|
|
di Panggung Sejarah |
|
|
CABIKLAH TIRAI ITU
Satu ucapan tidak beres yang berkali-kali dilontarkan
Ahmadiyah. Namun demikian kalau sekiranya hendak ditanggapi
obrolan Ahmadiyah itu, hanya semata-mata for the sake of
arguments saja, katakanlah bahwa menjadi raja-raja di
kalangan ummat Islam itu adalah satu kenikmatan dari Allah,
lantas menjadi nabi-nabi, yang mana mereka itu? Satu hal
yang pasti ialah bahwa Ahmadiyah hanya memiliki satu nabi
saja sesudah Nabi Muhammad s.a.w., yaitu Mirza Ghulam Ahmad.
Jika ini dikatakan satu kenikmatan pula, maka yang dimaksud
ialah kenikmatan buat Mirza sendiri, ketuarganya maupun para
pengikut-pengikutnya yang setia. Bahkan kenikmatan itu
begitu besarnya sehingga Ahmadiyah berani mengatakan bahwa
ayat-ayat 6 dan 7 dari surah Al-Fatihah, tidak lain
ditujukan bagi datangnya Mirza Ghulam.
Jelasnya, menurut Ahmadiyah bahwa dari surah Al-Fatihah ayat
6 dan ayat 7 yang berbunyi:
"Tunjukilah kami ke jalan yang lurus yaitu jalan yang
telah Engkau tunjukkan kepada orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat."
Ayat ini, demikian Ahmadiyah, ialah ayat di mana Allah telah
memerintahkan kepada ummat Islam supaya sebagai ummat
meminta kepadaNya, agar nikmat-nikmat yang pernah diterima
oleh ummat dahulu terutama kaum Bani Israiel (Yahudi)
diberikan pula pada mereka. Apakah nikmat-nikmat itu? Tidak
lain, kata Ahmadiyah, ialah menjadi raja-raja dan
nabi-nabi.1
Jadi bagi kaum Muslimin yang selalu mengucapkan do'a dalam
Al-Fatihah pada waktu mereka melakukan shalat, tujuh belas
kali sehari semalam itu, ternyata do'a mereka telah
dikabulkan Tuhan yaitu, dengan munculnya Mirza Ghulam Ahmad
dari India, sebagai satu-satunya nabi. Pantas juga kalau
orang-orang pengikut Mirza mengatakan bahwa kedatangan Mirza
sebagai fadhlan kabiran (buat siapa?!)
Last but not least, untuk lebih banyak mengenal model watak
ke-Yahudian kaum Ahmadiyah ini, kita melihat satu uraian
lagi dari mereka, dimana satu khabar gembira dari Tuhan
telah turun pada Mirza Ghulam Ahmad, isi kabar itu ialah
"Hai Mirza engkau dari Aku dan Aku dari engkau."2
Wahyu Tuhan di atas sangat menggembirakan Mirza Ghulam, akan
tetapi bagaimana mengartikannya? Satu hal yang tidak beres
pada Ahmadiyah; bagaimana Tuhan bisa dikatakan dari Mirza
dan Mirza dikatakan dari Tuhan? Apanya yang dari Tuhan dan
apanya Tuhan yang dari Mirza Ghulam? Ada lagi wahyu yang
bikin Mirza Ghulam Ahmad lebih bergembira:
"Wahai bulan (Mirza) engkau dari padaKu dan
Aku dari padamu."3
Andaikata wahyu Tuhan itu diartikan harafiah, maka kata-kata
itu jelas keluar dari akal tidak waras. Tentu saja Ahmadiyah
menolak tuduhan semacam itu. Maka inilah pengertian mereka
yang disodorkan ke tengah-tengah pengikutnya. Mula-mula
dikemukakan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda pada
Sayyidina Ali r.a.:
"Hai Ali engkau dari padaku, dan aku dari padamu."4
Kemudian dikemukakan contoh lain, yaitu ketika Nabi Muhammad
bersabda pada suku Asy'ari, ialah:
"Mereka dari padaku dan aku dari pada mereka."5
Akhirnya Ahmadiyah bertanya tentang contoh-contoh yang
dikemukakannya itu: anehkah itu dan ganjilkah? Dijawab
sendiri oleh Ahmadiyah: "Ini senafas dengan ilham di atas,
yakni ilham Tuhan pada Mirza di atas."6
Tentu saja kalau Ahmadiyah yang menjawab, tidak aneh dan
tidak ganjil wahyu Tuhan pada Mirza itu. Akan tetapi
obrolan-obrolan mereka itu lebih daripada aneh dan ganjil,
malah sangat tidak beres maupun tidak karuan.
Bahwa nabi Muhammad pernah bersabda, beliau s.a.w. daripada
suku Asy'ari dan suku tersebut dari pada Nabi, ucapan yang
demikian itu wajar, sebab terjadi antara dua jenis yang sama
yaitu manusia. Juga sabda beliau s.a.w. pada sayyidina Ali
tersebut di atas, wajar pula adanya. Bahwa Nabi adalah
sepupu Ali bin Abi Thalib r.a., Nabi dipelihara ayah Ali,
dan Ali diambil Nabi, dikawinkan pada puteri beliau,
kemudian Nabi bersaudara dengan Ali, maka sungguh bahwa Nabi
dari pada Ali dan Ali dari pada Nabi s.a.w. Terserah pada
Ahmadiyah kini kalau mereka hendak menurunkan martabat
Ketuhanan pada dan menjadi martabat manusia seperti Mirza
Ghulam Ahmad itu; suatu kebodohan pada akal yang cerdik.
Bahkan kecerdikan itu bertambah-tambah karena ucapan-ucapan
mereka yang salah. Antara lain Ahmadiyah mengemukakan contoh
ayat-ayat al-Qur'an yang diartikan menurut selera mereka,
misalnya ayat 249 dari surah Al-Baqarah. Anak buah Mirza
Ghulam Ahmad ini mengartikan ayat tersebut sebagai berikut:
"Siapa yang minum dari padanya (air sungai) dia bukan
dari padaKU." (faman syariba minhu falaisa minni).7
Kemudian Ahmadiyah bertanya: "Apakah ini berarti bahwa orang
yang tidak minum air sungai itu dia dari pada TUHAN?" Inipun
senada dengan ilham Tuhan pada Mirza di atas tadi.8
Cobalah perhatikan bagaimana Ahmadiyah telah mengubah makna
dari ayat tersebut dan sekaligus mengubah jalannya sejarah.
Mereka suka mengambil ayat-ayat Al-Qur'an hanya
potong-potongannya saja. Tentu saja mereka bermaksud untuk
menguatkan ucapan-ucapan mereka. Padahal kelengkapan makna
dari surah Al-Baqarah ayat 249 itu ialah sebagai berikut:
"Maka ketika Thalut keluar membawa tentaranya, ia
berkata: Sesungguhnya Allah akan mengujimu dengan suatu
sungai. Maka siapa di antara kamu yang meminum airnya
bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada merasakan
airnya kecuali orang yang hanya menciduk seciduk
tangan, maka ia adalah pengikutku."
Itulah arti yang sebenarnya sesuai dengan sejarah terjadinya
peristiwa itu. Bukan diartikan seperti kehendak kaum
Ahmadiyah, bahwa yang minum air dari sungai itu, ia bukan
dari padaKu (TUHAN). Ini pengertian yang dibuat-buat atau
sikap ke-Yahudiannya dengan yuharrifun-al-kalimah
an-mawadhi'ih, selalu tampak menyolok pada mereka.
Contoh lain daripada watak-watak menyalah-gunakan arti dan
tujuan dari ayat-ayat Al-Qur'an, dikemukakan lagi oleh
golongan Mirza Ghulam Ahmad ini. Ahmadiyah mengatakan bahwa
kedatangan Imam Mahdi yang dinanti-nantikan itu telah
disabdakan Nabi Muhammad dalam sabda beliau:
"Sesungguhnya bagi kedatangan Imam Mahdi itu ada dua
tanda yang belum pernah terjadi sejak dijadikan langit
dan bumi oleh Allah. Tanda itu ialah: akan terjadi
gerhana bulan pada permulaan bulan puasa dan gerhana
matahari pada pertengahan bulan puasa yang sama.
Kejadian serupa ini belum pernah terjadi sejak
dijadikannya langit dan bumi oleh Allah."
Tanda-tanda tersebut yang dinyatakan dalam hadits di atas,
telah terjadi sesuai dengan berita yang tertera, yaitu
terjadi pada tahun 1311 hijriah atau bertepatan dengan tahun
1894 masehi.9
Tanda-tanda yang istimewa itulah yang menyongsong kedatangan
Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi yang dinanti-nantikan.
Menurut Ahmadiyah keistimewaan tanda-tanda dari datangnya
Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Mahdi Al-Ma'huud itu, telah
disinggung secara nyata, baik dalam kitab Beibel maupun
dalam Al-Qur'anul Karim.10
Lebih lanjut meneruskan, bahwa Yesus telah memberi isyarat
akan saat-saat kedatangan beliau yang kedua kalinya itu
dalam kitab Beibel. Dalam surat Mattius 24;29, tanda-tanda
itu dikatakan:
"Maka sejurus kemudian daripada ketika sengsara itu,
matahari akan dikelamkan, dan bulan juga tiada akan
bercahaya."11
Itulah kutipan Ahmadiyah dari Beibel yang menggambarkan
saat-saat kedatangan Yesus kembali. Orang-orang Ahmadiyah
ini ternyata berbicara cukup hanya pada dua tanda saja.
Tanda pertama, matahari akan dikelamkan, dan tanda kedua,
bulan tiada akan bercahaya. Apabila kita melihat sepintas
saja akan kejadian-kejadian dari matahari dan bulan di atas,
maka kita melihat seolah-olah memang sudah terjadi gerhana
bulan dan matahari, dalam bulan yang sama pula. Akan tetapi
pada kenyataannya peristiwa bulan tidak bercahaya dan
matahari akan dikelamkan itu, sama sekali bukan satu
gerhana, sebagaimana yang diuraikan kaum Ahmadiyah.
Melainkan satu peristiwa yang terjadi pada saat-saat dunia
akan kiamat. Dan bukan itu saja tanda-tanda yang ada dalam
kalimat Mattius 24: 29 itu, melainkan lebih dari itu. Justru
disinilah kelihatan lagi hobby dari kaum Ahmadiyah, bahwa
mereka senang sekali memotong-motong ayat-ayat Al-Qur'an
maupun kalimat-kalimat dalam Beibel. Padahal kalimat dalam
Mattius 24: 29 itu masih panjang, dan bila diteruskan
bunyinya:
"... dan segala bintang di langit akan gugur, dan
segala kuat-kuasa yang di langit itupun akan
berguncang-gancing."
Apa sebab Ahmadiyah membatasi tanda-tanda itu hanya pada
matahari kelam dan bulan tiada bercahaya? Jawabnya diberikan
oleh mereka sendiri. Hanya tanda-tanda itu saja yang disebut
sebab tanda-tanda yang menyongsong datangnya Al-Mahdi
Al-Mahuud Mirza Ghulam Ahmad Qadiani.
Yang menarik buat cerita di sini, ialah bahwa kepercayaan
orang-orang Kristen tentang "the second coming"nya Yesus
Kristus itu, telah diambil alih dan dioper oleh seorang
lain, yang mungkin mengaku dirinya sebagai baruz atau
inkarnasinya Yesus Israeli itu. Justru orang istimewa si
pengoper kedudukan Yesus ini, tidak lain juga Mirza Ghulam
Ahmad. Alhasil entah harus berapa kali nama Mirza Ghulam
disebut-sebut dalam tulisan ini. Pokoknya ia menjadi tokoh
dalam cerita di sini. Tentu saja tokoh pahlawan buat
keluarga pengikut-pengikutnya dan mereka yang antipati pada
Islam dan ummatnya.
Alangkah bahagia Ahmadiyah bahwa kitab suci orang-orang
Kristen telah menyambut kedatangan Mirza, dan sungguh lebih
berbahagia lagi bila Al-Qur'anul Karim ikut menyambut pula
padanya. Kelihatannya Tuhan benar-benar menaruh segala
pengharapanNya pada orang India ini.
Dan memang itulah yang dinyatakan sendiri oleh Ahmadiyah
bahwa Al-Qur'anul Karim bukan saja menyambut Mirza Ghulam
sebagai AHMAD yang DIJANJIKAN12 melainkan juga sebagai IMAM
MAHDI yang DINANTI-NANTIKAN. Mengutip dari Al-Qur'an,
Ahmadiyah berkata:
"Kitab suci Al-Qur'an berbicara tentang hari
kebangkitan itu:
Maka apabila pemandangan itu begitu mencengangkan, dan
bulan telah gelap cahayanya (gerhana), dan matahari
serta bulan telah dihimpunkan.' (Antara lain Qur'an 75:
7-10)
Maka pertemuan antara bulan dan matahari itu berkenaan
jatuhnya dua gerhana sekaligus terjadi dalam satu bulan
yang sama, yaitu bulan Ramadhan seperti yang tersebut
dalam hadits. Dua gerhana sekaligus itu mengambil
tempat persis pada tahun 1311 hijrah atau 1894
masehi." 13
Demikian uraian Ahmadiyah dan kutipannya dari surah
Al-Qiyamah ayat 7 sampai dengan ayat 10. Marilah kita lihat
bagaimana kaum Ahmadiyah dalam hal ini putera Mirza Ghulam
sendiri, telah bersilat pena.
Mula-mula Ahmadiyah mengambil dari surah Al-Qiyamah itu
jumlah 4 (empat) ayat, yaitu dengan menulis di pojok kanan
dari terjemahannya angka-angka: Al-Qur'an 75: 7-10, yang
berarti ayat ketujuh sampai dengan kesepuluh dari surah
Al-Qiyamah telah dikutipnya. Akan tetapi anehnya, mereka
tidak menterjemahkan empat ayat, melainkan hanya dua ayat
saja, yaitu ayat ketujuh sampai dengan kedelapan.
Kedua, cara Ahmadiyah menterjemahkan dua ayat, tujuh dan
delapan dari surah Al-Qiyamah itu jauh menyimpang dari
maknanya bahkan dari peristiwa yang terkandung di dalamnya.
Mereka, anak buah Mirza Ghulam ini menterjemahkannya
ayat-ayat itu sebagai berikut:
"Maka apabila pemandangan itu begitu mencengangkan, dan
bulan telah gelap cahayanya (gerhana), dan matahari
serta bulan telah dihimpun."14
Kemudian Ahmadiyah mengartikan matahari dan bulan telah
dihimpun itu, dengan kata-kata:
"Maka pertemuan antara bulan dan matahari itu berkenaan
dengan terjadinya dua gerhana dalam satu bulan, yaitu
bulan Ramadhan. sebagaimana yang tersebut dalam hadits."15
Yang ketiga, Ahmadiyah sengaja berbuat dengan memotong
ayat-ayat Al-Qur'an itu dan menterjemahkannya dengan
semaunya, supaya dapat mengkaitkan ayat-ayat tersebut dengan
peristiwa munculnya Imam Mahdi India, Mirza Ghulam Ahmad.
Satu perbuatan yang lucu dan memalukan.
Tidak lain surah 75: 7-10 itu terkandung didalamnya
saat-saat terjadinya hari kiamat. Surahnya sudah jelas
disebut: surah Al-Qiyamah. Dan isi dari ayat-ayat 7 sampai
dengan sepuluh itu adalah:
"apabila pemandangan sangat mencengangkan serta
menakutkan, dan bulan telah gelap cahayanya, dan
matahari dan bulan telah dihimpun, rusak peredarannya,
ketika itu, manusia bertanya: ke manakah kita akan
lari?!"
Jelas bahwa ayat-ayat tujuh sampai dengan sepuluh itu
menggambarkan peristiwa datangnya hari kiamat. Tidaklah kita
lihat bahwa ayat sebelumnya, yakni ayat enam, merupakan
soal: "apakah hari kiamat itu?" Maka Allah s.w.t. menjawab
dari soal itu pada ayat sesudahnya yaitu ayat-ayat tujuh
sampai ayat-ayat seterusnya.
Satu penipuan dan kedustaanlah yang dilakukan orang-orang
Yahudi dari desa Qadian India ini. Mereka selalu mencari
jalan buat melogiskan maupun meyakinkan orang-orang yang di
luar jemaatnya, dengan cara apa saja. Satu hal yang ajaib,
adakah orang-orang Ahmadiyah sendiri sudah tidak bisa
memakai logikanya? Kita ingin tahu dimana tafsir Al-Qur'an
yang menyebut seperti model Ahmadiyah bahwa: "dan bulan
telah gelap cahayanya," diartikan: gerhana bulan. Kemudian
"dan matahari serta bulan telah dihimpun" diartikan: dua
gerhana dalam satu bulan dari tahun 1311 hijrah itu. Jelas
tidak mungkin ada tafsir maupun pengertian seperti cara-cara
yang dilakukan kaum Mirza itu. Mereka banyak sekali
mengubah-ubah makna maupun tujuan dari ayat-ayat Al-Qur'anul
Karim secara seenaknya saja asal bisa dicocokkan dengan
munculnya Mahdi Mirza Ghulam Ahmad.
Catatan kaki:
1 lih: M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal. 17.
2 lih: Analyst, facts about Ahmadiyya movement, Lahore
ahmadiyya Anjuman Isha'at-i-islam, 1951, hal. 21.:
(anta minni wa ana minka)
3 Mirza Ghulam Ahmad, fountain of Christianity, Rabwah
Ahmadiyya muslim missions office, 1961, hal. 45: (ya
qamar ya syamsu anta minni wa ana minka).
4 Saleh Nahdi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry
BA., Ujung Pandang, Jema'at Ahmadiyah Indonesia, 1972,
hal. 38/39.
5 idem no. 46.
6 idem no. 46 dan 47.
7 lih: Saleh Nahdi, bantahan atas tuduhan Wahid Bakry,
hal. 38.
8 idem no. 49, hal. 38.
9 lih: Saleh A. Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 25.
10 lih: Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation, Rabwah,
the Ahmadiyya muslim foreign missions office, 1961,
hal. 47: (its uniqueness is enhanced by the fact that
it is also mentioned in the new testament and in the
holy Qur'an).
11 lih: idem - no 52: ( immediately after the
tribulation of those days shall the sun be darkened and
the moon shall not give her light.)
12 lih: Suara Ansharulah no. 3 & 4. 1955. hal. 18.
13 lih: Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation, hal. 47:
(the holy Quran speaks of the Day of Awakening and goes
on: "it is when the sight is dazzled and the moon is
eclipsed and the sun and the moon are conjoined. The
conjoining refers to the occurence of the two eclipses
in the same month, the month of ramadhan as in the
hadith. The eclipses took place in 1311 hejira or 1894
A.D.)
14 lih: Bashiruddin Mahmud Ahmah, Invitation, hal. 47:
(it is when the sight is dazzled and the moon is
eclipsed and the sun and the moon are conjoined).
15 lih: Bashiruddin. MA., invitation, hal. 47: (the
conjoining refers to the occurence of the two eclipses
in the same month, the month of ramadhan as in the
hadith.)
---------------------------------------------
Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah
Abdullah Hasan Alhadar
PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980
Jln. Tamblong No.48-50, Bandung
Telp. 50708, 57177, 58332
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |