Fiqh Prioritas

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MEMPRIORITASKAN PERSOALAN YANG RINGAN DAN MUDAH
ATAS PERSOALAN YANG BERAT DAN SULIT

DI ANTARA prioritas yang sangat dianjurkan di sini,  khususnya
dalam  bidang  pemberian  fatwa  dan  da'wah  ialah  prioritas
terhadap persoalan yang ringan dan mudah atas  persoalan  yang
berat dan sulit.

Berbagai  nash yang ada di dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi saw
menunjukkan bahwa yang mudah dan  ringan  itu  lebih  dicintai
oleh Allah dan rasul-Nya.

Allah SWT berfirman:

   "... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
   menghendaki kesukaran bagimu..." (al-Baqarah: 185)
   
   "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
   manusia dijadikan bersifat lemah." (an-Nisa': 28)
   
   "... Allah tidak hendak menyulitkan kamu..."
   (al-Maidah: 6)

Rasulullah saw yang mulia bersabda,

   "Sebaik-baik agamamu ialah yang paling mudah
   darinya."1
   
   "Agama yang paling dicintai oleh Allah ialah yang
   benar dan toleran."2

'Aisyah berkata,

   "Rasulullah saw tidak diberi pilihan terkadap dua
   perkara kecuali dia mengambil yang paling mudah di
   antara keduanya selama hal itu tidak berdosa. Jika hal
   itu termasuk dosa maka ia adalah orang yang paling
   awal menjauhinya."3

Nabi saw bersabda,

   "Sesungguhnya Allah menyukai bila keringanan yang
   diberikan oleh-Nya dilaksanakan, sebagaimana Dia
   membenci kemaksiatan kepada-Nya."4

Keringanan (rukhshah) itu mesti dilakukan, dan kemudahan  yang
diberikan  oleh  Allah  SWT harus dipilih, apabila ada kondisi
yang memungkinkannya  untuk  melakukan  itu;  misalnya  karena
tubuh  yang  sangat  lemah, sakit, tua, atau ketika menghadapi
kesulitan, dan lain-lain alasan yang dapat diterima.

Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa dia  melihat  Rasulullah
saw sedang dalam suatu perjalanan, kemudian beliau menyaksikan
orang  ramai  mengerumuni  seorang  lelaki   yang   dipayungi,
kemudian  beliau  bersabda,  "Apa  ini?" Mereka menjawab: "Dia
berpuasa." Beliau kemudian bersabda,

   "Tidak baik berpuasa dalam perjalanan."5

Yakni di dalam perjalanan yang amat menyulitkan ini.

Dan jika perjalanan itu  tidak  menyulitkan,  maka  dia  boleh
melakukan  puasa;  berdasarkan  dalil  yang  diriwayatkan oleh
'Aisyah bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah  berkata  kepada
Nabi  saw:  "Apakah  aku boleh puasa dalam perjalanan?" Hamzah
adalah orang yang sering melaksanakan  puasa.  Karenanya  Nabi
saw  bersabda, "Jika kamu mau, maka berpuasalah, dan jika kamu
mau berbukalah."6

Khalifah Umar bin Abd al-Aziz pernah  berkata  mengenai  puasa
dan  berbuka  di  dalam  perjalanan,  juga  tentang  perbedaan
pendapat yang terjadi di kalangan fuqaha,  manakah  di  antara
kedua hal itu yang paling baik. Dia berkata, "Yang paling baik
ialah yang paling mudah di antara keduanya." Hal ini merupakan
pendapat  yang  boleh  diterima.  Di  antara  manusia ada yang
melaksanakan puasa itu lebih mudah daripada dia harus membayar
hutang  puasa  itu  ketika  orang-orang  sedang tidak berpuasa
semua. Tetapi ada  orang  yang  berlawanan  dengan  itu.  Oleh
karena  itu,  yang  paling  mudah  adalah menjadi sesuatu yang
paling baik.

Nabi saw menganjurkan umatnya untuk bersegera  melakukan  buka
puasa  dan  mengakhirkan  sahur,  dengan  tujuan untuk memberi
kemudahan kepada orang yang melaksanakan puasa.

Kita juga banyak menemukan fuqaha yang memutuskan  hukum  yang
paling  mudah  untuk  dilakukan oleh manusia terhadap sebagian
hukum  yang  memiliki  berbagai  pandangan;   khususnya   yang
berkaitan  dengan  masalah  muamalah. Ada ungkapan yang sangat
terkenal dari mereka: "Keputusan  hukum  ini  lebih  mengasihi
manusia."

Saya bersyukur kepada Allah karena saya dapat menerapkan jalan
kemudahan dalam memberikan  fatwa,  dan  menyampaikan  sesuatu
yang  menggembirakan  dalam  melakukan  da'wah,  sebagai upaya
meniti jalan yang  pernah  dilakukan  oleh  Nabi  saw.  Beliau
pernah mengutus Abu Musa dan Mu'adz ke Yaman sambil memberikan
wasiat kepada mereka,

   "Permudahlah dan jangan mempersulit; berilah sesuatu
   yang menggembirakan dan jangan membuat mereka lari;
   berbuatlah sesuatu yang baik."7

Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

   "Permudahlah dan jangan mempersulit; berilah sesuatu
   yang menggembirakan dan jangan membuat mereka lari."8

Pada suatu kesempatan saya pernah menjawab berbagai pertanyaan
setelah saya menyampaikan satu kuliah: "Apabila saya mendapati
dua pendapat yang sama-sama baik atau hampir sama  dalam  satu
masalah    agama;   yang   pertama   lebih   mengarah   kepada
kehati-hatian dan yang  kedua  lebih  mudah,  maka  saya  akan
memberikan  fatwa kepada orang awam dengan pendapat yang lebih
mudah,  yang  lebih  saya  utamakan  daripada  pendapat   yang
pertama."

Sebagian kawan yang hadir dalam kuliah itu berkata, "Apa dalil
anda untuk lebih mengemukakan pendapat yang paling mudah  atas
pendapat yang lebih hati-hati?"

Saya  jawab,  "Dalil  saya  ialah  petunjuk  Nabi  saw,  yaitu
manakala beliau dihadapkan kepada  dua  pilihan,  maka  beliau
tidak  akan  memilih  kecuali  pendapat yang paling mudah; dan
perintahnya kepada para imam shalat jamaah  untuk  meringankan
ma'mumnya, karena di antara mereka ada orang yang lemah, orang
tua, dan orang yang  hendak  melaksanakan  kepentingan  mereka
setelah itu."

Kadangkala  seorang ulama memberikan fatwa dengan sesuatu yang
lebih hati-hati kepada sebagian orang yang  mempunyai  kemauan
keras, dan orang-orang wara' yang dapat menjauhkan diri mereka
dari kemaksiatan. Adapun untuk  orang-orang  awam,  maka  yang
lebih utama adalah pendapat yang paling mudah.

Zaman   kita  sekarang  ini  lebih  banyak  memerlukan  kepada
penyebaran hal yang lebih mudah daripada hal yang sukar, lebih
senang  menerima berita gembira daripada ditakut-takuti hingga
lari. Apalagi bagi orang yang baru  masuk  Islam,  atau  untuk
orang yang baru bertobat.

Persoalan  ini sangat jelas dalam petunjuk yang diberikan oleh
Nabi saw ketika mengajarkan Islam kepada orang-orang yang baru
memasukinya. Beliau tidak memperbanyak kewajiban atas dirinya,
dan tidak memberikan beban perintah  dan  larangan.  Jika  ada
orang  yang bertanya kepadanya mengenai Islam, maka dia merasa
cukup  untuk  memberikan  definisi   yang   berkaitan   dengan
fardhu-fardhu   yang   utama,   dan  tidak  mengemukakan  yang
sunat-sunat. Dan apabila ada  orang  yang  berkata  kepadanya:
"Aku  tidak  menambah dan mengurangi kewajiban itu." Maka Nabi
saw bersabda, "Dia akan mendapatkan  keberuntungan  kalau  apa
yang  dia katakan itu benar." Atau, "Dia akan masuk surga bila
apa yang dia katakan benar."

Bahkan kita melihat Rasulullah saw sangat mengecam orang  yang
memberatkan kepada manusia, tidak memperhatikan kondisi mereka
yang berbeda-beda; sebagaimana dilakukan oleh sebagian sahabat
yang   menjadi   imam   shalat   jamaah  orang  ramai.  Mereka
memanjangkan bacaan di dalam shalat, sehingga sebagian  ma'mum
mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw.

Nabi saw berpesan kepada Mu'adz bahwa beliau sangat tidak suka
bila Mu'adz memanjangkan bacaan itu sambil berkata  kepadanya:
"Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz? Apakah
engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz? Apakah  engkau
ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz?" 9

Diriwayatkan  dari  Abu  Mas'ud  al-Anshari,  ia berkata, "Ada
seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw:  'Demi  Allah
wahai  Rasulullah,  sesungguhnya aku selalu memperlambat untuk
melakukan shalat Subuh dengan  berjamaah  karena  Fulan,  yang
selalu  memanjangkan  bacaannya  untuk kami.' Aku tidak pernah
melihat Rasulullah saw memberikan nasihat dengan sangat  marah
kecuali  pada  hari  itu.  Kemudian  Rasulullah  saw bersabda,
'Sesungguhnya ada di  antara  kamu  yang  membuat  orang-orang
lain.  Siapapun  di antara kamu yang menjadi imam orang ramai,
maka hendaklah dia meringankan  bacaannya,  karena  di  antara
mereka  ada  orang  yang lemah, tua, dan mempunyai kepentingan
yang hendak dikerjakan." 10

Saya juga pernah menyebutkan  bahwa  orang  yang  memanjangkan
bacaan  shalat  jamaah dengan orang banyak ini adalah Ubai bin
Ka'ab, yang memiliki ilmu dan keutamaan, serta  menjadi  salah
seorang   yang   mengumpulkan   al-Qur'an   .   Akan   tetapi,
bagaimanapun kedudukannya tidak berarti bahwa  Rasulullah  saw
tidak   memungkirinya,   sebagaimana   dia  memberikan  wasiat
mengenai hal inl kepada Mu'adz, walaupun dia  merupakan  orang
yang sangat dicintai dan dipuji oleh Nabi saw.

Sahabat  sekaligus  pembantu  beliau, Anas r.a., berkata, "Aku
tidak pernah shalat di belakang imam satu kalipun  yang  lebih
ringan,  dan lebih sempurna shalatnya dibandingkan dengan Nabi
saw. Jika  beliau  mendengarkan  suara  tangisan  anak  kecil,
beliau  meringankan  shalat  itu, karena khawatir ibu anak itu
akan terkena fitnah." 11

Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,

   "Sesungguhnya ketika aku sudah memulai shalat, aku
   ingin memanjangkan bacannnya, kemudian aku
   mendengarkan suara tangisan anak kecil, maka aku
   percepat shalatku, karena aku mengetahui susahnya sang
   ibu bila anaknya menangis." 12

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw bersabda,

   "Apabila salah seorang di antara kamu menjadi imam
   shalat maka hendaklah ia memperingan bacaan shalatnya,
   karena di antara mereka ada orang yang sakit, lemah,
   dan tua. Namun bila dia shalat sendirian, maka
   hendaklah dia memperpanjang shalatnya sesuai dengan
   kemauannya." 13

Nabi saw sangat mengecam  terhadap  hal-hal  yang  memberatkan
apabila  hal itu dianggap mengganggu kepentingan orang banyak,
dan bukan sekadar untuk kepentingan pribadi satu  orang  saja.
Begitulah yang kita perhatikan dalam tindakan beliau ketika ia
mengetahui  tiga  orang  sahabatnya  yang  mengambil   langkah
beribadah yang tidak selayaknya dilakukan, walaupun sebenarnya
mereka tidak menginginkan kecuali kebaikan dan pendekatan diri
kepada Allah SWT.

Diriwayatkan  dari  Anas  r.a.  berkata,  "Ada tiga orang yang
mendatangi rumah tiga orang istri Nabi saw  menanyakan  ibadah
yang  dilakukan  oleh  Nabi  saw.  Ketika mereka diberitahukan
mengenai hal itu, seakan-akan mereka  menganggap  sedikit  apa
yang  telah  mereka  lakukan,  sambil berkata, 'Di mana posisi
kita dari Nabi saw, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya
yang  terdahulu dan yang akan datang?' Salah seorang di antara
mereka juga berkata, 'Oleh  karena  itu  saya  akan  melakukan
shalat  malam  selamanya.'  Orang yang kedua pun berkata, 'Aku
akan berpuasa selamanya dan tidak akan meninggalkannya.' Orang
yang ketiga berkata, 'Sedanglan aku akan mengucilkan diri dari
wanita  dan  tidak  akan   kawin   selama-lamanya.'   Kemudian
Rasulullah  saw  datang  kepada  mereka  sambil berkata, 'Kamu
semua telah mengatakan begini  dan  begitu.  Demi  Allah,  aku
adalah  orang  yang  paling  takut  kepada  Allah  dan  paling
bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku
shalat  dan  aku  juga  tidur,  aku  mengawini perempuan. Maka
barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahhu,  maka  dia  tidak
termasuk golonganku." 14

Diriwayatkan   dari   Ibn  Mas'ud  r.a.  bahwasanya  Nabi  saw
bersabda, "Celakalah  orang-orang  yang  berlebih-lebihan  itu
(al-mutanaththi'un)."   Beliau  mengucapkannya  sebanyak  tiga
kali.

Yang  dimaksudkan  dengan  orang-orang  yang  berlebih-lebihan
(al-mutanaththi'un) ialah "orang-orang yang mengambil tindakan
keras dan berat, tetapi tidak pada tempatnya."

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw bersabda,

   "Sesungguhnya agama ini mudah, dan orang yang
   mengambil yang berat- berat dari agama ini pasti akan
   dikalahkan olehnya. Ambillah tindakan yang benar,
   dekatkan diri kepada Allah, berilah kabar gembira, dan
   mohonlah pertolongan kepada-Nya pada pagi dan petang
   hari, dan juga pada akhir malam." 15

Maksud perkataan Rasulullah saw "kecuali dia  akan  dikalahkan
olehnya"  ialah bahwa orang itu akan dikalahkan oleh agama dan
orang yang mengambil hal-hal yang berat itu tidak  akan  mampu
melaksanakan  semua  yang  ada  pada  agama ini karena terlalu
banyak jalan yang harus dilaluinya.

Apa  yang  disampaikan  oleh  Rasulullah  saw  ini  sebenarnya
merupakan  kiasan  yang  artinya: "Mohonlah pertolongan kepada
Allah  untuk  taat  kepada-Nya,  melakukan  amal  kebaikan  di
tengah-tengah  kegiatanmu  dan  ketika hatimu lapang, sehingga
kamu  merasa  senang  melakukan   ibadah   dan   tidak   bosan
melakukannya;  dan  dengan demikian kamu dapat mencapai maksud
dan tujuan kamu." Sebagaimana yang dilakukan oleh musafir yang
pintar,  dia  berjalan pada waktu-waktu tertentu, kemudian dia
dan kendaraannya beristirahat pada saat  yang  lain,  sehingga
dia  sampai kepada tujuannya dan tidak mengalami kepenatan dan
kejenuhan. Wallah a'lam.

Saya sangat terkejut kala  saya  membaca  berita  dalam  surat
kabar:

   "Sesungguhnya pihak berwenang yang mengurus jamaah
   haji di kerajaan Arab Saudi mengumumkan kematian dua
   ratus tujuh puluh orang jamaah haji ketika melempar
   jumrah. Mereka meninggal karena terinjak kaki orang
   ramai yang berdesak-desakan untuk melakukan lemparan
   selepas tergelincirnya matahari."

Walaupun telah ada korban  yang  begitu  banyak,  tetapi  para
ulama  masih  saja  memberikan  fatwa  ketidakbolehan melempar
jumrah  sebelum  tergelincirnya  matahari,  padahal  Nabi  saw
memudahkan  urusan  dalam melaksanakan ibadah haji; dan ketika
beliau  ditanya  tentang  amalan  yang  boleh  dimajukan   dan
diakhirkan,  beliau  menjawabnya,  "Lakukan  saja,  dan  tidak
mengapa." Para fuqaha  sendiri  mempermudah  cara  pelaksanaan
pelemparan jumrah sehingga mereka memperbolehkan kepada jamaah
haji untuk melakukan lemparan pada  hari  terakhir,  dan  juga
boleh  mewakilkan kepada orang lain ketika seseorang mempunyai
uzur; yang boleh dilakukan setelah melakukan tahallul terakhir
dari ihram.

Pelemparan  jumrah  itu,  menurut tiga orang imam besar, boleh
dilakukan sebelum tergelincirnya matahari; yaitu oleh  seorang
ahli   fiqh   manasik   ('Atha,),  ahli  fiqh  Yaman  (Thawus)
--keduanya  merupakan  sahabat  Ibn  Abbas--  dan  Abu  Ja'far
al-Baqir,  Muhammad  bin Ali bin al-Husain, salah seorang ahli
fiqh Ahl al-Bait.

Jika para ahli fiqh tidak membenarkan  lemparan  seperti  itu,
maka  kita  dapat  memberlakukan  fiqh darurat yang mewajibkan
kepada  kita  untuk  mempermudah  ibadah  kepada  Allah,  yang
membolehkan  kepada  kita  untuk melakukan lemparan selama dua
puluh  empat  jam,  sehingga  kita  tidak  menjerumuskan  kaum
Muslimin kepada kehancuran.

Semoga Allah memberikan pahala kepada Syaikh Abdullah bin Zaid
al-Mahmud, yang telah memberikan fatwa lebih  dari  tiga  abad
yang  lalu,  yang  membolehkan lemparan sebelum tergelincirnya
matahari, yang termuat di dalam bukunya, Yusr al-Islam  (Islam
yang Mudah).

Catatan Kaki:

 1 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab
   al-Mufrad; dan Thabrani dari Mahjan bin al-Adra'; dan juga
   diriwayatkan oleh Thabrani dari Imran bin Hushain dalam
   al-Awsath; dan Ibn Adiy dan al-Dhiya' dari Anash (Lihat
   al-Jami' as-Shaghir, 3309)

 2 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab
   al-Mufrad; dan Thabrani dari Ibn Abbas. (Ibid., h. 160)

 3 Muttafaq 'Alaih, sebagaimana yang dimuat dalam al-Lu'lu' wa
   al-Marjan (1502).

 4 Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Hibban, dan Baihaqi di dalam
   as-Syu'ab dari Ibn Umar (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 1886)

 5 Muttafaq 'Alaih, al-Lu'lu' wa al-Marjan (681).

 6 Muttafaq Alaih, ibid . 684
 
 7 Muttafaq Alaih dari Abu Burdah, ibid 1130

 8 Muttafaq Alaih ibid., 1131

 9 Diriwayatkan oleh Bukhari.

10 Muttafaq 'Alaih lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 267.

11 Muttafaq 'Alaih, lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 270.

12 Muttafaq 'Alaih, lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 168.

15 Diriwayatkan oleh Bukhari dan Nashai (Shahih al-Jami'
   as-Shaghir, 1611)
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team