Ahmadiyah Telanjang Bulat
di Panggung Sejarah

oleh Abdullah Hasan Alhadar

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

CIUMAN JUDAS1
 
Kedudukan,   pangkat-pangkat   serta   tingkah   laku   yang
dipamerkan  oleh  Mirza  Ghulam  Ahmad,  putera  dan cucunya
maupun     oleh     pengikut-pengikutnya     yang      tiada
tolok-bandingannya,   pada   hakikatnya  hanyalah  merupakan
perisai  atau  selubung  dari  kelemahan,   kepalsuan   yang
terdapat  didalam  diri Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya.
Demikianlah satu kelemahan harus dilindungi banyak kekuatan,
barulah   persembunyian   itu  berhasil  lolos  dari  setiap
pencaharian. Akan tetapi satu keanehan telah terjadi,  bahwa
kekuatan-kekuatan  yang  dipamerkan  Ahmadiyah itu, ternyata
menjadi boomerang memukul balik pada dirinya sendiri.
 
Kekuatan-kekuatan dalil yang dipakai tentang kemahdian Mirza
Ghulam  Ahmad,  kealmasihannya,  kenabian  dan  kerasulannya
akhirnya menjadi satu bahan yang menarik untuk  dibicarakan.
Justru pada posisi-posisi Mirza Ghulam yang berat itulah, ia
dan alirannya menutup semua kemungkinan bagi lolosnya  suatu
penelitian   terhadap  dirinya.  Kubu-kubu  pertahanan  yang
dibangun Mirza dan  Ahmadiyahnya  dalam  masalah  ke-mahdian
kealmasihan,   kenabian   maupun   kerasulannya,   merupakan
kubu-kubu yang ampuh untuk diterobos.
 
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan tadi, satu keanehan telah
terjadi; justru daripada pertahanan yang tertutup rapat itu,
secara tidak  sengaja  pintu-pintu  rahasia  dari  kubu-kubu
pertahanan  Ahmadiyah,  terbuka  lebar dan mereka sendirilah
yang  membukanya.   Bahkan   boleh   dikata   ibarat   tubuh
bertelanjang  bulat  di hadapan cermin seiarah, Mirza Ghulam
Ahmad dan Ahmadiyahnya telah  mempertontonkan  segala  jenis
kemunafikannya   yang   paling   samar   sekalipun.  Padahal
Ahmadiyah pada  zhahirnya  menyuguhkan  ajaran-ajarannya  ke
tengan-tengah  masyarakat  diluar  Jemaatnya,  dengan segala
macam kalimat-kalimat puji dan puja kepada  Allah  dan  Nabi
Muhammad s.a.w.
 
Penjelasan-penjelasan  yang menarik yang disajikan Mirza dan
Ahmadiyahnya tentang sebab-sebabnya mengapa ia harus menjadi
nabi,  rasul  dan  sebagainya  itu,  menurut  Ahmadiyah sama
sekali tidak mengandung maksud untuk  mengecilkan  kedudukan
Nabi  Muhammad  s.a.w.  Mirza  Ghulam Ahmad, kata Ahmadiyah,
tidak lain hanyalah khadim nabi Muhammad, melanjutkan  serta
menerangkan  ajaran-ajaran  tuannya.2  Bahkan  Mirza  Ghulam
adalah orang pertama yang jatuh cinta  pada  Nabi  Muhammad.
Dalam syairnya Mirza Ghulam berkata:
 
  "Lihatlah kepadaku dengan pandangan rahmat
         dan kasih wahai penghuluku.
   aku adalah seorang sahayamu yang paling hina dina.
   wahai kekasihku,
   cinta kepadamu sudah amal meresap dalam jiwa ragaku,
   ke dalam jantungku dan benakku.
   wahai taman firdaus dari seluruh kegembiraanku!
   Alam pikiranku tidak pernah sunyi sesaat atau
        sedetikpun dari mengenang engkau.
   Jiwaku sudah menjadi milikmu.
   Jisimkupun bercita-cita benar ingin terbang
        ke hadiratmu.
   alangkah bahagianya bila dalam diriku ada daya
        untuk terbang."3
 
Dalam syairnya yang lain, Mirza Ghulam berkata lagi:
 
  "Sesudah asyik kepada Allah, akupun mabuk pula pada
   keasyikan terhadap Muhammad. Kalau ini dikatakan kufur,
   maka demi Tuhan akulah orang yang sangat kafir!"4
 
Bahkan dari keasyikan Mirza  Ghulam  kepada  Nabi  Muhammad,
menurut  Ahmadiyah,  ia  telah  fana  fir-rasul  yakni  pada
dirinya  membayang  wujud  yang  mulya  Rasulullah   s.a.w.5
Malahan  bila  diperhatikan benar-benar, Mirza Ghulam adalah
kenabian Muhamadiyan juga, yang zhahir dalam suatu cara yang
baru. Ibarat melihat cermin, demikian Ahmadiyah melanjutkan,
kamu tidak menjadi dua, bahkan kamu tetap satu juga  adanya,
kendatipun nampaknya dua.6 Salah seorang pengikut Mirza yang
setia menceritakan bahwa  ia  pernah  melihat  dalam  mimpi,
wujud  suci Hadrat Rasulullah Muhammad Mustafa s.a.w. adalah
juga merupakan wujud suci Hadrat Mirza Ghulam  Ahmad,  Masih
Ma'uud   a.s.   Aku  tidak  ingat,  demikian  sahibul  mimpi
melanjutkan, apakah lebih dahulu melihat Mirza  sahib  Mirza
Ghulam  Ahmad  atau  melihat wujud suci nabi Muhammad s.a.w.
Tetapi  yang  jelas  ialah  kedua  wujud  suci   itu   telah
diperlihatkan dalam keadaan hanya merupakan satu wujud suci.
Hal ini mengandung arti, bahwa pada masa kini, pantulan  dan
kazhahiran  yang  sempurna  dari  wujud  suci  nabi Muhammad
adalah wujud Mirza Ghulam Ahmad.7
 
Apakah yang demikian itu, tidak suatu penghormatan pada nabi
Muhammad  oleh  Mirza  Ghulam?!  Maka,  terimalah  nabi yang
datang dari Allah ini,  demikian  seru  seorang  Ahmadiyah.8
Akan  tetapi  dilain  kesempatan  datang  ancaman keras dari
Ahmadiyah pada mereka yang tidak mau percaya  pada  kenabian
Mirza, dengan kata-kata lantang:
 
  "bahwa semua orang Islam harus percaya pada nabi Mirza
   Ghulam Ahmad; kalau tidak, berarti mereka tidak
   mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur'an. Dan siapa-siapa yang
   tidak mengikuli Al-Qur'an maka ia bukan muslim. Dan
   barangsiapa mengingkari seorang nabi, menurut istilah
   agama Islam disebut kafir!"9
 
Demikian  Ahmadiyah,  mula-mula  mereka  memuji-memuji  Nabi
Muhammad,  kemudian  minta  agar  ia  diakui  sebagai  nabi,
akhirnya ia mengancam vonnis  kafir  bagi  siapa-siapa  yang
tidak   mau   percaya   kenabiannya.   Jelas  disini  adanya
watak-watak  munafik   pada   diri   Mirza   Ghulam   maupun
pengikut-pengikutnya.
 
Namun  demikian  apakah  benar kaum Muslimin tidak mengikuti
ajaran-ajaran Al-Qur'an bila  tidak  mengakui  Mirza  Ghulam
Ahmad  sebagai  nabi?  Untuk  menjawab soal diatas sebaiknya
kita lebih  jauh  melihat  ajaran-ajaran  Ahmadiyah  tentang
sebab-sebabnya  mengapa  Mirza  Ghulam  memakai  gelar nabi.
Dalil-dalil yang dipakai Ahmadiyah guna menguatkan  landasan
bagi  tegaknya kenabian maupun kerasulan Mirza Ghulam, ialah
dalil-dalil  Al-Qur'an  dan  Hadits.  Tentu   saja   menurut
penafsiran  cara-cara  mereka  sendiri. Mula-mula dalil yang
dipakai, berkisar pada ayat "khataman nabiyin"  dalam  surah
Al-Ahzab ayat 40. Kata khatam disitu menurut Ahmadiyah bukan
berarti "penutup" melainkan  termulya.  Jadi  nabi  Muhammad
adalah nabi yang "termulya," bukan nabi penutup. Oleh karena
itu pengertian  yang  diberikan  oleh  sebagian  orang-orang
Islam  terhadap  kata  khatam  dengan pengertian pintu wahyu
tertutup,  bertentangan  dengan  kandungan   Al-Qur'an   dan
sabda-sabda Rasulullah s.a.w.10
 
Catatan kaki:
 1 Dalam kisah Beibel dikatakan, bahwa bila Judas
   mencium Yesus, itu tidak berarti ia cinta pada Gurunya,
   melainkan ia telah merencanakan suatu pengkhianatan
   yang keji.
 2 lih: Saleh Nahdi, selayang pandang Ahmadiyah, hal.41.
 3 lih: Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau'ud a.s., hal. 22
 4 lih: Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau'ud a.s., hal. 17.
 5 lih: Mirza Ghulam Ahmad, Ajaranku, terjemah R. Ahmad
   Anwar, 1966, Wisma damai, Bandung, hal. 20.
 6 lih: idem nomer. 4, hal. 20
 7 lih: Sinar Islam, Januari/Pebruari/Maret/April 1974,
   No: 5-6, hal. 34.
 8 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang pandang Ahmadiyah, hal.41.
 9 lih. Syafi R. Batuah Ahmadiyah Apa, dan Mengapa?,
   Jakarta, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1968, hal. 19.
10 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang pandang Ahmadiyah, hal. 33.
 
---------------------------------------------
Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah
Abdullah Hasan Alhadar
PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980
Jln. Tamblong No.48-50, Bandung
Telp. 50708, 57177, 58332

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team