; ada yang
pokok dan ada pula yang cabang; ada yang berbentuk  rukun  dan
ada  pula  yang  hanya  sekadar  pelengkap; ada persoalan yang
menduduki tempat utama (esensi) tetapi  ada  pula  yang  hanya
merupakan  persoalan  pinggiran;  ada yang tinggi dan ada yang
rendah; serta ada yang utama dan ada pula yang tidak utama.

Persoalan seperti itu telah dijelaskan di dalam nas al-Qur'an,
sebagaimana difirmankan Allah SWT:

   "Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada
   orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus
   Masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang
   beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad
   di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan
   Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum Muslim yang
   zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
   berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri
   mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah;
   dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan."
   (at-Taubah, 19-20)

Di samping itu Rasulullah saw juga bersabda,

   "Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih; yang paling
   tinggi di antaranya ialah 'la ilaha illa Allah,' dan
   yang paling rendah ialah 'menyingkirkan gangguan dari
   jalan.'"1

Para sahabat Nabi saw  memiliki  antusiasme  untuk  mengetahui
amalan  yang  paling  utama  (atau yang diprioritaskan), untuk
mendekatkan diri kepada Allah  SWT.  Oleh  karena  itu  banyak
sekali  pertanyaan  yang mereka ajukan kepada baginda Nabi saw
mengenai amalan yang paling mulia, amalan yang paling dicintai
Allah SWT; sebagaimana pertanyaan yang pernah dikemukakan oleh
Ibn Mas'ud, Abu Dzarr, dan lain-lain. Jawaban  yang  diberikan
Nabi  saw atas pertanyaan itupun banyak sekali, sehingga tidak
sedikit hadits  yang  dimulai  dengan  ungkapan  'Amalan  yang
paling  mulia...";  dan  ungkapan 'Amalan yang paling dicintai
Allah ialah."2

Saya merasa cukup untuk menyebutkan sebuah hadits seperti  itu
pada baris berikut ini:

   "Diriwayatkan dari 'Amr bin Abasah r. a. berkata bahwa
   ada seorang lelaki, yang berkata kepada Rasulullah saw:
   "Wahai Rasulullah apakah Islam itu? " Beliau menjawab,
   "Islam itu ialah penyerahan hatimu kepada Allah, dan
   selamatnya kaum Muslim dari lidah dan tanganmu." Lelaki
   itu bertanya lagi: "Manakah Islam yang paling utama?"
   Rasulullah saw menjawab, "Iman." Lelaki itu bertanya
   lagi: "Apa pula iman itu?" Beliau menjawab, "Engkau
   beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab
   suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan setelah
   mati." Lelaki itu bertanya lagi: "Manakah iman yang
   paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Berhijrah."
   Lelaki itu bertanya lagi. "Apakah yang dimaksud dengan
   berhijrah itu?" Rasulullah saw menjawab, "Engkau
   meninggalkan kejelekan." Lelaki itu bertanya kembali:
   "Manakah hijrah yang paling utama?" Rasulullah saw
   menjawab, "Jihad." Dia bertanya lagi: "Apakah yang
   dimaksud dengan jihad itu?" Beliau menjawab, "Hendaklah
   engkau memerangi orang-orang kafir apabila engkau
   berjumpa dengan mereka." Dia bertanya lagi: "Jihad mana
   yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Jihad
   orang yang mempersembahkan kuda dan darahnya."3

Barangsiapa yang mau meneliti apa  yang  dinyatakan  di  dalam
al-Qur'an  dan as-Sunnah yang suci dalam masalah ini, maka dia
akan  menemukan  jawaban  atas   pertanyaan   tersebut,   atau
penjelasan   mengenai   hakikatnya.  Dia  akan  melihat  bahwa
sejumlah parameter yang berkaitan  dengan  penjelasan  amalan,
nilai,  dan  kewajiban  yang  paling  utama,  paling baik, dan
paling dicintai Allah SWT  telah  diletakkan  di  depan  kita.
Misalnya:

   "Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat
   sendirian; dengan kelebihan sebanyak dua puluh tujuh
   tingkatan."4
   
   "Satu dirham dapat menandingi seratus dirham."5
   
   "Berjaga dalam jihad selama sehari semalam adalah lebih
   baik daripada berpuasa dan qiyamul-lail selama
   sebulan."6
   
   "Sesungguhnya keikutsertaan salah seorang dari kamu
   dalam jihad di jalan Allah adalah lebih baik daripada
   shalat yang dilakukan olehnya di rumahnya selama tujuh
   puluh tahun."7

Sebaliknya,  ada  juga   parameter   yang   berkaitan   dengan
penjelasan  mengenai pelbagai perbuatan buruk, dengan berbagai
tingkat perbedaannya di sisi Allah SWT; berupa dosa-dosa besar
dan  dosa-dosa kecil; perkara yang syubhat dan perkara makruh.
Kadang-kadang sebagian perbuatan  ini  dikaitkan  satu  dengan
lainya; seperti:

   "Satu dirham barang riba yang dimakan oleh seseorang,
   dan dia mengetabui bahwa itu adalah riba, maka dosa itu
   lebih berat di sisi Allah SWT daripada tiga puluh enam
   kali zina."8

Kita juga diperingatkan untuk tidak melakukan  perbuatan  yang
dikategorikan  sebagai  perbuatan jahat daripada yang lainnya,
atau yang lebih  buruk  daripada  perbuatan  lainnya.  Seperti
hadits:

   "Sesuatu yang paling jelek yang ada di dalam diri
   seseorang ialah sifat kikir yang amat berat, dan sifat
   pengecut."9
   
   "Sejelek- jelek orang ialah orang yang meminta dengan
   sumpah atas nama Allah, kemudian dia tidak diberi."10
   
   "Sejelek-jelek umatku ialah mereka yang paling banyak
   omongnya, bermulut besar, dan berlagak pandai; dan
   sebaik-baik umatku ialah mereka yang paling baik
   akhlaknya."11
   
   "Manusia yang dianggap sebagai pencuri paling ulung
   ialah orang yang mencuri shalatnya, tidak
   menyempurnakan rukuk dan sujudnya; sedangkan manusia
   yang paling kikir ialah orang yang paling enggan untak
   mengucapkan salam."12

Al-Qur'an juga telah menjelaskan  bahwa  derajat  manusia  itu
tidak  sama  meskipun  kemanusiaan  mereka sama, karena mereka
sama-sama   diciptakan   sebagai   manusia.    Akan    tetapi,
sesungguhnya  ilmu  dan  amal  perbuatan  mereka  sama  sekali
berbeda satu dengan lainnya. Al-Qur'an mengatakan,

   "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
   seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
   kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
   saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
   mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
   paling bertaqwa di antara kamu..." (al-Hujurat: 13)
   
   "... Katakanlah: 'Adakah sama orang-orang yang
   mengetahui dengan orang-orang yang tidak
   mengetahui?..." (az-Zumar: 9)
   
   "Tidaklah sama antara Mu'min yang duduk (yang tidak
   turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang
   yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan
   jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
   dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk
   satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah
   menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah
   melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang
   duduk dengan pahala yang besar. (Yaitu) beberapa
   derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah
   Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
   (an-Nisa: 95-96)
   
   "Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang
   melihat. Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan
   cahaya. Dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang
   panas. Dan tidak (pula) sama antara orang-orang yang
   hidup dan orang-orang yang mati ..." (Fathir: 19-22)
   
   "Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang
   yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di
   antara mereka ada yang menganinya diri mereka sendiri
   dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di
   antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat
   kebaikan dengan izin Allah..." (Fathir: 32)

Begitulah kita menemukan bahwa  manusia  berbeda  satu  dengan
lainnya,  dan  mereka  memiliki  kelebihan yang tidak dimiliki
oleh orang lainnya. Amal perbuatan mereka  berbeda;  dan  yang
membedakan  kedudukan  mereka  satu  sama  lainnya ialah ilmu,
amal, ketaqwaan, dan perjuangannya.

Catatan kaki:

 1 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Jama'ah dari Abu Hurairah;
   Bukhari meriwayatkannya dengan lafal "enam puluh macam lebih";
   Muslim meriwayatkannya dengan lafal "tujuh puluh macam lebih"
   dan juga dengan lafal "enam puluh macam lebih" Tirmidzi
   meriwayatkannya dengan "tujuh puluh macam lebih" dan begitu
   pula dengan an-Nasa'i. semuanya terdapat dalam kitab al-Iman;
   sedangkan Abu Dawud meriwayatkannya dalam as-Sunnah; dan Ibn
   Majah dalam al-Muqaddimah.
   
 2 Contoh-contoh hadits seperti ini ialah:
   "Shadaqah yang paling utama ialah shadaqah yang engkau
   berikan ketika engkau dalam keadaan sehat dan sangat
   memerlukannya; ketika engkau khawatir menjadi miskin dan
   berangan-angan untuk menjadi orang kaya."; "Perjuangan yang
   paling utama ialah menyampaikan ucapan yang benar di hadapan
   penguasa yang zalim."; "Amalan yang paling dicinta oleh Allah
   ialah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun amalan itu
   sedikit."; "Sebaik-baik amalan agamamu ialah yang paling mudah
   diamalkan."
   
 3 al-Mundziri berkata dalam at-Targhib wat-Tarhib, "Hadits
   ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan isnad yang shahih, yang
   para rawinya bisa dianggap shahih; dan juga diriwayatkan oleh
   al-Thabrani dan lain-lain. Sedangkan al-Haitsami (2:207)
   mengatakan, "Hadits ini diriwayarkan oleh Ahmad dan
   at-Thabrani, dengan rijal al-hadits yang shahih.
   
 4 Diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih dari Ibn Umar;
   sebagaimana disebutkan dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan (381)
   
 5 Haditsnya secara lengkiap adalah sebagai berikut: "Ada
   seorang lelaki yang memiliki dua dirham, kemudian dia
   mengambil satu dirham untuk dishadaqahkan (dengan arti bahwa
   orang ini bershadaqah dengan separuh harta yang dia miliki dan
   sangat dia perlukan); kemudian ada lelaki lain sangat kaya
   raya. Dia mengambil sebagian kekayaannya sejumlah seratus ribu
   dirham untuk dishadaqahkan. Diriwayatkan oleh an-Nasa'i
   (5:95); Ibn Huzaimah (3443); Ibn Hibban (3347); dan al-Hakim
   dari Abu Hurairah yang dianggap shahih menurut syarat yang
   ditetapkan oleh Muslim, kemudian disepakati oleh adz-Dzahabi
   (1:416)
   
 6 Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Turmudzi, dari Salman, dan
   Ahmad bin Abdullah bin 'Amr; seperti yang dijelaskan di dalam
   Shahih al-Jami' as-Shaghir (3480); (3481); dan (3483).
   
 7 Diriwayatkan oleh Turmidzi dari Abu Hurairah, yang dianggap
   sebagai hadits hasan (1350); dan diriwayatkan oleh al-Hakim
   dan di-shahih-kan olehnya menurut syarat yang telah ditetapkan
   oleh Muslim, yang sekaligus disepakati oleh adz-Dzahabi
   (2:68). Ada pula yang mengatakan bahwa lafal hadiits ini ialah
   "enam puluh tahun" seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dari
   Abu Umamah.
   
 8 Diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dari Abdullah bin
   Hanzhalah, sebagaimana dimuat dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir
   (3375).
   
 9 Diriwayatkan okh al-Bukhari dalam at-Tarikh, den Abu Dawud
   dari Abu Hurairah r.a. (Ibid., 3709)
   
10 Diriwayatkan oleh Ahmad. as-Syaikhani. Tirmidzi, Ibn Hibban
   dari Ibn 'Abbas (Ibid., 3708).
   
11 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dari Abu
   Hurairah r.a. (ibid., 2740).
   
12 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Ausath, dari Abdullah
   bin Maghfal, (ibid., 966).
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team