|
di Panggung Sejarah |
|
ASNAGHAS WAHYU (WAHYU YANG DATANG DARI IBLIS) Habislah sudah masa relax dengan Mirza; kini beralih kembali pada sepak-terjang yang menyakitkan. Ia mengetahui bahwa kegagalan-kegagalan itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada usaha untuk menyembunyikannya dengan cara baik. Satu hal yang sering terjadi, jika seorang berkata terhadap dirinya sendiri: "Aku adalah orang terkuat," maka orang itu sebenarnya bukan terkuat melainkan termasuk dalam kategori orang sembarangan. Kebetulan sekali Mirza Ghulam Ahmad terlibat keseluruhannya dalam situasi macam orang di atas. Ia sangat membangga-banggakan dirinya, bahkan tuhannya sendiri mengangkat ia pada derajat kemuliaan yang tiada taranya. Namun demikian, sejarah sangat meragukan kebenaran derajat kemuliaannya itu. Dan keraguan ini justru sangat tepat, bila kita lihat sepak terjangnya yang begitu berbelit-belit. Bahkan ia pribadi yang sangat mentah. Ia dan Ahmadiyahnya adalah satu topengan, dimana wajah dibalik topeng itu merupakan contoh figur kepalsuan dan kemunafikan semata-mata. Anehnya wajah yang disembunyikan dengan baik itu, dikupas sendiri olehnya maupun oleh pengikut-pengikutnya. Pada bab-bab yang sudah, kita telah mengetahui watak-watak keyahudiannya. Maka untuk selanjutnya kita akan mengetahui bahwa Mirza Ghulam Ahmad maupun Ahmadiyahnya sangat menyukai watak keyahudian itu, yaitu watak yuharrifunal kalimah an-mawadhi'ih dan watak Judas Eskariot dalam kisah perjanjian barunya kaum Nasrani. Ia memperoleh gelar dari pengikut-pengikutnya berupa sebutan: "s.a.w." atau sallalahu alaihi wasallam, satu gelar yang lazim disampaikan pada Nabi Muhammad. Kadang-kadang bila di Inggriskan gelar itu, maka sesudah menyebut nama Mirza Ghulam Ahmad ditambah dibelakangnya dengan: "On Whom be Peace and Blessing of GOD upon Him" yakni upon Mirza.1 Sesudah itu, tidak ada lagi orang yang bisa menyamai Mirza; Tidak juga seorang Nabi maupun seorang Rasul. Dengan lantang ia berkata: "Jangan kamu samakan Aku dengan siapapun, dan jangan siapapun disamakan dengan Aku."2 Kemudian Mirza menambah lagi kata-katanya: "Sesungguhnya telapak kakiku ini di atas satu menara yang disudahi atasnya sekalian ketinggian."3 Ia melanjutkan derajat ke-AKU-annya dengan berkata: "Aku lahir sebagai satu kodrat Tuhan yang berjasad. Aku adalah kodrat Tuhan dan ada lagi beberapa wujud yang jadi mazhar cermin, tempat zahir kodrat kedua. Sebab itu senantiasalah kamu berhimpun sambil berdoa menanti kodrat tuhan yang kedua itu."4 Siapa yang dimaksud Mirza dengan kodrat kedua itu, kurang jelas. Mungkin itu rohul kudus dariTuhan sesudah kematian Mirza.5 Kelihatannya mirip dengan Trinitas ummat Kristen. Selanjutnya sebagai kodrat Tuhan yang berjasad, Mirza Ghulam Ahmad masih ada padanya beberapa wujud yang lain, antara lain tuhannya sendiri telah berkata padanya: "Wahai sang rembulan, wahai sang surya Mirza, Engkau dari AKU, dan Aku dari Engkau."6 Mirza Ghulam sangat terharu mendapat panggilan dari tuhannya "sang rembulan dan sang surya." Perpaduan Engkau dari Aku dan Aku dari Engkau, benar-benar telah menggambarkan satu keadaan dimana Tuhan sangat membutuhkan Mirza serta sangat menghormatinya. Ia mengatakan bahwaTuhan telah memanggilnya sang rembulan oleh karena ia laksana rembulan dari sang surya. Dan kemudian ia laksana sang surya, dan Tuhan laksana rembulan, oleh karena dari Mirzalah bulan Tuhan itu mendapat sinar dan akan bersinar cahaya kemenanganNya.7 Ternyata Mirza Ghulam Ahmad adalah bagian dari Tuhan yang aktif dan ia juga terbikin dari Tuhannya. Berkata tuhan pada Mirza Ghulam: "Wahai Mirza, Engkau terbikin dari Air-KU, akan tetapi mereka itu terbikin dari bibit yang lemah."8 Melihat wahyu tuhan yang hebat di atas, kaum Ahmadiyah segera mempersiapkan jawaban bila ada serangan dari luar yang memang sangat tidak masuk akal itu. Bagaimana bisa, Mirza terbikin dari Air Tuhan? Ahmadiyah untuk ini menjawab: "Telah jelas bahwa wahyu-ilham, nubuwah-nubuwah dan sebagainya termasuk urusan mutasyabihaat, mengandung makna spekulatip yang dapat diartikan macam-macam. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan pula orang yang mengatakan itu. Dengan demikian kita dapat terhindar dari tidak memberikan tafsiran yang bertentangan dengan maksud orang yang mengatakan sendiri. Ini adalah kaidah para ahli dalam ilmu"9 Oleh karena itu, kata Ahmadiyah selanjutnya, marilah kita lihat apa yang dikatakan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Ia berkata: "Yang dimaksud 'air-KU' ialah: air iman, air istiqamah, air taqwa, air kesetiaan, air kebenaran, air kecintaan pada Allah yang datang dari Dia juga. Fasyal adalah kepengecutan yang datang dari setan."10 Lebih lanjut Ahmadiyah menunjukkan contoh dalam Al-Qur'an yang sama dengan wahyu "Air-KU" itu. Misalnya Tuhan berkata: "Khuliqal insaanu rnin 'ajal-artinya: manusia itu dijadikan dari kecepatan. (surah Anbiya 37) dan ayat: Khalaqakum min dhu'fin: kamu telah dijadikan dari kelemahan. (surah Rum 54). Benarkah manusia itu dijadikan dari kecepatan? benarkah ,manusia dijadikan dari kelemahan? Jelaslah bahwa wahyu itu mengandung isti'arah yaitu kiasan."11 Demikian penjelasan kaum Ahmadiyah dalam rangka menafsirkan wahyu "Air-KU" yang menakjubkan itu. Secara sepintas lalu, mungkin alam pikiran bisa menerima cara pembelaan kaum Ahmadiyah itu, termasuk ucapan isti'arah Mirza. Akan tetapi sejarah nabi India dan pengikut-pengikutnya itu tidak bermaksud beristi'arah atau berkias. Sebab meskipun pada kenyataannya ada tulisan-tulisan Mirza sendiri maupun tulisan pengikut-pengikutnya yang segera mengatasi atau membela maupun menafsirkan ucapan-ucapan Mirza-Ghulam yang keliwat batas itu, namun pada hakikatnya karena faktor-faktor tertentu, mereka tidak dapat menyembunyikan figur yang sebenarnya dari nabi India itu. Faktor yang pertama ialah, cara atau macam contoh-contoh yang dikemukakan mereka itu serba terlanjur, tergelincir dan blunder. Faktor yang kedua, dan inilah faktor yang terutama, ialah, terletak pada sang nabi India itu sendiri. Antara lain, faktor kejiwaannya, faktor kondisi tubuhnya dan faktor sejarah yang terjadi disekelilingnya maupun yang terjadi sebelum ia muncul dengan seribu satu macam pangkat itu. Allah s.w.t. berfirman dalam Al-Qur'an, surah At-Thaariq ayat 5 dan 6, bahwa manusia dijadikan dari air yang terpencar. ("khuliqa min main- dzaafiq") surah Al-Mursalaat ayat 20, bahwa manusia dijadikan dari air yang kotor. ("Alam nakhluqum min main mahiin?"). Itulah "air" kejadian manusia yang terdapat dalam Al-Qur'anul Karim. Jelas bahwa mereka itu ("wa hum" dijadikan dari-min maa'in dzafiq, wa hum min maain mahiin, wa hum min fasyal). Sedangkan wahyu Tuhan pada Mirza Ghulam Ahmad bahwa ia terbikin dari "airTuhan" hanyalah satu kiasan semata?! Terserah bila itu hendak dipaksakan menjadi satu kias. Namun yang jelas itu bukan hanya satu kias belaka; melainkan juga satu bukti betapa tingginya derajat Mirza pada sisi tuhannya. Contoh kedua yang dikemukakan Ahmadiyah yaitu: ayat 54 surah Rum, kamu dijadikan dari kelemahan, "khalaqakum min dhu'fin." Ayat ini sebenarnya masih panjang, tapi Ahmadiyah hanya mengambil sepotong ayat saja. Kembali pada hobby mereka lagi. Padahal lengkapnya ayat itu berbunyi: "Allah menjadikan kamu dari lemah (min dha'fin, bukan dhu'fin), kemudian sesudah lemah itu kamu dijadikan kuat, dan sesudah kuat itu kamu balik lagi menjadi lemah dan tua. Dia menjadikan apa yang dikehendakiNya. Dia mengetahui lagi Kuasa." Jelas bahwa Ahmadiyah terang-terangan: memotong ayat Al-Qur'an, merobah dha'fin menjadi dhu'fin, mengartikan lemah dengan arti kias, padahal lemah di situ adalah arti yang sebenarnya. Satu perbuatan blunder ! Contoh ketiga yang dikemukakan Ahmadiyah yaitu ayat 249 dari surah Al-Baqarah. Ayat tersebut dikutip sebagai berikut: "Faman syariba minhu fa-laisa minni. Diartikan oleh Ahmadiyah, siapa yang minum daripadanya (air-sungai) dia bukan daripada-KU." Ahmadiyah langsung bertanya: "Apakah ini berarti bahwa orang yang tidak minum air sungai itu dia dari Tuhan? Ini senada dengan ilham hazrat Ahmad di atas (anta min maina-pen.)12 Ayat 249 suratul Baqarah di atas pernah kami kutip dalam bab ketiga, ketika membahas watak-watak ke-yahudian kaum Ahmadiyah. Ayat tersebut sebenarnya masih panjang, tetapi pihak Ahmadiyah hanya mengambil sepotong saja. Kembali pada hobby mereka lagi, yuharrifunal kalimah an-mawadhi'ih. Padahal lengkapnya ayat ini berbunyi: "Maka ketika Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: Sesungguhnya Allah akan mengujimu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu yang meminum airnya bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada merasakan airnya kecuali orang yang hanya menciduk seciduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Itulah arti yang sebenarnya sesuai dengan sejarah terjadinya peristiwa itu. Bukan diartikan seperti kehendak kaum Ahmadiyah bahwa yang minum air dari sungai itu bukan daripada-KU (yakni TUHAN). Jelas bahwa Ahmadiyah terang-terangan berbuat: memotong ayat Al-Qur'an, mengaburkan sejarah yang difirmankan oleh Allah, merobah makna yang sebenarnya dengan makna kiasan. Suatu perbuatan blunder! Dari faktor pertama ini saja, sudah lebih dari cukup bagi sejarah untuk memberi merek abadi pada kaum Mirza Ghulam Ahmad sebagai kaum Musailimah pendusta dan sekaligus sebagai kaum Yahudi India. Lebih-lebih faktor kedua, Mirza Ghulam dan kaumnya akan telanjang bulat di atas panggung sejarah mempertontonkan segala kemunafikannya. Mirza Ghulam Ahmad terlalu membesar-besarkan dirinya, ataukah tuhannya yang sudah terlalu menyanjung-nyanjung Mirza? Perhatikanlah bagaimana Tuhan berkata tentang Mirza: "Ya Ahmad, Allah memberkahimu" ('ya Ahmad barakallah fika')13 "Ya Ahmad, nama-Mu bisa sempurna, tapi nama-Ku tidak bisa sempurna." ('ya Ahmad yutimmu ismuka, wa la yutimmu ismii')14 "Wahai Ahmadku, kebahagiaan untukmu." ('busyra laka ya Ahmadii')15 "Wahai Ahmadku, Engkaulah tempat keperluanku, dan Engkau beserta Aku." ('ya Ahmadi Anta muraadi wa ma'ii.')16 Demikian beberapa kali tuhan memanggil Ahmad, sebagai pujian serta sanjungan yang tak habis-habisnya. Nama Mirza Ghulam Ahmad bisa "sempurna" kata tuhan, tetapi nama tuhan sendiri "tidak bisa sempurna." Satu hal yang luar-biasa, betapa urgentnya nama nabi India itu bagi tuhannya. Bagaimana penjelasan Ahmadiyah tentang wahyu di atas, apakah kira-kira tidak keliru atau salah cetak? Bagi Ahmadiyah, karena itu adalah wahyuTuhan maka tidak ada yang keliru atau salah cetak. Bahkan penjelasan dari wahyu yang luarbiasa itu diberikan oleh Mirza Ghulam sendiri. Ia mengatakan bahwa wahyu "namamu bisa sempurna" itu artinya: bahwa ia (Mirza) akan mati dan pujian baginya akan habis pula. Kemudian dengan wahyu: "Nama-KU tidak bisa sempurna" diartikan oleh Mirza, bahwa, puji-pujian bagi Allah tidak akan habis-habisnya.17 Penjelasan Mirza Ghulam tersebut bertolak belakang dengan wahyu Tuhan yang ia terima. Bagaimana bisa demikian, namamu bisa sempurna, diartikan tidak sempurna, mati dan habis. Sedangkan, nama-KU tidak bisa sempurna, diartikan sempurna dan kekal? Blunder lagi, bukan?! Meskipun demikian tuhan membutuhkan Mirza Ghulam. Bahkan lebih dari kebutuhan, ia menjadi pilihan bagi tuhannya. Untuk iniTuhan berkata pada Mirza: "Engkau Mirza terpandang di hadirat-Ku, AKU pilih engkau bagi Diri-KU." ('wa Anta wajiihun fi hadhroti ikhtartuka li nafsii')18 "Engkau kepada-KU hai Mirza, di suatu martabat yang tidal: diketahui oleh manusia." (wa Anta minni bimanzilatin la ya'lamuhal khalq)19 "Allah memujimu dari Arasy-Nya." (yahmadukallah min arsyihi)20 "AKU Allah memujimu dan menyampaikan salam sejahtera padamu." (nahmaduka wa nushalli)21 "AKU banyak menyampaikan salam padamu." (Alaika salaam katsir minni)22 "Ya nabi Allah, tadinya AKU tidak kenal padamu." (ya nabiallah kuntu la a'rifuka)23 "Wahai gunung-gunung dan burung-burung! ingatlah AKU bersama Dia dengan perasaaan asyik dan terharu." (ya jibaalu awwibii ma'ahu wath-thair)24 "Engkau beserta AKU dan AKU beserta Engkau, rahasiamu itu adalah rahasia-KU." (Anta ma'i wa Ana ma'aka' sirruka sirri)25 Demikian limpahan puji dari tuhan pada Mirza Ghulam Ahmad. Karenanya tidak aneh kalau Mirza Ghulam berani memperlihatkan segala sepak terjangnya bahkan kalau perlu ia marah dan marah sekali. Sebab kemarahan Mirza adalah kemarahan Tuhannya. Berkata Tuhan pada Mirza: "Bila Engkau marah, AKU-pun marah juga, dan bila Engkau suka pada seseorang, AKU-pun juga suka padanya." (idzha ghadibta ghadibtu wa kullama ahbabta ahbabtu)26 Keberanian Mirza lebih galak lagi, tatkala Tuhan memberi kabar wahyu padanya: "Bersamamu wahai Mirza,' tentara di langit dan di bumi." (wa ma'aka jundus samaawati wal aradhiin)27 Kemudian Tuhan memberi satu jaminan pada Mirza bahwa tidak akan ada siksaan bila di suatu tempat ada Mirza Ghulam Ahmad. Tuhan Mirza berkata: "Dan sesungguhnya Allah tidak akan mendatangkan adzab pada mereka jika engkau berada di tengah-tengah mereka." (ma kanallahu liyuadzdzibahum wa Anta fihim)28 "Aku besertamu, beserta keluargamu dan beserta orang-orang yang mencintaimu." (inni ma'aka wa ma'a ahlika kullu man ahabbaka)29 "Siapa yang datang padamu, maka ia telah datang pada-KU." (man ja'aka ja'ani)30 "Allah memujimu dan mengangkatmu pada derajat yang tinggi." (sabbahakallahu wa rafa'aka)31 "Jika tidak karena Engkau ya Mirza, AKU tidak jadikan Alam ini." (Lau laka lama khalaqtul aflaaka)32 Bukan main, tidak dijadikan alam kalau tidak karena Mirza Ghulam Ahmad! Alangkah hebat kedudukan Mirza. Apakah lagi yang kurang untuk ditambahkan untuk mempertinggi derajat Mirza Ghulam di sisi tuhannya? Tentu saja hal itu masih kurang, kata Mirza dan Ahmadiyahnya. Bahkan itu masih jauh daripada derajat yang diperoleh Mirza Ghulam Ahmad. Wahyu-wahyu yang lebih hebat lagi turun melimpah pada Mirza Ghulam dari tuhannya. Ia selalu berhubungan denganTuhan. Kadang-kadang Tuhan turun untuk memujinya, dan pada saat-saat yang sangat luar biasa, Mirza Ghulam naik menemui tuhannya. Situasi kerohanian yang tiada tara bandingannya itu, bagi sejarah Islam hampir-hampir dilupakan atau dilewati begitu saja. Mungkin satu hal yang pasti mengapa sejarah tidak ambil pusing dengan peristiwa "orang Qadian" itu, ialah bahwa Mirza Ghulam Ahmad disebabkan faktor-faktor yang sudah disebutkan terdahulu, bukan seorang yang kelimpahan wahyu dari tuhan, melainkan ia memperoleh wahyu-wahyu iblis. Dan memang itulah kenyataannya. Catatan kaki: 1 Mirza Bashir Ahmad, Durr-i-Manthur, Rabwah Ahmadiyya Muslim Foreign Mission Office, 1960, hal.1 - juga lihat Khutbatul Ilhamiyah hal. muka dan Tukhfah Bagdad, hal. muka. 2 Mirza Ghulam Ahmad, Khutbah ilhamiyah, hal. 6 (La tagisuni Bii Ahadin Wala Ahadin Bii.) 3 Mirza Ghulam Ahmad, Khutbah lihamiyah, hal. 10 (Wa inna qadami hadihi ala Manaratin khutima Alaihi kullu rif'atinn). 4 Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wasiyat, terjemah A. Wahid H.A. Jakarta Neraca Trading Company, 1949, hal. l2. 5 Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wasiyat, hal. 13. 6 Mirza Ghulam Ahmad, Fountain of Christianity, Rabwah m.f.m.o., 1961, hal. 45: dan - Istifta hal. 80: (ya qamar ya syamsu Anta mimu wa Ana minka). 7 Mirza Ghulam Ahmad, Fountain of Christianity, hal. 45: (that God made me first, the moon for I came like the moon from the real sun, and, then, He became the Moon; for, through me shone and will shine, the light of His Glory.) 8 Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry, hal. 37. 9 Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry, hal. 37. 10 Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry, hal. 37. 11 Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry, hal. 38. 12 Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry, hal. 38. 13 Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Bagdad, hal. 21. 14 Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Bagdad, hal. 25. 15 Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Bagdad, hal. 23. 16 Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Bagdad, hal. 23. 17 Analyst, Facts about Ahmadiyya Movement, hal. 29. 18 Mirza G.A., Tukhfah Bagdad, hal. 26 dan M.G.A., Alwasiyat, hal. 40. 19 M.G.A., Alwasiyat, hal. 40, dan Tukhfah Bagdad, hal. 26. 20 Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Bagdad, hal. 25. 21 Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Bagdad, hal. 25. 22 M.G.A. Al-Istifta, hal, 86. 23 M.G.A., Istiftha, hal. 86. 24 M.G.A., Al-Wasiyat, hal. 42. 25 Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Bagdad, hal. 30. 26 M.G.A., Al-Wasiyat, hal. 41. 27 Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Bagdad, hal. 26. 28 M.G.A., Istifta, hal. 85. 29 M.G.A., Istifta, hal. 85. 30 M.G.A., Istifta, hal. 84. 31 M.G.A., Istifta, hal. 85. 32 M.G.A., Al-Istifta, hal, 86. --------------------------------------------- Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah Abdullah Hasan Alhadar PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980 Jln. Tamblong No.48-50, Bandung Telp. 50708, 57177, 58332 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |