|
|
di Panggung Sejarah |
|
|
CIUMAN JUDAS1
Kedudukan, pangkat-pangkat serta tingkah laku yang
dipamerkan oleh Mirza Ghulam Ahmad, putera dan cucunya
maupun oleh pengikut-pengikutnya yang tiada
tolok-bandingannya, pada hakikatnya hanyalah merupakan
perisai atau selubung dari kelemahan, kepalsuan yang
terdapat didalam diri Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya.
Demikianlah satu kelemahan harus dilindungi banyak kekuatan,
barulah persembunyian itu berhasil lolos dari setiap
pencaharian. Akan tetapi satu keanehan telah terjadi, bahwa
kekuatan-kekuatan yang dipamerkan Ahmadiyah itu, ternyata
menjadi boomerang memukul balik pada dirinya sendiri.
Kekuatan-kekuatan dalil yang dipakai tentang kemahdian Mirza
Ghulam Ahmad, kealmasihannya, kenabian dan kerasulannya
akhirnya menjadi satu bahan yang menarik untuk dibicarakan.
Justru pada posisi-posisi Mirza Ghulam yang berat itulah, ia
dan alirannya menutup semua kemungkinan bagi lolosnya suatu
penelitian terhadap dirinya. Kubu-kubu pertahanan yang
dibangun Mirza dan Ahmadiyahnya dalam masalah ke-mahdian
kealmasihan, kenabian maupun kerasulannya, merupakan
kubu-kubu yang ampuh untuk diterobos.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan tadi, satu keanehan telah
terjadi; justru daripada pertahanan yang tertutup rapat itu,
secara tidak sengaja pintu-pintu rahasia dari kubu-kubu
pertahanan Ahmadiyah, terbuka lebar dan mereka sendirilah
yang membukanya. Bahkan boleh dikata ibarat tubuh
bertelanjang bulat di hadapan cermin seiarah, Mirza Ghulam
Ahmad dan Ahmadiyahnya telah mempertontonkan segala jenis
kemunafikannya yang paling samar sekalipun. Padahal
Ahmadiyah pada zhahirnya menyuguhkan ajaran-ajarannya ke
tengan-tengah masyarakat diluar Jemaatnya, dengan segala
macam kalimat-kalimat puji dan puja kepada Allah dan Nabi
Muhammad s.a.w.
Penjelasan-penjelasan yang menarik yang disajikan Mirza dan
Ahmadiyahnya tentang sebab-sebabnya mengapa ia harus menjadi
nabi, rasul dan sebagainya itu, menurut Ahmadiyah sama
sekali tidak mengandung maksud untuk mengecilkan kedudukan
Nabi Muhammad s.a.w. Mirza Ghulam Ahmad, kata Ahmadiyah,
tidak lain hanyalah khadim nabi Muhammad, melanjutkan serta
menerangkan ajaran-ajaran tuannya.2 Bahkan Mirza Ghulam
adalah orang pertama yang jatuh cinta pada Nabi Muhammad.
Dalam syairnya Mirza Ghulam berkata:
"Lihatlah kepadaku dengan pandangan rahmat
dan kasih wahai penghuluku.
aku adalah seorang sahayamu yang paling hina dina.
wahai kekasihku,
cinta kepadamu sudah amal meresap dalam jiwa ragaku,
ke dalam jantungku dan benakku.
wahai taman firdaus dari seluruh kegembiraanku!
Alam pikiranku tidak pernah sunyi sesaat atau
sedetikpun dari mengenang engkau.
Jiwaku sudah menjadi milikmu.
Jisimkupun bercita-cita benar ingin terbang
ke hadiratmu.
alangkah bahagianya bila dalam diriku ada daya
untuk terbang."3
Dalam syairnya yang lain, Mirza Ghulam berkata lagi:
"Sesudah asyik kepada Allah, akupun mabuk pula pada
keasyikan terhadap Muhammad. Kalau ini dikatakan kufur,
maka demi Tuhan akulah orang yang sangat kafir!"4
Bahkan dari keasyikan Mirza Ghulam kepada Nabi Muhammad,
menurut Ahmadiyah, ia telah fana fir-rasul yakni pada
dirinya membayang wujud yang mulya Rasulullah s.a.w.5
Malahan bila diperhatikan benar-benar, Mirza Ghulam adalah
kenabian Muhamadiyan juga, yang zhahir dalam suatu cara yang
baru. Ibarat melihat cermin, demikian Ahmadiyah melanjutkan,
kamu tidak menjadi dua, bahkan kamu tetap satu juga adanya,
kendatipun nampaknya dua.6 Salah seorang pengikut Mirza yang
setia menceritakan bahwa ia pernah melihat dalam mimpi,
wujud suci Hadrat Rasulullah Muhammad Mustafa s.a.w. adalah
juga merupakan wujud suci Hadrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih
Ma'uud a.s. Aku tidak ingat, demikian sahibul mimpi
melanjutkan, apakah lebih dahulu melihat Mirza sahib Mirza
Ghulam Ahmad atau melihat wujud suci nabi Muhammad s.a.w.
Tetapi yang jelas ialah kedua wujud suci itu telah
diperlihatkan dalam keadaan hanya merupakan satu wujud suci.
Hal ini mengandung arti, bahwa pada masa kini, pantulan dan
kazhahiran yang sempurna dari wujud suci nabi Muhammad
adalah wujud Mirza Ghulam Ahmad.7
Apakah yang demikian itu, tidak suatu penghormatan pada nabi
Muhammad oleh Mirza Ghulam?! Maka, terimalah nabi yang
datang dari Allah ini, demikian seru seorang Ahmadiyah.8
Akan tetapi dilain kesempatan datang ancaman keras dari
Ahmadiyah pada mereka yang tidak mau percaya pada kenabian
Mirza, dengan kata-kata lantang:
"bahwa semua orang Islam harus percaya pada nabi Mirza
Ghulam Ahmad; kalau tidak, berarti mereka tidak
mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur'an. Dan siapa-siapa yang
tidak mengikuli Al-Qur'an maka ia bukan muslim. Dan
barangsiapa mengingkari seorang nabi, menurut istilah
agama Islam disebut kafir!"9
Demikian Ahmadiyah, mula-mula mereka memuji-memuji Nabi
Muhammad, kemudian minta agar ia diakui sebagai nabi,
akhirnya ia mengancam vonnis kafir bagi siapa-siapa yang
tidak mau percaya kenabiannya. Jelas disini adanya
watak-watak munafik pada diri Mirza Ghulam maupun
pengikut-pengikutnya.
Namun demikian apakah benar kaum Muslimin tidak mengikuti
ajaran-ajaran Al-Qur'an bila tidak mengakui Mirza Ghulam
Ahmad sebagai nabi? Untuk menjawab soal diatas sebaiknya
kita lebih jauh melihat ajaran-ajaran Ahmadiyah tentang
sebab-sebabnya mengapa Mirza Ghulam memakai gelar nabi.
Dalil-dalil yang dipakai Ahmadiyah guna menguatkan landasan
bagi tegaknya kenabian maupun kerasulan Mirza Ghulam, ialah
dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits. Tentu saja menurut
penafsiran cara-cara mereka sendiri. Mula-mula dalil yang
dipakai, berkisar pada ayat "khataman nabiyin" dalam surah
Al-Ahzab ayat 40. Kata khatam disitu menurut Ahmadiyah bukan
berarti "penutup" melainkan termulya. Jadi nabi Muhammad
adalah nabi yang "termulya," bukan nabi penutup. Oleh karena
itu pengertian yang diberikan oleh sebagian orang-orang
Islam terhadap kata khatam dengan pengertian pintu wahyu
tertutup, bertentangan dengan kandungan Al-Qur'an dan
sabda-sabda Rasulullah s.a.w.10
Catatan kaki:
1 Dalam kisah Beibel dikatakan, bahwa bila Judas
mencium Yesus, itu tidak berarti ia cinta pada Gurunya,
melainkan ia telah merencanakan suatu pengkhianatan
yang keji.
2 lih: Saleh Nahdi, selayang pandang Ahmadiyah, hal.41.
3 lih: Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau'ud a.s., hal. 22
4 lih: Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau'ud a.s., hal. 17.
5 lih: Mirza Ghulam Ahmad, Ajaranku, terjemah R. Ahmad
Anwar, 1966, Wisma damai, Bandung, hal. 20.
6 lih: idem nomer. 4, hal. 20
7 lih: Sinar Islam, Januari/Pebruari/Maret/April 1974,
No: 5-6, hal. 34.
8 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang pandang Ahmadiyah, hal.41.
9 lih. Syafi R. Batuah Ahmadiyah Apa, dan Mengapa?,
Jakarta, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1968, hal. 19.
10 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang pandang Ahmadiyah, hal. 33.
---------------------------------------------
Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah
Abdullah Hasan Alhadar
PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980
Jln. Tamblong No.48-50, Bandung
Telp. 50708, 57177, 58332
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |