|
di Panggung Sejarah |
|
DEMAGOOG QADIANI1 Bukan itu saja yang dipakai oleh Ahmadiyah untuk meluruskan jalan buat kenabian Mirza Ghulam Ahmad, melainkan juga mereka menggunakan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits. Mula-mula Ahmadiyah berkata dengan lantangnya: "Sekarang kita lihat arti khataman Nabiyin menurut pengertian Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Apakah beliau memahaminya, dalam arti tidak akan ada lagi Nabi sesudah beliau."2 Apakah beliau memahaminya, benarkah kalimat itu dipakai dan ditujukan pada Nabi Muhammad?! Kiranya Ahmadiyah telah melakukan keasalahan, ceroboh dan kurang-ajar dalam bahasa dan akhlak terhadap Nabi. Sebelum sampai pada ucapan-ucapan Nabi sendiri, marilah kita lihat bagaimana Ahmadiyah mengutip dari ucapan Aisyah, isteri Nabi Muhammad s.a.w.: "Katakanlah Rasulullah itu khataman Nabiyin, tapi jangan dikatakan tidak akan ada Nabi sesudah beliau."3 Sungguh menggembirakan bahwa Ahmadiyah memperoleh landasan berpijak yang kuat daripada ucapan isteri Nabi itu. Dengan ucapan Aisyah itu, maka pintu kenabian sesudah Nabi Muhammad terbuka lebar-lebar. Sudah tentu para pengikut Mirza menyambut gembira ucapan Aisyah itu. Sekiranya perlu menambah maka tambahkanlah ucapan-ucapan dari isteri-isteri Nabi yang lain. Katakan juga bahwa Hafsah, Ummi Salamah berkata seperti apa yang dikatakan Aisyah itu. Tentu saja sangat lemah ucapan-ucapan demikian untuk dipakai menjadi dasar. Apakah beliau memahaminya? Seperti apa yang dikatakan Ahmadiyah terhadap Nabi Muhammad s.a.w. demikian Ahmadiyah mulai menggunakan Hadits-hadits untuk kepentingan. Mirza Ghulam. Lima tahun sesudah turunnya ayat khataman Nabiyin, demikian Ahmadiyah berkata, putera Nabi s.a.w. yang bernama Ibrahim wafat. Dalam hubungannya dengan wafatnya putera beliau ini, Nabi Muhammad s.a.w . bersabda: "Sekiranya dia (Ibrahim) terus hidup niscaya dia menjadi seorang Nabi yang benar. (Ibnu Majah)."4 Dari sabda Nabi tersebut di atas nyatalah pengertian Nabi kita yang sebenarnya, pengertian yang tidak membenarkan faham bahwa khataman Nabiyin berarti penutup Nabi-nabi. Lebih jelas lagi Ahmadiyah mengatakan, bahwa sekiranya Rasulullah berpengertian tidak akan ada Nabi lagi sesudah beliau, niscaya tidak beliau katakan yang tersebut di atas.5 Ahmadiyah mengutip hadits tersebut dari ibn Majah jilid satu halaman 234, yang kedudukannya tanpa menyebut-nyebut sanadnya. Sedangkan kata "sekiranya" itu memberi arti "tidak mungkin terjadi" sebab sekiranya Ibrahim hidup, padahal ia telah wafat. Anehnya, sesudah seribu tahun lebih dari kewafatan putera Rasulullah s.a.w. itu, ada seorang yang berambisi mengambil-alih kesempatan yang mungkin ada pada Ibrahim untuk menjadi Nabi, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Oleh karena segala kemungkinan adanya Nabi baru tidak akan pernah ada dan tidak akan ada samasekali, bersabda Nabi Muhammad: "Kalau sekiranya ada Nabi sesudahku, maka Umarlah dia" (Masnad ibn Hambal Umar bin Khattab masih hidup tatkala Nabi Muhammad s.a.w. mengucapkan ucapan beliau tersebut. Dan tatkala beliau s.a.w. telah lama pergi, Umar masih ada, namun beliau hanyalah seorang Khalifah. Ini bertepatan dengan sabda Rasul: "Adapun bani Israil itu terpimpin oleh Nabi-nabi. Tiap seorang Nabi wafat maka datanglah Nabi yang lain mengikutinya. Dan sesungguhnya sesudah saya tidak akan ada Nabi, melainkan Khalifah." (Ibn Hambal, Muslim, Ibn Majah) Akan tetapi ambisi yang meluap-luap itu tidak memungkinkan Mirza Ghulam mundur selangkah saja untuk membuang titel kenabiannya. Juga ia tidak akan berkompromi pada siapa saja untuk meninggalkan kerasulannya, keyesusannya, dan kemahdiannya . Saya ini Nabi, kata Mirza Ghulam Ahmad, dan saya bukan nabi palsu! Sebab nabi palsu sudah diberi definisi oleh Ahmadiyah, ialah, bahwa hidupnya singkat tidak lebih dari 23 tahun, setelah mana ia dan pengikut-pengikutnya hapus dari muka bumi dengan tiada meninggalkan bekas, mereka tidak memperoleh bantuan Tuhan.6 Dan kelahuilah bahwa Mirza Ghulam Ahmad hidup lebih dari 23 tahun. Untuk ini Ahmadiyah berkata: "Beliau hidup lebih dari 23 tahun setelah menerima wahyu dari pada Allah Ta'ala dan mengaku utusanNya. Orang yang mengaku terima wahyu dari Allah Ta'ala dan disiarkannya dengan pengakuannya sebagai utusan daripada Allah Ta'ala dan dia hidup 23 tahun atau lebih, maka (Qur'an mensahkan dakwanya. (seperti tersebut di dalam surat Al-Haqqah: 45-47)"7 Menarik buat ditelaah, bahwa Ahmadiyah menggunakan limit waktu 23 tahun, atau lebih untuk kebenaran suatu pendakwaan kenabian sesudah Nabi Muhammad s.a.w. Bahkan Al-Qur'an yang mensahkan kenabian baru itu seperti tersebut dalam surah Al-Haqqah ayat 45-47. Padahal isi ayat itu tidak ada hubungannya dengan pengesahan sesuatu kenabian baru. Ayat dari Al-Haqqah itu terjemahnya sebagai berikut: "Sebab itu biarkanlah Aku (menyiksa) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Qur'an). Nanti akan Kami turunkan (siksaan) kepada mereka sedikit demi sedikit, sedang mereka tiada tahu. Aku beri mereka tempo, sungguh tipu muslihatKu (siksaanKu) amat kuat. Bahkan adakah engkau (ya Muhammad) meminta upah kepada mereka lalu mereka merasa keberatan membayarnya? Atau adakah di sisi mereka (ilmu) ghaib, lalu mereka menuliskannya?" Jelas ayat-ayat tersebut tidak mempunyai kaitan atau hubungan apa-apa dengan dakwaan nabi baru sesudah ke-Nabian Muhammad s.a.w. Adapun alasan limit waktu yang dipakai Ahmadiyah yakni 23 tahun itu, adalah masa yang telah dilalui oleh perjuangan Rasulullah s.a.w. Jika 23 tahun tersebut diterapkan oleh Ahmadiyah pada Mirza Ghulam Ahmad, maka sungguh kelihatan bahwa pegangan yang demikian itu adalah lucu. Andaikata ada orang mengaku Nabi sesudah kenabian Muhammad s.a.w., dan ia hidup lebih dari limapuluh tahun, menyiarkan kenabiannya dan matinya tidak terbunuh, maka kenabiannya itu tetap sebagai satu kepalsuan. Abad-abad terakhir ini banyak kepalsuan-kepalsuan bertahan berpuluh-puluh tahun bukan karena kebetulan saja, melainkan karena keorganisasiannya yang rapi dan landasan hidupnya yang kuat serta tameng pelindungnya yang ampuh. Adalah satu contoh seperti Ahmadiyah ini yang datang menyusup-nyusup ke dalam tubuh Islam dengan merangkak-rangkak kemudian tegak dan mulai berbicara lantang bahwa ialah yang mewarisi kesejatian agama, membawa ajaran-ajaran yang kacau dan mengacaukan ketenangan iman ummat Islam, mendakwa diri dengan seribu macam pangkat, nama, keturunan, tingkah-laku, merupakan contoh yang bisa diidentikkan dengan kelakuan-kelakuan biadab, penghinaan maupun maki-makian yang keji terhadap pribadi Nabi Muhammad s.a.w. perusakan mesjid-mesjid, pembunuhan biadab pada ummat Muhammad, penghinaan kepada Allah, syirik, anti Tuhan, anti Agama, dimana mereka itu hidup lebih dari duapuluh tahun. Jika sekiranya Tuhan telah membinasakan nabi-nabi palsu maka seharusnyalah Tuhan juga membinasakan kejahatan-kejahatan di atas. Kedua-duanya tidak berbeda bahkan sejalan! Kembali kita pada persoalan-persoalan Ahmadiyah dimana disajikan berbagai dalil guna menguatkan kenabian Mirza Ghulam Ahmad, maka sampailah kita pada ucapan-ucapan tokoh-tokoh Ahmadiyah, antara lain Bashiruddin Mahmud Ahmad, putera Mirza Ghulam Ahmad itu berkata: "Dan beliau s.a.w., sahkan kebenarannya semuanya Nabi-nabi baik yang dahulu baik yang akan datang."8 Maknanya Nabi Muhammad telah mensahkan kebenaran Nabi-nabi, baik yang datang sebelum beliau maupun Nabi-nabi yang datang sesudah beliau. Jika yang dimaksud oleh Bashiruddin bahwa sesudah Nabi Muhammad ada Nabi seorang saja yang disahkan, maka itulah sebenarnya yang menjadi tujuannya dan tujuan Ahmadiyah. Akan tetapi kenyataan dari ucapan Bashir itu tidak demikian, sebab ia mengatakan nabi-nabi yang berarti banyak Nabi. Bukan begitu, tukas Ahmadiyah, melainkan banyak Nabi sebelum Nabi Muhammad dan hanya satu Nabi sesudah beliau. Itu hanyalah tergelincir pena atau keliru cetak. Maka untuk sejenak kesalahan ucapan Bashir itu kita lampaui saja. Baiknya melihat keterangan-keterangan atau dalil-dalil lain seperti yang diucapkan tokoh-tokoh Ahmadiyah lainnya. Berkata Ahmadiyah: "Bahwa Nabi sesudah Nabi Muhammad itu kita akui ada dan seterusnya akan ada."9 Muncul lagi Kata-kata "dan seterusnya akan ada" yang tentunya mengandung arti akan berdatangan Nabi-nabi sesudah Nabi Muhammad, bukan begitu? Dimana dan siapa-siapa mereka gerangan Nabi-nabi sesudah Nabi Muhammad yang disahkan itu? Bashiruddin tampil kemudian dengan memamerkan beberapa Nabi-nabi akan tetapi sayangnya mereka Nabi-nabi palsu belaka, yaitu Musailamah, Aswad Al-Ansi, Syajjah Al-Kahinah, Abdullatif, Maulawi Muhammad Jar, Zahiruddin Abdullah Timapuri, dan Nabi Bux.10 Tentu saja bagi Ahmadiyah kedudukan Mirza Ghulam Ahmad tidak berada diantara Nabi-nabi palsu itu. Lantas dimana dan siapa Nabi-nabi sah yang seterusnya akan ada itu? Jika memang dicukupkan satu orang saja menjadi Nabi dan "seterusnya akan ada" itu ternyata menjadi seterusnya tidak akan ada, maka Ahmadiyah sewajarnya menjelaskan bahwa hal itu kebetulan juga salah cetak atau tergelincir lidah. Satu-dua kali keliru tidak apa-apa akan tetapi berulang-ulang salah, adalah memalukan sekali. Meskipun demikian, ternyata Ahmadiyah tidak kehilangan langkah buat menutup-nutupi kesalahannya, sebab kemudian Ahmadiyah berkata, bahwa adanya Nabi sesudah Nabi India Mirza Ghulam Ahmad, bisa saja dan mungkin, bila Tuhan menghendaki.11 Ahmadiyah masih memberi kesempatan, tentu saja bila Tuhan menghendaki, adanya Nabi pengganti Mirza Ghulam. Sikap lunaknya ini ternyata membelakangi sikapnya yang lain. Ahmadiyah masih menggoreskan kedalam hati pengikut-pengikutnya satu kebulatan iman bahwa Tuhan hanya akan mengutus satu Nabi saja sesudah kenabian Muhammad s.a.w. Cukup dan selesai dengan kenabian Mirza saja. Ahmadiyah berkata: "Didalam ummat Rasulullah yang mengikuti jejak beliau memperoleh berkah ribuan hingga mendapat kedudukan wali. Tetapi satu orang ada yang menjadi ummati dan juga menjadi Nabi."12 Satu orang cukup dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, yang lain wali-wali. Catatan kaki: 1 Demagoog Qadiani ialah seorang pembohong dari Qadian yakni Mirza Ghulam. 2 lih. Saleh A.Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 10 3 lih.M.Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, Wisma Damai Bandung, 1967, hal. 12: (qulu innahu khatamul ambiya'i wa la taqulu la nabiyya ba'dahu) 19). 4 lih. Saleh A.Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 10 5 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 36. 6 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 46. 7 lih: sayyid Shah Muhammad, Menyingkap Keraguan, Jakarta, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, tahun tidak ada, hal. 18. 8 lih. Bashirudin Mahmud Ahmad, jasa-jasa Imam Mahdi, hal. (e) 9 lih: M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal. 16. 10 lih: Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jasa-jasa Imam Mahdi, hal. 15. 11 lih: Syafi R. Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa? hal. 6 12 lih: Saleh A. Nahdi, Mengapa dua Ahmadiyah? Jogyakarta, 1966, hal. 19. --------------------------------------------- Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah Abdullah Hasan Alhadar PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980 Jln. Tamblong No.48-50, Bandung Telp. 50708, 57177, 58332 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |