Ahmadiyah Telanjang Bulat
di Panggung Sejarah

oleh Abdullah Hasan Alhadar

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

GHULAM (HAMBA) IMPERIALIS
 
Putera Mirza Ghulam Ahmad, Bashiruddin Mahmud Ahmad  berkata
tentang sesepuhnya:
 
  "Bahwa Ghulam Kadir dan keluarganya di Qadian, (yakni
   keluarga Mirza Ghulam Ahmad) oleh Jenderal Nicholson
   dinyatakan dalam satu surat penghargaan, sebagai
   keluarga yang betul-betul telah membantu dan setia pada
   Inggris pada tahun 1857 itu, lebih daripada
   keluarga-keluarga yang lain dalam daerah itu."1
 
Dengan demikian  kehadiran  Inggris  di  India  bagi  mereka
mempunyai  arti  yang  khusus  dan  istimewa.  Betapa tidak,
ketika kaum Muslimin berada dalam penjara  hidup,  sengsara,
putus  harap  dan  menderita,  keadaan keluarga Mirza Ghulam
malah sebaliknya. Mereka hidup dalam kemakmuran  serta  aman
sentosa.  Lambat  laun  akan  tetapi  dapat  kepastian  dari
tuannya Inggris, apa yang  diharap-harapkan  keluarga  Mirza
akan terwujud kembali.
 
Pengabdian mereka dalam perang 1857 itu, telah memberi kesan
dalam  kepada  Inggris  perihal  watak-watak  yang  dimiliki
keluarga   Mirza  itu.  Watak-watak  dari  orang-orang  yang
berambisi  besar,  ingin  memperoleh  segala-galanya   meski
dengan  jalan  apapun  termasuk  mengkhianati  atau membunuh
saudara-saudaranya sendiri. Bagi  Inggris  watak-watak  yang
demikian   itu  pasti  dipupuk,  demi  memperoleh  pion-pion
pengabdi imperialisnya. Mirza Ghulam Ahmad  sendiri  berkata
tentang watak ayahnya:
 
  "Walaupun ayahanda masih memiliki beberapa kampung, dan
   mendapat pula hadiah tahunan dari pemerintah serta
   menerima pensiun dari dinasnya, ditambah pungutan pajak
   5% atas daerah kekuasaannya, tapi segala ini tidak
   berarti baginya dibandingkan dengan kekayaannya yang
   dulu. Oleh karena itu beliau selamanya sedih dan
   berduka hati."2
 
Pendek  kata  tabiat   materialistis   ayahnya   itu   telah
memasgulkan   hati   Mirza   Ghulam   Ahmad.  Ia  pada  masa
kanak-kanaknya  itu  telah  menyaksikan  contoh-contoh  yang
begitu  pahit dalam kehidupan ayahnya sehingga kemauan untuk
dunia padamlah hati beliau.3  Akan  tetapi  anehnya  tatkala
ayahnya  mati pada tahun 1876, ketika itu Mirza Ghulam telah
mencapai usia matang 40 tahun,  ia  merasa  duka  cita  yang
dalam.
 
Sebabnya tidak lain, demikian Mirza Ghulam berkata:
 
  "Karena sebahagian besar dari penghidupan kami
   tergantung pada ayahanda, sebab beliau biasa mendapat
   pensiun dan hadiah yang agak besar dari pemerintah
   Inggris, yang mana akan dihentikan setelah beliau
   wafat."4
 
Suatu kejadian lucu dan terbalik; seharusnya  pada  usia  40
tahun  itu  Mirza  Ghulam  Ahmad lebih padam kemauannya pada
dunia. Padalah tidak ada alasan baginya untuk  bersedih  dan
kawatir  kalau-kalau  dalam  hari-hari yang akan datang akan
menderita  kesusahan  dan  kesukaran,  sebagaimana  yang  ia
cemaskan itu.5 Bukankah Qadian dan pajak 5% atas tiga daerah
sekitarnya masih tetap dimiliki mereka berdua?! Dan  cobalah
lihat,  apa  harta  pusaka yang diperoleh Mirza Ghulam Ahmad
dan Ghulam Kadir saudaranya,  pada  waktu  sepeninggal  ayah
mereka. Rumah-rumah, toko-toko dan tanah-tanah yang terletak
dalam  kota-kota  Batala,  Gurdaspur,  Amristar  dan  Qadian
menjadi milik mereka berdua. Bukankah dengan itu saja mereka
berdua sudah dapat berpangku-tangan tanpa kekurangan sesuatu
apapun?
 
Satu  hal  lagi  yang perlu ditanyakan pada Mirza dan Ghulam
Kadir, apakah  benar  pensiun  ayahnya  akan  hapus  setelah
kematiannya   itu?   Kiranya  sukar  untuk  dipercaya  bahwa
peraturan pensiunan dari pemerintah Inggris  akan  menghapus
begitu  saja  hak  seseorang  yang  telah berjasa besar itu.
Padahal Ghulam Murtaza, ayah Mirza Ghulam itu telah  berjasa
dalam perang 1857 sebagai pembantu setia dan ikut melibatkan
diri bersama anaknya  Ghulam  Kadir  dan  keluarganya  dalam
pembinasaan  kaum  Muslimin.  Sejarah lebih memastikan bahwa
pensiun itu akan berlangsung terus walaupun  Ghulam  Murtaza
telah  mati.  Perkara  hadiah  tahunannya  yang dihapus, itu
sudah wajar. Dengan seluruh harta-kekayaan yang tersisa  itu
bukankah   Mirza   Ghulam   Ahmad  dan  Ghulam  Kadir  telah
memperoleh kembali kerajaan merdekanya?
 
Namun  apa  hendak  dikata,  Ahmadiyah   tidak   menghendaki
argumentasi  tersebut  di  atas.  Ahmadiyah  mengubah  jalan
ceritanya seperti apa yang  diceritakan  Bashiruddin  Mahmud
Ahmad.   Sesudah   kematian   ayahnya   itu,  demikian  kata
Ahmadiyah,  keluhan  Mirza  Ghulam  Ahmad  yang  membuktikan
kelemahan  imannya itu, tiba-tiba lenyap karena Mirza Ghulam
tiba-tiba merasa tertidur. Dalam tidurnya  itu  ia  mendapat
ilham  hiburan  dari  tuhannya  yang berbunyi: "Alais Allahu
bikafin 'abdahu?" yang artinya: "Apakah  Allah  tidak  cukup
bagi  hambanya?"  Maka  karena  ilham inilah kata Ahmadiyah,
Mirza Ghulam Ahmad hatinya kuat kembali seperti  suatu  luka
yang  hebat  tiba-tiba sembuh dan sehat.6 Ilham hiburan dari
tuhannya itu ia terima karena ia merasa  takut  dan  kawatir
sengsara  setelah  kematian  ayahnya.  Padahal  Mirza Ghulam
bukan seorang yang miskin,  papa  dan  kosong  harta.  Malah
harta  pusakanya melimpah-limpah. Jelas bahwa ilham tuhannya
itu tidak cocok dengan kenyataannya. Seharusnya tuhan  Mirza
berkata:
 
  "Janganlah duka hati wahai Mirza, bukankah engkau punya
   hak dari harta pusaka itu sama dengan hak saudaramu?"
 
Hak seperdua itu tidak diambilnya, demikian kata  Ahmadiyah,
melainkan  ia  membiarkan harta pusaka itu tidak dibagi-bagi
sebagaimana  mestinya.  Ia  pasrah  pada  saudaranya  Ghulam
Kadir;  apa  yang  diberikan  oleh  saudaranya itu ia terima
dengan sukur dan senang. Akan  tetapi  karena  Ghulam  Kadir
berdinas  di  Gurdaspur dan menetap di sana maka sebagaimana
yang diceritakan  Ahmadiyah,  Mirza  Ghulam  Ahmad  mendapat
kesusahan  yang hebat, sebab beliau susah mendapat keperluan
hidupnya. Justru karena berpisah tempat  itu,  Mirza  Ghulam
Ahmad  menderita susah yang hebat.7 Mengapa demikian? Apakah
saudaranya tidak lagi mengirimkan wesel atau  uang  padanya?
Menurut  Bashiruddin  Mahmud  Ahmad,  Ghulam  Kadir  itu ada
seorang  yang  condong  pada  dunia.  Demikian   pula   yang
diceritakan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Pernah sekali peristiwa
Mirza Ghulam minta uang sedikit pada  kakaknya  itu,  dengan
maksud  untuk  berlangganan surat-kabar; namun permintaannya
itu ditolak dengan mengatakan bahwa bagi Mirza Ghulam  Ahmad
yang  hanya  duduk saja membaca buku dan surat kabar, bahkan
tidak mau bekerja bermalas-malasan, maka  permintaannya  itu
adalah suatu pemborosan.8
 
Lantas bagaimana urusan hartanya yang di Qadian, bukankah ia
tinggal di situ? Menurut  Ahmadiyah  bahwa  para  pegawainya
yang  di Qadian juga sangat menyusahkan beliau.9 Dengan cara
memburuk-burukkan   ayahnya    maupun    kakaknya    sebagai
orang-orang    yang   materialistis,   maka   Mirza   Ghulam
mengharapkan simpati, iba dan kasihan dari orang-orang  yang
tidak  mengetahui  keadaan  yang  sebenarnya. Padahal dengan
tidak   bisa   mengurus    hartanya    yang    di    Qadian,
bermalas-malasan hanya baca buku dan koran, maka teringatlah
kita pada penyakit-penyakitnya yang continue dimana  separoh
dari badannya ke atas kena penyakit vertigo dan separoh dari
badannya ke bawah kena diabetes. Effek-effek dari dua  macam
penyakit  yang  kronis  dan  continue  itu  adalah: seperti:
bingung mudah tersinggung  tanpa  ada  sebab,  sakit  bagian
saraf  kepala  radang  saraf, rabun mata, sayu pandangan dan
sering tak sadarkan diri. Juga mengalami tingkah  laku  yang
abnormal,  gejolak  emosi  yang  meluap-luap,  depressi yang
memilukan,  perasaan  rendah-diri,  jeritan  putus  asa  dan
sering   jatuh  pingsan,10  maka  Mirza  Ghulam  Ahmad  yang
mengidap penyakit-penyakit  berat  seperti  itu,  seharusnya
bisa  dimaafkan  oleh kakaknya bila ia berpangku-tangan saja
dan bermalas-malasan.
 
Demikianlah, pada tahun 1884 Ghulam  Kadir  meninggal  tanpa
meninggalkan  seorang  anakpun.  Maka  Mirza Ghulam Ahmadlah
satu-satunya ahli waris dari seluruh harta pusaka itu.  Akan
tetapi  menurut  Ahmadiyah,  terdorong  oleh  hati yang baik
untuk  menyenangkan  hati  janda  kakaknya,   beliau,   kata
Ahmadiyah,  tidak  lekas  mengambil  harta  pusaka tersebut.
Malah menurut permintaan  janda  itu,  setengah  dari  harta
pusaka  tersebut  beliau  pindahkan  atas  nama Mirza Sultan
Ahmad, yang telah diangkat sebagai anak  pungut  oleh  janda
itu.11 Bahkan yang setengah itupun, yakni yang menjadi milik
Mirza Ghulam sendiri, tidak lekas-lekas diambil oleh beliau.
Lama  benar  dipegang  oleh  orang-orang dari sanak keluarga
beliau.12 Setidak-tidaknya "lama benar"  itu  memakan  waktu
dua-tiga tahun atau lebih?
 
Pada   tahun   1891   masehi  Mirza  Ghulam  Ahmad  menjabat
pangkat-pangkat kerohanian yang  paling  tinggi  dan  paling
banyak  diatas  dunia ini. Layaknya ia telah memiliki sebuah
kerajaan dari langit. Pada waktu itu ia menjadi Nabi, Rasul,
Imam  Mahdi, Al Masih Al-Mauud, Brahman Avatar, Kreshna, dan
1001 macam  pangkat  lainnya  seperti  yang  sudah  tersebut
terdahulu.  Tujuh  tahun  telah  berjalan,  yakni dari tahun
kematian   kakaknya   1884   hingga   tahun   ia    menjabat
pangkat-pangkat hebatnya itu, harta pusaka yang telah diurus
sanak keluarganya, sudah terasa cukup lama benar. Untuk  itu
demi   kebutuhan-kebutuhan   missinya  sebagai  Nabi  maupun
sebagai Imam Mahdi, ia  pasti  memerlukan  biaya-biaya  yang
serius.  Sesudah  waktu "lama benar" harta-hartanya dipegang
sanak-keluarganya,  maka  sudah  tentu  harta-hartanya  akan
kembali  padanya,  menjelang  tahun  yang  ketujuh itu. Maka
sudah layaklah jika Mirza Ghulam pada saatnya untuk  menjadi
raja dari kerajaan dunianya.
 
Dengan  perlengkapan  itulah  maka  rencana gilanya berhasil
dilaksanakan. Ia tidak ambil-pusing  dengan  kemarahan  kaum
Muslimin  karena  proklamasinya  yang  sinting itu. Ia tidak
memikirkan resiko apa yang  akan  terjadi  padanya.  Inggris
dengan  segala  senang  hati  melindungi  Mirza  dari segala
gangguan.  Dengan  menaruh   perhatian   yang   besar   akan
tingkah-laku Mirza Ghulam Ahmad, Inggris telah ikut menyiram
benih-benih yang ditanam Mirza ke dalam tubuh  Islam  bahkan
ikut  memupuknya  pula.  Apabila  benih-benih itu tumbuh dan
berkembang, maka tidak ragu-ragu lagi keadaan kaum  Muslimin
akan  berada  dalam  kancah  kebingungan dan perpecahan yang
tragis.   Apa   lagi   yang   dikuatirkan    Inggris    dari
perbuatan-perbuatan  Mirza  Ghulam itu? Latar belakang hidup
keluarganya   sudah    cukup    meyakinkan.    Pigura-pigura
penghargaan terhadap keluarga Mirza baik karena jasa-jasanya
sebelum perang 1857  maupun  sesudahnya,  menunjukkan  suatu
keistimewaan  yang  khas  dari  satu  golongan keluarga yang
tidak  pernah  ragu  untuk  membela  tuannya  dan  sekaligus
memberikan jasa-jasa pengabdian yang mengharukan.
 
Itulah sebabhnya Mirza Ghulam Ahmad telah berhasil membangun
rencana besarnya menjadi satu kenyataan. Ia telah  membangun
satu  ummat  baru,  ummat  Ahmadi,  nabi  baru atas namanya,
kota-kota suci baru Qadian dan Rabwah dan periode baru  atas
namanya  pula.  Tidak syak lagi bahwa pekerjaan besarnya itu
mendapat dukungan  kuat  dari  wajah  ganda  yang  ada  pada
Inggris,   yakni  wajah  Kristen  dan  wajah  imperialisnya.
Betapapun Mirza Ghulam Ahmad telah menulis kepada sang  ratu
Inggris  Victoria  agar  mau  masuk  Islam,  demikian  tulis
Ahmadiyah, namun apakah artinya ajakan nabi  India  itu  dan
apakah  makna  kedatangan  suratnya  di  istana  Buckingham?
Paling tidak surat Mirza langsung diterima dapur istana  dan
menjadi  abu dalam onggokan api. Inggris akan membiarkan apa
saja  obrolan  Mirza.  Suara  Mirza   yang   menyelinap   ke
tengah-tengah  kaum  kristen  Eropah  itu akan diterima oleh
mereka sebagai suara seorang asing yang menjadi sahabat yang
bersedia menikam saudara-saudaranya sendiri sebagaimana yang
telah dilakukan oleh para sesepuhnya.
 
Itulah  sebabnya  Inggris  senantiasa  memberi  perlindungan
padanya,  keluarganya maupun pada alirannya. Maka atas hasil
kerja yang  berlawanan  dengan  aqidah  kaum  Muslimin  ini,
bangsa  manakah, golongan manakah, dan sekte manakah di luar
Islam  yang  tidak  berhasrat  membela  Mirza   Ghulam   dan
Ahmadiyahnya?
 
Catatan kaki:
 1 Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hazrat Ahmad a.s.,
   hal. 9.
 2 idem, hal. 15.
 3 idem, hal. 17.
 4 idem, hal. 37.
 5 idem, hal. 37.
 6 idem, hal. 38.
 7 idem, hal. 40.
 8 idem, hal. 42.
 9 idem, hal. 42.
10 Randolp & Russel, the Book of Health, hal. 418, 653.
11 Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hazrat Ahmad a.s.,
   hal. 52.
12 idem, hal. 52.
 
---------------------------------------------
Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah
Abdullah Hasan Alhadar
PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980
Jln. Tamblong No.48-50, Bandung
Telp. 50708, 57177, 58332

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team