Fiqh Prioritas

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

I.B. KEBUTUHAN UMAT KITA SEKARANG AKAN FIQH PRIORITAS
oleh Dr. Yusuf Al Qardhawy
 
Kacaunya Timbangan Prioritas pada Umat
 
Apabila  kita  memperhatikan  kehidupan  kita  dari   berbagai
sisinya  --baik dari segi material maupun spiritual, dari segi
pemikiran, sosial, ekonomi,  politik  ataupun  yang  lainnya--
maka  kita  akan menemukan bahwa timbangan prioritas pada umat
sudah tidak seimbang lagi.
 
Kita dapat menemukan di setiap negara Arab dan Islam  berbagai
perbedaan  yang  sangat  dahsyat,  yaitu  perkara-perkara yang
berkenaan   dengan   dunia   seni   dan   hiburan   senantiasa
diprioritaskan  dan didahulukan atas persoalan yang menyangkut
ilmu pengetahuan dan pendidikan.
 
Dalam  aktivitas  pemudanya  kita  menemukan  bahwa  perhatian
terhadap  olahraga  lebih  diutamakan  atas olah akal pikiran,
sehingga  makna  pembinaan  remaja  itu  lebih  berat   kepada
pembinaan  sisi  jasmaniah  mereka  dan  bukan  pada sisi yang
lainnya. Lalu, apakah  manusia  itu  hanya  badan  saja,  akal
pikiran saja, ataukah jiwa saja?
 
Dahulu  kita  sering  menghafal  sebuah  kasidah  Abu  al-Fath
al-Bisti yang sangat terkenal. Yaitu kasidah berikut ini:
 
   "Wahai orang yang menjadi budak badan, sampai kapan
   engkau hendak mempersembahian perkhidmatan kepadanya.
   
   Apakah engkau hendak memperoleh keuntungan dari
   sesuatu yang mengandung kerugian?
   
   Berkhidmatlah pula kepada jiwa, dan carilah berbagai
   keutamaan padanya,
   
   Karena engkau dianggap sebagai manusia itu dengan jiwa
   dan bukan dengan badan"
 
Kita juga hafal apa yang dikatakan oleh Zuhair ibn  Abi  Salma
dalam Mu'allaqat-nya:
 
   "Lidah seorang pemuda itu setengah harga dirinya, dan
   setengah lagi adalah hatinya. Jika keduanya tidak ada
   pada dirinya, maka dia tiada lain hanya segumpal
   daging dan darah."
 
Akan  tetapi  kita  sekarang  ini  menyaksikan  bahwa  manusia
dianggap   sebagai  manusia  dengan  badan  dan  otot-ototnya,
sebelum menimbang segala sesuatunya.
 
Pada musim panas tahun lalu (1993),  tiada  perbincangan  yang
terjadi di Mesir kecuali perbincangan di seputar bintang sepak
bola yang dipamerkan untuk dijual. Harga  pemain  ini  semakin
meninggi  bila  ada  tawar-menawar  antara beberapa klub sepak
bola, sehingga  mencapai  750.000  Junaih  (satuan  mata  uang
Mesir).
 
Jarang   sekali   mereka  yang  mengikuti  perkembangan  dunia
olahraga, khususnya  olahraga  yang  bermanfaat  bagi  manusia
dalam  kehidupan  mereka  sehari-hari. Mereka hanya menumpukan
perhatian terhadap pertandingan olahraga, khususnya sepak bola
yang  hanya  dimainkan  beberapa  orang  saja,  sedangkan yang
lainnya hanya menjadi penonton mereka.
 
Sesungguhnya bintang masyarakat, dan nama mereka  yang  paling
cemerlang bukanlah ulama atau ilmuwan, bukan pemikir atau juru
da'wah; akan tetapi mereka adalah apa yang kita sebut sekarang
dengan   para   aktor  dan  aktris,  pemain  sepak  bola,  dan
sebagainya.
 
Surat  kabar  dan   majalah,   televisi   dan   radio,   hanya
memperbincangkan   kehidupan,    tingkah   laku,   "kejayaan,"
petualangan, dan berita  di  sekitar  mereka,  walaupun  tidak
berharga.  Sedangkan  orang-orang  selain  mereka tidak pernah
diliput, dan bahkan hampir dikesampingkan atau dilupakan.
 
Apabila ada seorang  seniman  yang  meninggal  dunia,  seluruh
dunia   gempar  karena  kematiannya,  dan  semna  surat  kabar
berbicara  tentang  kematiannya.  Namun  apabila  ada  seorang
ulama,  ilmuwan,  atau  seorang profesor yang meninggal dunia,
seakan-akan tidak ada seorangpun yang membicarakannya.
 
Kalau dilihat dari  segi  material,  perhatian  mereka  kepada
dunia  olahraga  dan  seni  memakan biaya sangat tinggi; yaitu
untuk membiayai publikasi, dan keamanan penguasa, yang  mereka
sebut  sebagai  biaya  "keamanan  negara";  dimana  tidak  ada
seorang pun dapat menolak atau mengawasinya. Mengapa semua itu
bisa terjadi?
 
Pada  saat  yang  sama,  lapangan dunia pendidikan, kesehatan,
agama, dan perkhidmatan umum, sangat sedikit mendapat dukungan
dana;   dengan   alasan   tidak  mampu  atau  untuk  melakukan
penghematan, terutama apabila ada sebagian orang yang  meminta
kepada  mereka  sumbangan  untuk  melakukan peningkatan sumber
daya  manusia  dalam  rangka  menghadapi  perkembangan  zaman.
Persoalannya adalah seperti yang dikatakan orang: "Penghematan
di  satu  sisi,  tetapi  di  sisi  lain  terjadi  pemborosan";
sebagaimana  yang pernah dikatakan Ibn al-Muqaffa,: "Aku tidak
melihat suatu pemborosan terjadi kecuali di sampingnya ada hak
yang dirampas oleh orang yang melakukan pemborosan itu."
 
Penyimpangan Orang-orang Beragama Dewasa ini dalam
Fiqh Prioritas
 
Penyimpangan terhadap masalah fiqh ini tidak hanya terjadi  di
kalangan  awam kaum Muslimin, atau orang-orang yang menyimpang
dari jalan yang lurus di kalangan mereka, tetapi  penyimpangan
itu  juga  dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya
kepada agama ini, karena tidak  adanya  fiqh  dan  pengetahuan
yang benar.
 
Sesungguhnya   ilmu   pengetahuanlah   yang  menjelaskan  mana
perbuatan yang diterima dan mana perbuatan yang ditolak;  mana
perbuatan yang diutamakan dan mana pula yang tidak diutamakan.
Ilmu pengetahuan juga menjelaskan  perbuatan  yang  benar  dan
juga  perbuatan yang rusak; perbuatan yang dikabulkan dan yang
ditolak; perbuatan yang termasuk  sunnah  dan  perbuatan  yang
termasuk  bid'ah.  Setiap  perbuatan  disebutkan  "harga"  dan
nilainya, menurut pandangan agama.
 
Kebanyakan mereka tidak mendapatkan  cahaya  ilmu  pengetahuan
dan  arahan  dari  fiqh  yang  benar. Mereka telah memusnahkan
batas antara pelbagai macam  amalan  dan  tidak  membedakannya
satu sama lain; atau mereka menetapkannya di luar hukum agama,
sehingga ketetapan mereka kurang atau malah berlebihan.  Dalam
kasus  seperti  ini,  agama  akan  hilang di tangan orang yang
sangat berlebihan dan melampaui batas dan  orang  yang  kurang
memiliki pengetahuan tentang agama itu.
 
Seringkali kita menyaksikan orang-orang seperti ini --walaupun
sebenarnya   mereka   adalah   orang-orang    yang    memiliki
keikhlasan-- menyibukkan diri dengan perbuatan yang tidak kuat
(marjuh), dan mereka menganggapnya sebagai  amalan  yang  kuat
(rajih).  Mereka  sibuk  dengan  perbuatan  yang  bukan  utama
(mafdhul) dan melalaikan perbuatan yang utama (fadhil).
 
Kadang-kadang, satu perbuatan  itu  pada  suatu  masa  dinilai
sebagai  perbuatan  yang utama (fadhil), tetapi pada masa yang
lain ia bukan perbuatan yang utama (mafdhul); atau pada  suatu
suasana  tertentu perbuatan itu bisa dinilai kuat (rajih), dan
pada kondisi yang lain  tidak  bisa  diterima  (marjuh).  Akan
tetapi,   karena   pengetahuan  dan  pemahaman  mereka  sangat
sedikit, maka mereka tidak mampu membedakan  antara  dua  masa
dan suasana yang berlainan itu.
 
Saya  pernah  melihat  orang-orang Muslim yang baik hati, yang
mau menyumbang pembangunan sebuah masjid di kawasan yang sudah
banyak  masjidnya,  yang  kadang-kadang pembangunan masjid itu
memakan biaya setengah atau satu juta Junaih  atau  satu  juta
dolar.  Akan  tetapi  bila dia dimintai sumbangan sebesar itu,
separuhnya,  atau  seperempat  daripada   jumlah   itu   untuk
mengembangkan   da'wah   Islam,   memberantas   kekufuran  dan
kemusyrikan,  mendukung  kegiatan   Islam   untuk   menegakkan
syari'ah  agama,  atau  kegiatan-kegiatan  lain  yang memiliki
tujuan besar, yang kadang-kadang ada  orangnya  tetapi  mereka
tidak  memiliki  dana  untuk  itu.  Orang-orang  yang  memberi
bantuan pembangunan  masjid  di  atas,  hampir  seperti  orang
pekak,  dan  tidak  memberikan  tanggapan  sama  sekali karena
mereka lebih percaya kepada membangun batu daripada  membangun
manusia.
 
Setiap  tahun, pada musim haji saya menyaksikan sejumlah besar
kaum Muslim yang kaya  raya,  yang  datang  berbondong-bondong
untuk  melaksanakan  ibadah sunnah di musim itu, karena mereka
telah  seringkali  melaksanakan  ibadah  haji,  dan  melakukan
ibadah  umrah di bulan Ramadhan. Untuk itu mereka mengeluarkan
dana yang cukup besar dengan mudah, tetapi pada saat yang sama
banyak  orang  miskin  yang  memerlukan  bantuan  dari mereka.
Sebenarnya Allah juga tidak  membebankan  kewajiban  haji  dan
umrah atas diri mereka.
 
Akan tetapi, manakala dana tahunan yang mereka keluarkan untuk
itu diminta untuk memerangi orang-orang Yahudi  di  Palestina;
membantu  kaum  Muslimin  di Serbia, Bosnia, Herzegovina; atau
untuk menghadapi  gerakan  Kristenisasi  di  Bangladesh,  atau
negara-negara  Afrika dan negara-negara Asia Tenggara lainnya;
atau untuk membangun pusat-pusat  Islam  atau  mencetak  kader
da'wah   yang   memiliki   spesialisasi   di  berbagai  bidang
kehidupan; atau untuk mencetak, menerjemahkan, dan menerbitkan
buku-buku  Islam  yang  sangat  bermanfaat, mereka memalingkan
muka, dan menyombongkan diri.
 
Padahal telah ada ketetapan dengan jelas  di  dalam  al-Qur'an
bahwa  jenis  perbuatan  perjuangan  itu  lebih utama daripada
jenis perbuatan  ibadah  haji;  sebagaimana  difirmankan  oleh
Allah SWT:
 
   "Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada
   orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus
   Masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang
   beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad
   di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan
   Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum Muslimin
   yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah
   serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan
   diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi
   Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat
   kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan
   memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan surga,
   mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal.
   (at-Taubah: 19-21)
 
Mengapa? Karena ibadah haji dan umrah mereka  termasuk  sunnah
karena  mereka  telah  melakukannya  berulang  kali; sedangkan
perjuangan melawan kekufuran  dan  kemusyrikan,  sekularisasi,
dan pemisahan agama dari kehidupan manusia, baik yang didukung
oleh kekuatan-kekuatan internal  maupun  eksternal,  merupakan
kewajiban kita pada masa sekarang ini.
 
Pada  musim  haji  dua  tahun yang lalu, salah seorang penulis
buku Islam yang  sangat  terkenal,  yaitu  sahabat  saya  yang
bernama  Fahmi  Huwaidi,  yang  menulis makalahnya setiap hari
Selasa,  mengatakan   secara   terang-terangan   kepada   kaum
Muslimin,  "Sesungguhnya upaya penyelamatan kaum Muslim Bosnia
lebih utama daripada kewajiban ibadah haji sekarang ini."
 
Banyak orang yang bertanya kepada saya ketika  mereka  membaca
makalah  itu,  sejauh  mana kebenaran ucapan itu bila ditinjau
dari segi syari'ah agama dan fiqh? Ketika  itu  saya  menjawab
mereka:  "Sesungguhnya  pernyataan penulis itu benar, dan juga
benar bila ditinjau dari sudut fiqh, karena  sebenarnya  telah
ada  ketetapan  syari'ah  yang menyatakan bahwa kewajiban yang
perlu dilakukan dengan segera harus didahulukan atas kewajiban
yang  bisa  ditangguhkan.  Ibadah  haji  dalam  hal ini adalah
ibadah yang mungkin ditangguhkan. Dan dia merupakan  kewajiban
yang  tidak  dituntut untuk dilaksanakan dengan segera menurut
sebagian imam mazhab.  Sedangkan  penyelamatan  kaum  Muslimin
Bosnia  dari  ancaman  yang  akan  memusnahkan  mereka  karena
kelaparan,  kedinginan,  dan  penyakit  dari  satu  segi,  dan
pemusnahan   secara  massal  dari  segi  yang  lain  merupakan
kewajiban   yang   harus   segera    dilaksanakan.    Tindakan
penyelamatan  ini  tidak  dapat  ditangguhkan, dan tidak dapat
ditunda-tunda lagi. Ia adalah kewajiban yang berkaitan  dengan
waktu  sekarang  ini, sekaligus merupakan kewajiban umat Islam
secara menyeluruh pada hari ini.
 
Tidak diragukan lagi  bahwa  melaksanakan  syiar  ibadah  haji
merupakan  sebuah  kewajiban  yang  tidak diperselisihkan oleh
umat ini. Kita tidak perlu meniadakan ibadah  itu  pada  suatu
musim haji, karena ibadah ini dapat dilakukan oleh orang-orang
yang  tinggal  di  sekitar  tanah  suci,  yang   tidak   perlu
mengeluarkan biaya yang tinggi untuk melaksanakan ibadah ini.
 
Saya  memandang  bahwa  apa  yang dikatakan oleh Prof. Huwaidi
dapat terlaksana dengan cara  seperti  ini.  Namun  kebanyakan
orang-orang  yang  pergi  ke tanah suci pada musim haji setiap
tahun  adalah  orang-orang  yang  tidak  lagi  dibebani  untuk
melaksanakan  kewajiban  ini, karena mereka telah melakukannya
pada masa-masa sebelumnya. Orang-orang  yang  pergi  ke  tanah
suci  dan  sebelumnya  belum  pernah  melaksanakan ibadah ini,
jumlah mereka tidak lebih dari 15%. Kalau kita asumsikan bahwa
jumlah  jamaah  haji  2.000.000  orang, maka jumlah orang yang
baru pertama  kali  melakukan  ibadah  ini  tidak  lebih  dari
300.000 orang.
 
Alangkah  baiknya bila dana yang mereka keluarkan untuk ibadah
sunnah itu --di mana jumlah mereka adalah  mayoritas--  begitu
pula  orang-orang yang melakukan ibadah umrah sunnah sepanjang
tahun, khususnya pada bulan Ramadhan, dialihkan untuk mendanai
perjuangan  di  jalan  Allah  SWT;  atau  untuk  menyelamatkan
saudara-saudara mereka, muslimin dan muslimat,  yang  terancam
kehancuran   secara   material  maupun  spiritual;  dan  untuk
membiayai mereka  dalam  menghadapi  musuh-musuh  mereka  yang
ganas,  yang  menginjak-injak  kehormatan  mereka,  dan  tidak
menginginkan keberadaan mereka di dunia ini. Negara-negara  di
dunia  ini  sebenarnya  melihat  dan mendengar keadaan mereka,
akan tetapi mereka berdiam diri  dan  tidak  bergerak,  karena
sesungguhnya  kemenangan  itu  berada  di  pihak yang kuat-dan
bukan kekuatan di pihak yang benar.
 
Saya menyaksikan sebagian pemeluk agama yang  baik  di  Qatar,
dan  negara-negara  teluk  yang  lainnya,  serta di Mesir yang
mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan syiar agama, yaitu
ibadah  haji  setiap  tahun.  Saya  mengetahui bahwa di antara
mereka ada yang telah mengerjakan  ibadah  haji  setiap  tahun
sejak  empat  puluh  tahun  yang  lalu.  Mereka  terdiri  atas
sekumpulan sanak saudara, handai  tolan,  dan  sahabat  karib.
Jumlah  mereka  barangkali  mencapai seratus orang. Pada suatu
saat, saya mengingatkan mereka, ketika itu saya baru saja tiba
dari suatu lawatan ke salah satu negara di Asia Tenggara. Saya
menyaksikan  bahwa  kristenisasi   sedang   dilakukan   secara
besar-besaran  di  sana,  dan  kaum  Muslim  sangat memerlukan
lembaga-lembaga tandingan untuk menghadapi  gerakan  tersebut,
baik   lembaga   yang   bergerak   dalam   bidang  pendidikan,
kedokteran, maupun lembaga  yang  bergerak  di  dalam  masalah
sosial.   Saya  katakan  kepada  kawan-kawan  yang  baik  itu:
"Bagaimanakah pendapat kamu kalau seandainya  pada  tahun  ini
kamu  berniat  tidak  melakukan  ibadah haji, lalu biaya untuk
melakukan ibadah haji itu disumbangkan untuk biaya  menghadapi
kristenisasi.  Kalau  dari setiap orang yang berjumlah seratus
itu menyumbangkan 10.000 Junaih, maka jumlahnya  akan  menjadi
1.000.000  Junaih.  Uang sejumlah itu dapat dipergunakan untuk
membangun proyek besar. Dan kalau kita mau  memulai  perbuatan
seperti ini, kemudian kita umumkan kepada khalayak ramai, maka
orang-orang  akan  banyak  yang  mengikuti   perbuatan   kita,
sehingga   kita   dapat  memperoleh  juga  pahala  orang  yang
mengikuti perbuatan baik kita."
 
Akan tetapi  sayangnya,  saudara-saudara  kita  itu  menjawab,
"Sesungguhnya  kami ini bila bulan Zulhijjah tiba, kami merasa
sangat bergembira, kami tidak dapat  menahan  kerinduan  untuk
melakukan  ibadah  haji. Kami merasa bahwa ruh-ruh kami dibawa
ke  sana.  Kami  merasa  sangat  berbahagia  bila  kami   ikut
melaksanakan ibadah haji setiap musim bersama para jamaah haji
yang lainnya."
 
Bisyr al-Hafi pernah  mengatakan,  "Kalau  kaum  Muslimin  mau
memahami,  memiliki  keimanan yang benar, dan mengetahui makna
fiqh prioritas, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang lebih
besar  dan suasana kerohanian yang lebih kuat, setiap kali dia
dapat  mengalihkan  dana  ibadah  haji  itu  untuk  memelihara
anak-anak  yatim,  memberi  makan  orang-orang yang kelaparan,
memberi  tempat  perlindungan  orang-orang   yang   terlantar,
mengobati  orang  sakit, mendidik orang-orang yang bodoh, atau
memberi kesempatan kerja kepada para penganggur."
 
Saya pernah melihat para remaja yang tekun belajar pada kuliah
kedokteran  di  perguruan  tinggi,  fakultas  teknik, fakultas
pertanian, fakultas sastra, atau  fakultas-fakultas  ilmu-ilmu
umum  yang  lainnya. Mereka berjaya dan memiliki prestasi yang
gemilang, akan tetapi tidak lama kemudian mereka  meninggalkan
bangku  fakultas-fakultas  tersebut,  dan  merasa tidak sayang
untuk  meninggalkannya;  dengan  alasan   untuk   ikut   serta
melakukan da'wah dan tabligh; padahal spesialisasi yang mereka
jalani termasuk ilmu-ilmu fardhu kifayah, di  mana  umat  akan
menderita  bila  tidak  ada  seorangpun  di antara mereka yang
memiliki keahlian pada bidang-bidang tersebut. Di samping itu,
mereka  juga  dapat  menjadikan  amal  perbuatan  dalam bidang
kehidupannya sebagai  ibadah  dan  perjuangan  apabila  mereka
melakukannya  sebaik  mungkin  dan  disertai  dengan niat yang
baik, serta mengikuti batas-batas yang telah  ditetapkan  oleh
Allah SWT.
 
Jika  setiap  muslim  meninggalkan  profesi mereka, lalu siapa
lagi yang hendak melakukan perbuatan yang membawa kemaslahatan
untuk  kaum  Muslimin?  Sesungguhnya  Rasulullah  saw dan para
sahabatnya  melakukan   pekerjaan   dalam   pelbagai   bidang.
Rasulullah  saw  tidak  pernah meminta salah seorang di antara
sahabatnya untuk meninggalkan profesinya agar dia  dapat  ikut
serta  dalam  berda'wah.  Hal  ini  dilakukan oleh beliau agar
setiap orang tetap berada pada profesinya masing-masing,  baik
sebelum  atau  sesudah  hijrah.  Orang-orang yang meninggalkan
profesi mereka itu apabila diajak untuk  melakukan  peperangan
di  jalan Allah, mereka melarikan diri dan merasa berat sekali
melangkahkan kakinya untuk berjuang membela  agama  Allah  SWT
dengan harta benda dan jiwa mereka.
 
Imam  al-Ghazali  tidak  setuju  dengan orang-orang yang hidup
sezaman dengannya, di mana orang-orang hanya belajar fiqh  dan
sejenisnya, padahal pada masa yang sama di negeri mereka tidak
ada seorang dokterpun  kecuali  dokter  Yahudi  atau  Nasrani.
Semua  kaum  Muslimin  berobat  kepada  mereka.  Ruh dan aurat
mereka diserahkan sepenuhnya kepada para dokter itu,  kemudian
mereka  melanggar  ketetapan  hukum yang telah ditetapkan oleh
agama ini; seperti bolehnya  berbuka  puasa  bagi  orang  yang
sedang menjalankan ibadah puasa, dan bolehnya bertayammum bagi
orang-orang yang sedang terluka.
 
Saya juga menyaksikan  kelompok  kaum  Muslimin  lainnya  yang
setiap   hari   bertengkar  untuk  mempertahankan  diri  dalam
masalah-masalah juz'iyah atau masalah-masalah khilafiyah;  dan
di  sisi  lain  mereka  melalaikan perjuangan Islam yang lebih
besar dalam melawan musuh-musuhnya yang sangat dengki,  benci,
tamak, takut kepadanya, dan senantiasa mengintainya.
 
Bahkan,  kaum  minoritas  dan  imigran yang tinggal di belahan
negara Barat (Amerika, Canada, dan Eropa) ada di antara mereka
yang sebagian besar perhatiannya hanya tertumpu kepada masalah
jam tangan di mana dia harus dikenakan, apakah di tangan  kiri
atau di tangan kanan?
 
Mengenakan  pakaian  putih  sebagai  ganti  daripada  baju dan
pantalon;  apakah  hal  ini  wajib  ataukah  sunnah  hukumnya?
Kemudian  masuknya  perempuan  ke masjid; apakah halal ataukah
haram hukumnya?
 
Makan  di  atas  meja  sambil  duduk  di  atas  kursi,  dengan
menggunakan  sendok  dan  garpu,  apakah  hal-hal  seperti ini
termasuk menyerupai tingkah  laku  orang-orang  kafir  ataukah
bukan?
 
Dan  masalah-masalah  lainnya yang banyak menyita waktu, serta
lebih cenderung  memecah  belah  persatuan  umat,  menciptakan
kebencian   dan   jurang   pemisah  di  antara  mereka,  serta
menghabiskan  energi  dengan  sia-sia,   karena   energi   itu
dihabiskan  untuk  sesuatu  yang  tanpa tujuan, dan perjuangan
tanpa musuh.
 
Saya  melihat  beberapa  orang  pemuda  yang  tekun  melakukan
ibadah,   tetapi   mereka   memperlakukan   bapak,   ibu,  dan
saudara-saudara mereka dengan keras dan  kasar.  Dengan  dalih
bahwa  mereka  semua  adalah  pelaku-pelaku  kemaksiatan  atau
menyimpang dari ajaran  agama.  Para  pemuda  itu  telah  lupa
bahwasanya  Allah  SWT  mewasiatkan  kepada kita untuk berlaku
baik terhadap kedua orangtua kita walaupun kedua orangtua kita
musyrik dan berusaha untuk membuat kita menjadi musyrik, serta
membikin fitnah terhadap agama Islam.
 
Allah SWT berfirman:
 
   "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
   dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
   tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya,
   dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik ..."
   (Luqman: 15)
 
Walaupun kedua orangtua kita terus-menerus  berusaha  mengajak
kita  kepada kemusyrikan, di mana al-Qur'an menyebutkan dengan
istilah "memaksa", namun  al-Qur'an  tetap  menganjurkan  kita
untuk  meperlakukan  mereka  dengan  cara  yang  baik.  Karena
sesungguhnya kedua orangtua  kita  memiliki  hak  yang  paling
tinggi  dan tidak tertandingi kecuali oleh hak Allah SWT. Oleh
karena itu, Allah SWT berfirman:
 
   "... Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu
   bapakmu, hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu."
   (Luqman: 14)
 
Mentaati kedua  orangtua  untuk  melakukan  kemusyrikan  tidak
dibenarkan  oleh  Islam.  "Tidak ada ketaatan terhadap makhluk
dalam melakukan kemaksiatan terhadap  sang  Pencipta."  Adapun
memperlakukan  mereka  dengan  sebaik-baiknya  merupakan  satu
keharusan yang tidak ada jalan bagi kita untuk menghindarinya.
 
Selain itu, Allah  SWT  juga  mewasiatkan  kepada  kita  untuk
memelihara   hubungan   silaturahim  dan  memperlakukan  sanak
saudara  kita  dengan  baik,  sebagaimana   yang   difirmankan
oleh-Nya:
 
   "... Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
   (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama
   lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.
   Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
   (an-Nisaa': 1)
 
Pada masa-masa kemunduran, banyak kaum Muslimin yang  terjebak
pada  suatu  perbuatan  yang  hingga  hari  ini  masih  mereka
lakukan; di antaranya ialah:
 
1) Mereka tidak mengindahkan --sampai kepada suatu
   batas yang sangat besar-- fardhu-fardhu kifayah yang
   berkaitan dengan umat secara menyeluruh. Seperti
   peningkatan kualitas ilmu pengetahuan, perindustrian,
   dan kepiawaian dalam peperangan, yang dapat menjadikan
   umat betul-betul mandiri, dan tidak hanya berada di
   dalam slogan dan omong kosong belaka; ijtihad dalam
   masalah fiqh dan penyimpulan hukum; penyebaran da'wah
   Islam, pendirian pemerintahan yang disepakati bersama
   berdasarkan janji setia (bai'at) dan pemilihan yang
   bebas; melawan pemerintahan yang zalim dan menyimpang
   dari ajaran Islam.
   
2) Di samping itu, mereka juga mengabaikan sebagian
   fardhu 'ain, atau melaksanakannya tetapi tidak
   sempurna. Seperti melaksanakan kewajiban amar ma'ruf
   dan nahi mungkar, di mana Islam menyebutnya terlebih
   dahulu sebelum menyebut persoalan shalat dan zakat
   ketika ia menjelaskan sifat-sifat masyarakat yang
   beriman. Allah SWT berfirman:
   
   "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
   sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
   sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
   ma'ruf, dan mencegah kemungkaran, mendirikan shalat,
   menunaikan zakat, ..." (at-Taubah: 71)
   
   Padahal, sebetulnya amar ma'ruf dan nahi mungkar ini
   merupakan sebab utama yang membawa kebaikan umat,
   sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
   
   "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
   manusia, menyuruh kepada yang makfur, dan mencegah
   dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..." (Ali
   'Imran: 110)
   
   Pengabaian fardhu 'ain ini pernah menyebabkan turunnya
   laknat atas bani Israil, melalui lidah para nabi
   mereka:
   
   "Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani Israil
   dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian
   itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui
   batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
   tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya
   amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. N
   (al-Maidah: 78-79)
   
3) Perhatian mereka tertumpu kepada sebagian rukun
   Islam lebih banyak dibanding perhatian mereka kepada
   sebagian rukun yang lain. Ada di antara mereka yang
   memperhatikan puasa lebih banyak daripada perhatian
   terhadap shalat. Dan oleh karena itu, kita hampir
   tidak menemukan orang Muslim lelaki dan perempuan yang
   makan di siang hari Ramadhan; khususnya di desa-desa
   pedalaman. Akan tetapi ada kaum Muslimin --khususnya
   dari kalangan perempuan-- yang malas melakukan shalat.
   Dan ada orang yang selama hidupnya tulang punggungnya
   tidak pernah membungkuk untuk ruku' dan sujud kepada
   Allah. Di samping itu, ada pula orang yang
   perhatiannya tertumpu kepada shalat lebih banyak
   daripada perhatian yang dia berikan terhadap zakat;
   padahal Allah SWT selalu mengaitkan kedua rukun Islam
   itu di dalam kitab suci-Nya, al-Qur'an dalam dua puluh
   delapan tempat. Sehingga Ibn Mas'ud mengatakan, "Kita
   diperintahkan untuk mendirikan shalat dan mengeluarkan
   zakat. Dan barang siapa yang tidak mengeluarkan zakat,
   maka tidak ada gunanya shalat bagi dirinya."1
   
   Abu Bakar as-Shidiq pernah berkata, "Demi Allah, aku
   akan memerangi orang-orang yang berusaha memisahkan
   antara shalat dan zakat."2
   
   Para sahabat Nabi saw juga sepakat untuk memerangi
   orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat,
   sebagaimana mereka memerangi orang-orang yang mengaku
   dirinya sebagai nabi dan orang-orang murtad yang
   mengikuti mereka. Negara Islamlah yang pertama kali
   melakukan peperangan dalam sejarah untuk membela
   hak-hak orang miskin.
   
4) Mereka memperhatikan sebagian perbuatan sunnah
   lebih daripada perhatian mereka terhadap perbuatan
   yang fardhu dan wajib; sebagaimana yang bisa kita
   saksikan di kalangan pemeluk agama ini. Para pemeluk
   agama ini banyak yang memperbanyak zikir, tasbih, dan
   wirid, tetapi mereka melupakan fardhu yang diwajibkan
   atas mereka; yaitu perbuatan fardhu yang bersifat
   sosial; seperti: memperlakukan kedua orangtua dengan
   baik, silaturahim, bertetangga dengan baik, mengasihi
   orang-orang yang lemah, memelihara anak yatim dan
   orang-orang miskin, menyingkirkan kemungkaran, dan
   menyingkirkan kezaliman sosial dan politik.
   
5) Mereka memiliki kecenderungan yang lebih besar
   untuk memperdulikan ibadah-ibadah individual, seperti
   shalat dan zikir, dibanding perhatian yang diberikan
   kepada ibadah-ibadah sosial yang besar sekali
   faidahnya, seperti jihad, fiqh, memperbaiki jalinan
   silaturahim di antara manusia --khususnya famili--
   bekerja sama dalam melakukan kebaikan dan ketaqwaan,
   saling menasihati dalam melakukan kesabaran dan kasih
   sayang, menganjurkan kepada keadilan dan musyawarah,
   memelihara hak-hak asasi manusia, khususnya memberikan
   perlindungan kepada orang-orang yang lemah.
   
6) Akhir-akhir ini kebanyakan di antara mereka
   memiliki kecenderungan untuk mempedulikan
   masalah-masalah furu'iyah dan mengabaikan
   masalah-masalah pokok. Padahal, para pendahulu kita
   telah mengatakan, "Barangsiapa mengabaikan pokok, maka
   dia tidak akan pernah sampai kepada tujuannya." Mereka
   melalaikan fondasi bangunan secara keseluruhan, yakni
   aqidah, iman, tauhid, dan keikhlasan dalam membela
   agama Allah.
   
7) Di antara kesalahan yang mereka lakukan juga ialah
   kesibukan kebanyakan manusia dalam memerangi hal-hal
   yang makruh dan syubhat lebih banyak dibandingkan
   dengan kesibukan mereka memerangi hal-hal yang
   diharamkan dan telah menyebar luas di kalangan mereka
   atau mengembalikan kewajiban yang telah hilang.
   Contohnya ialah kesibukan mereka tentang perkara yang
   masih diperselisihkan halal dan haramnya dan tidak
   memperhatikan hal-hal yang telah dipastikan haramnya.
   Ada orang yang senang sekali memperhatikan
   masalah-masalah khilafiyah ini, seperti masalah
   mengambil gambar, dan bernyanyi. Seakan-akan mereka
   tidak memiliki perhatian lain selain kepada hal-hal
   yang sedang berkecamuk di sekeliling mereka, serta
   menggiring manusia kepada pendapat mereka. Pada saat
   yang sama, mereka lupa terhadap problem yang lebih
   besar berkaitan dengan keberlangsungan umat yang pada
   saat ini cukup mengkhawatirkan.
 
Termasuk dalam kategori ini ialah perhatian mereka yang sangat
besar  untuk  menyingkirkan  dosa-dosa  kecil  dan  melalaikan
dosa-dosa besar yang lebih  berbahaya,  baik  dosa-dosa  besar
yang  berkaitan dengan ajaran agama, seperti peramalan, sihir,
perdukunan,  menjadikan   kuburan   sebagai   masjid,   nazar,
menyembelih   untuk   orang   mati,   meminta   tolong  kepada
orang-orang yang telah dikuburkan, meminta kepada mereka untuk
memenuhi  segala  keperluan hidupnya, dan meminta mereka untuk
menghindarkan diri  mereka  dari  bencana,  ataupun  dosa-dosa
lainya  yang  berupa penyelewengan sosial dan politik; seperti
mengabaikan  musyawarah   dan   keadilan   sosial;   hilangnya
kebebasan dan hak asasi manusia, dan kehormatannya; penyerahan
suatu urusan kepada orang yang  bukan  ahlinya;  penyelewengan
hasil  pemungutan  suara; perampasan kekayaan umat; meneruskan
kehidupan berkasta; dan tersebarnya pemborosan  dan  kemewahan
yang merusak mental umat.
 
Kesalahan  besar  ini  telah  merambah umat kita pada saat ini
dalam persoalan yang  berkaitan  dengan  parameter  prioritas,
sehingga   mereka   menganggap   kecil   hal-hal  yang  besar,
membesar-besarkan hal-hal  yang  kecil,  mementingkan  hal-hal
yang  remeh,  dan  meremehkan  hal-hal  yang  penting, menunda
perkara yang seharusnya didahulukan, dan mendahulukan  perkara
yang   seharusnya  diakhirkan,  mengabaikan  yang  fardhu  dan
memperhatikan yang sunnah, mempedulikan  dosa-dosa  kecil  dan
mengabaikan   dosa-dosa   besar,  berjuang  mati-matian  untuk
masalah-masalah  khilafiyah  dan  tidak   mengambil   tindakan
terhadap  perkara-perkara  yang  telah disepakati... Semua ini
membuat umat pada saat ini sangat  perlu  --dan  bahkan  sudah
sampai  kepada  batas darurat-- terhadap "fiqh prioritas" yang
harus segera dimunculkan, didiskusikan,  diperbincangkan,  dan
dijelaskan,  sehingga  bisa  diterima  oleh pemikiran dan hati
mereka, juga agar mereka memiliki  pandangan  yang  jelas  dan
wawasan yang luas untuk melakukan perbuatan yang paling baik.
 
Catatan Kaki:
 1 Diriwayatkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma' (3:62). Dia
   berkata, "Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani di dalam
   al-Kabir dengan isnad yang shahih.
   
 2 Diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih dari Abu Hurairah r. a.
   sebagaimana yang dimuat dalam al-Lu'lu' wal-Marjan yang
   disepakati ke-shahihannya oleh Bukhari dan Muslim (hadits no.
   13).
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team