Fiqh Prioritas

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III. MEMPRIORITASKAN KUALITAS ATAS KUANTITAS
oleh Dr. Yusuf Al Qardhawy
 
DI ANTARA hal-hal terpenting yang perlu diprioritaskan menurut
pandangan  syariat  ialah:  Mendahulukan  kualitas  dan  jenis
urusan  atas  kuantitas  dan  volume  pekerjaan.  Yang   perlu
mendapat perhatian kita bukanlah banyak dan besarnya persoalan
yang dihadapi, tetapi kualitas dan jenis pekerjaan  yang  kita
hadapi.
 
Al-Qur'an  sangat  mencela terhadap golongan mayoritas apabila
di dalamnya hanya diisi oleh orang-orang yang  tidak  berakal,
tidak  berilmu, tidak beriman dan tidak bersyukur; sebagaimana
disebutkan dalam berbagai tempat di dalamnya:
 
   "... akan tetapi kebanyakan mereka tidak memahamirya."
   (al-Ankabut: 63)
   
   "... akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
   (al-A'raf:187)
   
   "... akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman."
   (Hud:17)
   
   "... akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur."
   (al-Baqarah: 243)
   
   "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di
   muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
   jalan Allah..." (al-An'am: 116)
 
Pada masa yang  sama,  al-Qur'an  memberikan  pujian  terhadap
kelompok  minoritas apabila mereka beriman, bekerja keras, dan
bersyukur; sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya:
 
   "... kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
   amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini..." (Shad:
   24)
   
   "... dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang berterima
   kasih." (Saba':13)
   
   "Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih
   berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi..."
   (al-Anfal: 26)
   
   "Maka mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kamu
   orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang
   daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali
   sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami
   selamatkan di antara mereka..." (Hud: 116)
 
Oleh karena itu, tidaklah penting jumlah manusia yang  banyak,
akan  tetapi  yang paling penting ialah banyaknya jumlah orang
Mu'min yang shaleh.
 
Hadits Nabi pernah menyebut jumlah manusia yang banyak:
 
   "Menikahlah kamu, kemudian berketurunanlah, agar jumlah
   kamu menjadi banyak, karena sesungguhnya aku bangga
   dengan jumlahmu yang banyak atas umat-umat yang lain."1
 
Akan tetapi,  Rasulullah  saw  tidak  membanggakan  kebodohan,
kefasikan,  kemiskinan  dan  kezaliman  umatnya atas umat-umat
yang lain. Namun beliau membanggakan  orang-orang  yang  baik,
bekerja keras, dan memberikan manfaatnya kepada orang lain.
 
Rasulullah saw pernah bersabda,
 
   "Manusia itu bagaikan unta, di antara seratus ekor unta
   itu engkau belum tentu menemukan seekor yang boleh
   dijadikan sebagai tunggangan."2
 
Perbedaan yang terjadi di antara umat manusia  sendiri  adalah
paling  banyak dibandingkan dengan perbedaan yang terjadi pada
semua jenis binatang dan lainnya. Dalam sebuah  hadits  pernah
dikatakan,
 
   "Tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada seribu yang
   semisalnya kecuali manusia."3
 
Kita senang sekali dengan kuantitas  dan  jumlah  yang  banyak
dalam  segala  sesuatu, dan suka menonjolkan angka beribu-ribu
dan berjuta-juta; tetapi kita tidak banyak  memperhatikan  apa
yang  ada  di  balik  jumlah  yang  banyak  itu,  dan apa yang
terkandung di dalam angka-angka tersebut.
 
Salah  seorang  penyair  pada  zaman  Arab   Jahiliyah   telah
mengetahui  pentingnya kualitas dibandingkan dengan kuantitas,
ketika dia mengatakan,
 
   "Ia mencela kami karena jumlah kami sedikit.
   
   Maka kukatakan kepadanya, "Sesungguhnya orang-orang yang
   mulia itu sedikit."
   
   "Apalah ruginya kami sedikit, kalau dengan jumlah yang
   sedikit itu kami mulia.
   
   Sedangkan orang-orang yang jumlahnya banyak itu
   terhina."
 
Al-Qur'anpun menyebutkan kepada kita bagaimana tentara Thalut,
yang  jumlahnya  sedikit dapat mengalahkan tentara Jalut, yang
jumlahnya banyak:
 
   "Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia
   berkata, "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan
   suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya,
   bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya
   kecuali menciduk seciduk tangan, maka ia adalah
   pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa
   orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan
   orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberang
   sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, "Tak
   ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut
   dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka
   akan menemui Allah berkata, "Berapa banyak terjadi
   golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang
   banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang
   yang sabar. Tatkala Jalut dan tentaranya telah tampak
   oleh mereka, merekapun berdoa: "Ya Tuhan kami,
   tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah
   pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang
   kafir. " Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara
   Jalut dengan izin Allah..." (al-Baqarah: 249-251)
 
Al-Qur'an menyebutkan kepada kita bagaimana Rasulullah saw dan
para sahabatnya dapat memperoleh kemenangan pada Perang Badar,
padahal  jumlah  mereka  sangat  sedikit  dibandingkan  dengan
jumlah  musuh  mereka,  kaum  musyrik  yang  jumlahnya  sangat
banyak.
 
   "Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan
   Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang
   lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
   mensyukuri-Nya." (Ali ,Imran: 123)
   
   "Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih
   berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Makkah),
   kamu takut orang-orang Makkah akan menculik kamu, maka
   Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan
   dijadikanrrya kamu kuat dengan pertolongan-Nya..."
   (al-Anfal: 26)
 
Pada saat yang  lain,  kaum  Muslimin  juga  hampir  menderita
kekalahan  pada  Perang  Hunain,  karena mereka melihat kepada
kuantitas dan bukan  kualitas,  sehingga  mereka  membanggakan
diri dengan kuantitas, dan meremehkan kekuatan ruhaniah, serta
kemahiran berperang.  Kemudian  pada  awal  peperangan  mereka
terkepung, sehingga mereka baru mengetahui dan menyadari, lalu
bertobat; dan  akhirnya  Allah  memberikan  kemenangan  kepada
mereka,  dengan memberikan bantuan kekuatan tentara yang tidak
mereka lihat.
 
   "Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para
   Mu'tmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah)
   peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak
   karena banyaknya jumlah, maka jumlah yang banyak itu
   tidak memberi manfaat kepada kamu sedikitpun, dan bumi
   yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu
   lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah
   menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada
   orang-orang yang beriman dan Allah menurunkan bala
   tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan
   bencana kepada orang-orang kafir, dan demikianlah
   pembalasan kepada orang-orang yang kafir." (at-Taubah:
   25-26)
 
Telah dijelaskan di dalam al-Qur'an bahwa apabila keimanan dan
kemauan   kuat  atau  kesabaran  telah  berkumpul  dalam  diri
manusia, maka kekuatannya  akan  menjadi  sepuluh  kali  lipat
jumlah   musuh-musuhnya,  yang  tidak  memiliki  keimanan  dan
kemauan. Allah SWT berfirman:
 
   "Hai nabi, kobarkanlah semangat para Mu'min itu untuk
   berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara
   kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
   musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di
   antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada
   orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum
   Muslimin yang tidak mengerti." (al-Anfal: 65)
 
Yang demikian ini ialah ketika keadaan mereka kuat.  Sedangkan
ketika  mereka  dalam  keadaan  lemah, maka kekuatan itu hanya
menjadi   dua   kali   lipat   kekuatan   musuh,   sebagaimana
diisyaratkan dalam ayat ini:
 
   "Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah
   mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di
   antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
   mengalahkan dua rarus orang; dan jika di antaramu ada
   seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat
   mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah..."
   (al-Anfal: 66)
 
Oleh karena  itu,  yang  paling  penting  ialah  keimanan  dan
kemauan, dan bukan jumlah yang banyak.
 
Barangsiapa  mau  membaca  sirah  Rasulullah saw maka dia akan
mengetahui bahwa sesungguhnya perhatian beliau tertumpu kepada
kualitas  dan  bukan  kuantitas.  Dan  orang yang mau menyimak
sirah para sahabat dan para khalifah rasyidin  akan  mendapati
hal yang sama dengan jelas sekali.
 
Umar bin Khatab pernah mengutus Amr bin 'Ash untuk menaklukkan
Mesir, dengan membawa empat ribu orang tentara saja.  Kemudian
dia  meminta  tambahan personil tentara lagi, dan Umar memberi
empat  ribu  orang   tentara   lagi,   berikut   empat   orang
komandannya. Umar berkata, "setiap orang komandan tambahan ini
membawahkan seribu  orang  tentera;  dan  aku  menilai  jumlah
mereka semuanya adalah dua belas ribu orang tentara. Dua belas
ribu  (tentara)  tak  akan  dikalahkan  karena   jumlah   yang
sedikit."
 
Umar  sangat percaya bahwa yang paling penting ialah kualitas,
kemampuan, dan kemauan  mereka  dan  bukan  jumlah  dan  besar
mereka.
 
Diriwayatkan  dari  Rasulullah  saw bahwasanya pada suatu hari
beliau duduk  bersama  sebagian  sahabatnya  di  sebuah  rumah
temannya, kemudian beliau berkata kepada mereka, "Tunjukkanlah
cita-cita kamu." Maka salah seorang di antara mereka  berkata,
"Aku  bercita-cita  ingin  mempunyai  dirham  dari  perak yang
memenuhi rumah ini  sehingga  aku  dapat  menafkahkannya  pada
Jalan  Allah."  Orang  yang  lain  bercita-cita  memiliki emas
sepenuh rumah tersebut  dan  menafkahkannya  di  jalan  Allah.
Sementara Umar berkata, "Aku, ingin memiliki orang seperti Abu
Ubaidah  al-Jarrah,  Mu'adz  bin  Jabal,   Salim   Maula   Abu
Hudzaifah,  sepenuh  rumah ini agar aku dapat mempergunakannya
untak berjuang di jalan Allah."
 
Pada zaman kita sekarang ini,  jumlah  kaum  Muslimin  sedunia
telah melebihi satu seperempat milyar jiwa. Akan tetapi sayang
sekali jumlah  sebesar  itu  kebanyakan  memiliki  sifat  yang
pernah  diutarakan  oleh  sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad dan Abu Dawud dari Tsauban,
 
   "Pada suatu hari kelak, umar-umat akan memusuhi kalian
   dari segala penjuru, seperti orang-orang lapar yang
   memperebutkan makanan." Para sahabat bertanya, "Apakah
   karena jumlah kami yang sedikit pada masa itu wahai
   Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab, "Bahkan, jumlah
   kalian pada waktu itu banyak, akan tetapi kalian hanya
   bagaikan buih yang terbawa arus air; dan sungguh Allah
   akan mencabut rasa takut dari dada para musuh kalian;
   dan sungguh Allah akan menghujamkan wahn di dada kalian.
   " Para sahabat bertanya kembali, "Apakah wahn itu wahai
   Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab, "Cinta dunia dan
   takut mati." (lihat al-Jami' as-Shaghir: 8183).
 
Hadits ini menjelaskan bahwa jumlah  yang  banyak  saja  belum
cukup,  apabila  jumlah  ini  hanya kelihatan megah dari luar,
tetapi lemah dari dalam; sebagaimana periode ketika umat hanya
bagaikan  buih  yang  terseret arus air; di mana pada masa ini
umat  bagaikan  buih,  tidak  memiliki  identitas,  kehilangan
tujuan dan jalan yang benar; dan benar-benar seperti buih yang
terbawa arus air.
 
Oleh karena itu, perhatian  kita  hendaknya  ditujukan  kepada
kualitas  dan  jenis,  bukan  kepada  sekadar  kuantitas. Yang
dimaksudkan dengan kuantitas di sini ialah jumlah sesuatu yang
dilihat   secara  material,  besarnya  angka,  luasnya  jarak,
besarnya isi, beratnya timbangan, panjangnya waktu,  dan  lain
sebagainya yang serupa dengan itu.
 
Apa  yang  kami  katakan  tentang  besarnya  angka  itu  dapat
dicontohkan dalam hal yang lain.
 
Manusia, misalnya, tidak diukur dari tinggi tubuhnya, kekuatan
ototnya,  besar  tubuhnya,  dan kecantikan wajahnya. Semua ini
adalah  hal-hal  yang  berada  di  luar   inti   dan   hakikat
kemanusiaan.   Tubuh  manusia  --pada  akhirnya--  tidak  lain
hanyalah bungkus dan instrumennya, sedangkan hakikatnya  ialah
akal dan hatinya.
 
Allah   SWT  pernah  memberikan  penjelasan  berkenaan  dengan
sifat-sifat orang munafik sebagai berikut:
 
   "Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka
   menjadikan kamu kagum..." (al-Munafiqun: 4)
 
Dia juga pernah  memberikan  sifat  kaum  'Ad,  melalui  lidah
nabi-Nya, Hud a.s.:
 
   "... dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan
   perawakanmu..." (al-A'raf: 69)
 
Akan  tetapi  sesungguhnya  kelebihan   kekuatan   tubuh   itu
menjadikan mereka terkecoh dan menyombongkan diri, sebagaimana
difirmankan oleh Allah SWT:
 
   "Adapun kaum Ad maka mereka menyombongkan diri di muka
   bumi tanpa alasan yang benar dan berkata, "Siapakah yang
   lebih besar kekuatannya daripada kami?..." (Fushshilat:
   15)
 
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
 
   "Sungguh akan datang pada hari Kiamat seorang laki-laki
   besar dan gemuk, maka di sisi Allah ia tidak akan
   seberat timbangan sayap nyamuk. Allah berfirman: '...
   dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan)
   mereka pada hari kiamat.'" (al-Kahfi: 105)4
 
Pada  suatu  hari  Ibn  Mas'ud  memanjat  sebuah  pohon,  maka
tampaklah  kedua betisnya yang lembek dan kurus, maka sebagian
sahabat tertawa karena  melihatnya.  Kemudian  Rasulullah  saw
yang mulia bersabda, "Apakah kamu tertawa karena melihat kedua
betisnya yang  lembek?  Sesungguhnya,  kedua  betis  itu  jika
ditimbang kelak (beratnya) lebih beret daripada bukit Uhud."5
 
Oleh  karena  itu tidaklah begitu penting tubuh yang besar den
kuat, kalau tidak disertai dengan akal pikiran yang cerdas den
hati  yang  jernih.  Dahulu  penyair  Arab mengatakan, "Engkau
lihat para pemuda bagaikan kurma dan  engkau  tidak  tahu  apa
isinya."
 
Hasan  bin  Tsabit  pernah mengejek suatu kaum Muslimin dengan
mengatakan,
 
   "Tidak mengapalah suatu kaum itu memiliki tubuh yang
   jangkung atau pendek, berbadan keledai tetapi berhati
   burung."
 
Hal ini bukan  berarti  bahwa  Islam  tidak  menetapkan  suatu
penilaian  terhadap  kekuatan  den kesehatan tubuh manusia. Ia
sangat peduli dengan kedua hal ini. Bahkan, Allah  SWT  memuji
Thalut dengan firman-Nya:
 
   "... dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang
   perkasa.." (al-Baqarah: 247)
 
Dalam hadits yang shahih disebutkan:
 
   "Sesungguhnya badanmu memiliki hak atas dirimu."6
   
   "Orang Mu'min yang kuat itu lebih baik dan lebih
   dicintai oleh Allah daripada orang Mu,min yang lemah." 7
 
Akan tetapi, pernyataan-pernyataan ini tidak dijadikan sebagai
ukuran keutamaan.
 
Tubuh   yang  perkasa  dan  kuat  bukanlah  ukuran  kelelakian
seseorang, dan  bukan  ukuran  keutamaan  pada  diri  manusia.
Begitu pula kecantikan paras wajah dan bentuk tubuhnya.
 
Dalam hadits disebutkan:
 
   "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kamu, dan
   bentuk luar kamu, akan tetapi Dia melihat kepada
   hati-hati kamu."8
 
Salah seorang penyair pernah menyampaikan pujiannya kepada Abd
al-Malik bin Marwan dengan mengatakan,
 
   "Bila mahkota telah bertengger di atas kepalanya,
   seakan-akan wajahnya adalah wajah emas."
 
Kemudian Abd al-Malik mencemoohkan sang  penyair,  karena  dia
memujinya  dengan  pujian  yang  menyerupai  seorang perempuan
cantik,  seraya  berkata  kepadanya:  "Mengapa  engkau   tidak
memujiku seperti penyair yang memuji Mush'ab bin Zubair?"
 
   "Sesungguhnya Mush'ab adalah meteor dari Allah, yang
   cahayanya menerangi kegelapan. Putusan yang dia tetapkan
   sangat kuat, tetapi tanpa mengandung
   kesewenang-wenangan."
 
Memang... lelaki itu dinilai dari ilmu pengetahuan yang ada di
otaknya,  dan keimanan yang bersemayam di dalam hatinya; serta
amalan sebagai buah imannya. Dan sesungguhnya  amal  perbuatan
di  dalam  Islam ini tidaklah diukur dari besar dan jumlahnya,
tetapi ia diukur dari sejauh mana  kebaikan  dan  kualitasnya.
Melakukan  perbuatan  yang baik bukanlah sunat di dalam Islam,
tetapi merupakan sebuah fardhu yang diwajibkan oleh Allah atas
orang-orang   yang  beriman,  sebagaimana  fardhu-fardhu  yang
diwajibkan atas mereka, seperti puasa dan  fardhu-fardhu  yang
lainnya.
 
Rasulullah saw bersabda,
 
   "Sesungguhnya Allah menulis (mewajibkan) perbuatan yang
   baik atas segala sesuatu. Jika kamu mau membunuh
   binatang, maka bunuhlah dengan baik, dan apabila kamu
   hendak menyembelihnya, maka sembelihlah dengan
   menyembelih yang baik. Dan hendaklah salah seorang di
   antara kamu menajamkan pisaunya, dan mengistirahatkan
   binatang yang disembelihnya."9
 
Asal mula arti  menulis  (kataba)  di  dalam  hadits  tersebut
menunjukkan adanya kewajiban atau fardhu.
 
Selain itu, Rasulullah saw juga bersabda,
 
   "Sesungguhnya Allah mencinlai orang yang apabila
   melakukan sesuatu dia melakukannya dengan
   sebaik-baiknya."10
 
Dia mencintai perbuatan itu  dan  juga  mencintai  orang  yang
melakukannya.
 
Bahkan,  sesungguhnya  al-Qur'an tidak menganggap cukup dengan
pelaksanaan  yang  baik,  tetapi  menganjurkan  mereka   untuk
melakukan yang terbaik. Allah SWT berfirman:
 
   "Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan
   kepadamu dari Tuhanmu..." (az-Zumar: 55)
   
   "... Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada
   hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu
   mengikuti apa yang paling baik di antaranya..."
   (az-Zumar: 17-18)
 
Bahkan,   al-Qur'an   menganjurkan   kita   untuk    membantah
orang-orang yang menentang kita dengan cara yang paling baik.
 
   " ... dan bantahlah mereka dengan cara yang paling
   baik..." (an-Nahl: 125)
 
Serta menyuruh kita untuk menolak kejahatan  itu  dengan  cara
yang baik daripada kejahatan tersebut.
 
   "Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah
   kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka
   tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
   permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
   setia". (Fushshilat: 34)
 
Dan al-Qur'an melarang kita  untuk  mendekati  harta  kekayaan
anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik.
 
   "Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali
   dengan cara yang lebih bermanfaat..." (al-An'am: 152)
 
Selain itu, al-Qur'an menjadikan penciptaan bumi  dan  isinya,
penciptaan  mati  dan  hidup, penciptaan langit dan bumi serta
apa yang ada di antara keduanya sebagai ujian bagi orang-orang
yang  dibebani  kewajiban. Semua itu untuk mengetahui siapakah
di antara mereka yang terbaik amalannya.
 
   "... siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya."
   (al-Kahfi: 7)
 
Sebagaimana yang dijelaskan di  dalam  Kitab  Allah  (Hud:  7;
al-Mulk: 2; dan al-Kahfi: 7) bahwa persaingan di antara mereka
bukanlah  pada  perbuatan  baik  dan  buruk,   tetapi   antara
perbuatan  yang  baik  dan  yang  paling baik. Perhatian orang
Mu'min hendaknya senantiasa tertumpu kepada yang  paling  baik
dan tertinggi nilainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
 
   "Apabila kamu meminta surga kepada Allah, maka mintalah
   surga Firdaus, karena ia surga yang terletak paling
   tengah dan paling tinggi, dan di atasnya adalah
   singgasana Tuhan."11
 
Dalam hadits yang masyhur berkaitan dengan  Jibril  a.s.  yang
bertanya   kepada  Rasulullah  saw  tentang  al-ihsan,  beliau
menjawab:
 
   "Ihsan itu ialah hendaknya engkau menyembah Allah
   seakan-akan melihat-Nya, dan kalau kamu tidak melihatnya
   maka sesungguhnya Dia melihatmu."12
 
Begitulah penafsiran al-ihsan dalam ibadah. Yakni  kita  mesti
senantiasa  menjaganya,  dan mengikhlaskannya untuk Allah SWT.
Amalan-amalan yang diterima di sisi Allah tidak  akan  dilihat
bentuk  dan  kuantitasnya,  tetapi yang dilihat ialah inti dan
kualitasnya. Betapa banyak amal  yang  dari  segi  lahiriahnya
memenuhi syarat, tetapi amal itu kehilangan ruh yang meniupkan
kehidupan ke dalamnya. Dan oleh karena itu amal tersebut tidak
dianggap   oleh   agama  sebagai  amal  kebajikan,  dan  tidak
diletakkan di  dalam  'tangan'  timbangan  amal  kebajikan  di
akhirat kelak.
 
Allah SWT berfirman:
 
   Maka celakalah bagi orang-orang yang salat, (yaitu)
   orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang
   berbuat riya' (al-Ma'un: 46)
 
Berkenaan dengan puasa, Rasulullah saw pernah bersabda,
 
   "Barangsiapa yang tidak mau meninggalkan perkataan
   bohong, dan mengerjakan kebohongan, maka Allah tidak
   perlu darinya meninggalkan makan dan minumnya."13
   
   "Bisa jadi orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala
   puasanya kecuali lapar, dan kebanyakan orang yang
   melakukan qiyam lail tidak mendapatkan pahalanya kecuali
   hanya keterjagaan di malam hari."14
 
Allah SWT berfirman:
 
   "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
   Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
   (menjalankan) agama dengan lurus, ..." (al-Bayyinah: 5)
 
Rasulullah saw yang mulia bersabda,
 
   "Sesungguhnya amalan harus disertai dengan niat, dan
   setiap orang itu akan tergantung kepada niatnya. Maka
   barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
   hijrahnya akan mendapatkan Allah dan Rasul-Nya; dan
   barangsiapa berhijrah untuk memperoleh dunia, atau
   berhijrah untak memperoleh wanita yang akan dinikahinya,
   maka hijrahnya adalah untuk apa yang ia niatkan."15
 
Oleh karena itu, para ulama Islam sangat memberikan  perhatian
kepada   hadits   tersebut.  Bukhari  juga  membuka  kitabnya,
al-Jami'  as-Shahih,  dengan  hadits   ini.   Sebagian   ulama
menganggap bahwa niat adalah seperempat amalan Islam; sebagian
yang lain menilainya sepertiga; karena niat itu begitu penting
dalam  hal yang berkaitan dengan diterimanya amalan seseorang.
Mereka  menganggapnya  sebagai  timbangan   bagi   inti   amal
perbuatan   tersebut;   sebagaimana  disebutkan  dalam  sebuah
hadits:
 
   "Barangsiapa melakukan suatu amalan, yang tidak ada
   landasan dari kami, maka amalan itu tidak diterima."16
 
Abu Ali al-Fudhail bin  Iyadh  pernah  ditanya  tentang  makna
"amalan yang paling baik" pada firman Allah: " ... siapakah di
antara kamu yang paling baik  amalannya...  "  (Hud:  7),  dia
menjawab,  "Amalan yang paling ikhlash dan paling baik." Orang
itu bertanya lagi:  "Apakah  amalan  yang  paling  ikhlas  dan
paling baik ini?" Dia menjawab, "Sesungguhnya Allah tidak akan
menerima suatu amal perbuatan selama ia tidak murni dan  baik.
Jika  amal  perbuatan  itu baik, tetapi tidak murni untuk-Nya,
maka ia tidak diterima.  Sebaliknya,  jika  amalan  itu  murni
tetapi tidak baik, maka ia juga tidak diterima. Kemurnian amal
itu  hendaknya  hanya  semata-mata  untuk   Allah;   sedangkan
kebaikannya  ialah  bahwa amal itu hendaknya sesuai dengan apa
yang digariskan oleh sunnah Nabi saw."
 
Itulah makna "perbuatan yang paling baik" dalam  urusan  agama
dan   ibadah.   Adapun   kebaikan  dalam  urusan  dunia  ialah
tercapainya  tingkat  kebaikan  yang  dapat  mengalahkan  yang
lainnya, sehingga ia menjadi yang paling unggul. Dan perbuatan
seperti ini tidak dapat  dilakukan  kecuali  oleh  orang-orang
yang betul-betul serius.
 
Di  antara  hadits  Nabi saw yang menunjukkan kepada persoalan
ini ialah sebuah hadits marfu' yang diriwayatkan  oleh  Muslim
dari Abu Hurairah r.a.
 
   "Barangsiapa yang membunuh kutu pada pijatan pertama,
   maka akan dituliskan baginya seratus kebaikan. Sedangkan
   pijatan kedua di bawah tingkatan itu, dan pijatan ketiga
   di bawahnya lagi."17
 
Hadits ini mengarahkan kepada kita mengenai betapa  pentingnya
melaksanakan   suatu   pekerjaan  dengan  baik  dan  sempurna,
walaupun hanya membunuh seekor kutu. Karena hal ini sebetulnya
termasuk   membunuh  dengan  cara  yang  baik,  "Apabila  kamu
menyembelih binatang, maka lakukanlah dengan  baik."  Membunuh
dengan cara yang cepat membuat binatang yang dibunuh itu tidak
merasakan sakit.
 
Kalau amal perbuatan tidak dapat diukur dengan  kuantitas  dan
besarnya,  maka  umur  manusia  tidak dapat diukur dengan lama
waktunya.
 
Ada orang yang berumur panjang, tetapi umurnya  tidak  membawa
berkah;  dan  ada pula orang yang tidak berumur panjang tetapi
orang itu sarat dengan pelbagai kebajikan dan  perbuatan  yang
terbaik.
 
Sehubungan  dengan  hal  ini,  Ibn  'Atha'illah  berkata dalam
hikmahnya: "Banyak sekali umur panjang yang  diberikan  kepada
manusia,  tetapi  sumbangan  yang diberikannya sangat sedikit.
Dan banyak sekali umur pendek yang diberikan  kepada  manusia,
tetapi  sumbangan yang diberikannya sangat banyak. Barangsiapa
yang umurnya diberi berkah oleh Allah SWT maka dalam masa yang
pendek  dia  akan  mendapatkan berbagai karunia dari-Nya, yang
sangat sulit untuk diungkapkan."
 
Cukuplah bagi kita sebuah contoh. Yaitu Nabi saw  yang  mulia,
dalam  masa  dua  puluh tiga tahun --yaitu masa setelah beliau
diangkat menjadi nabi-- beliau diberi berkah oleh  Allah  SWT.
Dalam  masa  ini  beliau berhasil mendirikan agama yang paling
mulia, mendidik generasi yang paling  baik,  menciptakan  umat
yang  terbaik,  mendirikan  negara  yang  paling  adil, menang
terhadap penyembahan berhala orang-orang kafir, Yahudi,  serta
memberikan   warisan  abadi  kepada  umatnya  --setelah  kitab
Allah-- sunnah yang menjadi petunjuk, dan sirah yang sempurna.
 
Begitu pula halnya dengan Abu Bakar r.a. Dalam masa dua  tahun
setengah,  dia  berhasil  mengalahkan orang-orang yang mengaku
dirinya sebagai  nabi-nabi  palsu,  mengembalikan  orang-orang
murtad   ke   pangkuan   Islam,   mengirimkan   tentara  untuk
menaklukkan  Persia  dan  Romawi,  mendidik  orang-orang  yang
enggan  membayar  zakat,  menjaga  hak-hak fakir miskin dengan
mengambilkan hak  mereka  pada  harta  orang-orang  kaya,  dan
merekamkan    dalam    sejarah    kedaulatan    Islam    bahwa
pemerintahannya  adalah   pemerintahan   yang   pertama   kali
berperang untuk membela hak-hak fakir miskin.
 
Umar  bin  Khatab  dalam masa sepuluh tahun berhasil melakukan
pelbagai penaklukan wilayah di luar,  dan  memantapkan  kaidah
pemerintahan yang adil berdasarkan musyawarah secara internal.
Dia  telah  menciptakan  berbagai  tradisi  yang   baik   bagi
orang-orang  sesudahnya  yang dikenal dengan "prioritas Umar."
Dia  telah  berhasil  memancangkan  tiang-tiang  fiqh  sosial,
khususnya  fiqh  kenegaraan,  yang  disandarkan kepada tujuan,
pertimbangan   antara   pelbagai   kemaslahatan,    melindungi
generasi, serta memberanikan orang untuk memberikan usu1an dan
kritik kepada hakim. Dia berkata,  "Tidak  ada  kebaikan  pada
dirimu  selama  kamu  tidak  mau  mengatakannya, dan tidak ada
kebaikan bagi kami selama kami tidak mendengarkannya."  Selain
itu,  Umar  juga  sangat menjauhi dunia, memiliki kemauan yang
kuat untuk  menjalankan  kebenaran,  mewujudkan  keadilan  dan
persamaan  hak  di  antara  manusia,  bahkan  bila  dia  harus
melakukan qisas terhadap para gubernur dan anak-anaknya.
 
Umar bin Abd al-Aziz menjadi khalifah selama tiga puluh bulan.
Melalui tangannya, Allah SWT menghidupkan tradisi keadilan dan
kecemerlangan, mematikan kezaliman dan kesesatan. Dia  menolak
berbagai  bentuk kezaliman dan memberikan hak-hak kepada orang
yang berhak memperolehnya. Dia  telah  berhasil  mengembalikan
kepercayaan  orang  kepada  Islam, sehingga semua orang merasa
lega, tenang dan tidak merasa  ketakutan.  Dia  memberi  makan
orang-orang  yang  lapar, menyebarluaskan kemakmuran, sehingga
orang-orang  yang  berharta  berkata,  "Di  mana  kami   harus
meletakkan  zakat,  ketika semua manusia telah diberi kekayaan
oleh Allah SWT."
 
Imam  Syafi'i,  yang  hidup  selama  lima  puluh  empat  tahun
--menurut  perhitungan  tahun  qamariyah-- (150-204 H.) tetapi
dia mampu memberikan berbagai sumbangan ilmiah yang orisinal.
 
Imam al-Ghazali, yang  hidup  selama  lima  puluh  lima  tahun
(450-505 H.) meninggalkan kekayaan ilmiah yang bermacam-macam.
 
Imam  al-Nawawi,  yang  hidup  selama  empatpuluh  lima  tahun
(631-676 H.) meninggalkan warisan yang sangat bermanfaat  bagi
kaum  Muslimin  secara  menyeluruh;  baik berupa hadits, fiqh;
yaitu dari hadits empat  puluhnya  hingga  penjelasannya  atas
hadits   Muslim;   dari   metodologi   fiqh   hingga   Rawdhah
al-Thalibin; dan lain-lain.
 
Begitu pula halnya dengan para ulama yang lain;  seperti:  Ibn
Arabi,  al-Sarakhsi, Ibn al-Jawzi, Ibn Qudamah, al-Qarafi, Ibn
Taimiyah, Ibn al-Qayyim, al-Syathibi, Ibn Khaldun, Ibn  Hajar,
Ibn  al-Wazir,  Ibn  al-Hammam,  al-Suyuthi,  al-Syaukani, dan
lain-lain  yang   memenuhi   dunia   ini   dengan   ilmu   dan
keutamaannya.
 
Oleh  karena  itu,  ada orang yang meninggal dunia sebelum dia
mati. Umurnya telah habis padahal dia masih hidup. Tetapi  ada
orang  yang  dianggap masih hidup setelah dia meninggal dunia.
Karena dia  meninggalkan  amal-amal  yang  shaleh,  ilmu  yang
bermanfaat,  keturunan  yang  baik,  murid-murid yang dianggap
dapat memperpanjang umurnya.
 
Catatan Kaki:
 1 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasai' dari Ma'qal bin
   Yasar, sebagaimana yang dimuat di dalam buku Shahih al-Jami'
   as-Shaghir (2940).
   
 2 Muttafaq 'Alaih, dari Ibn Umar. Lihat al-Lu'lu' wal-Marjan
   (1651).
   
 3 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir wa ad-Dhiya',
   dari Salman, dan hadits ini dianggap sebagai hadis hasan di
   dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (5394)
   
 4 Diriwayatian oleh Muttafaq Alaih dari Abu Hulairah r.a.
   yang dimuat dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan (1773).
   
 5 Hadits ini shahih dan berasal dari riwayat Ali, yang
   diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya'la, Thabrani, dengan rijal
   hadits yang shahih, selain Ummu Musa yang tsiqat. Selain itu,
   diriwayatkan pula dari Ibn Mas'ud sendiri yang diriwayatkan
   oleh Ahmad, Abu Ya'la, al-Bazzar, dan Thabrani dari berbagai
   jalan. Dan juga diriwayatkan dari Qurrah bin Iyas yang
   diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Thabrani dengan rijal hadits
   yang shahih. (Majma' az-Zawa'id, 9:288-289).
   
 6 Muttafaq 'Alaih dari Abdullah bin Amir.
   
 7 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r a.
   
 8 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564)
   
 9 Diriwayatkan oleh Muslim dari Syidad bin Aus (1955).
   
10 Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman dari Kulaib,
   yang dikelompokkan sebagai hadits hasan dalam Shahih al-Jami'
   as-Shaghir (1891).
   
11 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam "bab at-Tauhid" pada kitab
   Shahih-nya; yaitu dalam "bab Dan Singgasana Tuhan Berada di
   atas Air" (al-Fath, 13:404)
   
12 Muttafaq Alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.
   yang dimuat dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan no. 5; dan
   diriwayatkan oleh Muslim dari Umar no. 8.
   
13 Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r. a. dalam
   kitab al-Shawm, sebagaimana diriwayatkan oleh penulis kitab
   Sunan al-Arba'ah.
   
14 al-Mundziri menulis dalam ar-Targhib "Diriwayatkan oleh Ibn
   Majah dengan lafal darinya; diriwayatkan oleh Nasai Ibn
   Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya; dan juga diriwayatkan oleh
   al-Hakim yang mengatakan "Hadits ini shahih menurut syarat
   yang ditetapkan oleh Bukhari dengan lafal sebagai berikut:
   "Kebanyakan orang yang melakukan puasa hanya mendapatkan lapar
   dan dahaga dari bagian puasanya, dan kebanyakan orang yang
   melakukan qiyam lail hanya mendapattan keterjagaan dari bagian
   qiyamnya."
   
15 Muttafaq 'Alaih yang diriwayatkan dari Umar bin Khatab.
   Hadits nomor satu dalam Shahih al-Bukhari.
   
16 Diriwayatkan oleh Muslim dari 'Aisyah dengan lafal
   tersebut; Sedangkan Muttafaq 'Alaih meriwayatkan dengan lafal:
   "Barangsiapa mengadakan sesuatu yang bukan urusan kami, maka
   amalan itu ditolak."
   
17 Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan
   Ibn Majah, dari Abu Huralrah r.a seperti yang tertulis dalam
   Shahih al-Jami' as-Shaghir (2460); kemudian baca buku kami
   al-Munraga min at-Targhib wat-Tarhib, dan komentar kami atas
   hadis no. 1811.
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team